Menurut Al Ghazali, di dalam jantung itulah memancarnya ruh manusia
itu. Lathifah inilah hakikatnya manusia. Ialah yang mengetahui, dia
yang bertanggung jawab, dia yang akan disiksa dan diberi pahala.
Lathifah ini pula yang dimaksudkan sabda Nabi “Sesungguhnya Allah tidak
akan memandang rupa dan hartamu, tetapi ia memandang hatimu”.
Latifiah al-qalb bereksistensi di dalam jantung jasmani manusia,
maka jantung fisik manusia ibaratnya sebagai pusat gelombang, sedangkan
letak di bawah susu kiri jarak dua jari (yang dinyatakan sebagai
letaknya lathifah al-qalb) adalah ibarat “channelnya”.
Jika seseorang ingin berhubungan dengan lathifah ini, maka ia harus
berkonsentrasi pada tempat ini. Lathifah ini memiliki nur berwarna
kuning yang tak terhinggakan (di luar kemampuan indera fisik).
Demikian juga dengan lathifah al-ruh, dia bukan ruh atau hakikat
ruh itu sendiri. Tetapi lathifah al-ruh adalah suatu identitas yang
lebih dalam dari lathifah al-qalb. Dia tidak dapat diketahui hakikatnya,
tetapi dapat dirasakan adanya, dan diketahui gejala dan
karakteristiknya. Lathifah ini terletak di bawah susu kanan jarak dua
jari dan condong ke arah kanan. Warna cahayanya merah yang tak
terhinggakan. Selain tempatnya sifat-sifat yang baik, dalam lathifah ini
bersemayam sifat bahimiyah atau sifat binatang jinak.
Dengan lathifah ini pula seorang salik akan merasakan fana al-sifat
(hanya sifat Allah saja yang kekal), dan tampak pada pandangan
batiniah.
Lathifah al-sirri merupakan lathifah yang paling dalam, terutama
bagi para sufi besar terdahulu yang kebanyakan hanya menginformasikan
tentang tiga lathifah manusia, yaitu qalb, ruh dan sirri. Sufi yang
pertama kali mengungkap sistem interiorisasi lathifah manusia adalah
Amir Ibn Usman Al Makki, yang menurutnya manusia terdiri dari empat
lapisan kesadaran, yaitu raga, qalbu, ruh dan sirr. Dalam temuan Imam al
Robbani al Mujaddid, lathifah ini belum merupakan latifiah yang
terdalam. Ia masih berada di tengah tengah lathifah al ruhaniyah
manusia. Tampaknya inilah sebabnya sehingga al Mujaddid dapat merasakan
pengalaman spiritual yang lebih tinggi dari para sufi sebelumnya,
seperti Abu Yazid al Bustami, al-Hallaj (309 H), dan Ibnu Arabi (637 H).
Setelah ia mengalami “ittihad” dengan Tuhan, ia masih mengalami
berbagai pengalaman ruhaniah, sehingga pada tataran tertinggi manusia ia
merasakan sepenuhnya, bahwa abid dan ma’bud adalah berbeda, manusia
adalah hamba, sedangkan Allah adalah Tuhan
Hal yang diketahui dari lathifah ini adalah, ia memiliki nur yang
berwarna putih berkilauan. Terletak di atas susu kiri jarak sekitar dua
jari, berhubungan dengan hati jasmaniah (hepar). Selain lathifah ini
merupakan manifestasi sifat-sifat yang baik, ia juga merupakan sarangnya
sifat sabbu’iyyah atau sifat binatang buas. Dengan lathifah ini
seseorang salik akan dapat merasakan fana’ fi al-dzat, dzat Allah saja
yang tampak dalam pandangan batinnya.
Lathifah al-khafi adalah lathifah al-robbaniah al-ruhaniah yang
terletak lebih dalam dari lathifah al-sirri. Penggunaan istilah ini
mengacu kepada hadis Nabi : “Sebaik-baik dzikir adalah khafi dan sebaik
baik rizki adalah yang mencukupi”. Hakikatnya merupakan rahasia
Ilahiyah. Tetapi bagi para sufi, keberadaanya merupakan kenyataan yang
tidak dapat dipungkiri. Cahayanya berwarna hitam, letaknya berada di
atas susu sebelah kanan jarak dua jari condong ke kanan, berhubungan
dengan limpa jasmani. Selain sebagai realitas dari nafsu yang baik,
dalam lathifah ini bersemayam sifat syaithoniyyah seperti hasad, kibir
(takabbur, sombong), khianat dan serakah.
Lathifah yang paling lembut dan paling dalam adalah lathifah
al-akhfa. Tempatnya berada di tengah-tengah dada dan berhubungan dengan
empedu jasmaniah manusia. Lathifah ini memiliki nur cahaya berwarna
hijau yang tak terhinggakan. Dalam lathifah ini seseorang salik akan
dapat merasakan’isyq (kerinduan) yang mendalam kepada Nabi Muhammad
s.a.w. sehingga sering sering ruhaniah Nabi datang mengunjungi
Tidak ada komentar:
Posting Komentar