Kekacauan hukum, sistem bernegara dan berbangsa negeri ini bak
kahyangan, tempat para anak penguasa, yang sedang dilabrak Petruk,
punakawan Arjuna. Suap-menyuap jaksa yang mulai menyeret beberapa
petinggi Kejagung seolah berkelindan dengan etos pencarian energi
alternatif yang melibatkan ”teknologi jin”.
Di sisi lain, penguasa seolah tersandera para pihak yang dengan lantang
memenuhi ambisi hegemoniknya atas tafsir tunggal kekudusan ilahi.
Nilai-nilai terjungkir balik saat orang saleh yang patuh hukum dituduh
berlaku jahat karena keyakinannya.
Derita warga negeri para anak penguasa itu menjadi lengkap saat
para pejabat menggunakan kekuasaan sebagai alat memperkaya diri, penegak
hukum menjual perkara, dan keamanan dijamin sepanjang bisa membayar
centeng. Pabrik penyedia bibit menjual hak bertani kepada petani dan
broker surgawi menggunakan para kerabat kyai sebagai legitimasi
kekerasan atas siapa saja yang berbeda. Mereka yang saleh secara sosial
berbasis tafsir minoritas dituduh menodai kekudusan ilahi yang halal dan
diusir dari tempat tinggalnya.
Orang-orang miskin yang bekerja keras di pinggir-pinggir jalan kota
diburu seolah pencuri. Pada yang sakit tiada yang peduli. Dosa penilap
miliaran rupiah uang rakyat tidak berarti sepanjang tidak menyimpang
dari tafsir mayoritas. Negeri para penguasa telah gagal melindungi warga
minoritas dan mereka yang miskin.
Pembangkangan
Dalam dunia pewayangan, saat penyimpangan para anak penguasa
meluas, para punakawan—Semar, Gareng, Petruk, dan Bagong—mulai
membangkang. Puncak pembangkangan terjadi ketika Petruk melabrak
Kahyangan Jonggring Saloko (istana para anak penguasa), mengobrak-abrik
dan mendekonstruksi tatanan yang selama ini dipakai para anak penguasa
serta juragan (elite) untuk berselingkuh. Arjuna, sang juragan yang
biasanya dilayani punakawan, dipaksa mematuhi titah Petruk, sang raja
baru. Saat itulah Petruk membuka seluruh aib para anak penguasa dan
juragan, saat semua kekuatan pengontrol lumpuh oleh perselingkuhan
kolektif. Geger kahyangan itu hanya bisa diredam Sang Semar, yang dalam
mitos pewayangan dilukiskan sebagai anak penguasa yang turun ke bumi
menjadi pangawas kehidupan di mayapada.
Kini praktik kehidupan bernegara dan politik seolah seperti situasi
para anak penguasa dalam lakon Petruk Dadi Ratu, saat etik
dijungkirbalikkan dengan laku amoral, baik-buruk kesalehan diukur
berdasarkan tafsir tunggal keyakinan akan yang kudus, dan benar-salah
hukum tergantung pada jumlah bayaran. Anak penguasa menilap uang untuk
memenuhi libidonya dengan seribu dalih.
Bahkan menjadikan lembaga bagai firma yang terus memproduksi barang
dagangan dan mencari untung melalui mekanisme pasar. Rekrutmen anggota
dan pengurus berbasis mekanisme pasar serta penyumbang pundi-pundi
partai akan mendapat kedudukan sesuai jumlah sumbangannya. Seolah
berlomba dengan partai, rekrutmen anggota dan pemimpin organisasi
sipil-keagamaan berlangsung lebih kurang serupa sehingga terperangkap
dalam jaring laba-laba politik kekuasaan.
Derita jamaah menjadi lengkap, seperti balada petani desa. Petani
desa itu berjuang keras meningkatkan produksi agar bisa hidup lebih
layak. Berdasarkan pengalaman panjang, secara kreatif petani
mengembangkan pemuliaan. Impian bisa menikmati hidup lebih baik merebak
saat mereka berhasil menaikkan hasil. Kegembiraan menyebar ke desa-desa
tetangga saat mereka bisa membeli benih ”unggul” itu jauh lebih murah
dengan hasil panen lebih baik.
Namun, impian petani itu menjadi malapetaka, saat tiba-tiba mereka
menerima surat panggilan kepolisian atas pengaduan sebuah perusahaan
anak penguasa. Petani itu menghadapi berbagai tuduhan, seperti pencurian
atau pemalsuan bibit. Beberapa petani pun harus meringkuk di penjara
atas tuduhan yang tak mereka pahami. Ketakutan mengembangkan daya
kreatif pun meluas. Petani itu tidak habis mengerti, ”mengapa negara
menghukum yang kreatif meningkatkan produksi bertani jagung guna
memperbaiki taraf hidupnya”. Tidak ada pembelaan dari instansi penguasa.
Mereka cuci tangan dan ikut menyalahkan petani yang dipandang terlalu
banyak tingkah.
Seperti balada petani, sekelompok warga berusaha mengenal Sang
Kudus yang diyakini dengan menempatkan pemimpin yang dipercaya memiliki
kedekatan dengan para anak penguasa. Dengan bimbingan sang tokoh, mereka
berusaha mempraktikkan hidup saleh, bekerja dengan jujur, bertetangga
secara harmonis, dan membantu warga lain yang memerlukan. Impian hidup
surgawi di bumi dan sesudah mati terus memberi energi kehidupan
sehari-hari.
Bagai disambar petir di siang terik saat mereka tiba-tiba
menghadapi tuduhan menodai kekudusan para anak penguasa akibat
penghargaannya kepada sang pemimpin karena dipandang menyimpang dari
tafsir mayoritas. Mayoritas warga negeri para anak penguasa itu
menempatkan penganut tafsir minoritas sebagai penjahat yang tak bisa
diampuni kecuali bersedia menyatakan tunduk kepada mayoritas. Sebagian
dari mereka diusir dari tempat mereka selama bertahun-tahun menetap dan
beranak-pinak.
Harapan lebih manusiawi
Maksiat sosial-ekonomi berjubah tafsir mayoritas sering dipandang
jauh dari penodaan kekudusan para anak penguasa sehingga tidak patut
dihujat dengan seluruh kekuatan sosial-politik. Neraka seolah begitu
dekat saat yang kudus ditafsirkan dan dimaknai secara unik sebagai basis
kesalehan sosial-ekonomi karena dianggap menodai dasar keyakinan atas
yang kudus.
Inilah saatnya Petruk ke kahyangan, membalikkan keadaan dan
mendekonstruksi hegemoni hukum serta kebenaran yang tanpa keadilan dan
kemanusiaan. Penodaan kekudusan anak penguasa tidak hanya diukur dari
tafsir mayoritas, tetapi juga, yang lebih penting, diukur dari perilaku
saleh secara sosial dan secara ekonomi dalam kehidupan sehari-hari.
Negeri ini punya harapan akan hari depan yang lebih manusiawi,
berkemakmuran, dan berkeadilan di bawah bayangan surgawi. Masalahnya,
bagaimana kita menyadari kebutuhan hidup bersama dalam sebuah
kebhinnekaan. Elite partai, penguasaan, dan keagamaan perlu lebih
mengedepankan aksi nyata kemanusiaan daripada berbusa berdebat tentang
wujud benar akan yang ilahi. Kesalehan ketuhanan dan surgawi juga perlu
dibuktikan dengan kesalehan kemanusiaan yang konkret serta obyektif.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar