Selasa

Melepas Penderitaan

Penderitaan muncul dari keinginan dan keinginan selalu mempunyai objek. Objek ini bisa berupa segala sesuatu di alam rupa atau materi (tanah, air, angin, api); objek ini adalah segala sesuatu yang ada dalam kesadaran.

Melepas objek keinginan dan subjek yang berkeinginan akan membebaskan diri dari penderitaan.
Maka ada empat jalan melepas penderitaan:
  • melepas subjek tanpa melepas objek
  • melepas objek tanpa melepas subjek
  • melepas baik subjek maupun objek
  • melepas bukan subjek dan bukan objek.

Melepas Subjek dan Bukan Objek
Seorang peternak Ayam mengalami kerugian, Ayamnya bayak yang mati. Selama ini sang petani tidak pernah mengalami kerugian sebesar ini. Ia bertanya kesalahan apa yang dia lakukan hingga ayamnya banyak yang mati, hingga mengakibatkan kerugain tersebut.
Petani = Subyek
Ayam = Obyek
Yang menjadikan sang petani menderita adalah subyeknya. Untuk melepaskan penderitaannya, orang seperti petani tersebut bisa dibantu untuk melepas subjek dan bukan objeknya. Pikiran orang menentukan realita. Saat orang sedang sedih, ia melihat seluruh dunia tampak suram; saat orang bahagia, ia memandang seluruh dunia tampak indah mempesona.
Realita objek perlu ditekankan: adalah wajar dalam berternak ayam, banyak ayam yang mati. Peristiwa itu alamiah adanya seperti terbitnya matahari di pagi hari dan terbenamnya matahari di sore hari. Berharap matahari bersinar terus sepanjang hari merupakan harapan yang absurd.

Melepas Objek dan Bukan Subjek
Seorang pria setengah baya sedang dilanda krisis dalam hidup berumah tangga. Ia mudah jatuh hati pada seorang perempuan yang rupawan. Meskipun sudah mempunyai istri, ia masih memiliki wanita-wanita simpanan.
Pria tersebut didera oleh objek dalam wujud perempuan yang rupawan. Ia mengaku tidak tahan menahan gelora nafsu saat melihat perempuan yang rupawan. Ia bisa dibantu dengan melepas objek dan memberi penekanan pada peran subjek.
Perasaan akan objek tertentu merupakan manifestasi dari kesadaran. Segala sesuatu yang kita rasakan, yang kita sentuh, yang kita kenali, yang kita dengar bisa menguasai diri kita dan membuat kita menderita. Dengan melepas objek, kita kembali kepada kesadaran bahwa mereka semua bukan realita independent di luar diri kita. Subjek dan objek selalu saling terhubung dan saling berpengaruh.

Melepas Subjek dan Objek
Seorang bapak mengeluh karena setelah sekian tahun hidup berumah-tangga, ia tetap merasakan ada jarak antara dirinya dengan pasangan hidup dan anak-anaknya. Keluarga ini cukup mapan secara ekonomi. Tidak ada ketidakharmonisan hubungan antara suami-istri ataupun antara anak-anak dengan dirinya. Hubungan yang paling intim sekalipun masih tetap menyisakan jarak antara dirinya dengan yang lain. Ia meniti berbagai jalan kerohanian tapi ia merasa tetap sebagai orang asing yang terpisah dari orang lain, termasuk orang-orang yang ia cintai.
Orang seperti bapak tersebut bisa dibantu dengan melepas subjek dan objek sekaligus. Adanya subjek dan objek selalu menimbulkan jarak; adanya jarak selalu menciptakan ketegangan dan konflik.
Peganglah obor api di tangan kiri dan dekatkan tangan kanan anda ke obor api tersebut. Kalau terlalu dekat, tangan kanan anda bisa terbakar oleh obor api. Tangan anda bisa terbakar karena tangan anda bukanlah obor api dan obor api bukanlah tangan anda. Tangan kanan anda tidak akan terbakar meskipun dilekatkan dengan obor api kalau tangan kanan anda adalah juga obor api. Persoalan terjadi karena ada jarak antara tangan kanan anda dan obor api, antara subjek dan objek.
Ketika menyaksikan pergerakan gelombang besar dari lautan dan menghantam hampir seluruh kawasan pesisir Aceh pada 26 Desember 2004, orang-orang Aceh berpikir bahwa hari Kiamat sudah tiba. Bumi akan segera runtuh. Dalam sekejap, mereka melihat kampung mereka dan kampung-kampung tetangga mereka habis disapu gelombang air. Mereka melihat tidak ada lagi kampung tersisa, baik kampung mereka maupun kampung tetangga. Kehidupan seolah terhenti dan segala hubungan terputus.
Terlepasnya entitas subjek dan objek serta pudarnya hubungan subjek dan objek adalah seperti hilangnya kampung-kampung karena disapu gelombang Tsunami dan pudarnya hubungan antar kampung. Terlepasnya subjek sekaligus objek secara permanen tentu tidak menguntungkan dalam gerak kehidupan sehari-hari seperti halnya hilangnya kampung-kampung dan terputusnya hubungan antar kampung. Namun moment terlepasnya subjek sekaligus membuka perspektif baru dalam melihat realita.

Melepas Bukan Subjek dan Bukan Objek
Pada sore hari pada hari pertama setelah Tsunami, orang-orang Aceh melihat dari kejauhan asap membubung dari antara pepohonan. Orang-orang melihat ternyata masih ada kehidupan di kampung tetangga. Mereka kemudian mencari jalan untuk berhubungan kembali dengan kampung tetangga yang sempat terputus.
Setelah subjek dan objek terlepas, orang kembali kepada realita kehidupan secara nyata, kembali ke alam dualitas subjek dan objek. Namun demikian ia bebas dari penjara subjek, bebas dari penjara objek, bebas dari penjara tiada subjek dan tiada objek, bebas dari penjara subjek sekaligus objek. Ia kembali berelasi dengan anak dan pasangan hidup, uang dan barang-barang, alam yang berwujud dan tak berwujud, dan seterusnya dengan perspektif yang baru.
Orang biasa yang tidak menjalani latihan-latihan rohani cenderung dipenjara oleh objek sementara pejalan rohani cenderung dipenjara oleh subjek. Lebih mudah melepas objek pikiran daripada pikiran itu sendiri. Lebih mudah melepas objek keinginan daripada keinginan itu sendiri. Orang takut melepas pikiran atau keinginannya karena pandangan bahwa dengan melepas pikiran atau keinginan hanya akan meninggalkan kehampaan; tidak akan ada sesuatu yang dirasakan, disentuh, didengar, dilihat, dicapai, diperoleh, dst. Terlepasnya pikiran dan objek pikiran bukan membawa kepada kehampaan, melainkan pada realita yang sesungguhnya.
Mungkin bahasanya kurang mudah dipahami. Kita renungkan bersama.

Tidak ada komentar: