”ILMU DUNIA SEHEBAT APAPUN TAK MAMPU MENGALAHKAN ILMU
BATIN”
Sukhoi Superjet 100 dari Russia adalah pesawat penumpang
canggih. Namun akhirnya harus menabrak tebing di Gunung Salak yang memang
sering memakan korban. Mari bersama dilihat dari sisi supranatural.
Gunung Salak sebenarnya berdiri dengan anggun di wilayah
Kabupaten Sukabumi dan
Kabupaten Bogor, Jawa Barat. Gunung ini mengagumkan dan itu
sebabnya banyak pendaki gunung yang melakukan pendakian di sana. Sebenarnya
gunung itu tidak begitu tinggi yaitu 2.221 meter dibanding dengan pegunungan
lain di Jawa yang mencapai 3000 meter lebih. Namun kenapa gunung ini menyimpan
misteri kecelakaan-kecelakaan pesawat berujung maut?
Setidaknya kecelakaan pesawat yang pernah terjadi di
sekitar Gunung Salak antara lain Helikopter Sikorsky, Pesawat Cessna, Pesawat
Cassa, Pesawat latih jenis Sundowner, Helikopter Puma dan terakhir Pesawat
Sukhoi Superjet 100 yang sedang melakukan joy flight saat pengetesan dan
promosinya untuk maskapai-maskapai di Indonesia, hilang kontak di kawasan Gunung
Salak, Bogor, pada hari Rabu 9 Mei 2012
Pesawat Sukhoi buatan Rusia kali ini jatuh dengan kondisi
mengenaskan. Badan pesawat pecah berkeping-keping. Mirip seperti sebuah gelas
yang dilempar ke dinding dengan sangat keras.
Pesawat tersebut dioperasikan oleh pilot senior
terbaik Rusia yaitu Aleksandr Yablontsev, co-pilot Aleksandr Kochetkov. Dan
terdapat 45 penumpang, 8 di antaranya merupakan kru asal Russia, 2 orang
Italia, satu orang warga negara Perancis dan satu orang warga negara Amerika.
Tak hanya pesawat, manusia yang sedang mendaki pun
terkadang bisa ‘hilang kontak’ di kawasan Gunung Salak. Pada April tahun 1987
lalu, pernah ada pula tujuh pendaki dari siswa STM Pembangunan, Jakarta Timur,
ditemukan tewas di kawasan gunung itu. Mereka terperosok ke jurang di Curug
Orok yang memiliki kedalaman sekitar 400 meter di punggung gunung.
Gunung Salak lebih populer sebagai ajang tempat
pendidikan bagi klub-klub pecinta alam, terutama sekali daerah punggungan Salak
II. Ini dikarenakan medan hutannya yang rapat dan juga jarang pendaki yang
mengunjungi gunung ini. Gunung ini memiliki jalur yang cukup sulit bagi para
pendaki pemula. Hal ini dikarenakan di jalur yang dilewati jarang ditemukan
cadangan air.
Gunung Salak memiliki keunikan tersendiri baik
karakteristik hutannya maupun medannya. Untuk tipe gunung serendah itu, Gunung
Salak termasuk memiliki medan yang tergolong sulit ditembus, itu sebabnya
gunung ini sangat cocok dijadikan lokasi latihan oleh berbagai kalangan
pencinta alam dan militer.
Di wilayah gunung Salak, untuk mencari sumber mata air
saja, pendaki tidak boleh sembarangan mengambilnya dari anak-anak sungai disana
karena hampir semua air di sungai tersebut masih mengandung sulfur yang
berbahaya untuk tubuh.
Di kawahnya yang juga disebut “kawah ratu” masih terdapat
sumber sulfur dan belerang baik berupa gas, uap ataupun kubangan yang panas dan
mendidih. Pernah juga siswa-siswa SMP di Jawa Barat dan jjuga masih ada sederet
peristiwa di wilayah “kawah ratu” ini yang meninggal dunia. Ini diakibatkan
kawah tersebut dapat dengan tiba-tiba mengeluarkan asap belerang yang dapat
meracuni paru-paru. Karena kondisi inilah, maka Kawah Ratu dianggap angker dan
berbahaya oleh para pencinta alam.
Masyarakat Sunda yang tinggal di sekitar Gunung Salak
meyakini disanalah tempat bersemayam dan turunnya para Batara dari Kahyangan
sehingga sering disebut gunung kabuyutan. Peran gunung sebagai kabuyut dapat
dilihat dari cerita-cerita rakyat dan juga tuturan para pini sepuh. Gunung
Salak ini juga dipercaya merupakan asal usul kehidupan sehingga siapa yang
dapat menemukan hakekatnya akan menjadi manusia arif.
Menurut masyarakat, nama Salak berasal dari Siloka dan
salaka yang berarti simbol atau tanda dan juga asal-usul. Masyarakat adat
disana periodik menggelar acara-acara ritual seperti seren taun, muludan, yang
hakekatnya adalah penghormatan terhadap alam.
Selain misterius dan memiliki keterkaitan kuat dengan
kepercayaan adat, di Gunung Salak ditemukan penemuan arkeologis berupa bebatuan
yang berbentuk Punden Berundak dari masa neolithikum atau zaman batu baru di
daerah Bogor. Tempat penemuan arkeologis itu sampai sekarang masih terjaga dan
terawat dengan baik. Masyarakat meyakini bahwa di tempat tersebut pada masa
lalu adalah pusat kekuasaan Sunda pada zaman baheula.
Sedangkan di daerah Girijaya juga selain terdapat batuan
berupa Punden Berundak, walau lebih kecil dari yang terdapat di Bogor. Punden
berundak yang terdapat di Jalur Girijaya, bila kita hendak mendaki puncak
gunung Salak ini, dipercaya juga sebagai petilasan dari Eyang Santri ketika
beliau berkhalwat. Di daerah ini juga terdapat makam yang diyakini oleh
masyarakat sebagai makam keramat. Pada malam hari, terutama malam-malam
tertentu makam dipenuhi peziarah. Makam ini merupakan makan Eyang Santri.
Siapa Eyang Santri?
Eyang Santri sesungguhnya adalah Pangeran Djojokusumo,
kerabat dekat Trah Mangkunegaran, cucu kandung Pangeran Sambernyowo atau
Mangkunegoro I dan anak kandung dari putera Sambernyowo yaitu Pangeran
Prabuamidjojo. di masa lalu Keraton Mangkunegaran hubungannya amat dekat
dengan Trah Bangsawan-Bangsawan Madura terutama Pamekasan, karena bantuan
mereka pada konflik Mataram sebelum Giyanti 1755. Pernikahan ini kerap kali
dijodohkan, Pangeran Prabuamidjojo dijodohkan oleh Pangeran Sambernyowo ayahnya,
yang juga Mangkunegoro I dengan Puteri Ayu Trikusumo, puteri Pangeran
Cakraningrat penguasa Pamekasan, Madura. Dari pernikahan inilah lahir Pangeran
Djojokusumo yang sejak lahir memiliki kekuatan daya pikir dan daya batin yang
linuwih.
Pangeran Djojokusumo lahir pada tahun 1770, di masa
remajanya ia banyak berguru dengan banyak ulama, bahkan ia sampai belajar
mengaji dan mendalami ilmu agama di Pasiriyan, Jawa Timur. Semasa muda ia
bersahabat dengan Pangeran Sosroningrat dan Pangeran Jungut Mandurareja yang
juga merupakan kakak dari Raden Mas Sugandi yang kelak menjadi Pakubuwono V.
Adanya hubungan saudara antara Pangeran Djojokusumo dengan Pangeran-Pangeran
dari Kasunanan Solo membuat dia semangkin akrab dan bersama-sama belajar sastra
Jawa. Raden Mas Sugandi diangkat menjadi Putera Mahkota Pakubuwono sekitar
tahun 1811 dan bergelar Adipati Anom Amangku Negoro III. Di masa inilah
Pakubuwono IV memberikan latihan bagi Adipati Anom untuk mempelajari seluruh
aspek kehidupan masyarakat, susastra dan segala permasalahan social agar kelak
menjadi raja ia siap. Adipati Anom dibantu oleh Pangeran Jungut Mandurareja dan
Pangeran Sosroningrat menyusun dasar-dasar pemerintahan, selain itu Pangeran
Djojokusumo diminta bantuannya dalam nasihat-nasihat kepada Putera Mahkota.
Pada tahun 1814 Adipati Anom mencetuskan ide agar dibuat
sebuah serat yang mempelajari seluk beluk masyarakat Jawa. Serat ini kemudian
diperintahkan kepada satu tim yang terdiri dari : Raden Ronggosutresno yang
telah berkeliling Jawa bagian Timur, Raden Ngabehi Yosodipuro II yang amat
mengerti Jawa Bagian Barat serta Kyai Muhammad Ilhar yang tau masalah seluk
beluk agama, disini kemudian semua fasilitas dibantu oleh Pangeran Jungut
Mandurareja yang menguasai Perdikan Ngawonggo dan penguasa Klaten saat itu.
Disini juga perlu dicatat tambahan-tambahan pihak yang membantu
terselesaikannya serat centhini termasuk Pangeran Djojokusumo, masa serat
centhini ini semasa dengan terbitnya sastra Serat Suryaraja yang berisi ramalan
akan datang masanya Keraton Yogyakarta mengalahkan Keraton Surakarta dan
menyatukan kerajaan Mataram ke dalam bentuknya yang semula.
Setelah selesainya Serat Centhini, Pangeran Djojokusumo
tertarik dengan cerita-cerita yang diuraikan oleh Raden Ronggosutresno dan
Sostrodipuro tentang keindahan Pulau Jawa, akhirnya Pangeran Djojokusumo
memutuskan untuk berkeliling Jawa.
Dalam keliling Jawa itu ia menikmati keindahan Pulau Jawa
yang ia catat ‘Sebuah Pulau yang teramat indah’. Ia kunjungi seluruh
makam-makam keramat, ia kunjungi ulama dan ahli kebatinan dan ‘ngangsu ilmu’.
Kemampuan ilmu-nya luar biasa tinggi. Pada tahun 1823 Pakubuwono V sahabatnya
itu wafat dia dipanggil pulang ke Solo untuk menjadi penasihat Pakubuwono VI
saat itu Pangeran Djojokusumo sedang berada di Sumedang, . Sesampainya di Solo
ia merasakan akan ada perubahan besar di bumi Jawa, ia akhirnya bertapa
sebentar di sebuah danau bernama Cengklik di pinggiran Kota Solo. Di danau itu
ia mendapatkan wangsit bahwa ‘Jawa akan masuk ke pinggir jurangnya, tapi kelak
Jawa akan bersinar cerah secerah matahari pagi’. Masa suram inilah yang membuat
Pangeran Djojokusumo akhirnya sadar bahwa perang akan diiringi dengan kelaparan
hebat.
Pangeran Djojokusumo membaca bahwa ‘sebentar lagi ada perang
besar’ yang bisa menjadikan kemungkinan Raja Jawa kembali menguasai
pelabuhan-pelabuhan penting di Semarang dan Tuban serta menguasai Surabaya
kelak kalau Surabaya bisa ditaklukkan maka impian Sultan Agung akan tercapai
dan Mataram kembali mewujud. Tapi apakah keadaan itu bisa terwujud. Pada tahun
1824 Pangeran Diponegoro menonjok Patih Danuredjo di Kepatihan karena persoalan
patok jalan yang digunakan Belanda untuk membangun jalan dari Semarang-Yogya,
patok jalan itu rencananya akan jadi jalan penghubung ke pusat jalan kota di
Banaran, Banaran dijadikan tangsi terakhir Belanda sebelum masuk Yogyakarta.
Pangeran Diponegoro menolak tanahnya dicaplok Belanda tanpa ijin ia akhirnya
berkelahi dengan Pangeran Danuredjo dan konflik ini berkembang menjadi
perlawanan massa.
Sehabis menonjok muka Patih Danurejo, Pangeran Diponegoro
langsung menemui pamannya Pangeran Mangkubumi, pamannya berkata dengan amat
hati-hati : “Emosimu akan menjadikan Jawa sebagai lautan darah” lalu Mangkubumi
berkata lagi “Tapi kamu akan jadi pahlawan di hati rakyat, bila kamu memulai
perang, hubungi banyak ulama, karena ulama-lah yang akan membelamu” dan
Pangeran Mangkubumi merekomendasikan agar Pangeran Diponegoro menemui Kyai
Abdani dan Kyai Anom ulama paling berpengaruh di Tembayat, Klaten juga menemui
Kyai Modjo ulama yang berpengaruh di Modjo, Surakarta.
Pada Mei 1824, Pangeran Diponegoro mulai membangun jaringan
ulama dan bangsawan, di Banyumas ia mendapat dukungan para Kenthol banyumasan
dan para Bangsawan ningrat, di pesisir timur ia mendapatkan dukungan dari
Pangeran Tjondronegoro II yang menguasai Tuban, Sidoardjo dan Mojokerto
sementara di Solo ia disuruh bertemu dengan Pakubuwono VI. Pertemuan Pakubuwono
VI dan Pangeran Diponegoro adalah titik paling penting Perang Jawa 1825-1830,
karena dari jaminan Pakubuwono VI, Pangeran Diponegoro percaya diri melawan
Belanda dan Antek-anteknya di Keraton Yogya. Pertemuan ini berawal dari
kunjungan diam-diam Pangeran Diponegoro kepada Kyai Modjo, yang kemudian Kyai
Modjo mengantarkan Pangeran Diponegoro ke rumah Raden Mas Prawirodigdoyo,
penguasa Boyolali dan merupakan bangsawan paling radikal di jamannya. Raden Mas
Prawirodigdoyo langsung menjamin akan menyediakan pasukan sejumlah 6000 orang
yang bisa mendukung Pangeran Diponegoro. Lalu Raden Mas Prawirodigdoyo berkata
“Dukungan ini bisa aku lakukan asal ada perintah dari Sinuwun Pakubuwono VI”.
Pangeran Diponegoro akhirnya disarankan untuk bertemu
langsung dengan Sinuwun Pakubuwono VI, yang memfasilitasi pertemuan ini adalah
Pangeran Mangkubumi, paman Pangeran Diponegoro yang luas koneksinya. Pangeran
Mangkubumi menghubungi sahabat lamanya Pangeran Djojokusumo dan meminta Sinuwun
agar berkehendak menjumpai Pangeran Diponegoro.
Pangeran Mangkubumi lalu datang ke kota Solo dan berkunjung
ke rumah Pangeran Djojokusumo disana hadir Pangeran Jungut Mandurareja yang
juga paman Pakubuwono VI, disini Pangeran Mangkubumi menjelaskan seluruh duduk
persoalan kenapa Pangeran Diponegoro bermusuhan dengan pihak Kepatihan.
Pangeran Djojokusumo dan Pangeran Jungut memperhatikan dengan seksama cerita
Pangeran Mangkubumi, lalu setelah selesai cerita, Pangeran Jungut berkata “Akan
ada pencaplokan tanah besar-besaran oleh Belanda untuk kepentingan kekayaan
mereka, sekarang masalahnya berani atau tidak orang Jawa melawan orang Hollanda
itu?” kata Pangeran Jungut, Pangeran Djojokusumo hanya memejamkan matanya dan
mengheningkan jiwanya, lalu tak lama ia membuka matanya dan berkata
“Akan ada banjir darah di Jawa, dan ada gelombang kelaparan
tapi setelah itu Jawa akan berjaya, akan menjadi seperti Majapahit. Aku
mendukung dimas Pangeran Diponegoro, sebagai pemimpinku untuk melawan Belanda,
tapi kita harus bermain strategis, kalau keponakan-ku Pakubuwono VI ketahuan
mendukung Pangeran Diponegoro maka Solo akan dihantam habis, dibikin crah,
dibuat huru hara, itu malah memperlemah barisan perlawanan, ada baiknya
perjanjian dukungan dengan Pangeran Diponegoro dibuat diam-diam”. Akhirnya
Pangeran Djojokusumo meminta agar Pangeran Mangkubumi menunggunya di desa Paras
Boyolali, karena ia dan Pangeran Jungut akan mengajak Sinuwun Pakubuwono VI
bertapa tiga hari di gunung Merbabu.
Pangeran Djojokusumo dan Pangeran Jungut Mandurorejo bertemu
dengan Pakubuwono VI meminta agar Pakubuwono VI mendukung Pangeran Diponegoro,
pertemuan ini juga dilanjutkan dengan perjalanan ke gunung Merbabu untuk
mengajak Pakubuwono VI bertapa dan menenangkan diri untuk mengambil keputusan,
setelah bertapa Pangeran Djojokusumo mengajak Pakubuwono ke desa Paras di
Boyolali untuk berjumpa dengan Pangeran Mangkubumi, disinilah kemudian terjadi
kesepakatan rahasia dimana Pembesar Yogyakarta dan Pembesar Surakarta sepakat
melawan Belanda.
Setelah kesepakatan Paras, Boyolali. Mereka : Pakubuwono VI,
Pangeran Djojokusumo dan Pangeran Jungut Mandurorejo serta serombongan pengawal
menuju alas Krendowahono di sekitar Karanganyar, disini mereka berjumpa dengan
Pangeran Diponegoro yang sudah ditemani Kyai Modjo dan Raden Prawirodigdoyo.
Pertemuan ini menghasilkan kesepakatan saling tidak mengganggu antara pihak
Solo dengan konflik di Yogyakarta dan apabila Solo diminta membantu Belanda
dalam perang nanti, maka Solo akan memberi data-data intelijen kepada Pangeran
Diponegoro serta melakukan ‘perang sandiwara’. Disini juga perlu dicatat
seorang sastrawan muda bernama Ronggowarsito yang hadir dalam pertemuan di
Krendowahono, kelak 20 tahun kemudian Ronggowarsito mencatat peristiwa ini
sebagai bentuk rasa kebangkitan harga diri orang Jawa.
Singkatnya Perang Diponegoro meletus, ditengah Perang ketika
Lasem berhasil direbut Sang Pangeran, ada pertemuan lanjutan yang membahas
penghadangan pasukan di Semarang dan sabotase yang membutuhkan bantuan pihak
Solo. Suatu malam Pangeran Diponegoro datang ke Keraton Surakarta, namun
rencana ini bocor karena ada pengkhianat yang melaporkan kepada Belanda akan
ada tamu dari Yogya tengah malam, pasukan Belanda datang mengepung Keraton dan
mencari tamu itu, namun tidak ketemu, Kereta kuda Pangeran Diponegoro rupanya
dipendam oleh prajurit Keraton dan Pangeran Diponegoro meloncati tembok
alun-alun utara lalu berlari ke arah Pasar Kliwon dan bersembunyi di sana
sampai lima hari.
Perang Diponegoro akhirnya selesai dengan kekalahan banyak
pihak, Pakubuwono VI ditangkap karena terbongkar rahasianya oleh Residen
Semarang yang menemukan banyak data dukungan Solo kepada Yogya. Pangeran Djojokusumo
juga dicurigai terlibat oleh Belanda, namun Pangeran Djojokusumo akhirnya
melarikan diri ke Bagelen lalu ke Cilacap, disinipun ia dikepung banyak
pendukung Belanda dan dengan menyamar sebagai petani ia ke Sukabumi tepatnya ke
desa Cidahu, disana ia menyamar sebagai petani cabe dan petani sawah, ia juga
mengajar mengaji penduduk sana.
Di Cidahu, Pangeran Djojokusumo dipanggil eyang santri.
Setelah Perang Diponegoro lama usai, di tahun 1850 datanglah beberapa orang
santri utusan dari Solo yang mencari Pangeran Djojokusumo mereka meminta
Pangeran pulang ke Solo, tapi Pangeran menolak dan memilih menjadi petani saja
di desa Cidahu. Sejak itu Eyang Santri dikunjungi banyak pejuang dan aktivis
politik yang menentang Belanda.
Usia Eyang Santri mencapai 159 tahun. Ia menjadi saksi
berlangsungnya kekalahan Jawa dan bangkitnya rasa kebangsaan. Ia dikunjungi
banyak ahli kebatinan dan para pemimpin politik. Di tahun 1880-an ia dikunjungi
oleh Wahidin Sudirohusodo yang sedang berkeliling Jawa untuk menyadarkan fungsi
pendidikan bagi kaum pribumi dalam menghadapi jaman modern. Pada suatu pagi
Wahidin naik gunung salak dan berupaya menemui Eyang Santri, setelah dirumah
eyang Santri, Wahidin disuruh mandi di kolam air panas dan bermeditasi.
Disana juga eyang santri mengajarkan tentang rasa
kebangsaan, harga diri sebagai manusia dan kekuatan batin. Dari dasar-dasar
yang ditanamkan Eyang Santri-lah maka Wahidin merasa kuat membangun rasa
kebangsaan sebuah bangsa yang baru bangsa Indonesia. Selain Wahidin yang kerap
datang ke rumah Eyang Santri adalah Dirk Van Hinloopen Labberton ahli teosofi
Belanda yang belajar filosofi kebatinan Jawa.
Di awal tahun 1900-an HOS Tjokroaminoto dengan ditemani
Sosrokardono juga kerap mampir ke rumah eyang santri, bahkan pembentukan
afdeeling A Sarekat Islam di Garut mereka minta doa restu kepada Eyang Santri
yang menanamkan rasa kebangsaan dan harga diri manusia untuk bebas. Pangeran
ahli sufi dari Yogyakarta, Pangeran Suryomentaram juga pernah datang ke Cidahu,
waktu itu ia masih amat muda, begitu juga dengan ahli tirakat Ndoro Purbo dan
Drs. RMP Sosrokartono, ahli kebatinan Jawa sekaligus kakak Raden Ajeng Kartini,
Raden Mas Panji Sosrokartono datang berguru ke Eyang Santri.
Bung Karno sendiri diajak oleh Tjokroaminoto ke Cidahu
sebelum Bung Karno masuk ke THS (sekarang ITB) Bandung, setelah masuk ke THS
beberapa kali Bung Karno datang menemui Eyang Santri dan digembeleng kekuatan
batin untuk melawan Belanda.
Eyang santri wafat tahun 1829 di usianya yang 159 tahun.
Itulah jasa Eyang sebagai guru sesepuh kebatinan para pejuang masa lalu kita.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar