Mengapa manusia harus reinkarnasi? Apa hikmah yang terkandung di dalamnya?
Hikmah besar yang terkandung dalam reinkarnasi adalah sebagai bentuk pembelajaran/pelatihan kepada manusia agar kualitasnya semakin lama semakin baik sehingga mencapai manusia yang sempurna (insan kamil) agar mampu kembali kepada-Nya.
Hikmah besar yang terkandung dalam reinkarnasi adalah sebagai bentuk pembelajaran/pelatihan kepada manusia agar kualitasnya semakin lama semakin baik sehingga mencapai manusia yang sempurna (insan kamil) agar mampu kembali kepada-Nya.
Maha suci Tuhan yang memiliki kerajaan. Dan Dia berkuasa atas segala sesuatu.
Dialah yang menciptakan mati dan hidup bagimu dengan memberikan “balawa” (pelatihan) kepadamu untuk memberikan nilai (anugrah) bagi siapa yang lebih baik amalannya.. Dia Maha Perkasa lagi Maha Pengampun. (Q.S Al Mulk (67) : 1-2)
Dialah yang menciptakan mati dan hidup bagimu dengan memberikan “balawa” (pelatihan) kepadamu untuk memberikan nilai (anugrah) bagi siapa yang lebih baik amalannya.. Dia Maha Perkasa lagi Maha Pengampun. (Q.S Al Mulk (67) : 1-2)
Pada
ayat Al Mulk tersebut, Tuhan menciptakan mati dan hidup adalah
untuk memberikan pelatihan. Banyak ulama yang mengartikan kata “mati”
diatas sebagai ketiadaan. Padahal kata “mati”
bukanlah ketiadaan melainkan kematian itu terjadi setelah adanya
kehidupan dan kehidupan pun berakhir setelah adanya kematian.
Mati dan hidup adalah proses yang silih berganti.
Perhatikan firman Allah berikut ini :
Engkau masukkan malam ke dalam siang dan Engkau masukkan siang ke dalam malam. Engkau keluarkan yang hidup dari yang mati, dan Engkau keluarkan yang mati dari yang hidup (Q.S.Ali Imran (3) : 27)
Ayat
diatas sebenarnya merupakan dalil reinkarnasi juga karena dengan jelas
sekali mengatakan hidup dan mati adalah proses yang silih berganti. Mati
dan hidup adalah ciptaan Allah, dan segala ciptaan Allah tidaklah kekal
(tetap). Hidup akan diakhiri dengan kematian dan kematian pun akan
diakhiri dengan kehidupan. Proses ini akan terus menerus terjadi sampai
manusia itu mencapai kesempurnaan dan kemudian barulah ia dapat kembali
kepada-Nya, sebagaimana firman berikut ini :
Mengapa kamu kafir kepada Allah, padahal kamu tadinya mati, lalu Allah menghidupkan kamu, kemudian kamu dimatikan dan dihidupkan-Nya kembali, kemudian kepada-Nya lah kamu dikembalikan. (Q.S Al Baqarah (2) : 28)
Harap
dipahami bersama bahwa kematian yang kita maksudkan adalah kematian
fisik manusia. Jiwa manusia sesungguhnya tidak pernah mengalami mati
sebagaimana matinya fisik manusia.
Dan janganlah kamu mengatakan orang-orang yang gugur di jalan Allah itu mati. Sesungguhnya mereka itu hidup, tetapi kamu tidak mengetahuinya. (Q.S Al Baqarah (2) :154)
Kembali pada pembahasan Q.S Al Mulk (67) : 1-2 diatas, kata liyabluwakum (balawa), kita terjemahkan dengan kata “pelatihan”. Di banyak tafsir kata balawa sering
diartikan “menguji”. Terjemahan ini sebenarnya kurang tepat, sebab
kata “menguji” bisa mengandung arti Allah tidak mengetahui kualitas
hamba-Nya sehingga perlu diadakan ujian. Padahal jelas Allah tidak perlu menguji siapapun..
Allah sudah pasti tahu mana yang hamba-Nya lurus dan mana hamba-Nya yang sesat, jadi buat apa di uji segala?
Dengan demikian, tujuan Allah menciptakan mati dan hidup adalah untuk melatih, (men-training) manusia agar mencapai kualitas yang lebih baik. Agar bisa memperbaiki
diri dan meningkatkan amalnya. Dengan proses mati dan hidup
inilah Tuhan akan memberikan imbalan kepada mereka yang lebih baik
amalannya.
SURGA DAN NERAKA
Jika
reinkarnasi itu adalah siklus hidup-mati yang terus berulang, apakah
akan ada akhirnya? lalu kemana surga dan neraka yang dijanjikan Tuhan ?
Nah jangan salah mengira bahwa reinkarnasi itu tidak ada ujungnya. Reinkarnasi tentu ada akhirnya!
Siklus hidup-mati (roda samsara) akan berakhir manakala manusia menyempurnakan dirinya sehingga dapat kembali kepada-Nya. Innaalillahi wa innaa ilaihi raajiuun (sesungguhnya
kita berasal dari Allah dan akan kembali pada Allah). Kalimat
ini sering diucapkan oleh banyak umat Islam tapi jarang yang menyadari
bahwa kalimat itulah yang harus
menjadi tujuan akhir dari seluruh perjalanan hidup manusia yakni kembali
kepada-Nya. Kata “kembali” pada ayat diatas tentu maksudnya adalah
benarbenar kembali kepada Tuhan, bukan masuk ke surga apalagi neraka.
Loh…
bukankah tiap orang yang mati itu bermakna sudah kembali kepada-Nya?
Ya tentu saja tidak. Wong masuk neraka ya jelas belum kembali pada
Tuhan, apalagi yang matinya bunuh diri.
Tuhan itu Maha Suci jadi hanya orang suci yang bisa kembali kepada-Nya.
Surga pun hanya imbalan dari Tuhan agar manusia makin menyempurnakan dirinya.
Dalam Q.S 32:9, 21:91, 15:29
telah dinyatakan bahwa ruh-Nya ditiupkan ke diri manusia agar
ciptaan-Nya (manusia) makin sempurna. Manusia menjadi hidup karena adanya
ruh dari Sang Maha Hidup. Dan karena ruh itu adalah ruh-Nya maka
pastilah akan kembali kepada-Nya cepat atau lambat. Adapun surga dan
neraka sebenarnya hanyalah alam-alam ciptaan Tuhan dimana tiap-tiap manusia akan melewatinya.
Ibarat tangga yang akan menuju kepada-Nya, surga dan neraka adalah titian tangga yang memang harus dilewati tiap manusia. Oleh
karena ada manusia yang mendapat surga, neraka dan yang telah
kembali kepada-Nya maka Al Quran pun membagi manusia menjadi tiga
golongan. Mari simak ayat berikut :
Dan kamu menjadi tiga golongan, yaitu golongan kanan, alangkah mulianya golongan itu dan golongan kiri, alangkah sengsaranya golongan itu. Dan orangorang yang beriman, merekalah yang paling depan. (Q.S Al Waaqi’ah (56) :7-10)
Golongan
kanan pada ayat diatas adalah yang akan mendapat surga. Golongan
kiri adalah mereka yang mendapat neraka. Sedangkan orang-orang yang
beriman inilah orang yang
terdepan, terunggul sehingga ia mampu kembali kepada-Nya dengan
jiwa yang tentram sebagaimana disampaikan pada ayat berikut ini :
Hai jiwa yang tentram, kembalilah kepada Tuhanmu dengan hati yang puas (rela) dan diridhoi-Nya. (Q.S Al Fajr (89) : 27-28)
Manusia yang telah kembali kepada-Nya, dalam istilah jawa disebut juga moksa. Begitu meninggal langsung manunggal dengan Tuhannya tanpa melalui neraka, tanpa melalui surga. Semua alam ciptaan-Nya telah di bypass. Manusia yang memiliki kualitas sebagaimana Nabi, Rasul dan para wali-Nya adalah mereka yang mampu kembali kepada Tuhannya secara sempurna.
Di
ayat berikut akan nampak jelas bahwa Nabi, Rasul dan para wali-Nya
tidak berada disurga melainkan ditempat yang tertinggi dan senantiasa
menyaksikan kehidupan manusia yang masih di ada di surga dan neraka :
Dan diantara keduanya (penghuni surga dan neraka) ada batas; dan diatas tempat tertinggi (a’raaf) itu ada orang-orang yang mengenal masing-masing dari dua golongan itu dengan tanda-tanda mereka. (Q.S Al A’raaf (7):46)
Bagi
para Nabi, Rasul atau para wali, surga bukanlah tujuan utama mereka.
Salah seorang sufi ternama wanita abad ke IX M, Rabiah Adawiah justru
mengusung slogan “Membakar surga, menyiram neraka”. Simak pusinya berikut ini :
Bila aku beribadah kepada Engkau, Ya Allah, karena mengharap surgaMu, maka jauhkanlah surga itu dariku. Bila aku beribadah kepada Engkau, Ya Allah, karena takut api nerakaMu maka biarlah aku masuk api nerakaMu, Asalkan Engkau tidak meninggalkan aku”.
Rabiah
berpuisi seperti itu karena ia sangat tahu bahwa surga dan neraka
bukanlah terminal akhir perjalanannya. Kerinduan untuk kembali
kepada-Nya adalah segalanya karena kebahagiaan yang kekal akan menjadi miliknya. Inilah terminal akhir yang sesungguhnya.
Surga
dan neraka tidaklah kekal karena kekekalan atau keabadian cuma Allah
semata. Surga dan neraka adalah ciptaan Allah. Tiap ciptaan pasti
pasangannya kematian. Manusia diciptakan maka manusia dimatikan juga. Ada awal pasti ada akhir. Cuma Allah lah yang tiada berawal dan berakhir sehingga Allah tidaklah sama dengan ciptaan-Nya sendiri. Kalau di Quran disebut surga dan neraka adalah alam yang kekal maka hendaknya jangan ditafsirkan secara harfiah. Hidup seribu tahun di neraka menurut
ukuran manusia bisa jadi bagaikan tinggal di neraka selama-lamanya.
Jadi kata “kekal” bermakna relatif yakni suatu ukuran waktu yang
dirasakan sangat lama oleh manusia.
Manusia
yang belum mampu kembali kepada Allah, akan tetap terus
mengalami siklus hidup mati, sampai akhirnya sempurna dan mampu
manunggal (menyatu) dengan
Tuhannya. Manunggal dengan Tuhan tentunya tidak mudah. Tidak
mudahnya dimana? Namanya manunggal dengan Tuhan berarti kita terlebih
dahulu harus mengenal Allah (makrifatullah). Seseorang harus mampu mengenal Allah melalui Af’al-Nya, Asma-Nya, Sifat-Nya dan Dzat-Nya.
Dalam
proses mengenal Allah tentunya kita juga harus berusaha mengendalikan
hawa nafsu dan memiliki ahlak yang baik. Nabi SAW bersabda : “Berbudi
pekertilah kamu sebagaimana budi
pekerti Tuhan”. Coba pikir… umur manusia rata-rata hanya sekitar 65
tahun, bagaimana mungkin memiliki budi pekerti sebagaimana budi pekerti
Tuhan hanya dengan “modal” umur
puluhan tahun. Tentu saja sulit dan untuk itu manusia memerlukan
perjuangan dan perjalanan yang panjang untuk mencapai kualitas budi pekerti Tuhan.
Loh
koq Nabi SAW bisa? ya tentu saja, karena Nabi SAW usia ruhnya sudah
sangat tua, sudah banyak makan asam garam kehidupan melalui proses
mati-hidup yang berulang. Jangan
melihat usia fisik nabi yang hanya mencapai 63 tahun. Tapi sadari bahwa
usia ruh beliau sangat tua. Makannya di Quran disebut bahwa Nabi SAW adalah
suri teladan yang baik. Suri teladan ya berarti bisa di contoh, dan
tiap manusia pasti cepat atau lambat akan mampu mencapai kualitas Nabi
SAW atau para nabi yang lainnya.
Janganlah
kita pesimis apalagi berpendapat bahwa manusia tidak ada yang
bisa menyamai para Nabi dan Rasul. Semua manusia diberi kesempatan yang
sama oleh Allah untuk mencapai kesempurnaan diri (insan kamil). Kita harus bisa mencontoh senior kita, baginda Nabi SAW, meski untuk mencapai kualitas nabi harus melalui siklus
hidup dan mati ratusan ribu atau mungkin jutaan kali. Semakin banyak
menebar kebajikan di bumi ini maka semakin cepat ruhani akan mencapai
kesempurnaan untuk kembali kepada-Nya.
Nah,
untuk kembali kepada-Nya sebenarnya sangat logis dan masuk akal jika
manusia memerlukan waktu yang sangat panjang. Di Al Quran telah
disebutkan :
Malaikat-malaikat dan Jibril menghadap Tuhan dalam sehari yang kadarnya lima puluh ribu tahun. (Q.S Al Ma’aarij (70) :4)
Berdasarkan
ayat diatas, perjalanan satu hari malaikat untuk menghadap Tuhan
adalah sama dengan 50.000 tahun. Asumsi kecepatan malaikat adalah
kecepatan cahaya yakni 300.000
km/detik. Pada saat ayat tersebut diturunkan, manusia kira-kira
baru bisa menempuh perjalanan 100 km dalam sehari. Ini artinya
perjalanan sedetik malaikat sama
dengan perjalanan manusia 3.000 hari atau sekitar 8 tahun. Jadi
untuk perjalanan menghadap Tuhan dalam satu hari malaikat perlu waktu
lebih dari 200 miliar tahun bagi manusia. luar biasa !!
Hitung-hitungan sederhana diatas membuktikan bahwa satu kali perjalanan hidup manusia sama sekali tidak ada apa-apanya. Bagaikan sebutir pasir di padang gurun yang
luas. Terlalu pendek dan tidak masuk akal bagi manusia untuk kembali
kepada-Nya hanya dengan modal umur puluhan tahun saja. Seorang filsuf
jenius Perancis, Voltaire malah mengatakan : “kelahiran dua kali tidak lebih mengherankan daripada kelahiran sekali”.
Bagi
yang sudah mampu kembali kepada-Nya seperti para Nabi, Rasul dan para
wali, jelas mereka tidak tinggal di surga melainkan telah berada
ditempat tertinggi, manunggal dengan
Tuhannya sehingga kenikmatan bersama-Nya bersifat kekal dan abadi.
Inilah yang disebut “surga” yang tertinggi. Kebahagiaan yang dirasakan
adalah kebahagiaan absolut yang
berada diluar jangkauan angan-angan. Kebahagian yang lahir dalam “Diri”
sendiri, bukan kebahagiaan yang datang dari luar dirinya. Inilah kebahagiaan kekal yang tidak bisa digambarkan oleh pikiran kita. Tentu hanya mereka sendiri yang bisa merasakannya.
Tak seorang pun mengetahui kebahagiaan yang disembunyikan bagi mereka, sebagai imbalan terhadap kebajikan yang mereka lakukan. (Q.S As Sajdah (32) : 17)
Surga
yang masih merupakan alam ciptaan Tuhan, sesungguhnya adalah target
jangka pendek bagi manusia. Dikarenakan manunggal dengan Tuhan memang
tidak mudah, paling tidak
manusia diharapkan minimal mendapat surga dengan perbuatan yang baik
selama hidupnya sekarang. Itulah sebabnya iming-iming surga banyak
disebut di Quran dan Hadist.
Dengan melalui tangga-tangga surga, maka kita akan lebih cepat sampai
kepada-Nya ketimbang mereka yang kualitasnya masih level neraka.
Nah,
dimanakah sebenarnya letak surga dan neraka itu? Banyak yang tidak
menyadari bahwa bumi tempat kita tinggal inilah salah satu surga
sekaligus neraka ciptaan-Nya. Tentu
bumi ini bukanlah satu-satunya ciptaan Allah, melainkan banyak bumi
(planet) lain yang juga diciptakan Allah. Jadi surga dan neraka itu
adanya dibumi yang diciptakan
Allah dengan kualitas yang berbeda-beda (bertingkat). Di Al Quran
telah dijelaskan bahwa surga ternyata memiliki berbagai tingkatan :
Tetapi orang-orang yang bertaqwa kepada Tuhannya mereka mendapat tempat yang tinggi, diatasnya dibangun pula tempat-tempat yang tinggi yang dibawahnya mengalir sungai-sungai. Allah telah berjanji dengan sebenar-benarnya. Allah tidak akan memungkiri janji-Nya. (Q.S Al Zumar (39) : 20)
Surga
atau planet sebagaimana yang dijelaskan pada ayat tersebut ternyata
memiliki jarak yang lebih jauh dan juga kualitas alam yang lebih baik
daripada bumi yang kita tempati
sekarang ini. Semakin tinggi kualitas surga tentu akan semakin
nyaman manusia tinggal didalamnya. Kualitas air yang jauh lebih sehat
dan nikmat untuk diminum,
kualitas buah-buahan yang ranum dan lebih cepat berbuah kembali
seakanakan tidak pernah habis, kualitas fisik manusia yang lebih rupawan
dan lain sebagainya. Dengan
banyaknya tingkatan surga inilah maka di Al Quran disebut bahwa surga
itu seluas langit dan bumi. Tentu surga sebagaimana ayat diatas bisa
kita dapatkan asal kita banyak menebar kebajikan.
Semakin
banyak kita berbuat kebajikan maka semakin tinggi pula kualitas surga
yang bisa didapatkan. Namun sebaliknya, semakin buruk perbuatan kita
maka yang di dapat pun akan
buruk pula yakni bumi yang dipenuhi oleh kesengsaraan hidup.
Bumilah tempat manusia menerima buah dari segala yang dikerjakannya,
sebagaimana firman Allah di Al Quran :
Dan Allah menciptakan langit dan bumi dengan tujuan yang benar dan agar dibalasi tiap-tiap diri terhadap apa yang dikerjakannya dan mereka tidak akan dirugikan. (Q.S Al Jaatsiyah (45) : 22)
Jadi,
bagi kita yang merasakan kedamaian hidup di bumi yang sekarang kita
pijak ini berarti kita mendapat surga. Bisa jadi dengan mendapat materi
yang cukup, keluarga yang sakinah, kematangan spiritual dan berbagai kebahagian hidup lainnya.
Sebaliknya
bagi kita yang merasa di dunia mengalami kesengsaran hidup yang
seakan tiada putusnya maka berarti kita mendapat neraka. Jadi, surga itu
sebenarnya bermakna kebahagiaan
batiniah dan neraka bermakna kepedihan batiniah. Jadi yang ingin dituju
dari pengertian surga dan neraka sebenarnya bukanlah fisik buminya melainkan batin manusia yang menempatinya.
Nah,
oleh karena batin itu bukan benda maka dalam Al Quran, surga atau
neraka dijelaskan secara metafor (perumpamaan) dan perumpamaan surga
dalam Quran pun di sesuaikan dengan iklim alam bangsa Arab pada saat itu yang panas dan gersang.
Dengan
menggambarkan surga seperti taman yang indah maka diharapkan
mereka terpikat dengan surga sebab surga seperti itu memang kontras
sekali dengan iklim mereka yang panas
dan gersang. Tidaklah heran jika ada orang Arab yang pergi ke puncak
Ciawi, Jawa Barat akan terpana seakan-akan melihat surga yang
disebut-sebut oleh Al Quran.
Permisalan surga yang dijanjikan kepada orang-orang yang bertaqwa ialah suatu lingkungan yang didalamnya mengalir sungai-sungai. Segalanya serba berkekekalan. Begitu pula naungannya. Itulah tujuan bagi orang-orang yang bertaqwa. Adapun akhir bagi mereka yang kafir adalah api. (Q.S Ar Ra’d (13) : 35)
Nah,
jika orang bertakwa mendapat surga maka sebaliknya mereka yang
kafir balasannya adalah api. Tapi bukan api yang sesungguhnya. Ini
adalah permisalan. Kalau neraka
itu benar-benar api yang membakar maka tentunya manusia tidak
akan sempat bertengkar di dalam neraka sebagaimana yang diceritakan pada
ayat berikut :
Dan mereka sedang bertengkar di dalam neraka. Demi Allah : “sungguh kita dahulu dalam kesesatan yang nyata, karena kita mempersamakan kamu dengan Tuhan semesta alam”. (Q.S As Syu’araa (26) : 96-98)
Sesungguhnya itu pasti terjadi, yaitu pertengkaran penghuni neraka. (Q.S Shaad (38) : 64)
Jelaslah
bahwa neraka adalah ancaman nyata sekarang ini. Jika manusia
melakukan perbuatan kafir (melakukan perbuatan keji dan mungkar) di muka
bumi ini sudah tentu neraka pun
akan tercipta dengan sendirinya. Makannya itu di Al Quran kita banyak
sekali mendapati ayat yang memerintahkan manusia agar tidak berbuat kerusakan
dibumi. Ini mengandung arti bahwa kehidupan kita dibumi yang
sekarang masih akan berhubungan dengan kehidupan yang akan datang. Bumi
adalah salah satu surga
sekaligus neraka-Nya. Lah kalau kita sekarang berbuat kerusakan dibumi
lalu bagaimana surga bisa terwujud kelak? Bumi rusak ya berarti surga
juga rusak. Tidak ada lagi kebahagaian (surga). Yang muncul malah kesengsaraan (neraka).
Dari
penjelasan-penjelasan diatas kita bisa memahami bahwa keadaan surga
dan neraka hanyalah permisalan. Surga dan neraka intinya adalah tentang
kebahagiaan dan penderitaan batin.
Surga dan neraka bukan alam yang terpisah. Surga dan neraka adalah suatu
perumpamaan (simbol) yang menjelaskan keadaan jiwa atau batin yang dialami
manusia. Al Quran banyak menggunakan simbol agar ia bisa dipahami
untuk segala tingkat intelektualitas. Kebanyakan dari kita hanya mampu
menafsirkan Quran secara harfiah (teks belaka), hanya sedikit yang mempunyai kemampuan menafsirkan Al Quran secara mendalam.
Dan perumpamaan-perumpamaan ini Kami buat untuk manusia; dan tiada yang memahaminya kecuali orang-orang yang berilmu.(Q.S Al-Ankaabut (29) : 43)
Untuk lebih memahami bahwa surga dan neraka bukanlah alam yang terpisah, coba kita simak ayat yang berikut ini:
Dan bersegaralah kamu kepada ampunan Tuhanmu dan kepada surga yang luasnya selangit dan bumi yang disediakan untuk orang-orang yang bertaqwa. (Q.S Ali Imran (3) : 133)
Berlomba-lombalah kamu kepada (mendapat) ampunan Tuhanmu dan surga yang luasnya seluas langit dan bumi…. (Q.S Al Hadid (57) : 21)
Sahabat
nabi pernah menanyakan makna ayat diatas : “Dimana neraka ya
Rasulullah bila surga itu luasnya sama dengan luas seluruh langit dan
bumi?” Lalu Rasulullah menjawab
dengan bijak : “Dimanakah malam bila siang telah datang?”. Kata
Rasul tersebut jelas sekali menerangkan bahwa surga dan neraka bukanlah
alam yang tepisah.
Pada
surah Al Mu’min dibawah akan semakin jelas bahwa mereka yang masuk
surga-pun ternyata tidak terlepas dari balasan kejahatan. Bahkan Nabi
Adam pun menurut cerita
yang sering kita dengar justru tergoda oleh iblis di surga. Itulah
sebabnya malaikat berdoa agar orang-orang mukmin yang di surga dijauhkan
dari balasan kejahatan.
Ya Tuhan kami dan masukanlah mereka ke dalam surga ‘Adn yang telah engkau janjikan kepada mereka dan orang-orang yang saleh diantara bapak-bapak mereka, dan istri-istri mereka dan keturunan mereka semua. Sesungguhnya Engkau Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana. Dan peliharalah mereka dari (balasan) kejahatan. (Q.S Al Mu’min (40) : 8-9)
Dengan
memahami bahwa surga dan neraka bukanlah alam yang terpisah
maka sesungguhnya kita harus menciptakan surga itu dari sekarang. Tidak
perlu menunggu sampai mati.
Caranya dengan senantiasa memelihara bumi, tidak
melakukan kerusakaan/kejahatan, senantiasa berbuat kebajikan untuk bekal
di kehidupan yang akan datang.
Jika kita mampu membangun surga di dunia ini maka di kehidupan akherat
(kehidupan yang akan datang) otomatis kita akan memperoleh surga yang kualitasnya
lebih tinggi dan begitu seterusnya sampai kita menuju tangga
“surga” yang terakhir yaitu kembali kepada-Nya. Inilah kebahagiaan yang
kekal!
Semoga manfaat. Sampai jumpa lagi di ulasan reinkarnasi yang lain.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar