SASTRA JENDRA HAYUNINGRAT
SEBUAH TRANSISI YANG CANTIK DARI AGAMA
1. Sugih tanpa banda
2. Nglurug tanpa bala
3. Menang tanpa ngasorake
4. Digdaya tanpa aji
Arti Sastra Jendra
itu adalah suatu ujung dari segala akhir ilmu atau pepuntoning laku,
atau akhir dari penjelmaan hidup. Sedangkan menurut Wedatama, Sastra
Jendra merupakan ilmu Kasampurnaan atau Ilmu Luhur. Sastradi Ilmu
Rahasia, Ilmu Mukswa, Ilmu Kasunyatan, Ilmu sejati ma’rifat, Nawaruci,
Tatwa Jnana, yaitu suatu ilmu tentang esensi daripada wujud atau ilmu
kalam dan disebut juga Ilmu Theologi.
Secara harfiah Sastra Jendra berasal dari kata sastra yang berarti
tulis, ilmu atau kitab. Sedangkan jendra berarti milik raja atau Gusti
Hayuningrat berarti keselamatan umat dan dunia semesta. Sastra jendra
dalam dunia pewayangan dikenal diajarkan oleh begawan Wisrawa dan juga
diajarkan oleh Bima dalam lakon Bima Suci atau Nawaruci atau Sena Rodra
juga dikenal dengan lakon Bima Paksa.
Sastra jendra ini tidak boleh diajarkan kepada sembarang orang dan
cara mengajarkannya harus pada tempat yang khusus, tidak boleh dihadiri
oleh wanita dan bahkan tidak boleh didengar oleh seekor binatang pun
(kutu-kutu, walang, ataga), karena sifatnya sangat rahasia. Orang harus
mencarinya sendiri dan jika tidak waspada atau super hati-hati akan
berakibat sangat fatal, kalau manusia yang mendengarkan dapat menjadi
raksasa dan bersifat sangat angkara murka, kalau binatang yang mendengar
dan mengerti sastra jendra dapat berinkarnasi menjadi manusia dalam
kehidupan yang akan datang.
Ketika Batara Guru mendengar bahwa Begawan Wisrawa akan mengajarkan
dan menyebarluaskan Ilmu Sastra Jendra Layuningrat itu dan mengingat
sifat kerahasiaannya itu, Batara Guru sangat marah dan segera
mengeluarkan surat kuasa/surat perjalanan ke Areapada kepada isterinya,
Betari Durga. Tugas utama Betari Durga adalah untuk menyusup (manjing)
keraga Dewi Sukesi untuk menggagalkan rencana Wisrawa sehingga Resi
Wisrawa runtuh imannya sewaktu melihat kecantikan Dewi Sukesi justru
calon menantunya sehingga ia berbalik haluan sangat Kasmaran dan
mengawininya sendiri. Dengan tidak tahu malu Resi Wisrawa melampiaskan
nafsu angkara dan birahinya yang berakibat Dewi Sukesi hanggarbini
(hamil). Di kemudian hari lahirlah anak-anaknya yaitu Rahwana,
Kumbakarna, Sarpakanaka dan si bungsu rupawan Gunawan Wibisana.
Yang menjadi tanda tanya mengapa Batara Guru dan para dewa
mengajarkan dan menyebarluaskan ilmu sastra jendra itu. Hal ini karena
para dewa takut kalau ada manusia dan binatang tahu dan memahami ilmu
tersebut dikhawatirkan tidak akan mempercayai dan mengakui lagi
dewa-dewa tersebut. Para dewa dalam sidang paripurna secara bulat
sepakat untuk merintangi dan melarang usaha penyebarluasan ilmu sastra
jendra tersebut.
Dari uraian tersebut tersirat makna bahwa terdapat suatu usaha
melalui wayang untuk menolak ajaran atau ilmu lain kecuali ilmu yang
diajarkan oleh dewa-dewa. Menurut para ahli Barat ada yang berpendapat
bahwa sastra jendra itu adalah Al Quran.
Sementara orang beranggapan bahwa Resi Wisrawa sebenarnya belum
menguasai betul ilmu Sastra Jendra itu. Tingkatannya masih dalam
perjalanan atau proses dalam meraih ilmu sehingga dalam kenyataannya ia
tergelincir dalam nafsu yang dilambangkan dengan Dewi Sukesi. Konon
syarat utama yang mutlak harus ditempuh bagi manusia yang ingin mencapai
ilmu sastra jendra harus mampu
menahan diri, atau mampu mengendalikan hawa nafsu, yaitu haru mampu
menahan atau menyingkirkan nafsu angkata, nafsu perut, dan nafsu kelamin
(cegah dahar lan guling) dengan jalan berpuasa.
Nafsu angkara dalam pewayangan dilambangkan dengan Raksasa,
sedangkan nafsu guling dilambangkan dengan wanita. Resi Wisrawa pada
waktu itu baru berhasil menyingkirkan nafsu perut (aluamah) dan nafsu
amarah yang dilambangkan bahwa Resi Wisrawa berhasil membunuh secara
sadis dan memotong-motong badan Raksasa Jambumangil, yaitu saudara misan
Dewi Sukesi. Karena tindakan Resi Wisrawa itu maka hukum
karma menimpa anaknya Kumbakarna. Kematian Kumbakarna dalam keadaan
mengenaskan/mengerikan dalam perang Kera dan Ceritera Ramayana. Kematiannya
dimulai dari telinga putus, tangan putus, kaki satu-persatu putus dan
akhirnya lehernya terpisah dari badannya (gembung). Ini hukum karma
tetapi sekaligus melambangkan keberhasilan Resi Wisrawa dalam
menumpas/membunuh nafsu angkaranya, biarpun akhirnya ia tergelincir
dalam nafsu kelamin dan dalam lembah kenistaan (ia melahirkan Rahwana
atau Dasamuka yang melambangkan sepuluh nafsu angkara berasal dari lima
nafsu Wusrawa dan lima Sukesi, yaitu amarah, mutmainah, supiah, aluaman
dah mulhimah.
Sastra Jendra Hayuningrat Pangruwating Diyu
menurut para ahli tidak pernah dimuat dalam Kepusatakaan Jawa Kuna,
tetapi dikenal pada abad IXI (1820) pada karya Kiyai Yasadipura dan
Kiyai Sindusastra dalam Lakon Arjuna Wijaya atau Lokapala (dikutip dalam
Kitab Arjuna Wijaya) dalam pupuh Sinom yang menyatakan:
Kejawi saking punika ngungun kawula dene ta boten kadasa putra tuan
nini putri, sinten ta sing marahi. Penedahanira pinku. Sastra Jendra Yu
ningrat menangka wadining bumi pan sinengker dening hyang Jagat
Pratingkah.
Tan kening singa ngucapa siniku ing bataradi senagyan para pandita,
kang samya mandireng wukir awis ingkang ngarawuhi yen dede pandita
pinunjul, kuala matur prasaja mring paduka yayi aji, kang tineda ing
nini punika.
Sastra Jendra Yu Ningrat, pangruwating barang sakalir ingkang
kawruh tan wonten malih wus kawengku sastradi pungkas pungkasaning
kawruh ditya diyu rakseksa myong sato siningwanadri lamun weruh artine
kang Sastra Jendra. Rinuwai dening Batara sampurna patine reki atmane
wor lan manungsa, manungsa kang wis linuwih yen manungsa udani, wong lan
dewa patinipun jawata kang minulya.
Terjemahan bebas kurang lebih sebagai berikut:
Selain dari itu, sungguh heran bahwa tidak seperti permintaan anak
wanita saya ini, yaitu barang siapa dapat memenuhi permintaannya untuk
menjabarkan Sastra Jendra Yu Ningrat sebagai rahasia dunia (esoteris)
yang dirahasiakan oleh Sanghyang Jagat Pratingkah.
Dimana tidak boleh seorang pun mengucapkannya, karena akan mendapat
laknat dari Dewa Agung walaupun para pendita yang sudah bertapa dan
menyepi di gunung sekalipun, kecuali kalau pendita yang mempuni. Saya
akan berkata terus terang kepada dinda Prabu apa yang terjadai
permintaan putri paduka.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar