Nah karena banyak orang yang menyaksikan sholatnya Nabi, maka penglihatan masing-masing orang bisa berbeda sehingga tidaklah aneh jika ada perbedaan dikemudian hari.
Mengapa Nabi tidak mengajarkan sholat secara khusus? karena gerakan
sholat yang dicontohkan Nabi sudah tidak asing lagi bagi masyarakat
Arab. Gerakan sholat yang dicontoh Nabi berasal dari agama Kristen
Ortodoks Syiria yang telah muncul satu abad sebelum Nabi lahir. Ritual
sholat mereka dikerjakan dalam tujuh waktu. Gerakannya ada berdiri, ruku
dan sujudnya mirip sekali dengan sholat lima waktu umat Islam. Cara
sholat umat Kristen Ortodoks Syiria sampai hari ini pun masih bisa kita
saksikan. Bagi umat Islam yang tidak mengerti sejarah, pasti akan sewot
dan mengatakan mereka telah mencontek sholatnya orang Islam atau menuduh
mereka melakukan kristenisasi gaya baru. Padahal, justru kitalah yang
mengadopsi sholat dari mereka.
Dengan demikian, Nabi ternyata tidak membawa syariat baru. Nabi
hanya memodifikasi berbagai syariat yang telah ada sebelumnya. Contoh
lainnya adalah Ibadah Haji dan Umroh. Ibadah ini sudah menjadi kelaziman
pada jaman pra Islam. Hampir seluruh ritualnya sama dengan yang
dilakukan umat Islam pada saat sekarang, yakni memakai pakaian ihram,
wukuf, melempar jumrah, sa’i dll. Nabi hanya mewarisi saja dengan
menyingkirkan ibadah ini dari kesyirikan dan diganti dengan kalimah thoyibah.
Begitu juga dengan pengagungan bulan Ramadhan, perkumpulan di hari
jum’at, telah ada sebelumnya pada jaman pra Islam. Aturan pra Islam
lainnya yang diadopsi dari tradisi hanifiyyah antara lain :
pengharaman minum arak, riba, zina, memakan babi, kemudian ada juga
pemotongan hukum tangan pelaku pencuri dlsb. Dengan demikian, Nabi hanya
melakukan modifikasi saja pada beberapa syariat dan aturan. Termasuk
dalam hal poligami yang tadinya dilakukan orang Arab pra Islam tanpa
batas kemudian oleh Nabi dibatas menjadi empat istri sesuai perintah
dari Allah.
Nah, fakta-fakta diatas dapat Anda baca secara lebih luas melalui
buku-buku yang mengulas sejarah dan peradaban pra Islam, misalnya
karangan Khalil Abdul Karim dengan judulnya Al-Judzurat at-Tarikhiyyah la asy-syariah al Islamiyyah.
Nah, pertanyaannya sekarang adalah, mengapa Nabi tidak membawa syariat
yang sama sekali baru? Jawabannya mudah saja, karena jika membawa
syariat baru maka hampir bisa dipastikan dakwah Nabi gagal. Sama halnya
jika Nabi mengenalkan kesenian wayang di tanah Arab tentulah akan gagal
karena ketidakcocokan budaya.
Meski Islam itu untuk seluruh umat manusia, namun dalam konteks
mengenalkan agama tersebut haruslah tetap mengacu dan berkompromi pada
ritual dan budaya lokal Arab agar tetap bisa diterima masyarakat pada
saat itu. Perhatikan firman Allah berikut ini :
Dan jikalau Kami jadikan Al Quraan itu suatu bacaan dalam bahasa selain Arab, tentulah mereka mengatakan: "Mengapa tidak dijelaskan ayat ayatnya?"
Apakah (patut Al Quran) dalam bahasa asing sedang (Rasul adalah orang) Arab? (Q.S Fushishilat (41) : 44)
Kami tidak mengutus seorang rasulpun, melainkan dengan bahasa kaumnya, supaya ia dapat memberi penjelasan dengan terang kepada mereka. (Q.S Ibrahim (14) : 4)
Kalau Nabi membawa syariat baru maka sudah pasti akan ditolak oleh
orang Arab karena syariat itu akan menjadi sangat asing bagi mereka.
Coba kita ingat kembali misi utama Nabi yaitu memperbaiki ahlak dan
mengajarkan tauhid. Bayangkan jika Nabi harus mengenalkan syariat baru,
maka tentunya dakwah Nabi malah akan dipenuhi oleh pengajaran
ritual-ritual ibadah yang baru. Bisa jadi nantinya fokus pada pembinaan
ahlak akan terbengkalai karena umat lebih sibuk belajar ibadah ritual
tanpa memahami hakekat ritual itu sendiri. Padahal semua ritual
tersebut, tujuannya adalah untuk membentuk ahlak yang baik.
METODE DAKWAH WALISONGO
Metode dakwah walisongo meniru cara dakwah Rosululloh, yaitu dengan
mengadopsi budaya lokal yang dimodifikasi dan disempurnakan dari
kesyirikan dan diganti dengan kalimah thoyibah. Contohnya Sunan
Kudus membuat Masjid dengan atapnya sama seperti pura (rumah ibadah umat
Hindu). Syekh Siti Jenar tidak mengajarkan “sholat ala Arab” kepada
orang jawa. Sujud bagi orang Arab adalah penghormatan yang
tertinggi, sedangkan bagi orang jawa, penghormatan tertinggi adalah
duduk dengan tangan ditangkupkan diatas kepala. Wali lain seperti Sunan
Kalijaga juga mengenalkan Islam melalui sekatenan, muludan, selametan,
wayang dll.
Sampai saat ini, kita masih mendapati Islam jawa yang diajarkan
oleh Siti Jenar dan Sunan Kalijaga yang kemudian lebih dikenal dengan
nama Islam abangan atau kejawen. Dengan demikian, para wali ini
sebenarnya telah mengikuti sunnah Nabi yakni tidak merubah kebiasaan
masyarakat setempat melainkan memodifikasi sedemikian rupa agar
dakwahnya bisa diterima. Bagi para wali, yang terpenting dari ibadah itu
adalah tujuannya sedangkan “wadahnya” bisa fleksibel sesuai dengan
tradisi setempat.
Sekarang, sudah saatnya bagi kita tidak lagi perang syariat antar
aliran agama. Yang terpenting dari syariat adalah isinya bukan
kulitnya!. Syariat tanpa hakekat adalah sia-sia. Hakekat tanpa syariat?
Nah ini yang sebenarnya tidak ada!, orang yang sudah mencapai hakekat,
sudah pasti syariatnya ikut meski penerapannya berbeda antar tiap
kelompok, aliran dan agama. Adanya perbedaan haruslah dihargai, bukan
diperangi! Sebab cuma Allah-lah yang mengetahui sesat atau tidaknya
seseorang (Q.S 53 : 32, 6 : 117).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar