Adapun
mengapa terjadi siang dan malam..? Panas (“yang”) dan dingin (“im”)..?
Kebaikan dan keburukan..? Tinggi dan rendah..? Keindahan dan
kejelekan..? Nikmat dan sakit..? Pahala dan dosa..?
Tua dan muda..?
Besar dan kecil..? Terang dan gelap..? Kenapa terjadi
Dualisme-Dualisme..? Mengapa ada kutub-kutub..? Dan lebih lanjut dari
dualisme-dualisme ini muncul pula berbagai hal yang plural..? Apakah
hal-hal yang berkutub ganda ataupun hal-hal yang plural ini eksis secara
objektif..? Ataukah mereka hanya eksis secara subyektif..? Apakah benar
terdapat kebaikan dan kejahatan..? Kebenaran dan kesesatan ? Prinsip
kausalitas menyatakan bahwa suatu Sebab tertentu akan menimbulkan akibat
tertentu pula. Tidak mungkin suatu Sebab yang sama menghasilkan
berbagai macam akibat. Maka tidak mungkin Sesuatu yang secara obyektif
tidak terbagi menjadi Sebab bagi suatu akibat yang secara obyektif
terbagi. Karena jika akibat yang ditimbulkannya secara obyektif terbagi
pasti membutuhkan sebab lain yang menimbulkan “keduaan” atau
“kepluralan” akibat obyektif. Jadi dalam hal Sebab Pertama, tidak
mungkin ia menjadi Sebab dari akibat yang terbagi secara obyektif,
karena Sebab Pertama tidak terbagi. Karena Semua adalah akibat dari
rantai sebab yang berujung pada Sebab Pertama, maka tidak mungkin dua
hal yang secara logis kontradiktif kedua-duanya eksis secara obyektif.
Jika yang satu eksis secara obyektif maka yang lain pasti tidak eksis
secara obyektif.
Jadi jika Kebaikan Ada maka kejahatan
tiada. Konsepsi subyektif kita akan ketidakadaan kebaikan dalam sesuatu
itulah yang disebut kejahatan. Jadi kejahatan mungkin ada secara
subyektif dalam artian negasi dari Kebaikan. Demikian pula dengan Tinggi
dan rendah, Besar dan kecil, Panas dan dingin, Muthlaq dan relatif,
Terang dan gelap. Dengan adanya dualisme-dualisme dalam konsepsi
subyektif kita, terdapat ruang-ruang pengertian, relung-relung
pengertian “dua-dua”. Dan karenanya gabungan subyektif-subyektifitas ini
bisa menghasilkan pluralitas. Jadi yang plural (al-katsrah)
itu ada secara subyektif, dan tidak ada secara obyektif. Dengan kata
lain ia hanya ada dalam alam imajinasi. Ada sebuah perumpamaan yang amat
mengesankan dalam Kuliah‘Allamah Sayyid Musa bin Husein Al-Habsyi
Al-Bangili, -seorang Ahli Hikmah Besar dari Bangil-, dalam kuliah beliau
tentang Wahdatul Wujud di kelompok studi Topika, Bandung yang
beranggotakan para aktifis Tarekat ‘Ubudiyyah. Beliau mengumpamakan
fikiran manusia sebagai prisma, dan Wujud sebagai cahaya putih. Ketika
cahaya putih mengenai prisma, prisma akan menguraikannya menjadi cahaya
multi-warna (polikhromatis). Prisma-lah yang memberikan nuansa merah,
ungu, hijaui, biru, kuning, dan berjuta warna-warna antara yang tak
terhitung jumlahnya pada cahaya putih tersebut. Demikian pula Wujud
Fikiran dan pemahaman manusia-lah yang “memberikan” berbagai nuansa pada
Wujud Tunggal Maha Mutlak. Tiap pemahaman manusia tentang Wujud adalah
selarik cahaya hasil uraian prisma “fikirannya”, sehingga dikatakan
bahwa “Maha Suci Ia dari semua apa yang mereka sifatkan”.
Siang berganti malam, menunjukkan adanya
gerak dan perubahan. Gerak adalah perpindahan keadaan dari suatu keadaan
ke keadaan yang lain. Gerak tidak mungkin terjadi jika pada suatu Ruang
yang memang hanya mengandung Satu Titik Mutlak. Karena berarti tidak
akan terjadi perubahan apapun. Karena itu minimal harus terdapat dua
titik agar terjadi gerak dan itulah makna Siang berganti malam. Siang
berganti malam menunjukkan bahwa minimal harus ada satu dualisme agar
terjadi gerak. Dari ini menunjukkan bahwa gerak sebagai gerak, -motion as motion-,
hanya eksis secara subyektif. Sari dari segenap alam adalah gerak, alam
tanpa gerak dan perubahan tidak mempunyai makna. Dalam pengertian yang
sederhana, dalam fikiran kita, ada Tuhan sebagai Sang Maha Sebab dan ada
alam, yaitu segala sesuatu yang bukan Tuhan. Karena dalam fikiran kita
telah ada minimal dua hal yaitu Tuhan dan bukan Tuhan maka dapat terjadi
gerak, dan itulah sari dari penciptaan itu sendiri. Namun perlu
digaris-bawahi bahwa ruang-ruang dualisme (keduaan) maupun pluralisme
(kejamakan) di mana dapat terjadi gerak tersebut, hanya memiliki
eksistensi subyektif. Sehingga keduaan dan kejamakan yang “ada” dalam
berbagai perubahan hanya ada dalam imajinasi.
Dengan kata lain seluruh
alam ini hanya “ada dan jamak” dalam imajinasi. Dan sesungguhnya Semua
ini “Ada dan Tunggal” secara obyektif. Maha Suci Ia yang menciptakan
Siang dan malam sebagai tanda, Yang menciptakan semua selain Ia dalam
imajinasi, Yang membiaskan berbagai peristiwa dalam prisma-prisma
pemahaman hamba-Nya. Maha Suci Ia Yang senantiasa menegaskan bahwa tiada
selain Ia, tiadalah semua yang tiada. Cahaya Wujud Yang Maha Tunggal
memancar dan “dalam” imajinasi seolah tampak keberadaan “ketiadaan”.
Pancaran inilah sumber alam dan semua yang ada. Tapi, sekali lagi, Tiada
selain Wujud Tunggal ini, Tiada apapun selain Dia. Dia dan tiada apapun
selain Dia! Dia!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar