Tiada hari tanpa kopi!
Setidaknya itulah bagian dari “ritual” kehidupan yang saya jalani. Oleh karena itu, ketika bertemu dan ditawari untuk memesan minuman oleh Amalia Maulana, saya pun tanpa sungkan lagi memesan kopi hitam kegemaran saya. Dan sambil menunggu pesanan kopi hitam saya datang, obrolan demi obrolan pun mewarnai diskusi segar saya bersama sang Etnographer pada Jum’at malam (20 Maret 2009) yang lalu.
Awal perjumpaan saya dengan sang Etnographer itu sebenarnya bisa dibilang tanpa direncana. Beberapa waktu yang lalu, Amalia Maulana mengirimkan sebuah pesan singkat kepada saya melalui message box FB. Disana, beliau meminta kesediaan saya memberikan sepatah dua patah kata bagi buku yang sedang ditulisnya. Sederhana saja harapannya, memberikan reassurance terhadap manfaat buku itu terhadap para pebisnis. Mendapatkan kehormatan tersebut, saya pun (tanpa ragu) mengiyakannya.
Esok hari, sebuah email telah dikirimkan kepada saya. Di dalam email tersebut terdapat pula sebuah buku yang sudah siap cetak. Tanpa menunggu, saya pun melahap keseluruhan isi buku tersebut. Beberapa tulisan yang ada memang sudah pernah saya baca, sementara sebagian lagi sisanya belum pernah saya baca. Dan bagian ini yang membuat saya semakin tertarik untuk membacanya. Hehehe.. insting untuk selalu belajar tidak akan pernah membuat kita rugi!
Tak lama kemudian, melalui email, sang Etnographer pun menginformasikan kepada saya bahwa beliau mendapatkan undangan ke Jogja sebagai salah satu pembicara di Etnography Design Workshop (EDW) 2009. Dan melalui email pula (plus bantuan SMS), kami pun akhirnya bertemu di Wisma MM UGM pada Jum’at malam yang lalu.
Amalia, panggilan akrab sang sang Etnographer, memulai obrolan dengan bercerita tentang aktivitasnya di Jogja hari itu. Mulai dari EDW 2009, sampai dengan rencananya untuk menikmati Jogja di malam hari. Rupanya, malam itu, sudah ada janji dengan dua orang temannya yang lain yang menunggunya pula.
Pesanan kopi saya masih belum datang ketika sang Etnographer mulai ingin mendengar tentang Otak Indonesia. Dan tanpa kopi di atas meja, saya pun memulai bercerita tentang Otak Indonesia. Mulai dari konsep berdirinya yang ingin “menjual otak Indonesia”, sifatnya yang unik yaitu semi komunitas dan semi sosial, sampai bagaimana kami menggunakan etnography untuk mencari insights dalam jasa (baru) yang kami tawarkan. Terutama dalam strategi komunikasi (online dan offline) dan data intelligence.
Obrolan kami menjadi semakin hangat ketika kami mulai berbicara mengenai bagaimana perilaku dan karakter industri (brand decision maker, pelaku public relations dan marketing) di dunia semakin mendatar dengan adanya Web 2.0. Terlebih dengan maraknya penggunaan social media akhir-akhir ini yang membawa efek perubahan peta persaingan dunia industri menjadi semakin kompetitif. Bottom line, in global world, the competitors are from eveywhere, everyone and everytime. Dan salah satu solusi dalam hal ini adalah etnography!
Setidaknya itulah bagian dari “ritual” kehidupan yang saya jalani. Oleh karena itu, ketika bertemu dan ditawari untuk memesan minuman oleh Amalia Maulana, saya pun tanpa sungkan lagi memesan kopi hitam kegemaran saya. Dan sambil menunggu pesanan kopi hitam saya datang, obrolan demi obrolan pun mewarnai diskusi segar saya bersama sang Etnographer pada Jum’at malam (20 Maret 2009) yang lalu.
Awal perjumpaan saya dengan sang Etnographer itu sebenarnya bisa dibilang tanpa direncana. Beberapa waktu yang lalu, Amalia Maulana mengirimkan sebuah pesan singkat kepada saya melalui message box FB. Disana, beliau meminta kesediaan saya memberikan sepatah dua patah kata bagi buku yang sedang ditulisnya. Sederhana saja harapannya, memberikan reassurance terhadap manfaat buku itu terhadap para pebisnis. Mendapatkan kehormatan tersebut, saya pun (tanpa ragu) mengiyakannya.
Esok hari, sebuah email telah dikirimkan kepada saya. Di dalam email tersebut terdapat pula sebuah buku yang sudah siap cetak. Tanpa menunggu, saya pun melahap keseluruhan isi buku tersebut. Beberapa tulisan yang ada memang sudah pernah saya baca, sementara sebagian lagi sisanya belum pernah saya baca. Dan bagian ini yang membuat saya semakin tertarik untuk membacanya. Hehehe.. insting untuk selalu belajar tidak akan pernah membuat kita rugi!
Tak lama kemudian, melalui email, sang Etnographer pun menginformasikan kepada saya bahwa beliau mendapatkan undangan ke Jogja sebagai salah satu pembicara di Etnography Design Workshop (EDW) 2009. Dan melalui email pula (plus bantuan SMS), kami pun akhirnya bertemu di Wisma MM UGM pada Jum’at malam yang lalu.
Amalia, panggilan akrab sang sang Etnographer, memulai obrolan dengan bercerita tentang aktivitasnya di Jogja hari itu. Mulai dari EDW 2009, sampai dengan rencananya untuk menikmati Jogja di malam hari. Rupanya, malam itu, sudah ada janji dengan dua orang temannya yang lain yang menunggunya pula.
Pesanan kopi saya masih belum datang ketika sang Etnographer mulai ingin mendengar tentang Otak Indonesia. Dan tanpa kopi di atas meja, saya pun memulai bercerita tentang Otak Indonesia. Mulai dari konsep berdirinya yang ingin “menjual otak Indonesia”, sifatnya yang unik yaitu semi komunitas dan semi sosial, sampai bagaimana kami menggunakan etnography untuk mencari insights dalam jasa (baru) yang kami tawarkan. Terutama dalam strategi komunikasi (online dan offline) dan data intelligence.
Obrolan kami menjadi semakin hangat ketika kami mulai berbicara mengenai bagaimana perilaku dan karakter industri (brand decision maker, pelaku public relations dan marketing) di dunia semakin mendatar dengan adanya Web 2.0. Terlebih dengan maraknya penggunaan social media akhir-akhir ini yang membawa efek perubahan peta persaingan dunia industri menjadi semakin kompetitif. Bottom line, in global world, the competitors are from eveywhere, everyone and everytime. Dan salah satu solusi dalam hal ini adalah etnography!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar