Para sufi, para ahli hakikat, selalu
sahaja ribuan langkah lebih maju dan lebih kedepan dari yang bukan sufi
dan bukan ahli hakikat. Kata tauhid senantiasa diertikan dengan
menyucikan Allah dan tidak menyekutukan-Nya. Para sufi,khususnya sufi
aihdatul Wujud, mendapatkan pemahaman yang lebih tinggi dari itu.
RAHSIA MAKRIFAT MENGENAL ALLAH SWT
AWALUDIN MA’RIFATULLAH Artinya : Awal agama mengenal Allah.
‘
LAYASUL SHALAT ILLA BIN MA’RIFAT Artinya: Tidak sah shalat tanpa mengenalAllah.
‘
MAN ARAFA NAFSAHU FAKAT ARAFA RABBAHU Artinya: Barang siapa mengenal dirinya dia mengenal Tuhannya.
‘
ALASTU BIRAB BIKUM QOLU BALA SYAHIDNA Artinya: Bukankah aku ini Tuhanmu ? Betul engkau Tuhan kami,kami menjadi saksi.(QS.AL-ARAF 7:172)
‘
AL INSANNU SIRRI WA ANNA SIRRUHU Artinya: Manusia itu RahasiaKu dan akulah Rahasianya.
‘
WAFI AMFUSIKUM AFALA TUBSIRUUN Artinya: Di dalam dirimu mengapa kamu tidak melihat.
‘
ANAHNU AKRABI MIN HABIL WARIZ Artinya: Aku lebih dekat dari urat nadi lehermu.
‘
LAA TAK BUDU RABBANA LAM YARAH Artinya: Aku tidak akan menyembah Allah apabila aku tidak melihatnya terlebih dahulu.
‘
HUBUNGAN MANUSIA DENGAN ALLAH Pada malam Ghaibul Ghaib iaitu dalam keadaan antah-berantah hanya Dzat semata. Belum ada awal dan belum ada akhir, belumada bulan dan belum ada matahari, belum ada bintang belum ada sesuatupun. Malahan belum ada Tuhan yang bernama Allah, maka dalam keadaan ini, Diri yang punya Dzat tersebut telah mentajalikan diri-Nya untuk memuji diri-Nya. Lantas tajalilah Nur Allah dan kemudian tajali pula Nur Muhammad (Insan Kamil), yang pada peringkat ini dinamakan Anta Ana, (Kamu, Aku) , (Aku,Kamu),Ana Anta. Maka yang punya Dzat bertanya kepada Nur Muhammad dan sekalian Roh untuk menentukan kedudukan dan taraf hamba. Lantas ditanyakan kepada Nur Muhammad, Aku ini Tuhanmu? Maka dijawablah Nur Muhammadyang mewakili seluruh Roh, Ya…Engkau Tuhanku. Persaksian ini dengan jelas diterangkan dalam Al-Qur’an surat Al-Araf 7:172:
‘
ALASTU BIRAB BIKUM, QOOLU BALA SYAHIDNA. Artinya : Bukan aku ini Tuhanmu? Betul engkau Tuhan kami, Kami menjadi Saksi. Selepas pengakuan atau persumpahan Roh itu dilaksankan, maka bermulalah era baru di dalam perwujudan Allah SWT. Seperti firman Allah dalam Hadits Qudsi yang artinya:“Aku suka mengenal diriku, lalu aku jadikan mahkluk ini dan akuperkenalkan diriku. Apa yang dimaksud dengan mahkluk ini ialah : Nur Muhammad sebab seluruh kejadian alam maya ini dijadikan daripada Nur Muhammad tujuan yang punya Dzat mentajalikan Nur Muhammad adalah untuk memperkenalkan diri-nya sendiri dengan diri Rahasianya sendiri. Maka diri Rahasianya itu adalah ditanggung dan diakui amanahnya oleh suatu kejadian yang bernama : Insan yang bertubuh diri bathin (Roh) dan diri bathin itulah diri manusia, atau Rohani. Firman Allah dalam hadis Qudsi:
‘
AL-INSAANU SIRRI WA-ANA SIRRUHU Artinya : Manusia itu RahasiaKu dan Akulah yang menjadi Rahasianya. Jadi yang dinamakan manusia itu ialah karena ia mengenal Rahsia. Dengan perkataan lain manusia itu mengandung Rahasia Allah. Karena manusia menanggung Rahasia Allah maka manusia harus berusaha mengenal dirinya, dan dengan mengenal dirinya manusia akan dapat mengenal Tuhannya, sehingga lebih mudah kembali menyerahkan dirinya kepada Yang Punya Diri pada waktu dipanggil oleh Allah SWT. Iaitu tatkala berpisah Roh dengan jasad. (Tambahan Hajrikhusyuk: kembali kepada Allah harus selalu dilakukan semasa hidup, masih berjasad, contohnya dengan solat, kerana solat adalahmikraj oang mukmin atau dengan ‘mati sebelum mati’). Firman Allah An-Nisa 4:58:
‘
INNALLAHA YAK MARUKUM ANTU ABDUL AMANATI ILAAHLIHA. Artinya: Sesunggunya Allah memerintahkan kamu supaya memulangkan amanah kepada yang berhak menerimanya. (Allah). Hal tersebut di atas dipertegas lagi oleh Allah dalam Hadits Qudsi :
‘
MAN ARAFA NAFSAHU,FAQAT ARAFA RABAHU. Artinya : Barang siapa mengenal dirinya maka ia akan mengenal Tuhannya. Dalam menawarkan tugas yang sangat berat ini, pernah ditawarkan Rahasia-nya itu kepada Langit, Bumi dan Gunung-gunung tetapi semuanyatidak sanggup menerimanya. Seperti firman Allah SWT Al Ahzab 33:72. INNA ‘ARAT NAL AMATA, ALAS SAMAWATI WAL ARDI WAL JIBAL FA ABAINA ANYAH MILNAHA WA AS FAKNA MINHA,WAHAMA LAHAL INSANNU. Artinya : Sesungguhnya kami telah menawarkan suatu amanatkepada langit, bumi dan gunung-gunung tetapi mereka enggan memikulnya dan merasa tidak akan sanggup, lantas hanya manusia yang sanggup menerimanya. Oleh karena amanat (Rahasia Allah) telah diterima, maka adalah menjadi tanggung jawab manusia untuk menunaikan janjinya. Dengan kata lain tugas manusia adalah menjaga hubungannya dengan yang punya Rahasia. Setelah amanat (Rahasia Allah) diterima oleh manusia (diri Batin/Roh) untuk tujan inilah maka Adam dilahirkan untuk bagi memperbanyak diri, diri penanggung Rahasia dan berkembang dari satu abad ke satu abad, diri satu generasi ke satu generasi yang lain sampai alam ini mengalami KIAMAT DAN RAHASIA ITU KEMBALI KEPADA ALLAH. INNA LILLAHI WA INNA ILAIHI RAAJIUN. Artinya : Kita berasal dari Allah, dan kembali kepada Allah.
AWALUDIN MA’RIFATULLAH Artinya : Awal agama mengenal Allah.
‘
LAYASUL SHALAT ILLA BIN MA’RIFAT Artinya: Tidak sah shalat tanpa mengenalAllah.
‘
MAN ARAFA NAFSAHU FAKAT ARAFA RABBAHU Artinya: Barang siapa mengenal dirinya dia mengenal Tuhannya.
‘
ALASTU BIRAB BIKUM QOLU BALA SYAHIDNA Artinya: Bukankah aku ini Tuhanmu ? Betul engkau Tuhan kami,kami menjadi saksi.(QS.AL-ARAF 7:172)
‘
AL INSANNU SIRRI WA ANNA SIRRUHU Artinya: Manusia itu RahasiaKu dan akulah Rahasianya.
‘
WAFI AMFUSIKUM AFALA TUBSIRUUN Artinya: Di dalam dirimu mengapa kamu tidak melihat.
‘
ANAHNU AKRABI MIN HABIL WARIZ Artinya: Aku lebih dekat dari urat nadi lehermu.
‘
LAA TAK BUDU RABBANA LAM YARAH Artinya: Aku tidak akan menyembah Allah apabila aku tidak melihatnya terlebih dahulu.
‘
HUBUNGAN MANUSIA DENGAN ALLAH Pada malam Ghaibul Ghaib iaitu dalam keadaan antah-berantah hanya Dzat semata. Belum ada awal dan belum ada akhir, belumada bulan dan belum ada matahari, belum ada bintang belum ada sesuatupun. Malahan belum ada Tuhan yang bernama Allah, maka dalam keadaan ini, Diri yang punya Dzat tersebut telah mentajalikan diri-Nya untuk memuji diri-Nya. Lantas tajalilah Nur Allah dan kemudian tajali pula Nur Muhammad (Insan Kamil), yang pada peringkat ini dinamakan Anta Ana, (Kamu, Aku) , (Aku,Kamu),Ana Anta. Maka yang punya Dzat bertanya kepada Nur Muhammad dan sekalian Roh untuk menentukan kedudukan dan taraf hamba. Lantas ditanyakan kepada Nur Muhammad, Aku ini Tuhanmu? Maka dijawablah Nur Muhammadyang mewakili seluruh Roh, Ya…Engkau Tuhanku. Persaksian ini dengan jelas diterangkan dalam Al-Qur’an surat Al-Araf 7:172:
‘
ALASTU BIRAB BIKUM, QOOLU BALA SYAHIDNA. Artinya : Bukan aku ini Tuhanmu? Betul engkau Tuhan kami, Kami menjadi Saksi. Selepas pengakuan atau persumpahan Roh itu dilaksankan, maka bermulalah era baru di dalam perwujudan Allah SWT. Seperti firman Allah dalam Hadits Qudsi yang artinya:“Aku suka mengenal diriku, lalu aku jadikan mahkluk ini dan akuperkenalkan diriku. Apa yang dimaksud dengan mahkluk ini ialah : Nur Muhammad sebab seluruh kejadian alam maya ini dijadikan daripada Nur Muhammad tujuan yang punya Dzat mentajalikan Nur Muhammad adalah untuk memperkenalkan diri-nya sendiri dengan diri Rahasianya sendiri. Maka diri Rahasianya itu adalah ditanggung dan diakui amanahnya oleh suatu kejadian yang bernama : Insan yang bertubuh diri bathin (Roh) dan diri bathin itulah diri manusia, atau Rohani. Firman Allah dalam hadis Qudsi:
‘
AL-INSAANU SIRRI WA-ANA SIRRUHU Artinya : Manusia itu RahasiaKu dan Akulah yang menjadi Rahasianya. Jadi yang dinamakan manusia itu ialah karena ia mengenal Rahsia. Dengan perkataan lain manusia itu mengandung Rahasia Allah. Karena manusia menanggung Rahasia Allah maka manusia harus berusaha mengenal dirinya, dan dengan mengenal dirinya manusia akan dapat mengenal Tuhannya, sehingga lebih mudah kembali menyerahkan dirinya kepada Yang Punya Diri pada waktu dipanggil oleh Allah SWT. Iaitu tatkala berpisah Roh dengan jasad. (Tambahan Hajrikhusyuk: kembali kepada Allah harus selalu dilakukan semasa hidup, masih berjasad, contohnya dengan solat, kerana solat adalahmikraj oang mukmin atau dengan ‘mati sebelum mati’). Firman Allah An-Nisa 4:58:
‘
INNALLAHA YAK MARUKUM ANTU ABDUL AMANATI ILAAHLIHA. Artinya: Sesunggunya Allah memerintahkan kamu supaya memulangkan amanah kepada yang berhak menerimanya. (Allah). Hal tersebut di atas dipertegas lagi oleh Allah dalam Hadits Qudsi :
‘
MAN ARAFA NAFSAHU,FAQAT ARAFA RABAHU. Artinya : Barang siapa mengenal dirinya maka ia akan mengenal Tuhannya. Dalam menawarkan tugas yang sangat berat ini, pernah ditawarkan Rahasia-nya itu kepada Langit, Bumi dan Gunung-gunung tetapi semuanyatidak sanggup menerimanya. Seperti firman Allah SWT Al Ahzab 33:72. INNA ‘ARAT NAL AMATA, ALAS SAMAWATI WAL ARDI WAL JIBAL FA ABAINA ANYAH MILNAHA WA AS FAKNA MINHA,WAHAMA LAHAL INSANNU. Artinya : Sesungguhnya kami telah menawarkan suatu amanatkepada langit, bumi dan gunung-gunung tetapi mereka enggan memikulnya dan merasa tidak akan sanggup, lantas hanya manusia yang sanggup menerimanya. Oleh karena amanat (Rahasia Allah) telah diterima, maka adalah menjadi tanggung jawab manusia untuk menunaikan janjinya. Dengan kata lain tugas manusia adalah menjaga hubungannya dengan yang punya Rahasia. Setelah amanat (Rahasia Allah) diterima oleh manusia (diri Batin/Roh) untuk tujan inilah maka Adam dilahirkan untuk bagi memperbanyak diri, diri penanggung Rahasia dan berkembang dari satu abad ke satu abad, diri satu generasi ke satu generasi yang lain sampai alam ini mengalami KIAMAT DAN RAHASIA ITU KEMBALI KEPADA ALLAH. INNA LILLAHI WA INNA ILAIHI RAAJIUN. Artinya : Kita berasal dari Allah, dan kembali kepada Allah.
Tauhidul Asma
Persoalan nama Allah merupakan
persoalan yang sering dibahas asal-usulnya. Sebagian lbahan bacaan
menyebukan bahwa kata “Allah” merupakan destinasi terakhir dari El, Eli,
Elah, Ilah, Allah. Semua kata ini, konon, berasal dari bahasa Aram. El
digunakan untuk merujuk pada Dzat Mulia, digunakan oleh Ezra. Sementara
itu, Eli digunakan di zaman nabi Isa as. Misalnya dalam kitab tertulis
Yesus berteriak “Eli Eli Lama Sabaktani” yang ertinya “Tuhan,Tuhan,
mengapa Engkau tinggalkan daku. Kemudian kata Elah dan Ilah
yangdigunakan untuk arti yang sama sampai pada bahasa Arab (ilah artinya
Tuhan) dan Allah dengan tujuan yang sama, Tuhan. Tentang hal ini,
sangat terbuka untuk dikritik.Jika dilihat dengan baik, maka perjalanan
sebutan Allah ini melaluiproses panjang namun pada satu konteks, yaitu
konteks bahasa lokal yangmenderivasi atau turun-menurun; dari bahasa
Aram, Ibrani, ke Arab. Pertanyaannya adalah, apakah benar Allah adalah
nama Tuhan secara dzat ..?Hal penting yang harus dicermati adalah bahwa
al-Qur’an turun dengan bahasa Arab yang mudah dipahami oleh masyarakat
Arab sendiri. Misalnya nama Allah sendiri. Dalam al-Qur’an surat
al-Qashash ayat 30 misalnya, Allah mendeklarasikan dirinya secara
demikian. Allah Maha Mengetahui, hanya kata“Allah” saja yang paling
relevan bagi bangsa Arab untuk merujuk pada diri-Nya. Bagaimana jika
al-Qur’an tidak turun dalam bahasa Arab, namun bahasa Inggris, tentu
saja kita tidak akan menyebut nama-Nya Allah namun God. Jika memang
benar Allah adalah nama Tuhan, maka betapa kasar dan tidak sopannya kita
karena menyebut nama-Nya tidak lebih dari seperti memanggil nama teman
kita. Kepada ayah kita tidak memanggil nama, kepada guru kita tidak juga
berlaku demikian, tetapi kepada Allah kita memanggilnama-Nya ? Ini
suatu hal yang tidak pernah difikirkan oleh yang bukan ahli hakikat.
Sesungguhnya, ketika Allah mendeklarasikan ketuhananNya “innanyAnnallah”
dimaksudkan “Sesungguhnya Akulah Tuhan” dan Tuhan adalah hakikatnya,
dan bukan nama dzat-Nya yang sesungguhnya tidak berhuruf tidak pula
bersuara. Sehingga pada tahap nama, Allah hanyalah sebuah sebutan
hakikat sebagai Tuhan dan bukan nama dzat-Nya. Allah hanya mengajarkan
bagaimana mensifati-Nya lewat asmaul husnah, namun mengenai
hakikatdzat-Nya sendiri, Allah adalah Sirr (Rahasia). Oleh karena itu,
al-Hallaj lebih suka menyebut “Ana al-Haqq” ketimbang “innany Annallah”.
Nama dzat-Nyatidak tersentuh, dan hanya bisa ditauhidkan dengan
ma’rifat, Hu (Dia).
Sebagaimana ketika para sufi telah
mengalami fana’, kebingungan melanda. Mereka tidak lagi bisa membedakan
mana Allah dan mana Allah dalam sebutan. Insan Wihdatul Wujud tidak
menemukan Tuhan sebagai Allah saat fana’ namun menemukan Dia sebagai
Dia.
Tauhidus Shifat
Setelah mentauhid-kan asma Allah secara
ma’rifat sebagai sirr, maka sesudah itu mentauhid-kan sifat-sifat
ilahiyah. Beberapa sifat yang sangat relevan adalah bahwa Allah itu
Wujud. Wujudnya Allah merupakan kenyataan maujud insan. Mentauhid-kan
Wujud Allah adalah sekaligus mentauhid-kan yang maujud. Allah hadir
dalam maujud insan, baik sebelum, sedang, dan sesudah maujud itu ada.
Jika melihat makhluk, maka itu adalah cerminan Qidam Khaliq.
Kemudian, Allah Qiyamuhu Ta’ala
binafsihi, seperti huruf alif yang berdiri tegak tanpa penyanggah
apapun. Allah pun ber-iradah dan insan pun demikian,hingga qudrat
ilahiyah pun ada pada qudrat insaniyah seperti yang telahdi paparkan
sebelumnya. Mentauhid-kan sifat Allah adalah mengumpulkan segala sifat
kepada Yang Satu dan mengembalikan Yang Satu kepada yang segala.
Melihat sifat Allah pada insan dan semesta, merupakan wujud tauhidus
shifat, dan juga sebaliknya, melihat sifat insan sebagai wujud sifat
Allah. Akan tetapi hal ini hanya berlaku untuk para sufi yang sudah
berzuhud menolak dunia dan akhirat. Bagi anda yang bukan atau baru akan
menuju ke Wihdatul Wujud, hal ini sangat diharamkan bagi anda; oleh
karenanya anda pun mengharamkan hal demikian.
Mengakui bahwa sifat insan merupakan
wujud sifat Allah tanpa ma’rifat sebelumnya merupakan pengakuan buta,
dan kafir. Bukan hanya kebanyakan para ahli fiqih mengkafirkan ajaran
ini, tetapi para sufi pun akan mengharamkan pengakuan ini, jika diakui
oleh orang yang belum mengalaminya, atau belum melalui jenjang-jenjang
yang sudah ditentukan.
Tauhidul Af’al
Perbuatan merupakan wujud sifat, dan
begitu pula sebaliknya. Kita melihat bumi berputar, matahari bergerak,
angin bertiup, dan sebagainya,hingga jantung berdetak, merupakan af’al
Allah pada alam dan pada insan. Mentauhid-kan perbuatan Allah maksudnya
mengembalikan segala hakikat perbuatan pada qudrat dan iradat, baik itu
hakikat ilahiyah maupun insaniyah. Qudrat Allah adalah bahwa Dia
berkuasa melakukan apapun yang Dia inginkan, dan Iradah Allah adalah
bahwa Dia berkehendak sesuai dengan keinginan-Nya sendiri. Tidak
demikian pada perbuatan insan. Meskipun insan memilki qudrat (kuasa)
untuk melakukan apa yang diinginkan, tetapi insan memiliki qudrat yang
berada dibawah qudrat Allah. Begitu juga iradah (kehendak), walaupun
insan berkehendak pada sesuatu, namun iradah Allah yang menentukan.
Tauhidul af’al adalah mengembalikan
segala perbuatan insan yang dilakukan atas dasar qudrah dan iradah
kepada qudrah dan iradah Allah. Ertinya, kita tidak akan berkuasa tanpa
izin Allah, dan tidak pula mencapai kehendak tanpa izin Allah. Akan
tetapi hal ini tidak berarti bahwa semua perbuatan akan dihukumkan
sebagai perbuatan Allah. Perlu dipisahkan antara perbuatan Allah dan
perbuatan insan (Af’al Allah dan af’al insan). Af’al Allah meliputi
af’al insan, sedangkan af’al insan berada di dalam dan di bawah af’al
Allah. Sehingga dari segi perbuatan, meskipun insan yang mempertanggung
jawab-kan perbuatan nya tanpa didzalimi oleh Allah, tetap saja semua
bergerak pada koridor yang sudah ditentukan oleh Allah sendiri. Inilah
mengapa sehingga para sufi yang perbuatannya sudah terikat zuhud selalu
merasa dibimbing oleh Allah. Sebagaimana ditegaskan dalam sebuah dalil:
Apa bila Aku sudah mencintai hambaKu, maka Aku menjadi mata nya dan
dengan-Ku dia melihat, Aku menjadi telinga-Nya dandengan-Ku dia
mendengar; Aku menjadi lisannya dan dengan-Ku dia berkata-kata…” Dalil
ini menegaskan bahwa bagi orang yang sudah mentauhid kan perbuatan
(Af’al Allah dan insan) akan senantiasa terjaga, karena dia tidak akan
melakukan perbuatan apapun terkecuali itu diizinkan oleh Allah, dan
sesuai dengan ketentuan Allah sendiri. Inilah Wihdatul Wujud, dan bukan
menganggap bahwa perbuatan manusia merupakan perbuatan Allah. Saya
ingatkan, bahwa ini diharamkan bagi orang-orang yang belum sampai pada
tingkatan yang seharusnya; bukan dikafirkan oleh orang yang belum sampai
ilmunya.
Tauhiduzzat
Tingkat ini adalah tingkat paling
tertinggi dari mentauhidkan Allah.Tauhid bukan semata-mata bertawakkal
dan menolak tuhan selain Allah, tetapi juga menolak segala sesuatu
selain Allah. Akan tetapi penolakan ini hanya bermaksud untuk
mendapatkan pengenalan yang murni, tanpa ada distorsi saja.Tauhid bukan
hanya mengumandangkan tahlil dan melaknat latta, uzza, dan manatta. Akan
tetapi tauhid juga mensucikan Allah dari segala sesuatu selain Dia,
termasuk diri sendiri. Jangan mengira diri sendiri tidak bisa menjadi
berhala. Jika seseorang telah melakukan shalat selama puluhan tahun,
hingga dahinya menghitam sebagai bekas sujud nya, dan dia merasa sudah
menjadi ahli ibadah, maka perasaan dan dirinya itu akan menjadi
“sesuatu” selain Allah yang boleh menghalangi dia dari pengenalan Allah
yang sesungguhnya.
Allah adalah Dzat Yang Maha Tinggi,
Mulia, Indah, dan seterusnya. Dia tidak serupa dengan apapun, dan tidak
bisa digambarkan dengan apapun.Wahdatul Wujud tidak pernah menggambarkan
Dzat Allah, apalagi menyamakan Allah dengan diri sendiri, ini fitnah.
Wahdatul Wujud tidak pernah mengklaim bahwa diri adalah Allah, ini juga
fitnah. Wahdatul Wujud tidak pernah menceritakan Dzat Allah, melainkan
Wahdatul Wujud adalah sebuah kesadaran mistis bertemunya dengan Allah
tanpa diri sendiri. Allah tidak akan pernah didapati dengan penglihatan,
baik dengan matahati maupun dengan mata kepala. Namun Dzat Allah boleh
disadari hakikat-Nya,tentu saja hal ini tidak akan diterima bagi
orang-orang yang belum melewati taraf nya. Mentauhid kan Dzat Allah
adalah menyadari bahwa Allah memiliki Dzat-Nya sendiri yang terlepas
dari dzat-dzat lain. Di saat yang sama, mentauhid kan Dzat Allah adalah
melupakan dzat-dzat lain, dan hanya Allah satu-satunya Dzat yang Maha
Ada; yang lain hanya diadakan saja.Di dalam hadits qudsi Allah
berfirman, “Disaat engkau hadir maka Akupun ghaib; dan disaat engkau
gaib maka Aku pun hadir.” Dalam hadits qudsi lain “Sesungguhnya Akulah
yang maha Nyata, namun kenyataanmu telah merenggut kenyataan-Ku.” Dua
hadits qudsi ini menjadi jaminan bahwa kenyataan diri sendiri (maujud)
merupakan penghalang yang menyebab kan kenyataan Allah (Ujud) menjadi
gaib Jangan mengira diri sendiri tidak bisa menjadi berhala. Jika
seseorang telah melakukan shalat selama puluhan tahun, hingga dahinya
menghitam sebagai bekas sujudnya, dan dia merasa sudah menjadi ahli
ibadah, maka perasaan dan dirinya itu akan menjadi “sesuatu” selain
Allah yang boleh menghalangi dia dari pengenalan Allah yang
sesungguhnya. Ketika Dzat Allah menampakkan diri, maka dzat diri sendiri
menjadi luluh lantak, sirna seperti setetes air masuk ke samudra tak
bertepi; lebur seperti gunung-gunung hancur dan nabi Musa as pun
pingsan (tidak menyadari bahwa dirinya maujud). Proses demikian disebut
fana’. Imam Ali menyebutkan bahwa dia pernah mengalami hal ini (dalam
kitab Tanyalah Aku Sebelum Engkau Kehilangan Aku) bahkan Imam Ali
(Sayidina Ali) mengalami fana di dalam fana, hingga hanya Allah yang
disaksikan, diri sendiri sudah dilupakan. Fana’, menurut para sufi, juga
terbagi menjadi fana fil af’al, fana fil asma, fana fis shifat, dan
fana fiz dzat. Fana tingkat ini adalah fana tauhid tertinggi, dan hanya
dengan cara ini insan dapat mengenal Allah secara kaffah. Seluruh
penjelasan dari sebelumnya hingga di tahap ini merupakan serangkaian
yang tidak dapat dikaji secara terpisah. Salah satu penyebab adanya
salah tafsir terhadap Wahdatul Wujud adalah karena tafsiran terpisah.
Semua ini juga tidak mungkin boleh didapati dengan cara berfikir, namun
dengan cara melaksanakan nya. Oleh sebab itu, sangat rugi orang-orang
yang mengkafirkan dan membunuh para auliya Wahdatul Wujud dengan
berdasar pada pengetahuan dan kajian setengah jalan, sudah barang tentu
alasannya karena apa yang mereka sampaikan adalah sebuah kesadaran
spiritual yang luar biasa dahsyat.
Akan tetapi, juga disadari bahwa semua
ini adalah rahasia Allah yang harus ditutupi. Tetapi sampai bila ? Jika
semakin lama semakin banyak para auliya dikafirkan dan dibunuh ? Dan
meskipun rahasia Allah, dalam sebuah hadits qudsi disebutkan bahwa
“Innahu Sirri wa Anaa Sirruhu” yang ertinya “Sesungguhnya hamba-Ku
adalah rahasia-Ku dan Aku adalah rahasianya. ” Rahasia Allah ada dalam
diri kita sendiri, dan apa yang kita alami akan selalu menjadi rahasia
Allah. Sehingga rahasia ini sebenarnya adalah rahasia antara kita dan
Dia, sangat personal dan oleh karena itu hanya boleh diungkap
kebenarannya melalui pengalaman dan bukan bacaan semata.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar