Ada banyak tantangan menghadang di depan mata. Ada bencana alam seperti gunung meletus, gempa bumi, banjir, tanah longsor, tsunami. Ada berbagai bentuk kerusakan yang disebabkan oleh kesalahan manusia seperti kerusakan alam, luasnya kemiskinan dan kerusakan hidup bersama karena fundamentalisme agama. Pada lingkup keluarga dan hidup pribadi, Anda bisa menambahkan sendiri berbagai tantangan yang Anda sendiri hadapi. Misalnya, tantangan untuk mencapai cita-cita, tantangan dalam perjuangan untuk bertahan hidup, tantangan dalam mewujudkan keutuhan keluarga, tantangan untuk merealisasikan nilai-nilai luhur kehidupan, dan seterusnya.
Untuk bisa berhasil dalam hidup di tengah berbagai tantangan
dibutuhkan kualitas ketahanan batin. Agar kita bisa makan, kita harus
bekerja. Untuk mencapai keberhasilan dalam hidup, kita perlu belajar
untuk tidak takut gagal. Untuk bisa hidup sejahtera, kita perlu belajar
agar tidak takut hidup miskin. Untuk bisa hidup efektif di tengah dunia,
kita perlu belajar untuk tidak gampang terseret oleh gebryar dunia.
Untuk bisa hidup bebas di tengah begitu banyak umat manusia yang tidak
bebas, kita perlu tekun mengolah hidup agar kita senantiasa bebas dari
saat ke saat. Terkadang kita menghadapi kritikan, caci-makian,
penolakan, tekanan, menjadi sasaran kemarahan karena suatu sikap atau
tindakan kita dan kita perlu belajar tidak mudah patah semangat. Untuk
itu semua dibutuhkan daya-tahan, ketekunan, kesabaran, kegigihan.
Salah satu rintangan terbesar bagi munculnya daya-tahan ini adalah
sikap malas. Batin yang malas itu seperti kolam atau rawa yang
berlumpur. Kalau Anda jatuh ke tengah rawa yang berlumpur, maka Anda
sulit sekali untuk bergerak. Melangkah maju sulit, melangkah mundur juga
sulit. Kemalasan itu membuat batin sulit bergerak atau bertindak benar.
Mari kita menyelami beberapa manifestasi kemalasan ini.
Pertama, kemalasan karena melekat pada kenikmatan
atau kenyamanan. Ketika kita mengalami rasa nikmat atau nyaman, kalau
tidak disadari, begitu mudah batin melekatinya. Kelekatan terhadap
kenikmatan atau kenyamanan, termasuk keinginan untuk mengalami kembali
kelekatan atau kenikmatan yang sudah lewat, menceburkan kita ke dalam
kolam kemalasan.
Batin yang malas berkubang dalam kenikmatan. Ketika tantangan
menghadang, batin yang malas mudah didera oleh rasa takut. Batin mudah
takut kalau-kalau kenikmatan atau kenyamanan ini akan direnggut dari
dirinya. Pengalaman kenikmatan itu telah mengekang dirinya dan membuat
batin tidak terbuka terhadap tantangan baru.
Kedua, kemalasan karena batin terlalu cepat
mengatakan, “Aku tidak mampu.” Ketika kesulitan atau tantangan
menghadang, mengapa batin cepat-cepat menyerah? Masih bisa dipahami
kalau orang menyerah pada tantangan setelah lama berjuang untuk
mengatasinya dengan berbagai cara dan tidak berhasil. Tetapi ketika
batin cepat-cepat menyerah sebelum cukup berjuang, maka batin seperti
itu adalah batin yang malas.
Daya-tahan bukanlah hasil dari optimalisasi sembarang daya-upaya,
tetapi merupakan buah dari daya-upaya yang benar. Daya-upaya yang benar
merupakan energy batin yang menjaga agar kesadaran tetap bekerja secara
terus-menerus. Oleh karena itu energy daya-upaya yang benar bukan
berasal dari keinginan atau kehendak, melainkan dari kesadaran. Energi
inilah yang membuat kita mampu bertahan di tengah berbagai kesulitan.
Ketiga, kemalasan karena batin terlalu sibuk dan
tegang. Terlalu mamaksa diri untuk bertahan bukanlah daya-upaya yang
benar. Ketika batin terfokus pada daya-upaya untuk bertahan, maka
kesadaran tidak ada dan batin terserap pada objeknya. Energi daya-upaya
seperti ini juga membuat batin tegang. Kesadaran dan pemahaman yang
benar tidak akan muncul kalau tubuh dan batin terlalu sibuk dan tegang.
Keempat, kemalasan karena batin terlalu cepat
lelah. Kelelahan muncul karena banyak energy daya-upaya yang tidak benar
sudah dikeluarkan untuk melawan atau menolak atau memaksa diri untuk
bertahan. Batin yang terlalu sibuk menguras banyak energy dan karenanya
tubuh dan batin mudah lelah. Batin yang terlalu cepat lelah tidak
memiliki stamina yang kuat untuk menghadapi setiap tantangan yang
menghadang. Kalau batin dan tubuh kita lelah, tentu saja kita perlu
istirahat. Akan tetapi perlu dicermati apakah batin dan tubuh yang lelah
itu merupakan akibat dari kemalasan atau bukan?
Kelelahan bisa juga muncul karena kita kurang berminat untuk
menghadapi setiap tantangan yang datang. Batin yang cepat lelah perlu
belajar untuk mengembangkan minat yang benar untuk menghadapi setiap
tantangan. Setiap tantangan, termasuk rasa malas atau rasa lelah itu
sendiri, perlu untuk lebih disadari, diselami dan dipahami. Untuk itu
minat untuk memahami setiap tantangan perlu dikembangkan.
Kalau manifestasi kemalasan itu kita sadari saat kemunculannya,
maka ada kemungkinan daya-tahan itu muncul dan setiap tantangan yang
datang tidak mudah menggoncang batin. Ketika batin terbebas dari
kemalasan, setiap tantangan justru bisa membangkitkan minat untuk lebih
memahami perkaranya.
Segala sesuatu yang menggoncang batin sesungguhnya bukanlah masalah
atau problem. Ketika batin menganggap itu sebagai problem, maka di sana
sudah ada penolakan. Alih-alih segala sesuatu itu perlu dilihat sebagai
suatu pengalaman yang perlu untuk diterima, diselami, dipahami dan
dilalui. Tidak ada pengalaman yang baik atau buruk. Setiap pengalaman
datang secara alamiah agar kita menjadi lebih sadar dan dengan demikian
lebih berdaya-tahan di tengah berbagai tantangan.
Pengalaman itu sendiri perlu dilihat dalam keseluruhannya tanpa
melupakan bagian-bagiannya. Kalau kita hanya melihat bagian-bagiannya
saja, misalnya bagian yang sulit saja atau bagian yang mudah saja, maka
kita sudah terjebak dalam partikularitas dan kita tidak melihat
keseluruhannya.
Belakangan ini banyak peristiwa bencana alam menimpa negri ini.
Letusan Gunung Merapi adalah salah satunya. Banyak orang yang terkena
dampak dari letusan Gunung Merapi menderita depresi. Ada sebagian yang
sakit jiwa. Mereka menderita karena kehilangan anggota keluarganya,
sakit, hancurnya tempat tinggal, matinya ternak dan rusaknya lahan
pertanian. Tetapi sebagian orang yang lain tetap tegar. Mereka memandang
bahwa Gunung Merapi bukanlah ancaman. Gunung Merapi merupakan bagian
hidup dari para petani di desa dan mereka juga tidak memandang diri
mereka sebagai korban. Meskipun rumah dan lahan pertanian rusak parah,
mereka tetap kembali ke desa dari tempat pengungsian dan memulai
kehidupan mereka dengan damai di tengah berbagai kesulitan dan
tantangan. Orang-orang semacam itu tentu memiliki ketahanan yang lebih
kokoh dibandingkan sebagian orang lain yang memandang apa yang mereka
alamai sebagai masalah, bukan sebagai pengalaman yang musti diterima dan
dipahami.
Daya-tahan tidak datang dari konsentrasi, bukan dari sembarang
daya-upaya, bukan dari keinginan atau kehendak. Daya-tahan hanya mungkin
muncul kalau ada daya-upaya yang benar untuk menjaga agar kesadaran
bekerja secara terus-menerus.*
Tidak ada komentar:
Posting Komentar