Dalam Nama Allah, Segala Puji Bagi Allah,
Alam-alam ini semua adalah Nama Allah. Dan seluruh hal dalam ribuan
dunia dan akhirat ini senantiasa memuji Allah.
Alkisah, Pak Dalang datang ke kenduri
memainkan wayang Petruk, wayang Semar dan wayang Bagong, wayang
kulit-wayang kulit Mati tapi hidup Kulit-kulit berukir yang memiliki
karakter Pak Dalang memberi kehidupan pada wayang Petruk, Pak Dalang
memberi karakter pada Petruk, Kalau Semar lagi mendem, yang mendem
adalah Pak Dalang, Kalau Semar lagi prihatin, Pak Dalang lagi prihatin,
Kalau dunia perwayangan lagi wingit, yang wingit yaa Pak Dalang.
Wayang itu artinya bayangan, bahasa arab-nya al-ziil.
Yang ditonton bayangannya bukan kulitnya Bayangan Yudistira, raja kaum
haq, bergerak-gerak dan berceramah. Aku itu punya jimat Jimat Pandawa
yang tak terkalahkan Jimat kalimusada (kalimat syahadat)
Pandawa manifestasi utama pesan Dalang tenang Karena jimat ini konon
tak terkalahkan Dan karena Pandawa sudah ma’rifat, kalau jimat yang
konon tak terkalahkan itu sebenarnya bukan konon tak terkalahkan. Tapi
pandawa sampun makrifat kalau jimat ini mesti (niscaya) tak terkalahkan
Pandawa sudah tapabrata mengenai ke-bayangananya (kewayangannya) selama
diasingkan di hutan Sehingga Bima lebih sreg nyedot karakter-karakter
keperkasaan Dalang (al-qowiyyu) maupun kegagahannya (al-qohhaaru). Arjuna lebih sreg diberi karakter-karakter kinasih (ar-ro’uf), kecantikan (al-jamiil), kekesatriaan (futuhaaf)
dan batin-batin Sirr kosmis. Yudistira lambang kearifan puncak. Manusia
yang telah tercerahkan dan mengetahui hakikat-hakikat, tapi juga turut
serta dengan aktif memimpin negara, menyerap asma al-‘aruffu, al-hakimu, al-‘azizu, al-khobiiru dan
asma apa sak srege pak Dalang, Nakula, Sadewa disimpan khusus pak
Dalang keutamannya sebagai lambang-lambang yang tidak mudah dipahami
manfaat jelasnya dalam dunia “nyata” perwayangan.
Wayang-wayang yang belum dipegang Pak
Dalang tergeletak. Tersimpan tapi. wayang tersebut tidak bisa muncul dan
tidak pernah akan muncul di layar tancap. Wayang-wayang gletakan
(tergeletak) seperti bakat-bakat yang berpotensi (a’yaanuts-tsabiita)
yang belum diberik keberadaan. Petruk, yoo bakate dadi. Nek moro-moro
dadi Bimo yoo ora iso , Namung Petruk bisa berbuat baik dan bisa berbuat
salah dalam kePetrukannya. Dan Petruk tidak pernah dikenal di dunia
perwayangan sekiranya Pak Dalang tidak mengangkatnya dan memainkannya.
Petruk tidak ada dan tidak pernah ada dalam dunia wayang jika tidak
diangkat Pak Dalang dan dimasukan nya ke dalam pentas. Tapi sopo sih
sing sajkane pentas..? (Siapa yang sebenarnya pentas..?) Bukan Petruk
kan..? Tapi Pak Dalang. Sopo sih sing sak jane urip..? (Siapa yang
sebenarnya hidup..?) Yoo pak Dalang. Petruk tidak hidup di dunia wayang
dan sekaligus hidup dunia wayang. Petruk itu pak Dalang tapi bukan pak
Dalang. Karena pak Dalang bisa jadi Semar dan bukan Petruk. Karena juga
petruk yang ada di layar itu sebenarnya pak Dalang yang bicara, pak
Dalang yang bergerak dan hanya pak Dalang yang hidup. Jadi Petruk itu
pak Dalang sekaligus bukan pak Dalang.
Sifat Semar itu sifat pak Dalang. Wayang
kulit Semar. Wayangnya mati. Tidak mempunyai kehidupan. Apalagi
mempunyai sifat. Sifat hanya dipunyai oleh sesuatu yang hidup. Padahal
wayang kulit semar mati, yang hidup hanya bayangannya di layar. Yang
hidup sebenarnya Pak Dalang. Jadi sifatnya Semar sebenarnya sifat Pak
Dalang. Dan juga laku (af’al) Semar itu juga laku pak Dalang. Tapi
sekaligus sifat dan laku Semar bukan sifat dan laku pak Dalang.
Kenapa..? Karena pak Dalang itu juga Petruk, pak Dalang itu juga Bagong.
Sifat pak Dalang itu juga sifat Petruk dan sifat pak Dalang dan lakunya
itu juga sifat dan laku nya Bagong.
Pak Dalang memang berjiwa besar. Terlalu
besar untuk ditampung satu wayang. Maka ada banyak wayang. Wayang-wayang
hidup sebagai bayangan di layar. Hanya bayangan. Dunia perwayangan itu
imajinasi/takhayyul. Yang sebenarnya ditonton hanya Pak Dalang. Yang
hidup sebenarnya hanya pak Dalang. Tapi Pak Dalang berjiwa besar dan
sempurna (kamal). Jadi Pak Dalang membuat dunia perwayangan sebagai
bayangan dari dirinya sendiri. Di balik layar, Wayang-Wayang tampak
hidup. Wayang–wayang tampak bergerak. Wayang-wayang berbicara.
Wayang-wayang berkomunikasi. Wayang-wayang ada yang jahat, ada yang
baik, wayang-wayang ada yang diganjari surga dan neraka. Tapi
wayang-wayang semuanya bayangan. Bayangan pak Dalang. Sesudah semuanya
mati Pak Dalang nggrememeng, “Apik tenan wayang iki, opo maneh si
Yudistiro”.(bicara sendiri … “bagus sekali wayang ini , apalagi dia
Yudistira “)
Ya itu hakikat sholawat, Tuhan memuji
dirinya sendiri lewat bayangan-nya (Muhammad) di layar imajinasi. Yang
dipuji sebenarnya yaa Tuhan yaa Muhammad. Karena Seluruh alasan
penciptaan adalah Muhammad. Sifat-sifat Muhammad. Laku-laku Muhammad.
Nama-nama Muhammad. Orang-orang yang disekeliling Muhammad diciptakan
untuk mengejawantahkan percikan-percikan sifat, nama dan laku Muhammad
yang terlalu besar untuk dikandung dalam diri seorang baysar.
Karena itu dibuat selain Muhammad. Yaitu ‘Ali. Setelah itu Fathimah.
Setelah itu turunan-turunan suci Muhammad para Nabi, para malaikat
al-muqorrobiin dan para wali, semua itu hakikat penciptaan tajalliyat
perwayangan, Dunia nyata ini takhayyul, khayalan, ngimpi. Sebagaimana
dikatakan Rasulullah “ Manusia itu tidur, ketika mati ia terbangun ”.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar