Salah satu kebahagiaan adalah ketika melihat orang yang kita cintai bahagia. Tidak gampang untuk memperoleh kebahagiaan jenis ini. Apalagi bagi mereka yang bersifat egois. Semua kebahagiaannya diukur dari kebahagiaan diri sendiri. Orang yang demikian adalah tipikal 'pemburu kebahagiaan', yang justru tidak pernah menemukan kebahagiaan.
Berumah
tangga adalah sebuah cara untuk memperoleh kebahagiaan, dengan cara
membahagiakan pasangan kita. Bisakah itu terjadi? Bisa, ketika berumah
tangga dengan berbekal cinta. Bukan sekadar berburu cinta. Lho, memang
apa bedanya?
Berbekal
cinta, berarti kita mencintai pasangan kita. Ingin memberikan sesuatu
kepada pasangan agar ia merasa bahagia. Sedangkan berburu cinta, berarti
kita menginginkan untuk dicintai. Menginginkan sesuatu dari pasangan
kita, sehingga kita merasa bahagia.
Menurut
Anda, manakah yang lebih baik? Mengejar cinta atau memberikan cinta?
Memburu kebahagiaan ataukah memberikan kebahagiaan? Mengejar kepuasan
ataukah justru memberikan kepuasan? Mana yang bakal membahagiakan, yang
pertama ataukah yang ke dua? Ternyata, yang ke dua. Mengejar cinta hanya
akan mendorong kita untuk berburu sesuatu yang semu belaka. Yang akan
tidak pernah kita raih. Karena, keinginan adalah sesuatu yang tidak
pernah ada habisnya. Apalagi keserakahan.
Hari
ini kita merasa memperoleh cinta dari pasangan, maka berikutnya kita
mungkin akan merasa tidak puas karena ingin memperoleh cinta yang lebih
dari pasangan. Ini hampir tak ada bedanya dengan ingin mengejar
kesenangan dengan cara memiliki mobil atau rumah. Ketika kita masih
miskin, kita mengira akan senang memiliki mobil berharga puluhan juta
rupiah. Kita berusaha mengejarnya. Lantas memperolehnya. Dan kita memang
senang.
Tapi,
tak berapa lama kemudian, kita menginginkan untuk memiliki mobil yang
berharga ratusan juta rupiah. Mobil yang telah kita miliki itu tidak
lagi menyenangkan, atau apalagi membahagiakan. Benak kita terus menerus
terisi oleh bayangan betapa senangnya memiliki mobil berharga ratusan
juta rupiah. Jika kemudian kita bisa memenuhi keinginan itu, kita pun
merasa senang. Tetapi, ternyata itu tidak lama. Benak kita bakal segera
terisi oleh bayangan-bayangan, betapa senangnya memiliki mobil yang
berharga miliaran rupiah. Begitulah seterusnya.
Kesenangan
dan kebahagiaan itu bukan kita peroleh dengan cara mengejarnya,
melainkan dengan cara merasakan dan mensyukuri apa yang sudah kita
miliki. Kita tak perlu mengejar kebahagiaan, karena kita sudah
menggenggamnya. Yang perlu kita lakukan sebenarnya adalah memberikan
perhatian kepada apa yang sudah kita miliki. Bukan melihat dan mengejar
sesuatu yang belum kita punyai. Semakin kita memberikan perhatian kepada
apa yang telah kita miliki, maka semakin terasa nikmatnya memiliki.
Jadi, kuncinya bukan mengejar, melainkan memberi.
Demikian
pula dalam berumah tangga. Jika kita ingin memperoleh kebahagiaan,
caranya bukan dengan mengejar kebahagiaan itu. Melainkan dengan
memberikan kebahagiaan kepada pasangan kita. Bukan mengejar cinta,
melainkan memberikan cinta. Bukan mengejar kepuasan, melainkan
memberikan kepuasan. Maka kita bakal memperoleh kebahagiaan itu dari dua
arah. Yang pertama, kita akan memperolehnya dari pasangan dan karena
merasa dibahagiakan, ia akan membalas memberikan kebahagiaan.
Yang
ke dua, kebahagiaan itu bakal muncul dari dalam diri kita sendiri.
Ketika kita berhasil memberikan kepuasan kepada pasangan kita, maka kita
bakal merasa puas. Ketika berhasil memberikan kesenangan kepada partner
kita, maka kita pun merasa senang. Dan ketika kita berhasil memberikan
kebahagiaan kepada istri atau suami kita, maka kita pun merasa bahagia.
Ini, nikmatnya bukan main. Jumlah dan kualitasnya terserah kita. Ingin
lebih bahagia, maka lebih bahagiakanlah pasangan. Ingin lebih senang,
maka senangkanlah pasangan kita lebih banyak lagi. Dan, kita ingin lebih
puas? Maka puaskanlah pasangan dengan kepuasan yang lebih banyak.
Terserah kamu meminta kesenangan, kepuasan, atau pun kebahagiaan sebesar
apa. Karena kuncinya ada di tangan kamu sendiri. Semakin banyak memberi
semakin nikmat rasanya. Kamu yang terbiasa egois dan mengukur
kebahagiaan dari kesenangan pribadi, akan perlu waktu untuk menyelami
dan merenungkan kalimat-kalimat di atas.
Contoh
yang lebih konkret adalah perkawinan dengan cinta yang bertepuk sebelah
tangan. Perkawinan semacam ini sungguh membuat menderita pihak yang
tidak mencintai. Padahal ia dicintai. Segala kebutuhannya dipenuhi oleh
pasangannya. Katakanlah ia pihak wanita. Segala kebutuhan sang wanita
selalu dipenuhi oleh suaminya. Rumah ada. Mobil tersedia. Pakaian,
perhiasan, dan segala kebutuhan semuanya tercukupi. Tetapi ia tidak
pernah merasa bahagia. Kenapa? Karena tidak ada cinta di hatinya.
Sebaliknya,
sang suami merasa bahagia, karena ia mencintai istrinya. Ia merasa
senang dan puas ketika bisa membelikan rumah. Ia juga merasa senang dan
puas ketika bisa membelikan mobil. Dan ia senang serta puas ketika bisa
memenuhi segala kebutuhan istri yang dicintainya itu. Semakin cinta ia,
dan semakin banyak ia memberikan kepada istrinya, maka semakin
bahagialah sang suami. Kalau ia benar-benar cinta kepada istrinya, maka
ukuran kebahagiaannya berada pada kebahagiaan si istri. Jika istrinya
bahagia, ia pun merasa bahagia. Jika istrinya menderita, maka ia pun
merasa menderita. Akan berbeda halnya, jika si suami tidak mencintai
istri. Ia sekadar menuntut istrinya agar mencintainya. Memberikan
kesenangan, kepuasan dan kebahagiaan kepadanya. Ketika semua itu tidak
sesuai dengan keinginannya, maka ia bakal selalu merasa tidak bahagia.
Tidak terpuaskan. Sebaliknya, jika istri tersebut kemudian bisa
mencintai suaminya –karena kebaikan yang diberikan terus menerus
kepadanya– maka si istri itu justru bakal bisa memperoleh kebahagiaan
karenanya.
Pelayanan
yang tadinya dilakukan dengan terpaksa terhadap suaminya, kini berganti
dengan rasa ikhlas dan cinta. Tiba-tiba saja dia merasakan kenikmatan
dan kebahagiaan yang tiada terkira. Kalau dulu ia memasakkan suami
dengan rasa enggan dan terpaksa, misalnya, kini ia melakukan dengan
senang hati dan berbunga-bunga. Kalau dulu ia merasa tersiksa ketika
melayani suami di tempat tidur, kini ia merasakan cinta yang membara.
Ya, tiba-tiba saja semuanya jadi terasa berbeda. Penuh nikmat dan
bahagia.
Padahal
seluruh aktivitas yang dia lakukan sama saja. Apakah yang
membedakannya? Rasa cinta,semakin banyak ia memberi, semakin banyak pula
rasa bahagia yang diperolehnya. Hal ini memberikan gambaran kepada kita
bahwa yang bahagia itu sebenarnya bukanlah orang yang dicintai,
melainkan orang yang mencintai. Orang yang sedang jatuh cinta.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar