DARI
SOSOK TERSEBUT KITA BANYAK BELAJAR TENTANG BAHAYANYA KEBODOHAN TERUTAMA
JIKA ORANG YANG KURANG ILMUNYA DIBERI KESEMPATAN UNTUK BERKUASA
SEHINGGA MENYEBABKAN BENCANA DI LINGKUNGANNYA. (KOK JADI NYAMBUNG DENGAN
KONDISI PEMERINTAH KITA SAAT INI YAA..)
Jika melihat ke biografi karakter-karakter Punakawan, mereka
asalnya adalah orang-orang yang menjalani metamorfosis (perubahan
karakter yang berangsur-angsur) hingga menjadi sosok yang sederhana
namun memiliki kedalaman ilmu yang luar biasa.
Dalam Dunia Pewayangan di Indonesia terutama Jawa, Sunda dan Bali
terdapat tokoh khusus yang dinamakan Punakawan. Para tokoh dalam
kelompok Punakawan ini memiliki karakter yang menarik karena mewakili
simbol kerendah hatian dan penebar hikmah.
Punakawan merupakan sebutan bagi empat orang abdi yang bertugas
sebagai penasehat dan pemberi petuah bijak bagi para tokoh Pandawa.
Mereka mendampingi para Pandawa dimanapun mereka berada, baik dalam
susah maupun senang. Keempat Punakawan ini menggambarkan cipta, rasa,
karsa, dan karya.
Bahkan kebanyakan penonton pertunjukan wayang lebih menantikan
acara goro-goro yang menampilkan para ponokawan dari pada tokoh
sentral.
Saya sendiri dari kecil menggemari tokoh Punakawan karena secara
karakteristik sebenarnya mereka mewakili profil masyarakat kecil yang
penuh dengan penderitaan, dan falsafah hidup.
Mereka adalah tokoh multi-peran yang dapat menjadi penasihat para
penguasa/ksatria bahkan dewa, penghibur, kritikus hingga menjadi
penyampai kebenaran dan kebajikan.
Dari mereka kita dapat banyak mengambil hikmah bahkan dengan tanpa terasa sebenarnya menertawakan diri sendiri.
Karakter Punakawan ini memang tidak ada dalam versi asli mitologi
Hindu epik Mahabarata dari India. Punakawan adalah modifikasi atas
sistem penyebaran ajaran-ajaran Islam oleh Sunan Kalijogo dalam sejarah
penyebarannya di Indonesia terutama di Pulau Jawa. Walaupun sebenarnya
pendapat ini pun masih diperdebatkan oleh banyak pihak.
Para dewa pun tidak ada yang berani marah kepada Bagong (wayang
Jawa) sekalipun sosok ini sering mengkritik mereka dengan humor-humor
yang sarat kebijaksanaan. Saya sendiri sering membandingkan tokoh Bagong
dengan Abu Nawas atau Nashrudin dari kisah-kisah sufistik yang
menyampaikan pesan-pesan bermakna secara jenaka bahkan dengan berlaku
konyol sekalipun.
Selain itu dari sosok tersebut ada karakter Nala Gareng atau sering
disebut Gareng saja dan tokoh Petruk (wayang Jawa). Dalam cerita wayang
Jawa kedua tokoh ini adalah saudara angkat yang diadopsi oleh Semar.
Antara sosok Gareng dan Petruk ini terdapat karakter yang bertolak
belakang. Gareng sekalipun cerdas dan hati-hati tapi sulit menyampaikan
sesuatu melalui kalimat. Berbeda dengan Petruk yang cenderung asal
bicara tapi sedikit bodoh.
Bahkan dalam cerita Petruk jadi Raja (Tulisan saya yang terdahulu),
Petruk pernah membawa kabur Pusaka Hyang Kalimusodo dari Yudistira
kemudian berkuasa di Kerajaan Ngrancang Kencana dengan gelar Prabu
Kantong Bolong Bleh Geduweh atau Prabu Helgeduelbek.
DARI SOSOK TERSEBUT
KITA BANYAK BELAJAR TENTANG BAHAYANYA KEBODOHAN TERUTAMA JIKA ORANG
YANG KURANG ILMUNYA DIBERI KESEMPATAN UNTUK BERKUASA SEHINGGA
MENYEBABKAN BENCANA DI LINGKUNGANNYA. (KOK JADI NYAMBUNG DENGAN KONDISI
PEMERINTAH KITA SAAT INI YAA..)
Namun di sisi lain juga ternyata sungguh tidak baik jika
orang-orang yang memiliki ilmu yang dalam tidak bisa menyebarkan manfaat
atas hal tersebut karena keterbatasan kemampuan berkomunikasi seperti
Gareng.
Sedangkan sosok Semar atau Batara Ismaya sendiri merupakan simbol
atas manusia dengan kedalaman ilmu dan kearifan jiwa yang luar biasa.
Sampai-sampai Batara Guru atau Manikmaya sebagai raja para dewa pun
sering meminta petunjuk kepadanya.
Sebenarnya Semar dan Batara Guru adalah bersaudara kandung serta
memiliki saudara lainnya yaitu tokoh Togog atau Tejamantri atau Betara
Antaga. Ketiganya adalah anak-anak dari Sang Hyang Tunggal.
Proses turunnya Semar/Ismaya dan Togog/Antaga/Tejamantri ke dunia
sendiri banyak memberikan pelajaran kepada kita. Diceritakan bahwa
Batara Guru/Manikmaya sebagai putera bungsu Sang Hyang Tunggal merasa
dirinya paling cakap dan sempurna dibandingkan kedua kakaknya. Hal ini
memunculkan perasaan bahwa dirinyalah yang paling pantas meneruskan
kepemimpinan ayahnya sebagai raja para dewa.
Dengan kecerdikannya (atau kelicikan?) Batara Guru mengajak Batara
Ismaya dan Batara Antaga untuk berkompetisi menguji kesaktian
masing-masing. Barangsiapa yang mampu menelan sebuah gunung dan
memuntahkannya kembali maka dia yang berhak menjadi raja para dewa.
Karena kasih-sayang kepada adik bungsunya dan mungkin juga didorong
oleh ambisi menjadi penguasa maka keduanya menyanggupi tantangan
tersebut. Padahal gunung adalah simbol dari pakubumi yang menjaga
kestabilan dunia dan tiang langit dan bumi. Jadi sekalipun ditelan dan
dimuntahkan lagi sebenarnya hal tersebut tidak boleh dilakukan.
Perbuatan Batara Ismaya dan Batara Antaga tersebut menyebabkan Sang
Hyang Tunggal marah dan menitahkan mereka untuk turun ke
marcapada/mayapada/bumi yang saat itu diramalkan akan rusuh oleh
pertempuran klan Pandawa dan klan Kurawa.
Menyadari kesalahannya masing-masing maka mereka turun ke bumi
dimana Semar membimbing para Pandawa dan Togog membimbing para Kurawa.
Karena membimbing para Kurawa yang sering diasosiasikan dengan
kejahatan maka sosok Togog dianggap punakawan yang mewakili simbol
ketamakan manusia. Padahal sebenarnya dari karakter Togog kita sering
mendapat petuah-petuah tentang keseimbangan berfikir dan adanya area
abu-abu dalam kehidupan ini.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar