Rabu

Tuhan Uang

Pada jaman sekarang, semua orang tidak bisa hidup tanpa uang. Tidak pandang bulu mereka itu petani di pedalaman atau para pekerja kota, buruh atau majikan, ustadz ataupun kyai, biarawan ataupun pendeta. Tanpa uang, orang tidak akan bisa memenuhi kebutuhan akan sandang, pangan, papan, pendidikan, kesehatan, rekreasi, sosial dan kebutuhan-kebutuhan hidup lainnya. Kalau memiliki uang, orang merasa memiliki kebebasan untuk pergi ke mana saja ia mau, membeli apa saja yang ia suka, melakukan apa saja yang ia inginkan. Tanpa uang orang juga tidak bisa berbuat kebaikan. Untuk membantu orang miskin pun dibutuhkan uang. Jadi, uang begitu penting bagi hidup kita.

Mari kita bertanya mengapa kebanyakan orang begitu mementingkan uang? Kita tidak bertanya mengapa uang penting, tetapi mengapa kita sering mementingkan uang? Kalau kita begitu mementingkan uang, maka seluruh perhatian, ingatan, pikiran, keinginan, ambisi kita terarah pada daya-upaya untuk memiliki uang. Orang yang tergila-gila dengan uang itu seperti para penderita obesitas. Seperti halnya anak-anak yang menderita obesitas, ingatan, pikiran, imaginasi, perhatian mereka hanya terfokus pada makanan. Sedikit-sedikit berpikir soal makanan. Belajar sambil makan, menonton sambil makan, pergi membawa makanan, kalau stress larinya ke makanan. Tiada waktu tanpa berpikir tentang makan. Kalau orang tidak makan, tentu tidak akan bisa bertahan hidup. Tetapi mengapa para penderita obesitas begitu mementingkan makan? Seperti para penderita obesitas, kalau kita begitu mementingkan uang, maka seluruh perhatian, ingatan, pikiran, keinginan, ambisi kita terarah pada uang dan uang menjadi segalanya.
 
Kalau memiliki lebih banyak uang, apakah kita lebih bahagia? Kalau memiliki sedikit uang, apakah kita kurang bahagia? Dengan memiliki banyak uang, apakah kita akan lebih dihormati, dihargai, diperhitungkan. Dengan memiliki sedikit uang, apakah kita kurang dihormati, kurang dihargai, kurang diperhitungkan? Dengan memiliki banyak uang, apakah kita menjadi terpuaskan, bangga, prestisius? Apakah dengan bermimpi memiliki lebih banyak uang, sebenarnya kita takut miskin, takut hidup berkekurangan, takut tidak mendapatkan apa yang kita inginkan, takut tidak lagi berkuasa, khawatir kita kehilangan kenikmatan yang sekarang bisa didapatkan? Apakah itu semua menjadi jauh lebih penting daripada uangnya itu sendiri? Itukah mengapa kita karenanya mau membayar berapapun atau membayar apapun demi kesenangan, kenikmatan, dan kepuasan?
 
Bukan uang yang membuat kita tidak waras. Kelekatan kita terhadap kenikmatan-kenikmatan yang bisa dibeli dengan uang itulah yang membuat kita tidak waras. Bukankah kelekatan terhadap uang membuat kita ambisius, serakah, rakus, pelit, keras, kejam dan kita didera oleh ketakutan, kecemasan, kegelisahan, kekhawatiran? Kelekatan terhadap uang lalu menjadi sumber kekerasan dan kejahatan yang berantai dan berdampak luas. Uang lalu mudah menjadi alat eksploitasi, alat pembodohan, alat perbudakan, alat kepentingan diri sendiri, alat kekerasan, alat pemiskinan, alat ketidakadilan, alat penindasan, alat kejahatan.
 
Mesin uang bukan hanya ada bank atau lembaga-lembaga keuangan, bukan hanya di pabrik-pabrik atau di kantor-kantor, bukan hanya di lembaga-lembaga pemerintah dan non-pemerintah, bukan hanya di pasar riil rakyat atau pasar saham, tetapi juga di lembaga-lembaga keagamaan. Ketika kelekatan terhadap uang sudah merasuk ke lembaga-lembaga keagamaan, maka wajah lembaga-lembaga ini sama rakusnya, sama jahatnya, sama kejamnya dengan lembaga-lembaga secular lainnya.
 
Uang adalah sarana untuk mengejar tujuan tertentu. Tujuan itu bisa berupa kebaikan atau kejahatan. Itu tergantung dari penggunanya. Bisa jadi kita memiliki tujuan luhur dan menggunakan uang untuk mengejar tujuan-tujuan luhur itu. Misalnya, untuk mengentaskan kemiskinan, untuk menggalang solidaritas, untuk menciptakan perdamaian. Sekalipun tujuan-tujuan itu begitu luhur, namun selama kita melekat pada uang dan melekat pada kepentingan mencari kenikmatan atau kepuasan, entah kenikmatan duniawi atau surgawi, entah kepuasan kodrati atau adikodrati, maka uang telah membelenggu kita.
 
Bisakah kita bebas dari kelekatan terhadap uang dan justru karena lepas-bebas terhadap uang, kita lalu bisa memanfaatkan uang sebagai alat pendidikan, alat pencerahan, alat pemberdayaan, alat kemandirian, alat penggalangan solidaritas, alat perdamaian, alat keadilan, alat kesejahteraan, alat kebaikan, alat pembebasan?
 
Bebas karena kita memiliki banyak uang tetapi kita melekatinya bukanlah kebebasan. Bebas kalau kita sama sekali tidak memiliki uang hanyalah teori yang ngawang-ngawang. Bebas karena kita tidak melekat pada uang, entah kita memiliki banyak atau sedikit, adalah kebebasan yang sesungguhnya. Kebebasan terhadap uang seperti ini justru menjadikan uang bisa menjadi alat pembebasan.
 
Uang hanyalah bagian kecil dari kehidupan dan kehidupan itu sendiri jauh lebih besar daripada uang. Kalau batin diokupasi oleh apa yang kecil, maka kita lupa akan apa yang besar. Kalau kita tidak bisa berhubungan secara benar dengan hal kecil, maka kita juga tidak bisa berhubungan dengan hal yang besar. Sudah benarkah cara kita berhubungan dengan perkara yang kecil ini?*

Tidak ada komentar: