Kalau tauhid ketiga saya buat secara
skematis, maka diperoleh gambaran relasional tauhid yang sebenarnya
identik dengan deduksi pendekatan kosmologis .
Tauhid Allah ↔ oleh Allah
Tauhid Allah ↔ oleh makhluk (alam semesta)
Tauhid Allah ↔ oleh manusia
Tauhid Allah ↔ oleh makhluk (alam semesta)
Tauhid Allah ↔ oleh manusia
Relasi kosmologis secara langsung adalah :
Allah –> Alam Semesta –> Manusia —>Tindakan
Dari kesamaan makna secara simbolis
antara menauhidkan Allah dalam semua tingkatan tersebut dengan relasi
kosmologis yang dideduksi dari Al Qur’an , maka dapat disimpulkan bahwa
manusia sebagai hamba Allah lah akhirnya yang dapat menauhidkan Allah
SWT sebagai Yang Esa secara formal lahir dan batin, dan seseorang hanya
dapat melakukan hal ini jika dan hanya jika dia mampu menyingkapkan
jatidirinya atau hakikat dirinya yang diungkapkan dengan “Mengenal Diri,
Mengenal Ilahi”.
Cermin perantara atau wahana dari
penyingkapan tersebut adalah “alam semesta dan dirinya” seperti
disebutkan dalam firman Allah “Kami akan memperlihatkan kepada mereka
tanda-tanda (kekuasaan) Kami pada segenap penjuru dan pada diri mereka
sendiri.(QS 41:53).” Menurut Syekh Abdul Qadir al-Jilani r.a., sebab
atau sarana adalah suatu keharusan yang mesti ada, walaupun Allah
Mahakuasa untuk memberi hidayah pada seseorang tanpa medium para nabi.
Akan tetapi, Allah tidak dapat didikte
oleh makhluk, maka mengharap atau mengira diri dapat berjalan tanpa
panduan (dari yang sudah disempurnakan) adalah kesombongan yang berbuah
ilusi yang menyesatkan. Bukankah Nabi SAW bersabda, “Orang Mukmin adalah
cermin bagi orang Mukmin.” Dan dengan demikian juga, maka manusia yang
telah mengenal jatidirinya adalah dia yang menyimpan hakikat dan bentuk
dari Al Qur’an sebagai sebuah Kitab Allah SWT yang menjelaskan segala
sesuatu baik tentang dirinya, manusia lainnya, alam semesta, dan
Tuhannya sesuai dengan firman, “Pengetahuan Tuhan kami meliputi segala
sesuatu” (QS 7:89) (Lihat juga uraian tentang al-Fatihah).
Kalau saya tarik kesimpulan dari
bertautnya tauhid pertama, kedua dan ketiga sebagai sebuah lingkaran
menjadi suatu totalitas tauhid yang utuh, maka diperoleh pengertian yang
sangat sufistik bahwa pertautan semua tauhid tersebut tidak lain
menunjukkan adanya kedekatan yang sangat jelas antara Nabi Muhammad SAW
sebagai hamba Allah dengan Allah SWT, antara abdi dengan Khaliq-nya,
antara budak dengan Tuannya, antara yang mencintai dan Yang Dicintai,
antara yang diciptakan dengan Yang Menciptakan.
Sehingga, pentauhidan sebagai suatu
Totalitas Tauhid adalah suatu kalimat yang sering diungkapkan oleh kaum
sufi, dan banyak juga disalahpahami, yaitu “La Huwa illaa Huwa – dia
(Muhammad) bukan Tuhan tetapi tidak lain dari pada-Nya.” Menurut
pendapat Profesor H. Sahabudin [120], dalam telaahnya yang komprehensif
mengenai Nur Muhammad, makna “La Huwa illaa Huwa” dikatakannya lebih
bersifat preventif karena kalimat tersebut tidak mengisyaratkan adanya
proses bersatunya Muhammad SAW dengan Allah SWT, tetapi justru hanya
menggambarkan betapa beliau tidak dapat dipisahkan dengan Tuhannya.
Dengan kata lain, pengertian “La Huwa
illaa Huwa” menunjukkan adanya dua substansi yang tidak berubah menjadi
satu, namun keduanya tidak terpisahkan antara satu dengan yang lainnya.
Akan tetapi, menurut H. Sahabudin, bila hal itu benar terjadi maka hal
ini hanya dapat dipahami terbatas dalam konteks naluriah atau citarasa
(Dzauqi) semata, dengan kata lain ungkapan yang verbal tidak memadai
untuk mengungkapkan makna sebenarnya dari kalimat “La Huwa illaa Huwa”.
Jika tidak, maka yang timbul adalah suatu
kebingungan yang dapat dinilai sebagai suatu kemusyrikan dan kufur.
Jadi, pengungkapan “La Huwa illaa Huwa” pada hakikatnya mengungkapkan
antara rahasia kedekatan hamba Allah (Muhammad SAW) dengan Allah
SWT. Pemaparan kata huwa sendiri untuk Allah dan rasul-Nya menunjukkan
betapa Allah SWT dan rasul-Nya tidak dapat dipisahkan.
Hal ini relevan dengan pengertian yang
diungkapkan dalam sabda Nabi Muhammad SAW, “Barang siapa yang melihat
saya (Muhammad SAW) maka sesungguhnya ia telah melihat Allah SWT.” Jadi,
Rasulullah SAW sendiri mempunyai sifat sebagai penabir bagi hamba Allah
lainnya sehingga seorang hamba yang melihat Allah SWT dalam
penampakkan-Nya sebagai Nabi Muhammad SAW tercegah dari kemusnahan.
Kondisi demikian misalnya ditemui pada
pengalaman spiritual Abu Yazid Al Busthamy yang ber-”tajalli” dengan
Tuhan melalui Muhammad SAW atau Hakikat Muhammadiyah. Penegasan bahwa
manusia dapat bertajalli dengan Nabi Muhammad SAW harus dipahami sebagai
melihat dengan penglihatan Nabi Muhammad SAW, dan inilah penglihatan
yang sempurna. Dalam pengertian demikian, maka Nabi Muhammad sebagai
pemberi petunjuk dan pembawa rahmat adalah seperti yang dikonfirmasikan
dalam firman berikut,
“Sesungguhnya Kami mengutus kamu sebagai saksi,
pembawa berita gembira dan pemberi peringatan,
supaya kamu sekalian beriman kepada Allah dan Rasul-Nya,
menguatkan (agama) Nya, membesarkan-Nya.
Dan bertasbih kepada-Nya di waktu pagi dan petang.
Bahwasanya orang-orang yang berjanji setia kepada kamu
sesungguhnya mereka berjanji setia kepada Allah. (QS 48:8-10)”
pembawa berita gembira dan pemberi peringatan,
supaya kamu sekalian beriman kepada Allah dan Rasul-Nya,
menguatkan (agama) Nya, membesarkan-Nya.
Dan bertasbih kepada-Nya di waktu pagi dan petang.
Bahwasanya orang-orang yang berjanji setia kepada kamu
sesungguhnya mereka berjanji setia kepada Allah. (QS 48:8-10)”
Kalimat “supaya kamu sekalian beriman”
mengandung arti bahwa beriman kepada Muhammad SAW mesti sebagai subyek
(pemberi risalah) dan sebagai obyek (yang diberi risalah). Karena itu,
kalimat tauhid yang berlaku bagi Umat Islam –bahkan semua makhluk – yang
formal dan resmi secara hukum adalah kalimat syahadat “Tidak ada Tuhan
selain Allah dan Muhammad SAW adalah Utusan Allah”.
Disini, sisipan kata sambung “dan”
menjadi jelas sebagai suatu pengertian kuantum yang tidak terbedakan,
suatu makna hakiki atas Pengesaan Tuhan yang mencerminkan pengertian
lahir dan batin yang menunjukkan penetapan keimanan yang benar. Dalam
konteks “Nur Muhammad dan Nabi Muhammad SAW” sebagai suatu perantara
maka pantulan Cahaya Allah sebagai Cahaya Diatas Cahaya adalah suatu
cahaya hakiki yang dapat memusnahkan semua makhluk.
Sehingga, “Nur Muhammad dan Nabi Muhammad
SAW” adalah ibarat cermin kaca yang dapat meneruskan Cahaya Allah
kepada semua makhluk sebagai suatu rahmat bagi seluruh alam beserta
semua isinya. Dialah yang memberikan semua kehidupan. Sedangkan
pengertian sebagai media penyaksian atau filter penyaksian, maka “Nur
Muhammad dan Nabi Muhammad SAW” bersifat melindungi semua hamba Allah
dari menyaksikan dan melihat Allah SWT secara langsung (Ma’rifat Dzat)
dengan sifat-sifat ar-Rububiyyah-Nya.
Sebagai filter maka Nabi Muhammad SAW
menjadi washilah dan pelindung al-Mukmin sebagai hamba Allah yang patuh
kepada perintah dan larangan Allah sebagai ketetapan atau kewiban, orang
yang tidak berlindung dibawah naungan Muhammad akan terbakar atau
hangus dalam pengertian ia justru bukan menjadi beriman tetapi jatuh
menjadi ateis sampai tersesat yaitu jalan orang2 yang dimurkai (Qs 1:7)
yang terpenjara di penjara Gahirullah (selain Allah).
Dalam pengertian fisikal dan eksoteris,
maka “Nur Muhammad dan Nabi Muhammad SAW” sebagai cahaya adalah ia yang
menjadi awal mula penciptaan semua makhluk, ia yang membangun eksistensi
alam semesta yang semula (di singularitas) berupa unifikasi energetis
gelombang gravitasi (membangun alam makro) dan gelombang elektromagnetik
(membangun alam mikro). Maka tidak salah kalau dikatakan bahwa Nur
Muhammad ada dalam semua makhluk-Nya karena memang semua wujud makhluk
mulai dari dunia sub-atomis (kuantum) sampai alam semesta (jamak – al
–Aalamin) itu sendiri berasal dari Nur Muhammad .
Kalau saya analogikan apa yang diuraikan
oleh H. Sahabudin maupun para sufi umumnya, yang mengakui totalitas
tauhid dengan kalimat “La Huwa illaa Huwa” maupun dalam bentuk formal
sebagai kalimat syahadat, dengan sudut pandang sains modern, sebenarnya
konsep-konsep Teori Kuantum ketika seorang hamba mencapai suatu
kedekatan yang sangat dekat dengan Allah SWT dapat diterapkan. Sebagai
contoh ilustrasi , ambilah sebuah kapur dan letakkan di tangan kanan
Anda.
Ketika Anda tanyakan kepada seseorang
“dimanakah kapur?”. Orang tersebut akan menjawab, “di tangan kanan
Anda”. Kemudian ketika Anda patahkan sebatang kapur itu menjadi dua
bagian sehingga tangan kanan dan kiri Anda masing-masing memegang
potongan kapur yang dipatahkan itu, kemudian Anda tanyakan kembali ke
orang tersebut, ”dimanakah kapur?”. Maka orang yang ditanya akan
menjawab, “di tangan kanan dan kiri Anda”.
Analogi demikian, dapat diterapkan untuk
menjelaskan pengertian kalimat “La Huwa illaa Huwa” dan syahadat, maka
ketika seseorang menanyakan “dimanakah Allah?” , maka dijawab “di dalam
hamba Allah”. Lalu, ketika ditanyakan “dimanakah hamba Allah?”, maka
dijawab,”di dalam Allah”. Demikian juga ketika ditanyakan “siapakah
Allah?”, maka dijawab,”hamba Allah”. Atau, ketika ditanyakan “siapakah
hamba Allah”, maka dijawab ”Allah”.
Demikianlah, kenapa kemudian pengertian
Dzauqi lebih diutamakan dalam mengungkapkan totalitas tauhid dikarenakan
hubungan antara “hamba Allah dan Allah” sedemikian dekatnya sehingga
dalam pengertian logika Teori Kuantum “tidak terbedakan”, dan memang
sulit dipahami kalau hanya sekedar mengandalkan ungkapan-ungkapan
verbal. Sehingga lebih sering dikatakan bahwa kalau seseorang mengalami
hal ini lebih baik “membisu saja”.
Apa yang saya analogikan diatas
memperjelas beberapa pendapat kaum sufi tentang tauhid seperti
diungkapkan Ruwaim bin Ahmad bin yazid al-Baghdadi [9], ”Menghilangkan
bekas-bekas sifat manusia (al-basyariyah) dan memurnikan Sifat Ketuhanan
(Uluhiyyah)”. Yang dimaksud dengan ungkapan menghilangkan bekas-bekas
sifat manusia adalah memurnikan akhlak manusia yang penuh cacat nafsu
menjadi sediaka kala, yaitu dalam penyaksian pra-eksistensi dimana
ruhnya yang murni sebagai suatu nur ilahiyah menjadi saksi atas Keesaan
Tuhan (QS 7:172).
Ketika totalitas tauhid tercapai, yakni
manusia melakukan suluk dan menyingkap lapis demi lapis hijab dirinya
hingga sampai pada tauhid pertama tauhid “Allah oleh Allah”, maka semua
penisbahan terhadap makhluk dinafikan, ia akan menafikan selain-Nya,
maka dari relasi tauhid dan kosmologis yang tersisa hanyalah simetri
yang memecah secara mandiri : “Engkau Allah, Yang Maha Esa.”(QS 7:172);
Dia Yang Satu; Allah oleh Allah adalah Satu, Huwa (Dia), kemudian Anta
(Engkau), lantas Hu, akhir segala sesuatu adalah membisu.
Dalam gelombang samudera Asma dan
SifatNya, si hamba melihat hakikat dari yang dilihat, “Tidak ada sesuatu
seperti Dia (Laisa kamitslihi Syai-un)”, karena sesuatu itu adalah Huwa
(Dia). Dalam gelombang samudera Asma dan Sifat-Nya, pijakan dan rahasia
yang mantap mengakhiri kemabukan, medan Sirr Al Asrar membuka, di atas
Air Samudera Kemahakuasaan (‘Arsy)-Nya, kuncup bunga mulai mekar
membuka, tampilkan kelopak aneka warna dan rupa,
wangi semerbak menyelimutinya dalam
kelembutan kasih sayang yang tercurah sebagai rahmat-Nya, lantas si
hamba yang mandiri berkata “Huwa (Dia)”. Dalam gelombang yang semakin
menenang, dalam keheningan malam tak berbintang, dia berada
dibatas-batas antara tanpa tapal batas, antara nafs dan ruh, jaraknya
cuma sedekat “Qabaa Qausaini (sedekat dua ujung busur panah)”, bahkan
lebih dekat lagi.
Ketika batas-batas ketetapan telah
terlampaui, si hamba akan berkata “Anta (Engkau)”. Si hamba pun
bisu. Tanpa kabar. Tanpa berita. Lantas “Hu”, menyeruak mandiri dengan
kemurnian Nur awal mula yang menyaksikan Allah Yang Esa, Iapun menjadi
hamba Allah semata. Ketika si hamba mengatakan “Huwa” maka dimulailah
tahap awal kefanaan dirinya, sedangkan tahap akhir dimana si hamba
mengatakan “Anta”, itulah fana yang sebenarnya.
Pada kondisi fana sebenarnya inilah
dikatakan oleh Abu Yazid Al-Busthami[16] bahwa “segala bentuk rumus
dan/atau bahasa tidak mampu mengutarakannya”. Kemudian, dalam kesunyian
fana dirinya didalam-Nya, pemurnian dalam kebaqaan-Nya menyeruakkan “Hu”
sebagai ingatan yang kembali muncul tiba-tiba karena semua aspek
lathifah (halus) dirinya termunikan sejak penyaksian pra-eksistensi
dirinya (QS 7:172), sebagai tapal batas terakhir kemakhlukannya.
Pada akhirnya yang menjadi awalnya,
totalitas dirinya yang termurnikan dalam kebaqaanNya adalah hakikat
ubudiyahnya sebagai hamba Allah yang menjalani ketaatan dengan ilmu-Nya,
yang mematuhi semua perintah-Nya dan larangan-Nya, yang menyelaraskan
diri dengan sunnatullah dan kehendak Allah (yakni ridha atas semua
takdir Allah), dan yang mengikuti sunnatulrosul. Hakikat-hakikat
sufistik yang menyingkapkan hubungan manusia dengan Tuhannya pada
akhirnya memang seringkali membingungkan kalangan yang awam dan tidak
teliti.
Kendati seringkali disalah pahami sebagai
hulul (penyuntikan) atau inkarnasi dalam ungkapan-ungkapan verbal
al-Hallaj (ana al-Haqq, Akulah Kebenaran) maupun Abu Yazid (Subhanii,
Mahasuci Aku), maka sebenarnya tidak perlu terjadi kesalah pahaman dari
apa yang diungkapkan oleh kedua sufi tersebut. Pengertian hulul atau
inkarnasi sendiri jelas-jelas sebenarnya tidak memadai, atau bahkan
sebenarnya salah sama sekali, untuk menjelaskan ungkapan-ungkapan dzauqi
sufistik dalam tingkatan fana dan baqa.
Karena sejatinya, apa yang dimaksud oleh
al-Hallaj maupun Abu Yazid memang bukan hulul atau inkarnasi, tetapi
suatu pemurnian (purification) dimana akhlak manusia yang fana dan
terbaqakan didalam-Nya termurnikan adalah dia yang kembali menyadari
kehambaan dirinya dihadapan Allah SWT Yang maha Esa. Dan dalam hal ini
totalitas tauhid sebagai suatu pengakuan atau ikrar bagi semua Umat
Islam dimana-mana sama yaitu dengan mengikuti apa yang disebutkan oleh
Nabi SAW yaitu kalimat syahadat. Namun yang menjadi pedoman adalah yang
ada di dalam qolbu atau hati, dan bukan yang keluar dari lisan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar