Pak lurah Sabar ingin mendirikan balai pengobatan/klinik di desa.
Beliau ingin agar masyarakat desa bisa memperoleh layanan kesehatan yang
lebih baik. Seperti pada umumnya masyarakat miskin di desa cukup sulit
untuk mendapat layanan kesehatan yang sepantasnya.
Balai pengobatan yang di gagas oleh Pak Lurah tidak sekedar balai pengobatan biasa, tetapi digabung dengan sistem metafisika. Jadi selain diobati juga di beri do’a-do’a agar penyembuhan bisa maksimal, dari luar dan dalam.
Gagasan telah disampaikan pada sang keponakan, Si Rudi, yang biasa
berurusan dengan berbagai birokrasi, seperti mencari lahan yang bagus,
harga yang murah, stategis dll. Dan Si Rudi sudah siap. Sekedar info,
Si Rudi ini cerdas, ulet, tapi yah itu karena kejujurannya, hidupnya
sangat sederhana.
Singkat cerita Si Rudi telah berhasil mendapat gambaran tanah yang
layak, dengan pertimbangan, di tepi jalan raya, di belakang ada sungai
kecil mengalir ke sungai besar di sampingnya. Yang lebih penting harga
tanah di situ cukup murah, hanya 30 ribu rupiah perm meter. Akhirnya
tanah dibeli oleh Pal Lurah, lebar tanah yang di tepi jalan sepanjang 50
meter dan ke belakang sepanjang 100 meter. Cukup untuk tahap awal.
Asumsi Si Rudi yang juga di setujui oleh Pak Lurah, kalau bagian depan
telah dibeli maka tanah yang belakangnya akan lebih murah lagi, sehingga
pada tahap berikutnya bisa membeli tanah yang lebih luas lagi.
Pak Sabar sebagai Lurah tentunya tidak boleh mendiamkan gagasan itu
pada perangkat desa yang lain, suatu hari didalam rapat desa gagasan
itu disampaikan pada jajaran aparat di desa, dengan harapan mereka bisa
membantu kelancaran gagasan beliau ini. Semua perangkat desa setuju dan
sangat mendukung gagasan yang mulia ini.
Seperti pada umumnya di negeri kita tercinta ini, ketika para
aparat desa mendengar gagasan Pak Lurah, sudah lazim mereka ingin
mencari untung dari proyek ini, mencari kesempatan untuk membesarkan
perutnya sendiri dan keluarganya. Maka dengan segala daya upaya, mereka
berbondong-bondong membeli tanah di sekitar lahan yang telah dibeli Pak
Lurah. Ada yang dipersipakan untuk parkir, warung, toilet umum, dsb.
Akhirnya sekitar lanan tersebut diperebutkan oleh perangkat desa dan
keluarganya. Mereka berlomba-lomba bemborong tanah sekitar lahan utama
yang masih butuh tambahan lahan lagi yang lebih luas.
Sejak berbondong-bondong tanah di sekitar lahan utama dibeli , maka
tentu saja harga tanah di sekitarnya menjadi mahal. Tanah yang dulunya
di depan(dekat jalan raya) saja hanya 30 ribu rupiah permeter, dan
asumsi yang di belakan hanya sekitar 10 ribu rupiah per meter, kini
harganya melonjak. Yang belakang saja mintanya sudah 300 ribu per meter,
Ironis sekali.
Kini untuk mewujudkan gagasan itu menjadi berat, lahan tidak bisa
dibeli lagi, karena anggaran menjadi sangat besar. Akhirnya gagasan yang
mulia beliau kandas.
Tanah sudah dibeli, terus bagaimana selanjutnya? Agar tanah tidak
sia-sia difungsikan saja sementara untuk pertanian, agar tidak terlihat
menyolok dulu. Pak Lurah meminta pada pak bayan Bandi untuk menanami
lahan itu dengan tanaman salak, dengan harapan bisa diambil manfaat
sementara.
Sekali lagi sudah lazim tabiat aparat negeri ini, dengan bebagai
proposal maka anggaran telah cair, benih salak unggul di datangkan dari
luar daerah. Mulailah lahan di tanami salak. Apa yang salah? Ya tentunya
menaman salak tidaklah mudah, dengan sok piternya semua dikerjakan
sendiri oleh pak Bayan yang tidak punya keahlian sama sekali dibidang
salak unggul ini. Diotaknya hanya satu, mumpung ada proyek!
Sudah bisa di duga, tanaman salak yang menelan biaya tidak sedikit
ini gatot, alias gagal total, kini semua terbengkalai lagi. Yah demikian
keluh kesah pak lurah yang disampaikan pada keponakannya Si Rudi yang
sahabat dekatku. Sabar ya Pak Lurah !
Tidak ada komentar:
Posting Komentar