1. Syahadat (Sasahidan Ingsun Sejati)
Selama ini, syahadat umumnya hanya dipahami sebagai bentuk mengucapkan kata “Asyhadu an la ilaha illa Allah, wa asyhadu anna Muhammad al-rasul Allah”. Dan karena hanya pengucapan, wajar jika tidak memiliki pengaruh apa-apa terhadap mental manusia. Siapapun toh dapat mengucapkannya, walau kebanyakan tidak memahaminya. Padahal makna sesungguhnya bahwa syahadat adalah “kesaksian” bukan “pengucapan” kalimat yang menyatakan bahwa ia telah bersaksi.
Ketika kita mengucakan kata “Allah”, maka kata ini harus hadir dan lahir dari keyakinan yang mendalam.
Pada saat pengucapan, kita harus yakin bahwa Allah “ada” pada diri nabi-Nya, dan bahwa setiap diri kita mampu membawa peran nabi tersebut. Dalam ma’rifat, nabi dan
kenabian sebagai suatu hal yang selalu hidup. Dan ketika person nabi terakhir diberi label “Muhammad”, maka ia adalah langsung dari nur dan ruh Muhammad, dan menyandang nama spiritual sebagai “Ahmad”.
Dan ketika kata “Ahmad” disebutkan, Nabi Muhammad sering mengemukakan bahwa “ana Ahmad bila mim” (aku adalah Ahmad yang tanpa mim), yakni “Ahad”. Ketika suku bangsa dzahir “arab” disebutkan, beliau sering mengemukakan “ana ‘arabun bila “Ain”, (aku adalah “Arab tanpa ‘Ain), yakni “Rabb”. Inilah kesaksian itu, atau syahadat.
Kalau kita membayangkan nabi secara fisikal maka kita akan menghayalkan tentang nabi. Nah, pada saat Allah kita rasakan hadir atau bersemayam dalam diri Nabi yang berada di kedalaman lubuk hati kita, maka terlepaslah ucapan “Muhammad al-Rasul Allah” sebagai kesaksian. Lalu kesaksian ini kita lepaskan ke dalamDzat Allah. Sehingga kemudian tercipta apa yang disebut sebagai “Tunggal ing Allah hiya kang amuji hiya kang pimuji”, kemanunggalan dengan Allah sehingga baik yang memuji dan yang dipuji tidak dapat dipisahkan.
Pada konteks syahadat yang seperti itulah kemudian lahir ajaran tentang “wirid sasahidan” dari Syekh Siti Jenar, dalam bentuk pengucapan hati sebagai berikut
Ingsun anakseni ing datingsun dhewe
Satuhune ora ono pangeran among ingsun
Lan nekseni satuhune Muhammad iku utusaningsun
Iya sejatine kang aran Allah iku badaningsun
Rasul iku rahsaningsun
Muhammad iku cahyaningsun
Iya ingsun kang urip tan kena ing pati
Iya ingsun kang eling tak kena lali
Iya ingsun kang langgeng ora kena owah gingsir ing kahanan jati
Iya ingsun kang waskitha ora kasamaran ing sawiji-wiji
Iya ingsun kang amurba amisesa, kang kawasa wicaksana ora kekurangan ing pakerti
Byar
Sampurna padhang terawangan
Ora kerasa apa-apa
Oa ana katon apa-apa
Mung ingsun kang nglimputi ing alam kabeh
Kalawan kodratingsun.
Selama ini, syahadat umumnya hanya dipahami sebagai bentuk mengucapkan kata “Asyhadu an la ilaha illa Allah, wa asyhadu anna Muhammad al-rasul Allah”. Dan karena hanya pengucapan, wajar jika tidak memiliki pengaruh apa-apa terhadap mental manusia. Siapapun toh dapat mengucapkannya, walau kebanyakan tidak memahaminya. Padahal makna sesungguhnya bahwa syahadat adalah “kesaksian” bukan “pengucapan” kalimat yang menyatakan bahwa ia telah bersaksi.
Ketika kita mengucakan kata “Allah”, maka kata ini harus hadir dan lahir dari keyakinan yang mendalam.
Pada saat pengucapan, kita harus yakin bahwa Allah “ada” pada diri nabi-Nya, dan bahwa setiap diri kita mampu membawa peran nabi tersebut. Dalam ma’rifat, nabi dan
kenabian sebagai suatu hal yang selalu hidup. Dan ketika person nabi terakhir diberi label “Muhammad”, maka ia adalah langsung dari nur dan ruh Muhammad, dan menyandang nama spiritual sebagai “Ahmad”.
Dan ketika kata “Ahmad” disebutkan, Nabi Muhammad sering mengemukakan bahwa “ana Ahmad bila mim” (aku adalah Ahmad yang tanpa mim), yakni “Ahad”. Ketika suku bangsa dzahir “arab” disebutkan, beliau sering mengemukakan “ana ‘arabun bila “Ain”, (aku adalah “Arab tanpa ‘Ain), yakni “Rabb”. Inilah kesaksian itu, atau syahadat.
Kalau kita membayangkan nabi secara fisikal maka kita akan menghayalkan tentang nabi. Nah, pada saat Allah kita rasakan hadir atau bersemayam dalam diri Nabi yang berada di kedalaman lubuk hati kita, maka terlepaslah ucapan “Muhammad al-Rasul Allah” sebagai kesaksian. Lalu kesaksian ini kita lepaskan ke dalamDzat Allah. Sehingga kemudian tercipta apa yang disebut sebagai “Tunggal ing Allah hiya kang amuji hiya kang pimuji”, kemanunggalan dengan Allah sehingga baik yang memuji dan yang dipuji tidak dapat dipisahkan.
Pada konteks syahadat yang seperti itulah kemudian lahir ajaran tentang “wirid sasahidan” dari Syekh Siti Jenar, dalam bentuk pengucapan hati sebagai berikut
Ingsun anakseni ing datingsun dhewe
Satuhune ora ono pangeran among ingsun
Lan nekseni satuhune Muhammad iku utusaningsun
Iya sejatine kang aran Allah iku badaningsun
Rasul iku rahsaningsun
Muhammad iku cahyaningsun
Iya ingsun kang urip tan kena ing pati
Iya ingsun kang eling tak kena lali
Iya ingsun kang langgeng ora kena owah gingsir ing kahanan jati
Iya ingsun kang waskitha ora kasamaran ing sawiji-wiji
Iya ingsun kang amurba amisesa, kang kawasa wicaksana ora kekurangan ing pakerti
Byar
Sampurna padhang terawangan
Ora kerasa apa-apa
Oa ana katon apa-apa
Mung ingsun kang nglimputi ing alam kabeh
Kalawan kodratingsun.
Artinya:
Aku bersaksi di hadapan Dzat-ku sendiri
Sesungguhnya tiada tuhan selain Aku
Aku bersaksi sesungguhnya Muhammad itu utusan-Ku
Sesungguhnya yang disebut Allah itu badan-Ku
Rasul itu rasa-Ku
Muhammad itu cahaya-Ku
Akulah yang hidup tidak terkena kematian
Akulah yang senantiasa ingat tanpa tersentuh lupa
Akulah yang kekal tanpa terkena perubahan di segala keadaan
Akulah yang selalu mengawasi dan tidak ada sesuatupun yang luput dari pengawasan-Ku
Akulah yang maha kuasa, yang bijaksana, tiada kekurangan dalam pengertian
Byar
Sempurna terang benderang
Tidak terasa apa-apa
Tidak kelihatan apa-apa
Hanya aku yang meliputi seluruh alam
Dengan kodrat-Ku
Aku bersaksi di hadapan Dzat-ku sendiri
Sesungguhnya tiada tuhan selain Aku
Aku bersaksi sesungguhnya Muhammad itu utusan-Ku
Sesungguhnya yang disebut Allah itu badan-Ku
Rasul itu rasa-Ku
Muhammad itu cahaya-Ku
Akulah yang hidup tidak terkena kematian
Akulah yang senantiasa ingat tanpa tersentuh lupa
Akulah yang kekal tanpa terkena perubahan di segala keadaan
Akulah yang selalu mengawasi dan tidak ada sesuatupun yang luput dari pengawasan-Ku
Akulah yang maha kuasa, yang bijaksana, tiada kekurangan dalam pengertian
Byar
Sempurna terang benderang
Tidak terasa apa-apa
Tidak kelihatan apa-apa
Hanya aku yang meliputi seluruh alam
Dengan kodrat-Ku
Sebagaimana telah dikemukakan, bahwa kesaksian tersebut diperoleh
berdasarkan lelaku. Maka setelah lahirnya kesaksian tersebut juga harus
disertai dengan lelaku pula. Yaitu diikuti dengan semedi atau dzikir
rasa sehingga kemudian dapat mengalami mati dalam hidup dan hidup dalam
mati.
Dzikir seperti ini dilakukan dengan meng-heneng-kan diri dan mengheningkan cipta serta karsa sehingga kembali tercipta kesatuan hati, pikiran dan rasa hidup. Hal ini dilakukan dengan menyatukan pancaindera, memejamkan mata dan mengarahkannya ke pucuk hidung (pucuking ghrana), sambil menyatukan denyut jantung, harus diatur pula pernapasan yang masuk dan keluar jangan sampai tumpang tindih.
Biasanya praktik sasahidan ini akan berujung pada bercampurnya rasa hati dan hilangnya segenap perasaan. Kalau sudah mencapai kondisi ini, maka harus diturunkan ke dalam jiwa dan menyebar ke seluruh sel-sel dan syaraf tubuh. Sehingga akan tercapailah ketiadaan rasa apapun dan akan memunculkan sikap ke-waskitha-an (eling lan waspadha).
Dengan demikian wajar jika pada kesimpulannya tentang makna syahadat, Syekh Siti Jenar memberikan makna syahadat sebagai etos gerak, etos kerja yang positif, progresif, dan aktif. Syekh siti jenar mengemukakan bahwa syahadat tauhid dan syahadat rasul mengandung makna jatuhnya rasa (menjadi etos), kesejatian rasa (unsur motorik), bertemunya rasa (ide aktif dan kreatif), hasil karya yang maujud serta dampak terhadap kesejatian kehidupan (Sholikhin: 2004, 187). Itulah makna syahadat yang sesungguhnya dari sang insan kamil.
Dzikir seperti ini dilakukan dengan meng-heneng-kan diri dan mengheningkan cipta serta karsa sehingga kembali tercipta kesatuan hati, pikiran dan rasa hidup. Hal ini dilakukan dengan menyatukan pancaindera, memejamkan mata dan mengarahkannya ke pucuk hidung (pucuking ghrana), sambil menyatukan denyut jantung, harus diatur pula pernapasan yang masuk dan keluar jangan sampai tumpang tindih.
Biasanya praktik sasahidan ini akan berujung pada bercampurnya rasa hati dan hilangnya segenap perasaan. Kalau sudah mencapai kondisi ini, maka harus diturunkan ke dalam jiwa dan menyebar ke seluruh sel-sel dan syaraf tubuh. Sehingga akan tercapailah ketiadaan rasa apapun dan akan memunculkan sikap ke-waskitha-an (eling lan waspadha).
Dengan demikian wajar jika pada kesimpulannya tentang makna syahadat, Syekh Siti Jenar memberikan makna syahadat sebagai etos gerak, etos kerja yang positif, progresif, dan aktif. Syekh siti jenar mengemukakan bahwa syahadat tauhid dan syahadat rasul mengandung makna jatuhnya rasa (menjadi etos), kesejatian rasa (unsur motorik), bertemunya rasa (ide aktif dan kreatif), hasil karya yang maujud serta dampak terhadap kesejatian kehidupan (Sholikhin: 2004, 187). Itulah makna syahadat yang sesungguhnya dari sang insan kamil.
2. Sholat
“Peliharalah shalatmu dan shalat wustha. Berdirilah untuk Allah (dalam shalat) yang khusyuk” (QS Al. Baqarah/ 2:238). Ini adalah penegasan dari Allah tentang kewajiban dan keharusan memelihara shalat, baik segi dzahir maupun batin dengan titik tekan “khusyuk”, kondisi batin yang mantap.
Secara lahir, shalat dilakukan dengan berdiri, membaca Al-Fatihah, sujud, duduk dsb. Kesemuanya melibatkan keseluruhan anggota badan. Inilah shalat jasmani dan fisikal. Karena semua gerakan badan berlaku dalam semua shalat, maka dalam ayat tersebut disebut shalawaati (segala shalat) yang berarti jamak. Dan ini menjadi bagian pertama, yakni bagian lahiriah.
Bagian kedua adalah tentang shalat wustha, yaitu yang secara sufistik adalah shalat hati. Wustha dapat diartikan pertengahan atau tengah-tengah. Karena hati terletak di tengah, yakni di tengah “diri”, maka dikatakan shalat wustha sebagai shalat hati. Tujuan shalat ini adalah untuk mendapatkan kedamaian dan ketentraman hati. Hati terletak di tengah-tengah, antara kiri dan kanan, antara depan dan belakang, atas dan bawah, serta antara baik dan jahat. Hati menjadi titik tengah, poin pertimbangan. Hati juga diibaratkan berada diantara dua jari Allah, dimana Allah membolak-balikkannya ke mana saja yang ia kehendaki. Maksud dari dua jari Allah adalah dua sifat Allah, yaitu sifat Yang Menghukum dan Meng-adzab dengan sifat Yang Indah, Yang Kasih Sayang, dan Yang Lemah Lembut.
Sholat dan ibadah yang sebenarnya adalah sholat serta ibadahnya hati, kondisi khusyu’ menghadapi kehidupan. Bila hati lalai dan tidak khusyuk, maka jasmaniahnya akan berantakan. Sehingga kalau ini terjadi, kedamaian yang didambakan akan hancur pula. Apalagi shalat jasmani hanya bisa dicapai dengan hati yang khusyuk. Kalau hati tidak khusyuk, serta tidak dapat konsentrasi pada arah yang dituju dari shalat, maka hal itu tidak bisa disebut shalat. Juga tidak akan dapat dipahami apa yang diucapkan, dan tentu apa pun yang dilakukan dengan bacaan dan gerakannya tidakakan bisa mengantarkan sampai kepada Allah.
Urgensi ke-khusyuk-an ini berhubungan dengan inti shalat sebagai doa. Doa atau munajat, bukan sekedar permintaan hamba kepada Allah, akan tetapi berarti juga sebagai arena pertemuan. Dan tempat pertemuan itu adalah di dalam hati. Maka jika hati tertutup di dalam shalat, tidak peduli akan makna shalat rohani, shalat yang dilakukan tersebut tidak akan memberikan manfaat apa pun. Sebab semua yang dilakukan jasmaninya sangat tergantung kepada hati sebagai Dzat untuk badan. “Ingatlah bahwa dalam tubuh itu ada sekeping daging, apabila daging itu baik, baiklah seluruh tubuh itu. Dan apabila ia rusak, rusak pulalah semua tubuh itu. Daging itu adalah hati. “ (sabda Rasulullah)
Ke-khusyuk-an hati akan membawa sholat yang menghasilkan kesehatan hati. Shalat khusyuk akan menjadi obat bagi hati yang rusak dan jahat serta berpenyakit. Maka shalat yang baik haruslah dengan hati yang sehat dan baik pula, bukan dengan hati yang rusak, yakni hati yang tidak dapat hadir kepada Allah.
Jika shalat dari sisi jasmaniah-fisik memiliki keterbatasan dalam semua hal, baik tempat, waktu, kesucian badan, pakaian, dsb, maka shalat dari segi rohaniah tidak terbatas dan tidak dilaksanakan pada waktu-waktu tertentu. Shalat secara rohaniah tidak terikat oleh ruang dan waktu. Shalat ini selalu dilakukan terus menerus sejak di dunia hingga akhirat. Masjid untuk shalat rohani terletak dalam hati. Jamaahnya terdiri dari anggota-anggota batin atau daya-daya rohaniah yang ber-dzikir dan membaca al-asma’ al-husna dalam bahasa alam rohaniah. Imam dalam shalat rohani adalah kemauan atau keinginan (niat) yang kuat. Dan kiblatnya adalah Allah. Inilah shalat tarek dan sholat daim yang diajarkan oleh Syekh Siti Jenar.
Shalat yang demikian itu hanya dapat dilakukan oleh hati yang ikhlas, hati yang tidak tidur, dan hati yang tidak mati. Hati dan jiwa seperti itu kekal dan selalu beribadah atau shalat ketika jasmaninya sedang tertidur atau terjaga. Ibadah hati dilakukan sepanjang hayat, dan sepanjang hayatnya adalah untuk beribadah.
Inilah ibadah orang yang sudah mencapai ma’rifatullah, tempat penyucian tertinggi. Di tempat itu, ia ada tanpa dirinya. Karena dirinya telah fana’, telah hilang lenyap. Ingatannya yang teguh dan suci tercurah hanya kepada Allah.
Namun tentu saja ini berlaku setelah semua shalat-shalat fardhu dan nawafil dilaksanakan secara konsisten. Jadi, tempat suci tersebut baru bisa dijangkau setelah semua shalat syari’at itu sempurna, lalu masuk ke dalam shalat thariqat dan ma’rifat. Maka tidak bisa diartikan bahwa jika sudah berada di tingkatan ini, lalu tidak lagi melakukan shalat sama sekali. Bahkan sering dalam shalat itulah mereka mengalami fana’ dalam munajat-nya sehingga ibadah yang dilakukannya itu menyita banyak waktu. Hanya saja bentuk shalat dalam arti gerakan dan bacaan tertentu sudah tidak mengikat lagi. Shalat ditegakkan atas kemerdekaan rohani dalam menempuh laku menuju Allah.
Pada tingkatan ini tidak ada lagi bacaan di mulut. Tidak ada lagi gerakan berdiri, ruku’, sujud, dsb. Dia telah berbincang dengan Allah sebagaimana firman-Nya “Hanya Engkau yang kami sembah, dan hanya Engkaulah kami memohon pertolongan” (QS Al-Fatihah/1: 5)
Firman tersebut menunjukkan betapa tingginya kesadaran insan kamil, yakni mereka yang telah melalui beberapa tingkatan alam rasa dan pengalaman rohani sehingga tenggelam dalam lautan tauhid atau Ke-Esaan Allah dan ber”padu” dengan-Nya. Nikmat yang mereka rasakan saat itu tidak dapat diungkapkan dengan kata-kata. Hanya orang yang mengalaminya yang dapat mengalaminya yang dapat mengartikan kenikmatan tersebut. Namun mereka pun sering tidak mau mengungkapkannya. Tidak ingin membocorkan rahasia Ketuhanan yang tersimpan di dalam lubuk hatinya oleh Allah.
Hal tersebut sama halnya dengan hakikat takbir, yang bukan semata-mata ucapan “Allahu Akbar”. Takbir merupakan pengucapan yang lahir dari firman Allah yang memuji kebesaran Dzat-Nya. Jadi, takbir sebenarnya merupakan suara Tuhan yang meminjam mulut hamba-Nya. Bukan hasil dari dorongan emosional. Karenanya, takbir sejati adalah menyatakan kebesaran Allah dari af’al Allah sendiri. Takbir sejati merupakan penghayatan diri terhadap sifat Allah. Dan takbir sejati adalah penyebutan nama-Nya yang lahir dari kehendak-Nya semata. Dengan takbir yang demikian itu maka yang lain menjadi sangat kecil, dan menjadi tidak ada. Yang ada hanya Allah. Ke mana pun kita menghadap yang ada hanya Wajah Allah.
Maka setelah berpadu ibadah lahir dan batin secara harmonis, sempurnalah ibadah seseorang. Hati dan ruh seperti tergambar itu membawanya masuk ke Hadirat Allah. Hatinya ber”padu” mesra dengan Allah. Dalam alam nyata ia menjadi hamba yang wara’ dan ‘alim. Dalam alam rohani ia menjadi ahli ma’rifah yang telah sampai pada peringkat kesempurnaan mengenal Allah. Inilah makna bahwa shalat adalah perjalanan menuju Allah. Hasilnya adalah bahwa shalat yang dilaksanakan mencegah perilaku yang keji dan munkar. Sebaliknya menghasilkankehalusan dan kemuliaan budi dan perilaku.
Jika shalat telah dihilangkan makna hakikatnya, hanya menjadi sekedar pelaksanaan hukum fikih sebagaimana tampak pada kebanyakan manusia dewasa ini, maka shalat tersebut telah kehilangan makna fungsionalnya. Hal inilah yang telah mendatangkan kritik tajam dari Syekh Siti Jenar.
Sadat salat pasa tan apti
Seje jakat kaji mring Mekah
Iku wes palson kabeh
Nora kena ginugu
Sadayeku durjaning bumi
Ngapusi liyan titah
Sinung swarga besuk
Wong bodho anu auliya
Tur nyatane pada bae durung uning
Artinya:
Syahadat, sholat, puasa semua tanpa makna
Termasuk zakat dan haji ke Mekah
Itu semua telah menjadi palsu
Tidak bisa dijadikan anutan
Hanya menghasilkan kerusakan di bumi
Membohongi makhluk lain
Hanya ingin surga kelak
Orang bodoh mengikuti para wali
Sementara kenyataannya sama saja belum mencapai tahapan hening
Syekh Siti Jenar mengkritik pelaksanaan hukum fikih pada masa walisanga karena ibadah-ibadah formal tersebut telah kehilangan makna dan tujuan, kehilangan arti, dan hikmah kehidupan. Hal itu menjadikan semua ajaran agama yang diajarkan oleh para ulama ketika itu menjadi kebohongan yang meninabobokkan publik dengan hanya menginginkan surga kelak yang belum ada kenyataanya.
Oleh karenanya Syekh Siti Jenar mengajarkan praktik shalat fungsional, berbeda dengan para wali pada masanya. Shalat tarek sebagai bentuk ketaatan syari’at, dan shalat daim sebagai shalat yang tertanam dalam jiwa, dan mewarnai seluruh pekerti kehidupan. Seseorang yang melaksanakan pekerjaan profesionalnya secara benar, disiplin, ikhlas, dan karena melaksanakan fungsi lillahi ta’ala, maka orang tersebut disebut melaksanakan shalat. Itulah bagian dari shalat da’im.
Namun ternyata, ajaran shalat fungsional tersebut tidak hanya menjadi milik Syekh Siti Jenar. Di dalam Suluk Wujil bait 12-13, sebuah naskah yang ditulis pada awal abad ke-17, yang disebut-sebut sebagai warisan ajaran Sunan Bonang, menyebutkan ajaran shalat sebagai berikut:
Utamaning sarira puniki
Angrawuhana jatining salat
Sembah lawan pamujine
Jatining salat iku
Dudu ngisa tuwin magerib
Sembahyang araneka
Wenange punika
Lamun aranana salat
Pun minangka kekembanging salat daim
Ingaran tata krama
Endi ingaran sembah sejati
Aja nembah yen tan katingalan
Temahe kasor kulane
Yen sira nora weruh
Kang sinembah ing donya iki
Kadi anulup kaga
Punglune den sawur
Manuke mangsa kenaa
Awekasa amangeran adan sarpin
Sembahe siya-siya.
Artinya:
Unggulnya diri itu mengetahui hakikat shalat, sembah dan pujian. Shalat yang sebenarnya bukan mengerjakan shalat Isya dan maghrib. Itu namanya sembahyang. Apabila itu disebut shalat, maka hanyalah hiasan dari shalat daim. Hanyalah tata krama . manakah yang disebut shalat yang sesungguhnya itu? Janganlah menyembah jikalau tidak mengetahui siapa yang disembah. Akibatnya dikalahkan oleh martabat hidupmu. Jika didunia ini engkau tidak mengetahui siapa yang disembah, maka engkau seperti menyumpit burung. Pelurunya hanya disebarkan, tapi burungnya tak ada yang terkena tembakan. Akibatnya cuma menyembah ketiadaan, suatu sesembahan yang sia-sia.
Maka jelaslah bahwa shalat lima waktu yang hanya dilakukan berdasarkan ukuran formalitas, hanya sebentuk tata krama, aturan keberagamaan. Sementara shalat daim yang merupakan shalat yang sebenarnya. Yakni, kesadaran total akan kehadiran dan keberadaan Hyang Maha Agung di dalam dirinya, dan dia merasakan dirinya sirna. Sehingga semua tingkah lakunya adalah shalat. Diam, bicara, dan semua gerak tubuhnya merupakan shalat. Wudhu, membuang air besar, makan dan sebagainya adalah tindakan sembahyang. Inilah hakikat dari niat sejati dan pujian yang tiada putus. Ya, shalat yang mampu membawa pelakunya untuk menebar kekejian dan ke-mungkar-an. Mampu menghadirkan rahmatan lil ‘alamin.
“Peliharalah shalatmu dan shalat wustha. Berdirilah untuk Allah (dalam shalat) yang khusyuk” (QS Al. Baqarah/ 2:238). Ini adalah penegasan dari Allah tentang kewajiban dan keharusan memelihara shalat, baik segi dzahir maupun batin dengan titik tekan “khusyuk”, kondisi batin yang mantap.
Secara lahir, shalat dilakukan dengan berdiri, membaca Al-Fatihah, sujud, duduk dsb. Kesemuanya melibatkan keseluruhan anggota badan. Inilah shalat jasmani dan fisikal. Karena semua gerakan badan berlaku dalam semua shalat, maka dalam ayat tersebut disebut shalawaati (segala shalat) yang berarti jamak. Dan ini menjadi bagian pertama, yakni bagian lahiriah.
Bagian kedua adalah tentang shalat wustha, yaitu yang secara sufistik adalah shalat hati. Wustha dapat diartikan pertengahan atau tengah-tengah. Karena hati terletak di tengah, yakni di tengah “diri”, maka dikatakan shalat wustha sebagai shalat hati. Tujuan shalat ini adalah untuk mendapatkan kedamaian dan ketentraman hati. Hati terletak di tengah-tengah, antara kiri dan kanan, antara depan dan belakang, atas dan bawah, serta antara baik dan jahat. Hati menjadi titik tengah, poin pertimbangan. Hati juga diibaratkan berada diantara dua jari Allah, dimana Allah membolak-balikkannya ke mana saja yang ia kehendaki. Maksud dari dua jari Allah adalah dua sifat Allah, yaitu sifat Yang Menghukum dan Meng-adzab dengan sifat Yang Indah, Yang Kasih Sayang, dan Yang Lemah Lembut.
Sholat dan ibadah yang sebenarnya adalah sholat serta ibadahnya hati, kondisi khusyu’ menghadapi kehidupan. Bila hati lalai dan tidak khusyuk, maka jasmaniahnya akan berantakan. Sehingga kalau ini terjadi, kedamaian yang didambakan akan hancur pula. Apalagi shalat jasmani hanya bisa dicapai dengan hati yang khusyuk. Kalau hati tidak khusyuk, serta tidak dapat konsentrasi pada arah yang dituju dari shalat, maka hal itu tidak bisa disebut shalat. Juga tidak akan dapat dipahami apa yang diucapkan, dan tentu apa pun yang dilakukan dengan bacaan dan gerakannya tidakakan bisa mengantarkan sampai kepada Allah.
Urgensi ke-khusyuk-an ini berhubungan dengan inti shalat sebagai doa. Doa atau munajat, bukan sekedar permintaan hamba kepada Allah, akan tetapi berarti juga sebagai arena pertemuan. Dan tempat pertemuan itu adalah di dalam hati. Maka jika hati tertutup di dalam shalat, tidak peduli akan makna shalat rohani, shalat yang dilakukan tersebut tidak akan memberikan manfaat apa pun. Sebab semua yang dilakukan jasmaninya sangat tergantung kepada hati sebagai Dzat untuk badan. “Ingatlah bahwa dalam tubuh itu ada sekeping daging, apabila daging itu baik, baiklah seluruh tubuh itu. Dan apabila ia rusak, rusak pulalah semua tubuh itu. Daging itu adalah hati. “ (sabda Rasulullah)
Ke-khusyuk-an hati akan membawa sholat yang menghasilkan kesehatan hati. Shalat khusyuk akan menjadi obat bagi hati yang rusak dan jahat serta berpenyakit. Maka shalat yang baik haruslah dengan hati yang sehat dan baik pula, bukan dengan hati yang rusak, yakni hati yang tidak dapat hadir kepada Allah.
Jika shalat dari sisi jasmaniah-fisik memiliki keterbatasan dalam semua hal, baik tempat, waktu, kesucian badan, pakaian, dsb, maka shalat dari segi rohaniah tidak terbatas dan tidak dilaksanakan pada waktu-waktu tertentu. Shalat secara rohaniah tidak terikat oleh ruang dan waktu. Shalat ini selalu dilakukan terus menerus sejak di dunia hingga akhirat. Masjid untuk shalat rohani terletak dalam hati. Jamaahnya terdiri dari anggota-anggota batin atau daya-daya rohaniah yang ber-dzikir dan membaca al-asma’ al-husna dalam bahasa alam rohaniah. Imam dalam shalat rohani adalah kemauan atau keinginan (niat) yang kuat. Dan kiblatnya adalah Allah. Inilah shalat tarek dan sholat daim yang diajarkan oleh Syekh Siti Jenar.
Shalat yang demikian itu hanya dapat dilakukan oleh hati yang ikhlas, hati yang tidak tidur, dan hati yang tidak mati. Hati dan jiwa seperti itu kekal dan selalu beribadah atau shalat ketika jasmaninya sedang tertidur atau terjaga. Ibadah hati dilakukan sepanjang hayat, dan sepanjang hayatnya adalah untuk beribadah.
Inilah ibadah orang yang sudah mencapai ma’rifatullah, tempat penyucian tertinggi. Di tempat itu, ia ada tanpa dirinya. Karena dirinya telah fana’, telah hilang lenyap. Ingatannya yang teguh dan suci tercurah hanya kepada Allah.
Namun tentu saja ini berlaku setelah semua shalat-shalat fardhu dan nawafil dilaksanakan secara konsisten. Jadi, tempat suci tersebut baru bisa dijangkau setelah semua shalat syari’at itu sempurna, lalu masuk ke dalam shalat thariqat dan ma’rifat. Maka tidak bisa diartikan bahwa jika sudah berada di tingkatan ini, lalu tidak lagi melakukan shalat sama sekali. Bahkan sering dalam shalat itulah mereka mengalami fana’ dalam munajat-nya sehingga ibadah yang dilakukannya itu menyita banyak waktu. Hanya saja bentuk shalat dalam arti gerakan dan bacaan tertentu sudah tidak mengikat lagi. Shalat ditegakkan atas kemerdekaan rohani dalam menempuh laku menuju Allah.
Pada tingkatan ini tidak ada lagi bacaan di mulut. Tidak ada lagi gerakan berdiri, ruku’, sujud, dsb. Dia telah berbincang dengan Allah sebagaimana firman-Nya “Hanya Engkau yang kami sembah, dan hanya Engkaulah kami memohon pertolongan” (QS Al-Fatihah/1: 5)
Firman tersebut menunjukkan betapa tingginya kesadaran insan kamil, yakni mereka yang telah melalui beberapa tingkatan alam rasa dan pengalaman rohani sehingga tenggelam dalam lautan tauhid atau Ke-Esaan Allah dan ber”padu” dengan-Nya. Nikmat yang mereka rasakan saat itu tidak dapat diungkapkan dengan kata-kata. Hanya orang yang mengalaminya yang dapat mengalaminya yang dapat mengartikan kenikmatan tersebut. Namun mereka pun sering tidak mau mengungkapkannya. Tidak ingin membocorkan rahasia Ketuhanan yang tersimpan di dalam lubuk hatinya oleh Allah.
Hal tersebut sama halnya dengan hakikat takbir, yang bukan semata-mata ucapan “Allahu Akbar”. Takbir merupakan pengucapan yang lahir dari firman Allah yang memuji kebesaran Dzat-Nya. Jadi, takbir sebenarnya merupakan suara Tuhan yang meminjam mulut hamba-Nya. Bukan hasil dari dorongan emosional. Karenanya, takbir sejati adalah menyatakan kebesaran Allah dari af’al Allah sendiri. Takbir sejati merupakan penghayatan diri terhadap sifat Allah. Dan takbir sejati adalah penyebutan nama-Nya yang lahir dari kehendak-Nya semata. Dengan takbir yang demikian itu maka yang lain menjadi sangat kecil, dan menjadi tidak ada. Yang ada hanya Allah. Ke mana pun kita menghadap yang ada hanya Wajah Allah.
Maka setelah berpadu ibadah lahir dan batin secara harmonis, sempurnalah ibadah seseorang. Hati dan ruh seperti tergambar itu membawanya masuk ke Hadirat Allah. Hatinya ber”padu” mesra dengan Allah. Dalam alam nyata ia menjadi hamba yang wara’ dan ‘alim. Dalam alam rohani ia menjadi ahli ma’rifah yang telah sampai pada peringkat kesempurnaan mengenal Allah. Inilah makna bahwa shalat adalah perjalanan menuju Allah. Hasilnya adalah bahwa shalat yang dilaksanakan mencegah perilaku yang keji dan munkar. Sebaliknya menghasilkankehalusan dan kemuliaan budi dan perilaku.
Jika shalat telah dihilangkan makna hakikatnya, hanya menjadi sekedar pelaksanaan hukum fikih sebagaimana tampak pada kebanyakan manusia dewasa ini, maka shalat tersebut telah kehilangan makna fungsionalnya. Hal inilah yang telah mendatangkan kritik tajam dari Syekh Siti Jenar.
Sadat salat pasa tan apti
Seje jakat kaji mring Mekah
Iku wes palson kabeh
Nora kena ginugu
Sadayeku durjaning bumi
Ngapusi liyan titah
Sinung swarga besuk
Wong bodho anu auliya
Tur nyatane pada bae durung uning
Artinya:
Syahadat, sholat, puasa semua tanpa makna
Termasuk zakat dan haji ke Mekah
Itu semua telah menjadi palsu
Tidak bisa dijadikan anutan
Hanya menghasilkan kerusakan di bumi
Membohongi makhluk lain
Hanya ingin surga kelak
Orang bodoh mengikuti para wali
Sementara kenyataannya sama saja belum mencapai tahapan hening
Syekh Siti Jenar mengkritik pelaksanaan hukum fikih pada masa walisanga karena ibadah-ibadah formal tersebut telah kehilangan makna dan tujuan, kehilangan arti, dan hikmah kehidupan. Hal itu menjadikan semua ajaran agama yang diajarkan oleh para ulama ketika itu menjadi kebohongan yang meninabobokkan publik dengan hanya menginginkan surga kelak yang belum ada kenyataanya.
Oleh karenanya Syekh Siti Jenar mengajarkan praktik shalat fungsional, berbeda dengan para wali pada masanya. Shalat tarek sebagai bentuk ketaatan syari’at, dan shalat daim sebagai shalat yang tertanam dalam jiwa, dan mewarnai seluruh pekerti kehidupan. Seseorang yang melaksanakan pekerjaan profesionalnya secara benar, disiplin, ikhlas, dan karena melaksanakan fungsi lillahi ta’ala, maka orang tersebut disebut melaksanakan shalat. Itulah bagian dari shalat da’im.
Namun ternyata, ajaran shalat fungsional tersebut tidak hanya menjadi milik Syekh Siti Jenar. Di dalam Suluk Wujil bait 12-13, sebuah naskah yang ditulis pada awal abad ke-17, yang disebut-sebut sebagai warisan ajaran Sunan Bonang, menyebutkan ajaran shalat sebagai berikut:
Utamaning sarira puniki
Angrawuhana jatining salat
Sembah lawan pamujine
Jatining salat iku
Dudu ngisa tuwin magerib
Sembahyang araneka
Wenange punika
Lamun aranana salat
Pun minangka kekembanging salat daim
Ingaran tata krama
Endi ingaran sembah sejati
Aja nembah yen tan katingalan
Temahe kasor kulane
Yen sira nora weruh
Kang sinembah ing donya iki
Kadi anulup kaga
Punglune den sawur
Manuke mangsa kenaa
Awekasa amangeran adan sarpin
Sembahe siya-siya.
Artinya:
Unggulnya diri itu mengetahui hakikat shalat, sembah dan pujian. Shalat yang sebenarnya bukan mengerjakan shalat Isya dan maghrib. Itu namanya sembahyang. Apabila itu disebut shalat, maka hanyalah hiasan dari shalat daim. Hanyalah tata krama . manakah yang disebut shalat yang sesungguhnya itu? Janganlah menyembah jikalau tidak mengetahui siapa yang disembah. Akibatnya dikalahkan oleh martabat hidupmu. Jika didunia ini engkau tidak mengetahui siapa yang disembah, maka engkau seperti menyumpit burung. Pelurunya hanya disebarkan, tapi burungnya tak ada yang terkena tembakan. Akibatnya cuma menyembah ketiadaan, suatu sesembahan yang sia-sia.
Maka jelaslah bahwa shalat lima waktu yang hanya dilakukan berdasarkan ukuran formalitas, hanya sebentuk tata krama, aturan keberagamaan. Sementara shalat daim yang merupakan shalat yang sebenarnya. Yakni, kesadaran total akan kehadiran dan keberadaan Hyang Maha Agung di dalam dirinya, dan dia merasakan dirinya sirna. Sehingga semua tingkah lakunya adalah shalat. Diam, bicara, dan semua gerak tubuhnya merupakan shalat. Wudhu, membuang air besar, makan dan sebagainya adalah tindakan sembahyang. Inilah hakikat dari niat sejati dan pujian yang tiada putus. Ya, shalat yang mampu membawa pelakunya untuk menebar kekejian dan ke-mungkar-an. Mampu menghadirkan rahmatan lil ‘alamin.
3. Puasa
Puasa dalam ketentuan syariat adalah menahan diri dari makan, minum dan bersetubuh. Sejak masuk subuh hingga masuk waktu maghrib. Sedangkan puasa dari segi rohani bermakna membersihkan semua pancaindera dan pikiran dari hal-hal yang haram, selain menahan diri dari perkara-perkara yang membatalkannya yang telah ditetapkan dalam puasa syariat. Dalam puasa harus diusahakan keduanya berpadu secara harmonis.
Puasa dari segi rohani akan batal bila niat dan tujuannya tergelincir kepada sesuatu yang haram, walau hanya sedikit. Puasa syari’at berkait dengan waktu, tetapi puasa rohani tidak pernah mengenal waktu. Terus menerus dan berlangsung sepanjang hayat du dunia dan akhirat. Inilah puasa yang hakiki, seperti yang dikenal oleh orang yang hati dan jiwanya bersih. Puasa adalah pembersihan diatas pembersihan.
Puasa tidak bermakna kalau tidak membawa pelakunya kepada kedekatan terhadap Allah. Orang awam akan cepat berbuka begitu waktu buka tiba. Tetapi orang yang rohaninya ikut berpuasa, tidak akan pernah berhenti berpuasa secara rohani walaupun secara fisik ia juga berbuka sebagaimana orang lain.
Jika orang awam merasakan kebahagiaan berpuasa saat berbuka dan pada saat melihat datangnya bulan Syawal setelah satu bulan berpuasa penuh, maka lain bagi orang yang ‘arif. Orang yang telah berma’rifat lebih mengutamakan dimensi spiritual. Ia akan menganggap kenikmatan berbuka adalah pada waktu kelak ia memasuki taman surga dan menikmati segala hal di dalamnya. Sedangkan maksud kenikmatan ketika melihat adalah kenikmatan yang diperoleh bila mereka dapat melihat Allah dengan matahati sebagai salah satu efek dari puasanya.
Namun masih ada jenis puasa yang lebih tinggi, yakni puasa hakiki atau puasa yang sebenarnya. Puasa ini memiliki martabat yang lebih bagus dari kedua puasa diatas. Puasa ini adalah puasa menahan hati dari menyembah, memuji, memuja, dan mencari ghairullah (yang selain Allah). Puasa ini dilakukan dengan cara menahan mata hati dari memandang ghairullah, baik yang lahir maupun yang batin. Namun walaupun seseorang telah sampai kepada tahapan puasa hakiki, puasa wajib tetap dibutuhkan sebagai aplikasi syari’atnya, dan sebagai cara serta sarana menggapai kesehatan fisik. Sebaliknya, jika puasa hanya memenuhi ketentuan syariat, maka “iku wis palson kabeh”, hanya sebentuk kebohongan beragama semata. Puasa merupakan tindakan rohani untuk mereduksi watak-watak kedzaliman, ketidakadilan, egoisme, dan keinginan yang hanya untuk dirinya sendiri. Inilah yang diajarkan Syekh Siti Jenar. Buahnya adalah kejujuran terhadap diri sendiri, orang lain dan kejujuran di hadapan Tuhan tentang kenyataan dan eksistensi dirinya.
Dalam puasa hakiki, hati dibutakan dari pandangan terhadap ghairullah dan tertuju hanya kepada Allah serta cinta kepada-Nya. Dengan puasa hakiki inilah esensi penciptaan akan terkuak. Manusia adalah rahasia Allah dan Allah rahasia bagi manusia. Rahasia itu berupa nur Allah. Nur itu adalah titik tengah (centre) hati yang diciptakan dari sesuatu yang unik dan gaib. Hanya ruh yang tahu semua rahasia itu. Ruh juga menjadi penghubung rahasia antara Khaliq dan makhluk. Rahasia itu tidak tertarik dan tidak pernah menaruh cinta kepada selain Allah. Dengan puasa hakiki, ruh itu diaktifkan. Oleh karenanya jika ada setitik dzarrah pun cinta terhadap ghairullah, batallah puasa hakiki. Jika puasa hakiki batal maka kita mengulanginya, menyalakan kembali niat, dan harapan kepada Allah di dunia dan akhirat. Puasa hakiki hanyalah menempatkan Allah di dalam hati, menjalani proses kemanunggalan meng-Gusti-kan perwatakan kawula.
Dengan puasa hakiki, maka kita akan menyadari bahwa sebenarnya puasa merupakan hadiah Allah untuk umat manusia. Sehingga bagi hamba Allah yang telah mencapai ma’rifat, akhirnya puasa wajib dan sunnah bukanlah berbeda. Secara lahiriah keduanya memang berbeda dari segi waktu dan cara pelaksanaannya, akan tetapi secara batiniah, esensi kedua jenis puasa itu tidak berbeda. Dengan berpuasa secara hakiki, tidak ada sekat wajib atau sunnah lagi, yang ada adalah menikmati hadiah dari Allah bagi rohani kita.
Sehingga dengan pemahaman dan pelaksanaan puasa yang seperti itu, maka akhirnya puasa tersebut akan mampu menjadi katalisator bagi hawa nafsu kita, dan hati akan semakin berkilau oleh bilasan nurullah. Ia akan menjadi motor penggerak bagi ruh al-idhafi, sebagai efek kebeningan hatinya yang dengan itulah keseluruhan kehidupan akan ditunjukkan menuju kearah al-Haqq, Illahi Rabbi.
Bagi Syekh Siti Jenar, puasa hakiki akan melahirkan watak manusia yang pengasih. Mengantarkan kesadaran untuk selalu ikut berperan serta mengangkat harkat dan derajat kemanusiaan, berperan aktif memerangi kemiskinan, dan selalu menyertai sesama manusia yang berada dalam penderitaan. Puasa hakiki adalah kesadaran batin untuk menjadikan hawa nafsu sebagai hal yang harus dikalahkan, dan ke-dzalim-an sebagai hal yang harus ditundukkan.
Oleh Syekh Siti Jenar, puasa secara lahir disubstitusikan dengan kemampuan untuk melaparkan diri. Bukan sekedar mengatur ulang pola makan di bulan Ramadhan, tetapi mampu “ngelakoni weteng kudu luwe”, membiasakan diri lapar, bukan membiarkan kelaparan.
Sehingga terciptalah sistem masyarakat yang terkendali hawa nafsunya. Dan tentu saja, Syekh Siti Jenar tidak memaknai “kudu luwe” sebagai alasan lembeknya manusia secara fisik. Hal tersebut harus dikontekstualisasikan dengan kecukupan gizi yang harus terpenuhi bagi aktivitas fisik. Yang terpenting adalah kemauan dan kesadaran untuk berbagi, untuk tidak hanya memuaskan apa yang menjadi tuntutan hawa nafsunya.
Puasa dalam ketentuan syariat adalah menahan diri dari makan, minum dan bersetubuh. Sejak masuk subuh hingga masuk waktu maghrib. Sedangkan puasa dari segi rohani bermakna membersihkan semua pancaindera dan pikiran dari hal-hal yang haram, selain menahan diri dari perkara-perkara yang membatalkannya yang telah ditetapkan dalam puasa syariat. Dalam puasa harus diusahakan keduanya berpadu secara harmonis.
Puasa dari segi rohani akan batal bila niat dan tujuannya tergelincir kepada sesuatu yang haram, walau hanya sedikit. Puasa syari’at berkait dengan waktu, tetapi puasa rohani tidak pernah mengenal waktu. Terus menerus dan berlangsung sepanjang hayat du dunia dan akhirat. Inilah puasa yang hakiki, seperti yang dikenal oleh orang yang hati dan jiwanya bersih. Puasa adalah pembersihan diatas pembersihan.
Puasa tidak bermakna kalau tidak membawa pelakunya kepada kedekatan terhadap Allah. Orang awam akan cepat berbuka begitu waktu buka tiba. Tetapi orang yang rohaninya ikut berpuasa, tidak akan pernah berhenti berpuasa secara rohani walaupun secara fisik ia juga berbuka sebagaimana orang lain.
Jika orang awam merasakan kebahagiaan berpuasa saat berbuka dan pada saat melihat datangnya bulan Syawal setelah satu bulan berpuasa penuh, maka lain bagi orang yang ‘arif. Orang yang telah berma’rifat lebih mengutamakan dimensi spiritual. Ia akan menganggap kenikmatan berbuka adalah pada waktu kelak ia memasuki taman surga dan menikmati segala hal di dalamnya. Sedangkan maksud kenikmatan ketika melihat adalah kenikmatan yang diperoleh bila mereka dapat melihat Allah dengan matahati sebagai salah satu efek dari puasanya.
Namun masih ada jenis puasa yang lebih tinggi, yakni puasa hakiki atau puasa yang sebenarnya. Puasa ini memiliki martabat yang lebih bagus dari kedua puasa diatas. Puasa ini adalah puasa menahan hati dari menyembah, memuji, memuja, dan mencari ghairullah (yang selain Allah). Puasa ini dilakukan dengan cara menahan mata hati dari memandang ghairullah, baik yang lahir maupun yang batin. Namun walaupun seseorang telah sampai kepada tahapan puasa hakiki, puasa wajib tetap dibutuhkan sebagai aplikasi syari’atnya, dan sebagai cara serta sarana menggapai kesehatan fisik. Sebaliknya, jika puasa hanya memenuhi ketentuan syariat, maka “iku wis palson kabeh”, hanya sebentuk kebohongan beragama semata. Puasa merupakan tindakan rohani untuk mereduksi watak-watak kedzaliman, ketidakadilan, egoisme, dan keinginan yang hanya untuk dirinya sendiri. Inilah yang diajarkan Syekh Siti Jenar. Buahnya adalah kejujuran terhadap diri sendiri, orang lain dan kejujuran di hadapan Tuhan tentang kenyataan dan eksistensi dirinya.
Dalam puasa hakiki, hati dibutakan dari pandangan terhadap ghairullah dan tertuju hanya kepada Allah serta cinta kepada-Nya. Dengan puasa hakiki inilah esensi penciptaan akan terkuak. Manusia adalah rahasia Allah dan Allah rahasia bagi manusia. Rahasia itu berupa nur Allah. Nur itu adalah titik tengah (centre) hati yang diciptakan dari sesuatu yang unik dan gaib. Hanya ruh yang tahu semua rahasia itu. Ruh juga menjadi penghubung rahasia antara Khaliq dan makhluk. Rahasia itu tidak tertarik dan tidak pernah menaruh cinta kepada selain Allah. Dengan puasa hakiki, ruh itu diaktifkan. Oleh karenanya jika ada setitik dzarrah pun cinta terhadap ghairullah, batallah puasa hakiki. Jika puasa hakiki batal maka kita mengulanginya, menyalakan kembali niat, dan harapan kepada Allah di dunia dan akhirat. Puasa hakiki hanyalah menempatkan Allah di dalam hati, menjalani proses kemanunggalan meng-Gusti-kan perwatakan kawula.
Dengan puasa hakiki, maka kita akan menyadari bahwa sebenarnya puasa merupakan hadiah Allah untuk umat manusia. Sehingga bagi hamba Allah yang telah mencapai ma’rifat, akhirnya puasa wajib dan sunnah bukanlah berbeda. Secara lahiriah keduanya memang berbeda dari segi waktu dan cara pelaksanaannya, akan tetapi secara batiniah, esensi kedua jenis puasa itu tidak berbeda. Dengan berpuasa secara hakiki, tidak ada sekat wajib atau sunnah lagi, yang ada adalah menikmati hadiah dari Allah bagi rohani kita.
Sehingga dengan pemahaman dan pelaksanaan puasa yang seperti itu, maka akhirnya puasa tersebut akan mampu menjadi katalisator bagi hawa nafsu kita, dan hati akan semakin berkilau oleh bilasan nurullah. Ia akan menjadi motor penggerak bagi ruh al-idhafi, sebagai efek kebeningan hatinya yang dengan itulah keseluruhan kehidupan akan ditunjukkan menuju kearah al-Haqq, Illahi Rabbi.
Bagi Syekh Siti Jenar, puasa hakiki akan melahirkan watak manusia yang pengasih. Mengantarkan kesadaran untuk selalu ikut berperan serta mengangkat harkat dan derajat kemanusiaan, berperan aktif memerangi kemiskinan, dan selalu menyertai sesama manusia yang berada dalam penderitaan. Puasa hakiki adalah kesadaran batin untuk menjadikan hawa nafsu sebagai hal yang harus dikalahkan, dan ke-dzalim-an sebagai hal yang harus ditundukkan.
Oleh Syekh Siti Jenar, puasa secara lahir disubstitusikan dengan kemampuan untuk melaparkan diri. Bukan sekedar mengatur ulang pola makan di bulan Ramadhan, tetapi mampu “ngelakoni weteng kudu luwe”, membiasakan diri lapar, bukan membiarkan kelaparan.
Sehingga terciptalah sistem masyarakat yang terkendali hawa nafsunya. Dan tentu saja, Syekh Siti Jenar tidak memaknai “kudu luwe” sebagai alasan lembeknya manusia secara fisik. Hal tersebut harus dikontekstualisasikan dengan kecukupan gizi yang harus terpenuhi bagi aktivitas fisik. Yang terpenting adalah kemauan dan kesadaran untuk berbagi, untuk tidak hanya memuaskan apa yang menjadi tuntutan hawa nafsunya.
4.Zakat
Syekh Siti Jenar memberikan makna aplikatif zakat sebagai sikap menolong orang lain dari penderitaan dan kekurangan. Menolong orang lain agar dapat hidup, menikmati hidup, sekaligus mampu bereksis menjalani kehidupan. Syekh Siti Jenar sendiri bertani yang merupakan pekerjaan favorit pada masa hidupnya. Namun tidak semua masyarakat petani berhasil hidupnya sebagaimana pula tidak selalu berhasil baik dari panennya. Yang tidak berhasil panennya tentu mengalami
kekurangan bahkan kelaparan. Syekh Siti Jenar selalu membantu mereka yang kurang berhasil tadi dengan memberikan sebagian hasil panennya dari tanahnya yang luas kepada mereka itu. Inilah yang disebut sebagai zakat secara fungsional.
Suka memberi adalah sifat-Nya, dan Dia senang melihat hamba-Nya mencontoh sifat suka memberi yang menjadi sifat-Nya itu. Perbendaharaan Tuhan tidak akan kosong, dan bila Allah memberi Dia akan memberi dengan tangan-Nya yang terbuka. “Barang siapa yang datang membawa amal yang baik, maka ia akan mendapat pahala sebanyak sepuluh kali lipat dari kita, dan barangsiapa yang datang membawa perbuatan yang jahat, dia tidak mendapatkan pembalasannya, melainkan yang seimbang dengan kejahatannya, sedangkan mereka sedikit pun tidak dianiaya.” (QS Al-An’am/6: 160)
Syekh Siti Jenar memberikan makna aplikatif zakat sebagai sikap menolong orang lain dari penderitaan dan kekurangan. Menolong orang lain agar dapat hidup, menikmati hidup, sekaligus mampu bereksis menjalani kehidupan. Syekh Siti Jenar sendiri bertani yang merupakan pekerjaan favorit pada masa hidupnya. Namun tidak semua masyarakat petani berhasil hidupnya sebagaimana pula tidak selalu berhasil baik dari panennya. Yang tidak berhasil panennya tentu mengalami
kekurangan bahkan kelaparan. Syekh Siti Jenar selalu membantu mereka yang kurang berhasil tadi dengan memberikan sebagian hasil panennya dari tanahnya yang luas kepada mereka itu. Inilah yang disebut sebagai zakat secara fungsional.
Suka memberi adalah sifat-Nya, dan Dia senang melihat hamba-Nya mencontoh sifat suka memberi yang menjadi sifat-Nya itu. Perbendaharaan Tuhan tidak akan kosong, dan bila Allah memberi Dia akan memberi dengan tangan-Nya yang terbuka. “Barang siapa yang datang membawa amal yang baik, maka ia akan mendapat pahala sebanyak sepuluh kali lipat dari kita, dan barangsiapa yang datang membawa perbuatan yang jahat, dia tidak mendapatkan pembalasannya, melainkan yang seimbang dengan kejahatannya, sedangkan mereka sedikit pun tidak dianiaya.” (QS Al-An’am/6: 160)
Sebagaimana makna katanya, zakat memiliki kegunaan sebagai arena
pembersihan harta dan jiwa. Terutama membersihkan dari keegoan, sehingga
tujuan zakat rohani menjadi tercapai. “Siapakah yang mau meminjamkan
kepada Allah pinjaman yang baik maka Allah akan melipatgandakan balasan
pinjaman itu untuknya, dia akan mendapatkan pahala yang banyak”.(QS Al
Hadid/57:11). Inilah hakikat pahala zakat, baik jasmani maupun rohani.
Sehingga terhadap harta pinjaman dan titipan dari Allah, kita melakukan penyucian diri dengan mengeluarkan zakat, bersedekah, serta berbuat amal jariyah. Dalam hal inilah, patokan kita bukan sekedar patokan minimal 2,5%, namun bisa lebih dari itu. Bahkan para sufi terkadang berzakat 100% dari seluruh harta yang diterimanya.
Selain ia membersihkan dari daki-daki dunia, ia juga memanjangkan umur dan menyelamatkan diri dari siksa sengsara akhirat. Betapa beruntungnya para pemilik harta yang menyedekahkan hartanya sehingga ia mendapatkan ganjaran yang tidak dapat ditebus dengan uang nantinya. “Mereka yang menyedekahkan hartanya kepada orang lain, hartanya tidak akan berkurang. Bahkan, harta itu akan bertambah, dan bertambah.” (Sabda Nabi).
Sehingga terhadap harta pinjaman dan titipan dari Allah, kita melakukan penyucian diri dengan mengeluarkan zakat, bersedekah, serta berbuat amal jariyah. Dalam hal inilah, patokan kita bukan sekedar patokan minimal 2,5%, namun bisa lebih dari itu. Bahkan para sufi terkadang berzakat 100% dari seluruh harta yang diterimanya.
Selain ia membersihkan dari daki-daki dunia, ia juga memanjangkan umur dan menyelamatkan diri dari siksa sengsara akhirat. Betapa beruntungnya para pemilik harta yang menyedekahkan hartanya sehingga ia mendapatkan ganjaran yang tidak dapat ditebus dengan uang nantinya. “Mereka yang menyedekahkan hartanya kepada orang lain, hartanya tidak akan berkurang. Bahkan, harta itu akan bertambah, dan bertambah.” (Sabda Nabi).
Jadi, pemahaman sufi atas harta jelas. Harta dan semua yang ada
adalah milik Tuhan. Manusia diberi limpahan-Nya agar digunakan sebagai
alat bagi perjalanan rohaninya menuju Tuhan. “Kamu tidak akan sampai
kepada ketaatan yang sempurna sebelum kamu menafkahkan sebagian harta
yang kamu cintai. Dan apa saja yang kamu nafkahkan itu, maka
sesungguhnya Allah mengetahuinya.” (QS Ali Imran/3:92).
Zakat bagi para sufi merupakan langkah untuk memberikan “kado” atau hadiah terindah untuk Tuhan, sekaligus untuk manusia dengan disertai kebersihan niat jiwa, dan kesucian hati. Tegasnya, sebagaimana dikemukakan Syekh Siti Jenar, zakat adalah kesediaan untuk menolong manusia yang kekurangan, baik harta fisik maupun harta rohani sehingga mereka terhindar dari kemiskinan, kekurangan, kelaparan fisik maupun spiritual. Betapa indahnya dunia jika dihuni manusia sufi seperti ini.
Zakat bagi para sufi merupakan langkah untuk memberikan “kado” atau hadiah terindah untuk Tuhan, sekaligus untuk manusia dengan disertai kebersihan niat jiwa, dan kesucian hati. Tegasnya, sebagaimana dikemukakan Syekh Siti Jenar, zakat adalah kesediaan untuk menolong manusia yang kekurangan, baik harta fisik maupun harta rohani sehingga mereka terhindar dari kemiskinan, kekurangan, kelaparan fisik maupun spiritual. Betapa indahnya dunia jika dihuni manusia sufi seperti ini.
5.Haji
Haji menurut Islam-Jawa yang sebagian merupakan warisan ajaran Syekh Siti Jenar tidak lain adalah olah spiritual. Karena kalau hanya sekedar mengunjungi Makkah dalam arti fisik, bagi orang Islam-Jawa itu cukup dengan “ngeraga sukma”. Dalam arti seseorang mampu pergi ke Makkah kapan saja dia mau. Oleh karenanya, bagi mereka, Makkah letaknya bukanlah sebatas geografis, yakni terletak di Dataran Arab Saudi. Bagi Muslim-Jawa, Makkah berada di dalam spirit manusia yang tidak ditempuh dengan hanya menggunakan bekal rupiah. Hal ini dapat ditinjau dari ungkapan dalam Suluk Wijil:
Samana ngling Molana Maghribi
Singgih pakanira awangsal
Nora ing Mekah rekeh
Ing Mekah kulon iku
Mekah tiron wastanireki
Watu ingkang kinarya
Pangadhepan iku
Nabi Ibrahim akarya
Nusa Jawa yen tuwan tinggala kapir
Lan tuwan awangsul
Nora ana weruh ing Mekah iki
Alit mila teka ing awayah
Mang tekaa parane
Yen ana sangunipun
Tekeng Mekah tur dadi wali
Sangunipun alarang
Dahat dening ewuh
Dudu srepi dudu dinar
Sangunipun kang sura lagaweng pati
Sabar lila ing donya
Haji menurut Islam-Jawa yang sebagian merupakan warisan ajaran Syekh Siti Jenar tidak lain adalah olah spiritual. Karena kalau hanya sekedar mengunjungi Makkah dalam arti fisik, bagi orang Islam-Jawa itu cukup dengan “ngeraga sukma”. Dalam arti seseorang mampu pergi ke Makkah kapan saja dia mau. Oleh karenanya, bagi mereka, Makkah letaknya bukanlah sebatas geografis, yakni terletak di Dataran Arab Saudi. Bagi Muslim-Jawa, Makkah berada di dalam spirit manusia yang tidak ditempuh dengan hanya menggunakan bekal rupiah. Hal ini dapat ditinjau dari ungkapan dalam Suluk Wijil:
Samana ngling Molana Maghribi
Singgih pakanira awangsal
Nora ing Mekah rekeh
Ing Mekah kulon iku
Mekah tiron wastanireki
Watu ingkang kinarya
Pangadhepan iku
Nabi Ibrahim akarya
Nusa Jawa yen tuwan tinggala kapir
Lan tuwan awangsul
Nora ana weruh ing Mekah iki
Alit mila teka ing awayah
Mang tekaa parane
Yen ana sangunipun
Tekeng Mekah tur dadi wali
Sangunipun alarang
Dahat dening ewuh
Dudu srepi dudu dinar
Sangunipun kang sura lagaweng pati
Sabar lila ing donya
Artinya:
Maulana Maghribi berkata demikian,” Baiklah engkau kembali, yang engkau cari tidak ada di Makkah. Makkah yang terletak di barat(Nusa Jawa) itu, Makkah tiruan namanya. Batu yang dibuat sebagai tempat menghadap adalah buatan Nabi Ibrahim. Jika Nusa Jawa engkau tinggalkan, akan menjadi kafir// Tak ada yang tahu dimana Makkah yang sebenarnya. Meski ia harus berjalan dari kecil hingga tua. Tak akan mencapai tujuan. Jika ada bekal sampai di Makkah dan menjadi Wali, maka bekalnya sangat mahal, sukar diperoleh. Bukan rupiah maupun dinar bekal tersebut. Tapi keberanian, kesanggupan mati, dan sabar serta ikhlas di dunia).
Maulana Maghribi berkata demikian,” Baiklah engkau kembali, yang engkau cari tidak ada di Makkah. Makkah yang terletak di barat(Nusa Jawa) itu, Makkah tiruan namanya. Batu yang dibuat sebagai tempat menghadap adalah buatan Nabi Ibrahim. Jika Nusa Jawa engkau tinggalkan, akan menjadi kafir// Tak ada yang tahu dimana Makkah yang sebenarnya. Meski ia harus berjalan dari kecil hingga tua. Tak akan mencapai tujuan. Jika ada bekal sampai di Makkah dan menjadi Wali, maka bekalnya sangat mahal, sukar diperoleh. Bukan rupiah maupun dinar bekal tersebut. Tapi keberanian, kesanggupan mati, dan sabar serta ikhlas di dunia).
Dari penuturan suluk wujil tersebut, jelas bahwa haji adalah olah
spiritual untuk mencapai keyakinan hidup yang hak, yaitu berani dan
sanggup mati dalam kebenaran, serta sabar dan ikhlas dalam hidup di
dunia. Dimana ruh masih terpenjara dalam wadaq ini. Hidup ikhlas adalah
hidup tidak terkontaminasi nafsu berebut kuasa, harta, kelezatan hidup
di dunia (Chodjim, 2002,209). Maka keikhlasan menjalani hidup menjadi
tujuan dari haji. Untuk dapat ikhlas perlu laku atau olah spiritual.
Untuk mampu memperoleh laku yang benar, juga diperlukan keberanian dan kesanggupan memilih jalan yang diyakini benar. Sebagiannya adalah keberanian dan kesanggupan untuk hidup bersahaja dan bersih dari segala perbuatan yang tercela dan mungkar. Hati terbebas dari segala iri, dengki, dendam, kesumat, kikir dan tamak. Pikiran bersih dari keterikatan dengan kelezatan dunia. Rohani dimerdekakan, dan keberagamaan tidak terbelenggu oleh sekedar formalitas. Dan untuk itu semua dibutuhkan kesabaran, memiliki daya juang, dan tidak mudah menyerah dalam upaya mencapai tujuan. Tegar dan kokoh dalam perjuangan hidup yang benar, dan kemauan mempertahankan keyakinan atas kebenaran itu.
Di balik kesabaran itu, juga tersembul kemauan menjaga harmonisme segala hal di dunia ini. Tidak egois, tidak mau menang sendiri, tidak menyerobot hak orang lain. tidak mempermainkan kekuasaan, tidak melanggar hak-hak orang lain. ia selalu memperjuangkan hak hidup dengan tanpa mengorbankan hak orang lain. ia memperjuangkan haknya sekaligus hak orang lain.
Muslim Jawa dalam beragama tidak hanya terikat pada simbol. Sehingga termasuk Ka’bah misalnya, yang berada di Makkah hanya disebut sebagai tiruan yang dibuat manusia. Ka’bah yang sesungguhnya tidak diketahui letaknya karena berada di alam spiritual. Ka’bah diri berada di kedalaman ceruk hati. Oleh karenanya kebenaran dan kejujuran tidak harus diburu di Makkah, justru di Jawa juga menyediakan banyak ajaran spiritual yang jika ditinggalkan untuk memburu di Makkah, malah membuat orang Jawa akan menjadi kafir.
Yakni akan kehilangan kebijaksanaan tradisional dan spiritualitas yang genuine dari kedalaman dirinya sendiri. Untuk menciptakan kesejahteraan, ketentraman, dan untuk mampu mendekati Tuhan, ternyata memang seharusnya tidak boleh meninggalkan kebijaksanaan yang berakar pada tradisi ritual dari bangsa lain. Allah menyediakan semua tempat dengan ragam hikmah (wisdom)-nya masing-masing. Untuk itulah konsep keberbedaan harus disatukan dalam kerangka lita’aruf (saling mengenal). Mereka yang mampu mengenal hikmah yang beragam itu disebut Allah sebagai mereka yang paling sanggup mencapai ketakwaan.
Untuk mampu memperoleh laku yang benar, juga diperlukan keberanian dan kesanggupan memilih jalan yang diyakini benar. Sebagiannya adalah keberanian dan kesanggupan untuk hidup bersahaja dan bersih dari segala perbuatan yang tercela dan mungkar. Hati terbebas dari segala iri, dengki, dendam, kesumat, kikir dan tamak. Pikiran bersih dari keterikatan dengan kelezatan dunia. Rohani dimerdekakan, dan keberagamaan tidak terbelenggu oleh sekedar formalitas. Dan untuk itu semua dibutuhkan kesabaran, memiliki daya juang, dan tidak mudah menyerah dalam upaya mencapai tujuan. Tegar dan kokoh dalam perjuangan hidup yang benar, dan kemauan mempertahankan keyakinan atas kebenaran itu.
Di balik kesabaran itu, juga tersembul kemauan menjaga harmonisme segala hal di dunia ini. Tidak egois, tidak mau menang sendiri, tidak menyerobot hak orang lain. tidak mempermainkan kekuasaan, tidak melanggar hak-hak orang lain. ia selalu memperjuangkan hak hidup dengan tanpa mengorbankan hak orang lain. ia memperjuangkan haknya sekaligus hak orang lain.
Muslim Jawa dalam beragama tidak hanya terikat pada simbol. Sehingga termasuk Ka’bah misalnya, yang berada di Makkah hanya disebut sebagai tiruan yang dibuat manusia. Ka’bah yang sesungguhnya tidak diketahui letaknya karena berada di alam spiritual. Ka’bah diri berada di kedalaman ceruk hati. Oleh karenanya kebenaran dan kejujuran tidak harus diburu di Makkah, justru di Jawa juga menyediakan banyak ajaran spiritual yang jika ditinggalkan untuk memburu di Makkah, malah membuat orang Jawa akan menjadi kafir.
Yakni akan kehilangan kebijaksanaan tradisional dan spiritualitas yang genuine dari kedalaman dirinya sendiri. Untuk menciptakan kesejahteraan, ketentraman, dan untuk mampu mendekati Tuhan, ternyata memang seharusnya tidak boleh meninggalkan kebijaksanaan yang berakar pada tradisi ritual dari bangsa lain. Allah menyediakan semua tempat dengan ragam hikmah (wisdom)-nya masing-masing. Untuk itulah konsep keberbedaan harus disatukan dalam kerangka lita’aruf (saling mengenal). Mereka yang mampu mengenal hikmah yang beragam itu disebut Allah sebagai mereka yang paling sanggup mencapai ketakwaan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar