Inilah sosok Drupadi yang lahir karena dendam, menanggung dendam dan membawa dendam dalam sepanjang hidupnya – wanita yang lahir dari api
Drupadi
lahir dari api suci upacara putrakarma yang dilakukan oleh raja
Drupada dari kerajaan Panchala karena dendamnya kepada Drouna
sahabatnya yang telah mempermalukan dirinya. Rasa sakit hati dan dendam
yang mendalam membuat Raja Drupada mengadakan upacara suci
putrakarma memohon kepada dewata agar dikaruniai anak sempurna yang
akan membalaskan sakit hatinya atas perlakuan Drauna yang telah
menawan dirinya dan mempermalukan dirinya di depan murid-muridnya.
Drouna yang telah menyuruh Arjuna dan Bima berhasil menawan Raja
Drupada dan membawa Raja Drupada kepadanya dalam keadaan terikat.
Rasa malu yang ditanggungnya membuat ia bersumpah untuk membalas
perlakuan Drouna..
Drupadi
lahir membawa dendam untuk membalaskan sakit hati ayahandanya. Dia
memilih jalannya dan menjalani takdirnya, sebagaimana yang tersirat
dari pesan dalam batin dan doa ayahandanya untuk mencari sosok
laki-laki sempurna yang akan mendukungnya dan sekaligus dalam
genggaman kekuasaannya. Dan dalam kelembutannya Drupadi mempunyai
kekuatan untuk itu. Karena dia anugerah dewata.
Drupada
dan Drouna adalah sahabat karib yang tak terpisahkan, waktu masih
sama-sama belajar pada seorang brahmana miskin putra Baradwaja.
Persahabatan yang tulus dan sehati waktu masih sama-sama sependeritaan
dalam belajar di pertapaan. Drouna adalah seorang yang miskin,
sedangkan Drupada adalah putra seorang raja kerajaan Panchala, tetapi
tidak ada perbedaan dan tidak ada jarak sebagai sesama murid di
pertapaan itu. Yang ada adalah saling berbagi dan saling mendukung
sebagai sahabat. Mereka tak terpisahkan. Bahkan sempat terlontar
ucapan Drupada kepada Drouna, kelak bila ia menjadi raja maka ia akan
memberikan sebagian kerajaannya kepada Drouna. Dan Drouna memegang
janji itu. Waktu terus berlalu, sampai kemudian tiba saatnya mereka
selesai belajar dan berpisah. Drupada kembali ke kerajaan Panchala,
sementara Drouna yang miskin meneruskan belajar ilmu dengan mengembara
dan menjalani hidup sebagai pertapa.
Dan
akhirnya sepeninggal ayahandanya Drupada benar-benar menjadi raja,
dan menikmati hidup sebagai raja yang mempunyai kekuasaan dan
disibukkan dengan berbagai urusan kerajaan. Waktu terus berlalu
sementara Drupada hidup sebagai raja, Drouna terus dalam
pengembaraannya dan persahabatan mereka terputus sekian lama. Sampai
suatu saat Drouna teringat ucapan sahabatnya sewaktu masih sama-sama
belajar di pertapaan dulu, dengan harap-harap cemas berangkatlah ia ke
kerajaan Panchala, kerinduannya pada sahabat membuat langkahnya
makin mantap ke kerajaan Panchala, ditambah keadaan dirinya dan anak
isterinya yang hidup miskin tidak ada pengharapan lagi. Kemana lagi
jika bukan pada sahabat lamanya Drupada.
Manusia
boleh berencana dan berjanji muluk-muluk, tetapi keadaan dan
kenyataan hidup bisa mengubah segalanya. Dan semua janji yang nampaknya
indah di awal bisa lain kenyataan di kemudian hari. Drouna yang
berangkat dengan penuh harapan dan keyakinan, alangkah terkejutnya
mendapat perlakuan Drupada sahabatnya dahulu. Belumlah sempat terlontar
ucapan untuk menagih janji, Drouna sudah diusir dengan perlakuan
kasar dan ucapan yang menyakitkan hati. Drupada tidak mengakui Drouna
sebagai sahabatnya, tidak layak seorang raja Panchala berteman dengan
seorang brahmana miskin seperti Drouna. Lain sekali dengan ucapan
Drupada waktu masih sama-sama menderita sebagai murid di pertapaan.
Kekuasan dan kelimpahan telah melupakan semuanya. Drouna diusir dan
tidak diakui sebagai sahabat Drupada. Rasa kecewa dan sakit yang
mendalam dialami Drouna, begitu mudahnya Drupada melupakan
persahabatan mereka. Berakhirlah persahabatan mereka dengan
meninggalkan luka yang mendalam dalam diri Drouna, rasa kecewa, sedih,
malu dan sakit hati dia bawa keluar dari istana kerajaan Panchala
dan melahirkan dendam dalam diri Drouna. Dia bersumpah tidak akan
menginjakkan kaki di kerajaan Panchala lagi dan akan membalas
perlakuan Drupada saatnya kelak.
Drouna
melihat bakat di antara anak-anak Kourawa dan Pandhawa, tetapi
nampaknya anak-anak Pandhawa lebih serius dalam belajar dibandingkan
anak-anak Kourawa. Dan anak-anak Pandhawa mempunyai bakat dan kemampuan
lebih selain budi pekerti yang jauh lebih baik dari anak-anak
Kourawa. Drouna jatuh hati pada anak-anak ini, diberikannya seluruh
ilmunya. Berbagai ilmu kanuragan, teknik berperang, menggunakan
senjata dan lain sebagainya. Kini kesempatan untuk membalas dendam
dapat ia wujudkan.
Setelah
waktunya dirasa cukup, Drouna mengetes murid-muridnya. Disuruhnya
murid-muridnya menyerang Kerajaan Panchala dan menawan raja Drupada dan
membawanya ke hadapannya dengan catatan jangan dilukai cukup diikat
saja. Pertama-tama disuruhnya Kourawa berangkat, tetapi Kourawa tidak
berhasil mereka pulang dengan tangan hampa. Kemudian Pandhawa
disuruhnya berangkat, dan Pandhawa berangkat dan berhasil menyerbu
kerajaan Panchala. Arjuna dan Bima berhasil menangkap dan mengikat raja
Drupada dan membawanya ke hadapan Drouna. Inilah kesempatan yang
ditunggu Drouna bertahun-tahun.
Dan di hadapan murid-muridnya Drouna menagih janji raja Drupada sahabatnya dulu. Kini raja kerajaan Panchala dalam tawanannya, artinya kerajaan Panchala ada dalam genggaman Drouna, dan Drouna bisa bertindak apapun. Tetapi Drouna hanya mengingatkan dan memberi pelajaran kepada Drupada agar berlaku sebagai raja yang bijak. Dan selanjutnya raja Drupada dilepaskan lagi, dan disuruhnya Arjuna dan Bima mengantarkan Drupada kembali ke kerajaannya dan memperlakukan dia layaknya sebagai seorang raja. Drupada tidak mengiyakan atau menolak permintaan Drouna untuk membagi setengah dari kerajaannya. Tapi rasa malu yang diterimanya melahirkan dendam dalam hati Drupada. Adalah lebih baik mati dibunuh daripada diperlakukan demikian.
Dan di hadapan murid-muridnya Drouna menagih janji raja Drupada sahabatnya dulu. Kini raja kerajaan Panchala dalam tawanannya, artinya kerajaan Panchala ada dalam genggaman Drouna, dan Drouna bisa bertindak apapun. Tetapi Drouna hanya mengingatkan dan memberi pelajaran kepada Drupada agar berlaku sebagai raja yang bijak. Dan selanjutnya raja Drupada dilepaskan lagi, dan disuruhnya Arjuna dan Bima mengantarkan Drupada kembali ke kerajaannya dan memperlakukan dia layaknya sebagai seorang raja. Drupada tidak mengiyakan atau menolak permintaan Drouna untuk membagi setengah dari kerajaannya. Tapi rasa malu yang diterimanya melahirkan dendam dalam hati Drupada. Adalah lebih baik mati dibunuh daripada diperlakukan demikian.
Drupada
tidak segera kembali ke kerajaan tetapi mengembara mencari orang
yang bisa membantu membalaskan dendamnya kepada Drouna kelak.
Sedangkan dia melawan muridnya pun dia kalah. Ia iri pada Drouna yang
mempunyai banyak murid yang taat kepadanya, sedangkan ia hanya
memiliki seorang anak banci yang mempunyai sifat kewanita-wanitaan
Sri Kandhi. Dia menginginkan seorang anak laki-laki yang sempurna
gagah perkasa. Dalam pengembaraannya Drupada bertemu dengan brahmana
Yodya dan Upayodya yang bersedia membantu Drupada mencapai
cita-citanya. Setelah bertapa dua tahun, Drupada kembali ke kerajaan
Panchala. Kemudian diadakanlah upacara putrakarma, memohon kepada
dewata agar dikaruniai anak yang sempurna.
Permohonannya
terkabul, dari dalam api suci keluar sosok laki-laki tampan gagah
perkasa lengkap dengan membawa senjata, disusul kemudian sosok
perempuan cantik jelita dengan warna kulit kehitam-hitaman.
Drestadyumna adalah sosok yang dilahirkan untuk membalas dendam sakit
hati ayahandanya untuk membunuh Drouna.
Sedangkan
Drupadi sosok yang dilahirkan dari rumitnya jiwa dan takdir yang
harus dijalani manusia. Dan dia memahami kegundahan hati ayahnya,
karena memiliki anak yang menurut pandangan umum kurang dihargai
seorang banci Sri Kandhi.
Dan kelak seluruh dunia akan tahu, bahwa seorang kesatria besar ternyata kalah hanya oleh seorang banci
Drupadi berdiri di tengah-tengah antara jiwa seperti Sri Kandhi dan jiwa seperti semua keinginan ayahnya yang tak terucap, tapi dapat dipahami dalam batinnya. Drupadi menghargai kakaknya Sri Kandhi dan memahami jiwanya, kegelisahannya, disisi lain dia juga memahami keinginan ayahanda mereka. Drupadi memahami kepedihan yang dialami oleh seorang yang terlahir tidak sempurna, dan kecewa dengan sikap manusia yang tidak mampu menghargai ketidaksempurnaan, tetapi dalam diri Drupadi juga menghargai kesempurnaan, dan menginginkan kesempurnaan. Kerumitan ini melahirkan sikap tersendiri yang sulit dimengerti orang lain tapi dapat dipahami dalam jiwa manusia yang terdalam. Dendam, yah. Sebuah pilihan yang harus diambil atau dibuang, dan dua-duanya mempunyai resiko dan tanggungjawab moral masing-masing. Sebuah dilema yang sulit pun harus tetap mengambil keputusan. Dan Drupadi mengambil keputusan untuk menjadi dirinya, terlepas dari apakah itu sejalan atau menuruti keinginan ayahandanya atau tidak, Drupadi tetap Drupadi dan kelak pada akhir hidupnya orang baru dapat mengerti Drupadi. Tetapi sepanjang hidup Drupadi, tidak ada yang memahami jiwanya. Dialah api suci. Dialah yang harus mengakhiri dendam diantara semua dendam, dia tahu jalannya, dan dia pilih jalannya.
Inilah
pilihan hidup yang dijalani Drupadi mencari laki-laki sempurna.
Dalam suatu kesematan Khrisna menjawab Drupadi atas pertanyaan yang
menggelisahkan hatinya. Atas keinginannya untuk memenuhi kemauan
ayahandanya mencari sosok laki-laki sempurna, atas pertanyaan dalam
hatinya apakah kakaknya Drestadyumna belum cukup sempurna, dan atas
semua pertanyaan yang tidak terungkapkan dalam kata-kata tetapi
dimengerti sri Khrisna.
Tibalah waktunya bagi Drupadi untuk memiliki calon suami. Suami yang
tentunya gagah perkasa dan kuat seperti keingingan ayahnya Drupada.
Raja Drupada mengadakan sayembara memanah. Barangsiapa dapat memanah
suatu sasaran dengan tepat lima kali berturut-turut dialah calon suami
Drupadi.
Sayembara
ini diikuti oleh seluruh kesatria dari berbagai negeri dan kerajaan.
Tidak kalah ketinggalan putera-putera Korawa dari Hastina, dan para
Pandhawa yang tengah menyamar sebagai brahmana karena pada waktu itu
Pandhawa sedang dalam masa pembuangan. Para peserta sayembara mencoba
mengangkat busur, memasang anak panah dan membidik sasaran. Sasaran
ditempatkan dalam posisi yang terus berputar sehingga sulit bagi
peserta untuk membidik dengan tepat. Hampir semua peserta gagal. Karna
adalah seorang peserta yang berhasil memanah dengan tepat mengenai
sasaran, tetapi Drupadi menolak karena Karna hanya putera seorang kusir
bukan dari golongan kesatria. Karna, sakit hati tapi tak dapat
berbuat apa-apa. Para peserta menggerutu dan menganggap sayembara itu
hanya permainan karena sulit bagi peserta untuk membidik dengan
tepat.
Akhirnya
tampilah seorang brahmana muda yang atas persetujuan Drupada
diizinkan mengikuti sayembara. Brahmana muda yang tidak lain adalah
Arjuna, berhasil memanah dengan tepat mengenai sasaran lima kali
berturut-turut bahkan sasaran sampai terjatuh.
Bersoraklah seluruh peserta dan raja Drupada atas keberhasilan
brahmana muda itu, meskipun beberapa kesatria memprotes tindakan raja
Drupada yang mengizinkan brahmana ikut sayembara. Keributan tak dapat
dihindari, Arjuna dan Bima bertarung dengan kesatria yang melawannya
sedangkan Yudistira, Nakula, dan Sadewa pulang menjaga ibunda mereka
Kunti, Khrisna yang turut hadir dalam sayembara tersebut tahu siapa
sebenarnya para brahmana yang telah mendapatkan Drupadi dan ia
berkata kepada para peserta bahwa sudah selayaknya para brahmana
tersebut mendapatkan Drupadi sebab mereka telah berhasil memenangkan
sayembara dengan baik.
Panah Brahmasta Jemparing Sukma Sang Maha Cinta
Drestadyumna
yang curiga dengan brahmana muda itu mengikuti dari belakang kemana
perginya brahmana itu dan dibawa kemana adiknya. Dan setelah tahu
bahwa brahmana muda itu adalah Arjuna maka legalah hatinya, karena
Drupadi berada pada orang yang tepat dan dilaporkannya hal itu pada
ayahandanya Drupada. Raja Drupada yang mendengar hal ini menjadi lega,
karena jalan untuk membalaskan dendamnya sudah terbuka. Kini ia
dapat menguasai Arjuna dan para Pandhawa untuk membalas sakit hatinya
pada Drouna.
Setelah
keributan usai, Arjuna dan Bima pulang ke rumahnya dengan membawa
serta Drupadi. Sesampainya di rumah didapatinya ibu mereka sedang tidur
berselimut sambil memikirkan keadaan kedua anaknya yang sedang
bertarung di arena sayembara. Arjuna dan Bima datang menghadap dan
mengatakan bahwa mereka sudah pulang serta membawa hasil meminta-minta.
Kunti menyuruh agar mereka membagi rata apa yang mereka peroleh.
Namun Kunti terkejut ketika tahu bahwa putera-puteranya tidak hanya
membawa hasil meminta-minta saja, namun juga seorang wanita. Kunti
tidak mau berdusta maka tak pelak lagi Drupadi pun menjadi istri dari
kelima anaknya, dengan catatan masing-masing digilir satu tahun dan
selama itu masing-masing tidak boleh saling memergoki saudaranya yang
sedang berdua dengan Drupadi. Keputusan ini ditaati oleh putera-putera
Kunti. Dan mereka tidak pernah membantah kata-kata ibundanya.
Drupadi
tertegun. Sejenak tak dapat berkata-kata. Kegamangan, kerisauan dan
sejuta rasa dan pikiran menerawang jauh entah kemana, dan dia tidak
tahu harus berbuat apa. Rasa senang dan puasnya karena dia berhasil
menyanding Arjuna, berubah menjadi tidak karuan ketika menghadapi
kenyataan bahwa ia harus menjadi isteri dari kelima Pandhawa. Artinya
dia harus membagi cinta, kasih sayang dan pengabdian kepada lima
lelaki yang tentunya berbeda karakter dan pembawaannya, dengan cukup
adil dan membahagiakan. Sanggupkah ia melakukan semua ini. Terbersit
kengerian, ketakutan dan kegelisahan, disamping juga rasa puas dan
bangga memiliki lima lelaki dalam hidupnya, yang mungkin jarang bisa
didapat dan dilakukan oleh seorang perempuan.
Terbersit
pertanyaan dalam hatinya apakah ini terkabulnya permohonannya kepada
dewata agung untuk memiliki suami yang sempurna, ataukah kutukan
atas permintaannya. Tetapi sejuta tanya itu disimpannya dalam hati,
kekagumannya kepada ibunda Kunti menguatkannya untuk menjalani semua
ini dengan baik. Apalagi budi pekerti kelima putera Pandhu ini sangat
menawan hati. Mereka sehati dan tidak pernah bermusuhan, selalu akur,
segala perkara bisa diselesaikan dengan baik. Dan inilah yang
menguatkannya untuk berani menjalani takdirnya memiliki lima suami.
Inilah Drupadi dan inilah jalan hidupnya. Inilah Drupadi yang lahir
dari api suci, lahir dari dendam untuk mengakhiri dendam baik yang
sudah terjadi maupun yang belum terjadi. Dan memutus mata rantai dendam
yang tak berkesudahan, dan mengembalikan roda dharma pada tempatnya,
dengan menanggung jalan hidupnya. Disamping mengikuti dendam ayahnya
Drupadi juga perempuan yang punya perasaan terhadap lelaki.
(Yudisthira = kebijaksanaan, Bhima = Kekuatan, Arjuna – Keterampilan, Nakula =
Kecakapan Fisik, Sadewa = Kecerdasan ) dan takdir ini mengambil jalan melalui
ucapan Kunti yang mengatakan “bagilah dengan saudara-saudaramu”
Dalam suatu kesempatan Khrisna menjawab pertanyaan Drupadi:
Permohonan Drupadi di kabulkan dewata agung tetapi karena
manusia memang tidak ada yang sempurna maka takdir Drupadi
harus menikah dengan 5 orang pria yang masing-masing mewakili kesempurnaan
Permohonan Drupadi di kabulkan dewata agung tetapi karena
manusia memang tidak ada yang sempurna maka takdir Drupadi
harus menikah dengan 5 orang pria yang masing-masing mewakili kesempurnaan
(Yudisthira = kebijaksanaan, Bhima = Kekuatan, Arjuna – Keterampilan, Nakula =
Kecakapan Fisik, Sadewa = Kecerdasan ) dan takdir ini mengambil jalan melalui
ucapan Kunti yang mengatakan “bagilah dengan saudara-saudaramu”
akhir dari kehidupan para ksatria pandawa dan tujuan akhir yang dicari dalam kehidupannya:
pada
hari yang telah ditetapkan, para Ksatria Pandawa bersama Drupadi
meningalkan istana dengan perasaan pilu diiringi isak tangis keluarga
dan rakyatnya. Tidak sepotong pun harta dunia yang dibawa, bahkan
pakaian pun terbuat dari kulit. Ketika mereka keluar dari istana seekor
anjing mengikuti dari belakang. Mereka berjalan ke arah timur masuk
hutan keluar hutan, kemudian berbelok ke selatan dan akhirnya sampai
di pegunungan Himawan (Himalaya) yang di situ terbentang alam terbuka
gurun pasir yang terhampas luas sejauh mata memandang. Gurun itulah
yang akan mereka tempuh. Setelah bersemadi beberapa saat, mulailah
mereka memasuki istana alam di bawah teriknya sinar matahari menyengat
sekujur badan
Tiba-tiba Drupadi mengaduh dan jatuh terkulai serta tak lama kemudian menemui ajal, Bima sedih melihatnya dan bertanya: “Kakangku, Drupadi telah mati, apakah ia membawa dosa?”
Yudhistira:
“Adikku Bima, setiap kematian membawa dosa. Semasa hidupnya Drupadi
bertindak pilih kasih. Ia lebih mencintai Arjuna daripada kita. Dosa
itulah yang akan ia bawa,” jelasnya.
sadewa
Yudhistira:
“Adikku, Tuhan tidak menyukai orang yang sombong. Ketika masih hidup
Sadewa suka menyombongkan diri, bahwa dialah yang paling pintar tak
ada yang mengungguli. Padahal setiap manusia mempunyai keterbatasan.
Itulah dosanya.”
Perjalanan
diteruskan dan semakin jauh menyelusuri gurun pasir dan kelelahan
pun semakin terasa. Tiba-tiba nakula pun terjatuh dan menghembuskan
nafas yang terakhir.
nakula
Bima kembali bertanya: “Kakang Yudhistira, Nakula pun menyusul, bagaimana pendapatmu?”
“Jika seseorang merasa dirinya lebih dari yang lain, maka orang itu takabur. Begitupun Nakula.
Ia
merasa dirinya yang paling tampan tiada duanya. Itu pertanda hatinya
tak setampan lahirnya. Karena itu ia tak dapat mengikuti kita,” jelasnya.
Belum
kering mulut Yudhistira berkata, giliran Arjuna jatuh terkulai
mengalami nasib yang sama. Padahal kesaktiannya seperti Hyang Indra
“Apakah dosanya Kang?”
Yudhistira:
“Arjuna pun terkena penyakit takabur. Ketika anaknya mati, ia telah
sesumbar sanggup mengalahkan musuh dalam satu hari sebelum matahari
terbenam. Padahal kesanggupannya hanya terdorong oleh nafsu semata,
sehingga janjinya tak dapat dibuktikan. Itulah dosanya.”
bima
Kata-katamu kasar tak perduli dengan siapa engkau berbicara. Selain itu engkau selalu menyombongkan kekuatanmu. Karena itu terimalah apa yang telah engkau lakukan,” dan sang Bima pun menemui ajalnya.
yudistira (punta dewa/sami aji)
Tinggallah Yudhistira seorang diri hanya ditemani anjingnya yang sangat setia. Hatinya sedih tak terperikan lalu ia berdoa: “Duh Maha Agung, terimalah adik-adik hamba menghadap -Mu. Meski mati membawa dosa, tetapi mereka pun banyak berbuat amal kebaikan semasa hidupnya. Karena itu ampunilah dosanya, berilah mereka tempat yang layak sesuai dengan amal perbuatannya.”
Kemudian
ia berkata kepada anjingnya: “Anjingku yang setia, engkau telah
menjadi saksi atas kepergian adik-adikku. Tak lama lagi mungkin
giliranku. Tapi aku sangat sedih karena kau harus menyendiri. Padahal
selama ini engkau begitu setia menyertaiku.”
Baru
saja Yudhistira hendak beranjak, tiba-tiba di angkasa terdengar
suara mengguruh ternyata Hyang Indra datang dengan kereta kencana tiba
di hadapan Yudhsitra seraya bersabda: “Ya Yudhistira, janganlah
engkau bersedih atas kematian adik-adik dan istrimu. Mati telah
menjadi bagian setiap manusia. Sekarang naiklah ke atas kereta,
engkau akan kubawa ke swarga tanpa harus meninggalkan jasadmu sebagai
penghargaan atas keutamaanmu.
Yudhistira
: “Ya sang Pikulun, hamba sangat bersyukur mendapat anugerah yang
tak terhingga besarnya. Hanya ada satu permintaan sebelum paduka
membawa hamba.” “katakan apa yang kau minta?” tanya Indra. “Hamba
mohon supaya anjing ini diperkenankan turut serta naik ke swarga,”
pintanya.
Indra
: “Yudhistira, ketahuilah bahwa engkau akan kubawa ke alam yang
teramat suci tanpa noda sedikit pun. Seedang anjing adalah hewan yang
sangat kotor. Karena itu jangalah engkau memikirkannya, walaupun ia
setia padamu.”
Yudhistira
: “Kalau demikian lebih baik hamba tinggal di sini bersamanya. Hamba
tidak tega meninggalkan dia sendirian di tengah hamparan pasir yang
luas sejauh mata memandang. Dia telah merasakan kelelahan yang amat
sangat menempuh perjalanan yang amat jauh bersama hamba,” jawab
Yudhistira bertahan.
Indra : “Kalau begitu engkau tidak menghargai kesetiaan saudara-saudaramu yang telah pergi lebih dahulu. Selama hidupnya mereka begitu setia kepadamu hingga akhir hayatnya. Lalu mana kesetiaanmu kepada mereka?” sergahnya.
Indra : “Kalau begitu engkau tidak menghargai kesetiaan saudara-saudaramu yang telah pergi lebih dahulu. Selama hidupnya mereka begitu setia kepadamu hingga akhir hayatnya. Lalu mana kesetiaanmu kepada mereka?” sergahnya.
Yudhistira
: “Tidak dapat dikatakan hamba tak akan setia kepada mereka, karena
mereka telah ajal lebih dahulu. Kecuali jika mereka masih hidup
kemudian hamba meninggalkan mereka, barulah itu dikatakan bahwa hamba
tidak setia kepada mereka. Dan kini seekor anjing walaupun hewan
kotor, karena dia sangat setia kepada hamba dan adik-adik hamba, apakah
hamba harus tega meninggalkannya sendirian di alam terbuka tanpa ada
yang menemani. Bukankah anjing juga makhluk Tuhan? Oh, tidak sang
Pikulun, lebih baik hamba tak ke swarga daripada harus meninggalkan
dia,” kilahnya.
Tiba-tiba
anjing itu menghilang dan Dewa Darma telah berada di hadapan
yudhistira merangkul dan bersabda: “Anakku Yudhistira, telah dua kali
aku menguji keutamaanmu. Pertama ketika saudara-saudaramu mati di
tepi hutan karena minum air kolam. Ketika kau minta supaya Nakula
yang dihidupkan bukan Arjuna saudara sekandungmu, karena engkau lebih
mengutamakan keadilan daripada kasih sayang. Dan sekarang engkau
lebih baik tak jadi ke swarga daripada harus meninggalkan seekor
anjing yang setia kepadamu. Mengingat keutamaanmu, engkau
diperkenankan naik ke swarga bersama jasadmu.”
syang hyang darma suci
Ringkas cerita Yudhistira telah naik ke alam akhirat. Setibanya di sana ia melihat-lihat apakah saudara-saudaranya berada di situ. Ternyata tak seorang pun ia lihat. Bahkan ia kaget ketika melihat Duryudana sedang duudk di singgasana disanjung dan dimuliakan. Ia berkata dalam hatinya: “Ah, ini tidak sesuai dengan karyanya di dunia. Walaupun ia raja tapi ia berwatak angkara. Justru dialah yang menyulut api perang Baratayudha. Tapi mengapa ia justru ditempatkan di swarga?”
Batara Narada yang menyertai terusik rasa, tahu apa kata hati si anak Pandu itu lalu berkata: “Wahai
Yudhistira, janganlah engkau heran. Matinya Duryudana di medan
perang sebagai seorang perwira. Maka sudah sepantasnya Maha Kuasa
mengganjar dengan kemulian.”
“Hamba
tak berhak mencampuri urusan akhirat, silahkan bila Duryudana diberi
ganjaran kemuliaan. Tetapi kalau tempat ini pantas untuk Duryudana,
lalu di manakah tempat berkumpulnya saudara hamba?” tanya Yudhistira.
Narada lalu menitahkan seorang ahli swarga mengantar Yudhistira ke tempat saudaranya berkumpul.
Ternyata
jalannya penuh kerikil dan batu-batuan. Ribuan nyamuk berterbangan,
di sepanjang jalan darah berceceran, daging terkeping-keping serta
tulang-tulang berserakan ditambah bau amis sangat menyengat.
Tak
lama terlihat sebuah kancah dengan godongan minyak yang sangat panas
sedang menggodog manusia-manusia yang sedang disiksa. Yudhistira tak
sampai hati dan ingin berlalu. Tetapi tiba-tiba ada suara
menghimbau: “Oh, jangan pergi dulu sang Prabu, karena air minyak
yang sangat panas ini, begitu tuan datang mendadak menjadi sangat
dingin bagai hawa di pegunungan.”
Ternyata
yang berbicara bukan hanya seorang, tetapi beberapa orang yang
sedang mendapat siksaan. Yudhistira kaget, karena ia mengenal
satu-satunya suara itu. Lalu ia bertanya siapa tadi yang bertanya.
Maka mereka menjawab: “Aku Karna, Aku Bima.” Lalu lainnya: “Saya Arjuna,”
demikian seterusnya sampai nama Nakula Sadewa dan Drupadi. Setelah
jelas bahwa mereka yang sedang mendapat siksaan itu adalah
saudara-saudaranya, Yudhistira minta kepada pengiringnya agar
meninggalkan tempat itu. Biarlah dia ingin menyertai mereka, agar
godongan minyak itu tetap dingin.
Tetapi
tak lama kemudian berdatanganlah para Dewa ke tempat siksaan dan..
seketika tempat yang semula berupa kancah godongan berubah menjadi
suatu tempat yang amat indah tiada tara, sejuk nyaman dengan semilir
angin yang menyejukkan ditambah tercium harum yang mewangi di
sekitarnya. Hyang Indra kemudian bersabda:
“Yudhistira,
jangan engkau masygul, sebab ini adalah suatu rahasia. Setiap
manusia tak dipilih-pilih harus ke neraka. Hanya ada aturan tertentu,
siapa yang ke swarga dahulu, selanjutnya harus ke nereka.
Dan
siapa yang ke neraka dahulu, akhirnya akan ke swarga. Artinya
apabila di dunia hidupnya berbuat jahat, maka di akhiratnya akan
diganjar swarga dahulu, kemudian dimasukkan ke nereka. Sedang tuan
harus melihat, sebab tuan pernah berbohong menipu Dorna ketika perang
tuan mengatakan bahwa Aswatama telah mati. Demikian pula
saudara-saudara tuan masuk kenera karena ada dosanya. Tetapi sejak
hari ini, hukumannya telah ditutup dan mereka akan masuk swarga. Nah,
biarkan mereka lebih dahulu memasuki gerbang Nirwana.”
Setelah itu sukma Yudhistira medal dari raga badannya dan dengan diiringi para Dewa masuk ke swarga bertemu dengan saudara-saudara serta para kerabat dan sahabatnya mendapat sejatining kemuliaan.
Setelah itu sukma Yudhistira medal dari raga badannya dan dengan diiringi para Dewa masuk ke swarga bertemu dengan saudara-saudara serta para kerabat dan sahabatnya mendapat sejatining kemuliaan.
Sanghyang sukma sejati....engkang anglenggahi telenging ati..menopo tego loro tego pati panjenengan sowan piyambak ing ngarsanipun....yo yo raganiro...jeneng siro wus mangerteni babakan iki kanthi lumantar guru sejatiningsun nora susah rogoniro bali menyang patang anasir..hayo nggayuh sampurnaning dumadi (jeneng siro bakal kawedar babakan kamuksan.ateges sampurno lan paripurno)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar