Syekh Siti Jenar (829-923 H/1348-1439 C/1426-1517 M), memiliki banyak nama : San Ali (nama kecil pemberian orangtua angkatnya, bukan Hasan Ali Anshar seperti banyak ditulis orang); Syekh ‘Abdul Jalil (nama yg diperoleh di Malaka, setelah menjadi ulama penyebar Islam di sana); Syekh Jabaranta (nama yg dikenal di Palembang, Sumatera dan daratan Malaka); Prabu Satmata (Gusti yg nampak oleh mata; nama yg muncul dari keadaan kasyf atau mabuk spiritual; juga nama yg diperkenalkan kepada murid dan pengikutnya); Syekh Lemah Abang atau Lemah Bang (gelar yg diberikan masyarakat Lemah Abang, suatu komunitas dan kampung model yg dipelopori Syekh Siti Jenar; melawan hegemoni kerajaan.
Wajar jika orang Cirebon tidak mengenal nama Syekh Siti Jenar, sebab di Cirebon nama yg populer adalah Syekh Lemah Abang); Syekh Siti Jenar (nama filosofis yg mengambarkan ajarannya tentang sangkan-paran, bahwa manusia secara biologis hanya diciptakan dari sekedar tanah merah dan selebihnya adalah roh Allah; juga nama yg dilekatkan oleh Sunan Bonang ketika memperkenalkannya kepada Dewan Wali, pada kehadirannya di Jawa Tengah/Demak; juga nama Babad Cirebon); Syekh Nurjati atau Pangran Panjunan atau Sunan Sasmita (nama dalam Babad Cirebon, S.Z. Hadisutjipto); Syekh Siti Bang, serta Syekh Siti Brit; Syekh Siti Luhung (nama-nama yg diberikan masyarakat Jawa Tengahan); Sunan Kajenar (dalam sastra Islam-Jawa versi Surakarta baru, era R.Ng. Ranggawarsita [1802-1873]); Syekh Wali Lanang Sejati; Syekh Jati Mulya; dan Syekh Sunyata Jatimurti Susuhunan ing Lemah Abang.
Siti Jenar lebih
menunjukkan sebagai simbolisme ajaran utama Syekh Siti Jenar yakni ilmu
kasampurnan, ilmu sangkan-paran ing dumadi, asal muasal kejadian
manusia, secara biologis diciptakan dari tanah merah saja yg berfungsi
sebagai wadah (tempat) persemayaman roh selama di dunia ini. Sehingga
jasad manusia tidak kekal akan membusuk kembali ketanah. Selebihnya
adalah roh Allah, yg setelah kemusnaan raganya akan menyatu kembali
dengan keabadian. Ia di sebut manungsa sebagai bentuk “manunggaling
rasa” (menyatu rasa ke dalam Tuhan).
Dan karena surga serta neraka
itu adalah untuk derajad fisik maka keberadaan surga dan neraka adalah
di dunia ini, sesuai pernyataan populer bahwa dunia adalah penjara bagi
orang mukmin. Menurut Syekh Siti Jenar, dunia adalah neraka bagi orang
yg menyatu-padu dgn Tuhan. Setelah meninggal ia terbebas dari belenggu
wadag-nya dan bebas bersatu dgn Tuhan. Di dunia manunggalnya hamba dgn
Tuhan sering terhalang oleh badan biologis yg disertai nafsu-nafsunya.
Itulah inti makna nama Syekh Siti Jenar.
Asal Usul Syekh Siti Jenar
Syekh
Siti Jenar lahir sekitar tahun 829 H/1348 C/1426 M (Serat She Siti
Jenar Ki Sasrawijaya; Atja, Purwaka Tjaruban Nagari (Sedjarah Muladjadi
Keradjan Tjirebon), Ikatan Karyawan Museum, Jakarta, 1972; P.S.
Sulendraningrat, Purwaka Tjaruban Nagari, Bhatara, Jakarta, 1972; H.
Boedenani, Sejarah Sriwijaya, Terate, Bandung, 1976; Agus Sunyoto, Suluk
Abdul Jalil Perjalanan Rohani Syaikh Syekh Siti Jenar dan Sang
Pembaharu, LkiS, yogyakarta, 2003-2004; Sartono Kartodirjo dkk,
[i]Sejarah Nasional Indonesia, Depdikbud, Jakarta, 1976; Babad Banten;
Olthof, W.L., Babad Tanah Djawi. In Proza Javaansche Geschiedenis,
‘s-Gravenhage, M.Nijhoff, 1941; raffles, Th.S., The History of Java, 2
vol, 1817), dilingkungan Pakuwuan Caruban, pusat kota Caruban larang
waktu itu, yg sekarang lebih dikenal sebagai Astana japura, sebelah
tenggara Cirebon. Suatu lingkungan yg multi-etnis, multi-bahasa dan
sebagai titik temu kebudayaan serta peradaban berbagai suku.
Selama
ini, silsilah Syekh Siti Jenar masih sangat kabur. Kekurangjelasan
asal-usul ini juga sama dgn kegelapan tahun kehidupan Syekh Siti Jenar
sebagai manusia sejarah.
Pengaburan tentang silsilah, keluarga dan
ajaran Beliau yg dilakukan oleh penguasa muslim pada abad ke-16 hingga
akhir abad ke-17. Penguasa merasa perlu untuk “mengubur” segala yg
berbau Syekh Siti Jenar akibat popularitasnya di masyarakat yg
mengalahkan dewan ulama serta ajaran resmi yg diakui Kerajaan Islam
waktu itu. Hal ini kemudian menjadi latar belakang munculnya kisah bahwa
Syekh Siti Jenar berasal dari cacing.
Dalam sebuah naskah klasik,
cerita yg masih sangat populer tersebut dibantah secara tegas, “Wondene
kacariyos yen Lemahbang punika asal saking cacing, punika ded,
sajatosipun inggih pancen manungsa darah alit kemawon, griya ing dhusun
Lemahbang.” [Adapun diceritakan kalau Lemahbang (Syekh Siti Jenar) itu
berasal dari cacing, itu salah. Sebenarnya ia memang manusia berdarah
kecil saja (rakyat jelata), bertempat tinggal di desa Lemah
Abang]….<serat candhakipun="" riwayat="" jati="" alih="" aksara=""
perpustakaan="" daerah="" propinsi="" jawa="" tengah=""
hlm.="">.</serat>
Jadi Syekh Siti Jenar adalah manusia
lumrah hanya memang ia walau berasal dari kalangan bangsawan setelah
kembali ke Jawa menempuh hidup sebagai petani, yg saat itu, dipandang
sebagai rakyat kecil oleh struktur budaya Jawa, disamping sebagai wali
penyebar Islam di Tanah Jawa.
Syekh Siti Jenar yg memiliki nama
kecil San Ali dan kemudian dikenal sebagai Syekh ‘Abdul Jalil adalah
putra seorang ulama asal Malaka, Syekh Datuk Shaleh bin Syekh ‘Isa
‘Alawi bin Ahmadsyah Jamaludin Husain bin Syekh ‘Abdullah Khannuddin bin
Syekh Sayid ‘Abdul Malikal-Qazam. Maulana ‘Abdullah Khannuddin adalah
putra Syekh ‘Abdul Malik atau Asamat Khan. Nama terakhir ini adalah
seorang Syekh kalangan ‘Alawi kesohor di Ahmadabad, India, yg berasal
dari Handramaut. Qazam adalah sebuah distrik berdekatan dgn kota Tarim
di Hadramaut.
Syekh ‘Abdul Malik adalah putra Syekh ‘Alawi, salah
satu keluarga utama keturunan ulama terkenal Syekh ‘Isa al-Muhajir
al-Bashari al-‘Alawi, yg semua keturunannya bertebaran ke berbagai
pelosok dunia, menyiarkan agama Islam. Syekh ‘Abdul Malik adalah
penyebar agama Islam yg bersama keluarganya pindah dari Tarim ke India.
Jika diurut keatas, silsilah Syekh Siti Jenar berpuncak pada Sayidina
Husain bin ‘Ali bin Abi Thalib, menantu Rasulullah. Dari silsilah yg
ada, diketahui pula bahwa ada dua kakek buyutnya yg menjadi mursyid
thariqah Syathariyah di Gujarat yg sangat dihormati, yakni Syekh
Abdullah Khannuddin dan Syekh Ahmadsyah Jalaluddin. Ahmadsyah Jalaluddin
setelah dewasa pindah ke Kamboja dan menjadi penyebar agama Islam di
sana.
Adapun Syekh Maulana ‘sa atau Syekh Datuk ‘Isa putra Syekh
Ahmadsyah kemudian bermukim di Malaka. Syekh Maulana ‘Isa memiliki dua
orang putra, yaitu Syekh Datuk Ahamad dan Syekh Datuk Shaleh. Ayah Syekh
Siti Jenar adalah Syekh Datuk Shaleh adalah ulama sunni asal Malaka yg
kemudian menetap di Cirebon karena ancaman politik di Kesultanan Malaka
yg sedang dilanda kemelut kekuasaan pada akhir tahun 1424 M, masa
transisi kekuasaan Sultan Muhammad Iskandar Syah kepada Sultan Mudzaffar
Syah. Sumber-sumber Malaka dan Palembang menyebut nama Syekh Siti Jenar
dgn sebutan Syekh Jabaranta dan Syekh ‘Abdul Jalil.
Pada akhir
tahun 1425, Syekh Datuk Shaleh beserta istrinya sampai di Cirebon dan
saat itu, Syekh Siti Jenar masih berada dalam kandungan ibunya 3 bulan.
Di Tanah Caruban ini, sambil berdagang Syekh Datuk Shaleh memperkuat
penyebaran Islam yg sudah beberapa lama tersiar di seantero bumi
Caruban, besama-sama dgn ulama kenamaan Syekh Datuk Kahfi, putra Syehk
Datuk Ahmad. Namun, baru dua bulan di Caruban, pada tahun awal tahun
1426, Syekh Datuk Shaleh wafat.
Sejak itulah San Ali atau Syekh
Siti Jenar kecil diasuh oleh Ki Danusela serta penasihatnya, Ki
Samadullah atau Pangeran Walangsungsang yg sedang nyantri di Cirebon,
dibawah asuhan Syekh datuk Kahfi.
Jadi walaupun San Ali adalah
keturunan ulama Malaka, dan lebih jauh lagi keturunan Arab, namun sejak
kecil lingkungan hidupnya adalah kultur Cirebon yg saat itu menjadi
sebuah kota multikultur, heterogen dan sebagai basis antarlintas
perdagangan dunia waktu itu.
Saat itu Cirebon dgn Padepokan Giri
Amparan Jatinya yg diasuh oleh seorang ulama asal Makkah dan Malaka,
Syekh Datuk Kahfi, telah mampu menjadi salah satu pusat pengajaran
Islam, dalam bidang fiqih dan ilmu ‘alat, serta tasawuf. Sampai usia 20
tahun, San Ali mempelajari berbagai bidang agama Islam dgn sepenuh hati,
disertai dgn pendidikan otodidak bidang spiritual.
Padepokan Giri Amparan Jati
Setelah
diasuh oleh Ki Danusela samapai usia 5 tahun, pada sekitar tahun 1431
M, Syekh Siti Jenar kecil (San Ali) diserahkan kepada Syekh Datuk Kahfi,
pengasuh Pedepokan Giri Amparan Jati, agar dididik agama Islam yg
berpusat di Cirebon oleh Kerajaan Sunda di sebut sebagai musu(h) alit
[musuh halus] <purwaka caruban="" nagari="" cat.="" sejarah=""
nasional="" indonesia="" vol.="" ii="">.</purwaka>
Di
Padepokan Giri Amparan Jati ini, San Ali menyelesaikan berbagai
pelajaran keagamaan, terutama nahwu, sharaf, balaghah, ilmu tafsir,
musthalah hadist, ushul fiqih dan manthiq. Ia menjadi santri generasi
kedua. Sedang yg akan menjadi santri generasi ketiga adalah Syarif
Hidayatullah atau Sunan Gunung Jati. Syarif Hidayatullah baru datang ke
Cirebon, bersamaan dgn pulangnya Syekh Siti Jenar dari perantauannya di
Timur Tengah sekitar tahun 1463, dalam status sebagai siswa Padepokan
Giri Amparan Jati, dgn usia sekitar 17-an tahun.
Pada tahun 1446
M, setelah 15 tahun penuh menimba ilmu di Padepokan Amparan Jati, ia
bertekad untuk keluar pondok dan mulai berniat untuk mendalami
kerohanian (sufi). Sebagai titik pijaknya, ia bertekad untuk mencari
“sangkan-paran” dirinya.
Tujuan pertmanya adalah Pajajaran yg
dipenuhi oleh para pertapa dan ahli hikmah Hindu-Budha. Di Pajajaran,
Syekh Siti Jenar mempelajari kitab Catur Viphala warisan Prabu
Kertawijaya Majapahit. Inti dari kitab Catur Viphala ini mencakup empat
pokok laku utama.
Pertama, nihsprha, adalah suatu keadaan di mana
tidak adal lagi sesuatu yg ingin dicapai manusia. Kedua, nirhana, yaitu
seseorang tidak lagi merasakan memiliki badan dan karenanya tidak ada
lagi tujuan. Ketiga, niskala adalah proses rohani tinggi, “bersatu” dan
melebur (fana’) dgn Dia Yang Hampa, Dia Yang Tak Terbayangkan, Tak
Terpikirkan, Tak Terbandingkan. Sehingga dalam kondisi (hal) ini, “aku”
menyatu dgn “Aku”. Dan keempat, sebagai kesudahan dari niskala adalah
nirasraya, suatu keadaan jiwa yg meninggalkan niskala dan melebur ke
Parama-Laukika (fana’ fi al-fana’), yakni dimensi tertinggi yg bebas
dari segala bentuk keadaan, tak mempunyai ciri-ciri dan mengatasi “Aku”.
Dari
Pajajaran San Ali melanjutkan pengembaraannya menuju Palembang, menemui
Aria Damar, seorang adipati, sekaligus pengamal sufi-kebatinan, santri
Maulana Ibrahim Samarkandi. Pada masa tuanya, Aria Damar bermukim di
tepi sungai Ogan, Kampung Pedamaran.
Diperkirakan Syekh Siti Jenar
berguru kepada Aria Damar antara tahun 1448-1450 M. bersama Aria
Abdillah ini, San Ali mempelajari pengetahuan tentang hakikat
ketunggalan alam semesta yg dijabarkan dari konsep “nurun ‘ala nur”
(cahaya Maha Cahaya), atau yg kemudian dikenal sebagai kosmologi
emanasi.
Dari Palembang, San Ali melanjutkan perjalanan ke Malaka
dan banyak bergaul dgn para bangsawan suku Tamil maupun Malayu. Dari
hubungan baiknya itu, membawa San Ali untuk memasuki dunia bisnis dgn
menjadi saudagar emas dan barang kelontong.
Pergaulan di dunia bisnis tsb dimanfaatkan oleh San Ali untuk mempelajari berbagai karakter nafsu manusia, sekaligus untuk menguji laku zuhudnya ditengah gelimang harta. Selain menjadi saudagar, Syekh Siti jenar juga menyiarkan agama Islam yg oleh masyarakat setempat diberi gelar Syekh jabaranta. Di Malaka ini pula, ia bertemu dgn Datuk Musa, putra Syekh Datuk Ahmad. Dari uwaknya ini, Syekh Datuk Ahmad, San Ali dianugerahi nama keluarga dan nama ke-ulama-an Syekh Datuk ‘Abdul Jalil.
Pergaulan di dunia bisnis tsb dimanfaatkan oleh San Ali untuk mempelajari berbagai karakter nafsu manusia, sekaligus untuk menguji laku zuhudnya ditengah gelimang harta. Selain menjadi saudagar, Syekh Siti jenar juga menyiarkan agama Islam yg oleh masyarakat setempat diberi gelar Syekh jabaranta. Di Malaka ini pula, ia bertemu dgn Datuk Musa, putra Syekh Datuk Ahmad. Dari uwaknya ini, Syekh Datuk Ahmad, San Ali dianugerahi nama keluarga dan nama ke-ulama-an Syekh Datuk ‘Abdul Jalil.
Dari perenungannya mengenai
dunia nafsu manusia, hal ini membawa Syekh Siti Jenar menuai
keberhasilan menaklukkan tujuh hijab, yg menjadi penghalang utama
pendakian rohani seorang salik (pencari kebenaran). Tujuh hijab itu
adalah lembah kasal (kemalasan naluri dan rohani manusia); jurang futur
(nafsu menelan makhluk/orang lain); gurun malal (sikap mudah berputus
asa dalam menempuh jalan rohani); gurun riya’ (bangga rohani); rimba
sum’ah (pamer rohani); samudera ‘ujub (kesombongan intelektual dan
kesombongan ragawi); dan benteng hajbun (penghalang akal dan nurani).
Pencerahan Rohani di Baghdad
Setelah
mengetahui bahwa dirinya merupakan salah satu dari keluarga besar ahlul
bait (keturunan Rasulullah), Syekh Siti Jenar semakin memiliki
keinginan kuat segera pergi ke Timur Tengah terutama pusat kota suci
Makkah.
Dalam perjalanan ini, dari pembicaraan mengenai hakikat
sufi bersama ulama Malaka asal Baghdad Ahmad al-Mubasyarah al-Tawalud di
sepanjang perjalanan. Syekh Siti Jenar mampu menyimpan satu
perbendaharaan baru, bagi perjalanan rohaninya yaitu “ke-Esaan af’al
Allah”, yakni kesadaran bahwa setiap gerak dan segala peristiwa yg
tergelar di alam semesta ini, baik yg terlihat maupun yg tidak terlihat
pada hakikatnya adalah af’al Allah. Ini menambah semangatnya untuk
mengetahui dan merasakan langsung bagaimana af’al Allah itu optimal
bekerja dalam dirinya.
Inilah pangkal pandangan yg dikemudian hari
memunculkan tuduhan dari Dewan Wali, bahwa Syekh Siti Jenar menganut
paham Jabariyah. Padahal bukan itu pemahaman yg dialami dan dirasakan
Syekh Siti Jenar. Bukan pada dimensi perbuatan alam atau manusianya
sebagai tolak titik pandang akan tetapi justru perbuatan Allah melalui
iradah dan quradah-NYA yg bekerja melalui diri manusia, sebagai
khalifah-NYA di alam lahir. Ia juga sampai pada suatu kesadaran bahwa
semua yg nampak ada dan memiliki nama, pada hakikatnya hanya memiliki
satu sumber nama, yakni Dia Yang Wujud dari segala yg maujud.
Sesampainya
di Baghdad, ia menumpang di rumah keluarga besar Ahmad al-Tawalud.
Disinilah cakrawala pengetahuan sufinya diasah tajam. Sebab di keluarga
al-Tawalud tersedia banyak kitab-kitab ma’rifat dari para sufi kenamaan.
Semua kitab itu adalah peninggalan kakek al-Tawalud, Syekh ‘Abdul
Mubdi’ al-Baghdadi. Di Irak ini pula, Syekh Siti Jenar bersentuhan dgn
paham Syi’ah Ja’fariyyah, yg di kenal sebagai madzhab ahl al-bayt.
Syekh
Siti Jenar membaca dan mempelajari dgn Baik tradisi sufi dari
al-Thawasinnya al-Hallaj (858-922), al-Bushtamii (w.874), Kitab
al-Shidq-nya al-Kharaj (w.899), Kitab al-Ta’aruf al-Kalabadzi (w.995),
Risalah-nya al-Qusyairi (w.1074), futuhat al-Makkiyah dan Fushush
al-Hikam-nya Ibnu ‘Arabi (1165-1240), Ihya’ Ulum al-Din dan kitab-kitab
tasawuf al-Ghazali (w.1111), dan al-Jili (w.1428). secara kebetulan
periode al-jili meninggal, Syekh Siti Jenar sudah berusia dua tahun.
Sehingga saat itu pemikiran-permikiran al-Jili, merupakan hal yg masih
sangat baru bagi komunitas Islam Indonesia.
Dan sebenarnya Syekh
Siti Jenar-lah yg pertama kali mengusung gagasan al-Hallaj dan terutama
al-Jili ke Jawa. Sementara itu para wali anggota Dewan Wali
menyebarluaskan ajaran Islam syar’i madzhabi yg ketat. Sebagian memang
mengajarkan tasawuf, namun tasawuf tarekati, yg kebanyakkan beralur pada
paham Imam Ghazali. Sayangnya, Syekh Siti Jenar tidak banyak menuliskan
ajaran-ajarannya karena kesibukannya menyebarkan gagasan melalui lisan
ke berbagai pelosok Tanah Jawa. Dalam catatan sastra suluk Jawa hanya
ada 3 kitab karya Syekh Siti Jenar; Talmisan, Musakhaf (al-Mukasysyaf)
dan Balal Mubarak. Masyarakat yg dibangunnya nanti dikenal sebagai
komunitas Lemah Abang.
Dari sekian banyak kitab sufi yg dibaca dan
dipahaminya, yg paling berkesan pada Syekh Siti Jenar adalah kitab
Haqiqat al-Haqa’iq, al-Manazil al-Alahiyah dan al-Insan al-Kamil fi
Ma’rifat al-Awakhiri wa al-Awamil (Manusia Sempurna dalam Pengetahuan
tenatang sesuatu yg pertama dan terakhir). Ketiga kitab tersebut,
semuanya adalah puncak dari ulama sufi Syekh ‘Abdul Karim al-Jili.
Terutama
kitab al-Insan al-Kamil, Syekh Siti Jenar kelak sekembalinya ke Jawa
menyebarkan ajaran dan pandangan mengenai ilmu sangkan-paran sebagai
titik pangkal paham kemanuggalannya. Konsep-konsep pamor, jumbuh dan
manunggal dalam teologi-sufi Syekh Siti Jenar dipengaruhi oleh
paham-paham puncak mistik al-Hallaj dan al-Jili, disamping itu karena
proses pencarian spiritualnya yg memiliki ujung pemahaman yg mirip dgn
secara praktis/’amali-al-Hallaj; dan secara filosofis mirip dgn al-Jili
dan Ibnu ‘Arabi.
Syekh Siti Jenar menilai bahwa ungkapan-ungkapan
yg digunakan al-Jili sangat sederhana, lugas, gampang dipahami namun
tetap mendalam. Yg terpenting, memiliki banyak kemiripan dgn pengalaman
rohani yg sudah dilewatkannya, serta yg akan ditempuhnya. Pada akhirnya
nanti, sekembalinya ke Tanah Jawa, pengaruh ketiga kitab itu akan nampak
nyata, dalam berbagai ungkapan mistik, ajaran serta khotbah-khotbahnya,
yg banyak memunculkan guncangan-guncangan keagamaan dan politik di
Jawa.
Syekh Siti Jenar banyak meluangkan waktu mengikuti dan
mendengarkan konser-konser musik sufi yg digelar diberbagai sama’ khana.
Sama’ khana adalah rumah-rumah tempat para sufi mendengarkan musik
spiritual dan membiarkan dirinya hanyut dalam ekstase (wajd). Sama’
khana mulai bertumbuhan di Baghdad sejak abad ke-9 (Schimmel; 1986, hlm.
185). Pada masa itu grup musik sufi yg terkenal adalah al-Qawwal dgn
penyanyi sufinya ‘Abdul Warid al-Wajd.
Berbagai pengalaman
spiritual dilaluinya di Baghdad sampai pada tingkatan fawa’id
(memancarnya potensi pemahaman roh karena hijab yg menyelubunginya telah
tersingkap. Dgn ini seseorang akan menjadi berbeda dgn umumnya
manusia); dan lawami’ (mengejawantahnya cahaya rohani akibat
tersingkapnya fawa’id), tajaliyat melalui Roh al-haqq dan zawaid
(terlimpahnya cahaya Ilahi ke dalam kalbu yg membuat seluruh rohaninya
tercerahkan). Ia mengalami berbagai kasyf dan berbagai penyingkapan
hijab dari nafsu-nafsunya. Disinilah Syekh Siti Jenar mendapatkan
kenyataan memadukan pengalaman sufi dari kitab-kitab al-Hallaj, Ibnu
‘Arabi dan al-Jili.
Bahkan setiap kali ia melantunkan dzikir
dikedalaman lubuk hatinya dgn sendirinya ia merasakan denting dzikir dan
menangkap suara dzikir yg berbunyi aneh, Subhani, alhamdu li, la ilaha
illa ana wa ana al-akbar, fa’budni (mahasuci aku, segala puji untukku,
tiada tuhan selain aku, maha besar aku, sembahlah aku). Walaupun
telinganya mendengarkan orang di sekitarnya membaca dzikir Subhana
Allah, al-hamduli Allahi, la ilaha illa Allah, Allahu Akbar, fa’buduhu,
namun suara yg di dengar lubuk hatinya adalah dzikir nafsi, sebagai
cerminan hasil man ‘arafa bafsahu faqad ‘arafa Rabbahu tersebut. Sampai
di sini, Syekh Siti Jenar semakin memahami makna hadist Rasulullah
“al-Insan sirri wa ana sirruhu” (Manusia adalah Rahasia-Ku dan Aku
adalah rahasianya).
Sebenarnya inti ajaran Syekh Siti Jenar sama
dgn ajaran sufi ‘Abdul Qadir al-Jilani (w.1165), Ibnu ‘Arabi
(560/1165-638-1240), Ma’ruf al-Karkhi, dan al-Jili. Hanya saja ketiga
tokoh tsb mengalami nasib yg baik dalam artian, ajarannya tidak
dipolitisasi, sehingga dalam kehidupannya di dunia tidak pernah
mengalami intimidasi dan kekerasan sebagai korban politik dan menemui
akhir hayat secara biasa.
Ingsun, Allah dan Kemanunggalan (Syekh Siti Jenar)
SATU
“Sabda sukma, adhep idhep Allah, kang anembah Allah, kang sinembah
Allah, kang murba amisesa.”
Pernyataan
Syekh Siti Jenar diatas secara garis besarnya adalah: “Pernyataan roh
yg bertemu-hadapan dgn Allah, yg menyembah Allah, yg disembah Allah, yg
meliputi segala sesuatu.”
Ini adalah salah satu sumber pengetahuan
ajaran Syekh Siti Jenar yg maksudnya adalah sukma (roh di kedalaman
jiwa) sebagai pusat kalam (pembicaraan dan ajaran). Hal itu diakibatkan
karena di kedalaman roh batin manusia tersedia cermin yg disebut mir’ah
al-haya’ (cermin yg memalukan). Bagi orang yg sudah bisa mengendalikan
hawa nafsunya serta mencapai fana’ cermin tersebut akan muncul, yg
menampakkan kediriannya dengan segala perbuatan tercelanya. Jika ini
telah terbuka maka tirai-tirai Rohani juga akan tersingkap, sehingga
kesejatian dirinya beradu-adu (adhep idhep), “aku ini kau, tapi kau
aku”.
Maka jadilah dia yg menyembah sekaligus yg disembah,
sehingga dirinya sebagai kawula-Gusti memiliki wewenang murba amisesa,
memberi keputusan apapun tentang dirinya, menyatu iradah dan kodrat
kawula-Gusti.
DUA
“Hidup itu bersifat baru dan dilengkapi
dengan pancaindera. Pancaindera ini merupakan barang pinjaman, yg jika
sudah diminta oleh yg empunya, akan menjadi tanah dan membusuk, hancur
lebur bersifat najis. Oleh karena itu pancaindera tidak dapat dipakai
sebagai pedoman hidup. Demikian pula budi, pikiran, angan-angan dan
kesadaran, berasal dari pancaindera, tidak dapat dipakai sebagai
pegangan hidup. Akal dapat menjadi gila, sedih, bingung, lupa tidur dan
seringkali tidak jujur. Akal itu pula yg siang malam mengajak dengki,
bahkan merusak kebahagiaan orang lain. Dengki dapat pula menuju
perbuatan jahat, menimbulkan kesombongan, untuk akhirnya jatuh dalam
lembah kenistaan, sehingga menodai nama dan citranya. Kalau sudah sampai
sedemikian jauhnya, baru orang menyesalkan perbuatannya.”
Menurut
Syekh Siti Jenar, baik pancaindera maupun perangkat akal tidak dapat
dijadikan pegangan dan pedoman hidup. Sebab semua itu bersifat baru,
bukan azali. Satu-satunya yg bisa dijadikan gondhelan dan gandhulan
hanyalah Zat Wajibul Maulanan, Zat Yang Maha Melindungi. Pancaindera
adalah pintu nafsu dan akal adalah pintu bagi ego. Semuanya harus
ditundukkan di bawah Zat Yang Wajib memimpin.
Karena hanya Dialah
yg menunjukkan semua budi baik. Jadi pancaindera harus dibimbing oleh
budi dan budi dipimpin oleh Sang Penguasa Budi atau Yang Maha Budi.
Sedangkan Yang Maha Budi itu tidak terikat dalam jeratan dan jebakan
nama tertentu. Sebab nama bukanlah hakikat. Nama itu bisa Allah, Hyang
Widi, Hyang Manon, Sang Wajibul Maulana dan sebagainya. Semua itu produk
akal, sehingga nama tidak perlu disembah. Jebakan nama dalam syari’at
justru malah merendahkan nama-NYA.
TIGA
“Apakah tidak tahu
bahwa penampilan bentuk daging, urat, tulang, sunsum, bisa rusak dan
bagaimana cara Anda memperbaikinya? Biarpun bersembahyang seribu kali
setiap harinya akhirnya mati juga. Meskipun badan Anda, Anda tutupi
akhirnya menjadi debu juga. Tetapi jika penampilan bentuknya seperti
Tuhan, Apakah para Wali dapat membawa Pulang dagingnya, saya rasa tidak
dapat. Alam semesta ini baru. Tuhan tidak akan membentuk dunia ini dua
kali dan juga tidak akan membuat tatanan batu, dalilnya layabtakiru
hilamuhdil yg artinya tidak membuat sesuatu wujud lagi tentang
terjadinya alam semesta sesudah dia membuat dunia.”
Dari
pernyataan itu nampak Syekh Siti Jenar memandang alam makrokosmos sama
dengan mikrokosmos (manusia). Kedua hal tersebut merupakan barang baru
ciptaan Tuhan yg sama-sama akan mengalami kerusakan atau tidak kekal.
Pada
sisi lain, pernyataan Syekh Siti Jenar tsb mempunyai muatan makna
pernyataan sufistik, “Barangsiapa mengenal dirinya, maka ia pasti
mengenal Tuhannya.” Sebab bagi Syekh Siti Jenar manusia yg utuh dalam
jiwa raganya merupakan wadag bagi penyanda, termasuk penyanda alam
semesta. Itulah sebabnya pengelolaan alam semesta menjadi tanggungjawab
manusia.
Maka mikrokosmos manusia, tidak lain adalah Blueprint dan gambaran adanya jagat besar termasuk semesta.
Baginya
Manusia terdiri dari jiwa dan raga yg intinya ialah jiwa sebagai
penjelmaan dzat Tuhan (Sang Pribadi). Sedangkan raga adalah bentuk luar
dari jiwa yg dilengkapi pancaindera, berbagai organ tubuh seperti
daging, otot, darah dan tulang. Semua aspek keragaan atau ketubuhan
adalah barang pinjaman yg suatu saat setelah manusia terlepas dari
pengalaman kematian di dunia ini, akan kembali berubah menjadi tanah.
Sedangkan rohnya yg menjadi tajalli Ilahi, manunggal ke dalam keabadian
dengan Allah.
EMPAT
“Segala sesuatu yg terjadi di alam
semesta ini pada hakikatnya adalah af’al (perbuatan) Allah. Berbagai hal
yg dinilai baik maupun buruk pada hakikatnya adalah dari Allah juga.
Jadi keliru dan sesat pandangan yg mengatakan bahwa yg baik dari Allah
dan yg buruk dari selain Allah.” “…Af’al Allah harus dipahami dari dalam
dan dari luar diri. Saat manusia menggoreskan pena misalnya, di situ
lah terjadi perpaduan dua kemampuan kodrati yg dipancarkan oleh Allah
kepada makhluk-NYA, yakni kemampuan kodrati gerak pena. Di situlah
berlaku dalil “Wa Allahu khalaqakum wa ma ta’malun (Qs.Ash-Shaffat:96)”,
yg maknanya Allah yg menciptakan engkau dan segala apa yg engkau
perbuat. Di sini terkandung makna mubasyarah. Perbuatan yg terlahir dari
itu disebut al-tawallud.
Misalnya saya melempar batu. Batu yg terlempar dari tangan saya itu adalah berdasarkan kemampuan kodrati gerak tangan saya. Di situ berlaku dalil “Wa ma ramaita idz ramaita walakinna Allaha rama (Qs.Al-Anfal:17)”, maksudnya bukanlah engkau yg melempar, melainkan Allah jua yg melempar ketika engkau melempar. Namun pada hakikatnya antara mubasyarah dan al-tawallud hakikatnya satu, yakni af’al Allah sehingga berlaku dalil la haula wa la quwwata illa bi Allahi al-‘aliyi al-‘adzimi. Rosulullah bersabda “La tataharraku dzarratun illa bi idzni Allahi”, yg maksudnya tidak akan bergerak satu dzarah pun melainkan atas idzin Allah.”
Misalnya saya melempar batu. Batu yg terlempar dari tangan saya itu adalah berdasarkan kemampuan kodrati gerak tangan saya. Di situ berlaku dalil “Wa ma ramaita idz ramaita walakinna Allaha rama (Qs.Al-Anfal:17)”, maksudnya bukanlah engkau yg melempar, melainkan Allah jua yg melempar ketika engkau melempar. Namun pada hakikatnya antara mubasyarah dan al-tawallud hakikatnya satu, yakni af’al Allah sehingga berlaku dalil la haula wa la quwwata illa bi Allahi al-‘aliyi al-‘adzimi. Rosulullah bersabda “La tataharraku dzarratun illa bi idzni Allahi”, yg maksudnya tidak akan bergerak satu dzarah pun melainkan atas idzin Allah.”
Eksistensi manusia yg manunggal ini akan nampak
lebih jelas peranannya, dimana manusia tidak lain adalah ke-Esa-an dalam
af’al Allah. Tentu ke-Esa-an bukan sekedar af’al, sebab af’al
digerakkan oleh dzat. Sehingga af’al yg menyatu menunjukkan adanya
ke-Esa-an dzat, kemana af’al itu dipancarkan.
LIMA
“Di dunia
ini kita merupakan mayat-mayat yg cepat juga akan menjadi busuk dan
bercampur tanah. Ketahuilah juga apa yg dinamakan kawula-Gusti tidak
berkaitan dgn seorang manusia biasa seperti yg lain-lain. Kawula dan
Gusti itu sudah ada dalam diriku, siang dan malam tidak dapat memisahkan
diriku dari mereka. Tetapi hanya untuk saat ini nama kawula-Gusti itu
berlaku, yakni selama saya mati. Nanti, kalau saya sudah hidup lagi,
Gusti dan kawula lenyap, yg tinggal hanya hidupku sendiri, ketentraman
langgeng dalam ADA sendiri. Bila kau belum menyadari kebenaran
kata-kataku maka dgn tepat dapat dikatakan, bahwa kau masih terbenam
dalam masa kematian. Di sini memang terdapat banyak hiburan aneka warna.
Lebih banyak lagi hal-hal yg menimbulkan hawa nafsu. Tetapi kau tidak
melihat, bahwa itu hanya akibat pancaindera. Itu hanya impian yg sama
sekali tidak mengandung kebenaran dan sebentar lagi akan cepat lenyap.
Gilalah orang yg terikat padanya. Saya tidak merasa tertarik, tak sudi
tersesat dalam kerajaan kematian. Satu-satunya yg kuusahakan, ialah
kembali kepada kehidupan.”
Syekh Siti Jenar menyatakan dgn tegas
bahwa dirinya sebagai Tuhan, ia memiliki hidup dan Ada dalam dirinya
sendiri, serta menjadi Pangeran bagi seluruh isi dunia. Sehingga
didapatkan konsistensi antara keyakinan hati, pengalaman keagamaan, dan
sikap perilaku dzahirnya. Juga ditekankan satu hal yg selalu tampil
dalam setiap ajaran Syekh Siti Jenar.
Yakni pendapat bahwa manusia selama masih berada di dunia ini sebetulnya mati, baru sesudah ia dibebaskan dari dunia ini, akan dialami kehidupan sejati. Kehidupan ini sebenarnya kematian ketika manusia dilahirkan. Badan hanya sesosok mayat karena ditakdirkan untuk sirna. (bandingkan dengan Zoetmulder; 364). Dunia ini adalah alam kubur, dimana roh suci terjerat badan wadag yg dipenuhi oleh berbagai goda-nikmat yg menguburkan kebenaran sejati dan berusaha menguburkan kesadaran Ingsun Sejati.
Yakni pendapat bahwa manusia selama masih berada di dunia ini sebetulnya mati, baru sesudah ia dibebaskan dari dunia ini, akan dialami kehidupan sejati. Kehidupan ini sebenarnya kematian ketika manusia dilahirkan. Badan hanya sesosok mayat karena ditakdirkan untuk sirna. (bandingkan dengan Zoetmulder; 364). Dunia ini adalah alam kubur, dimana roh suci terjerat badan wadag yg dipenuhi oleh berbagai goda-nikmat yg menguburkan kebenaran sejati dan berusaha menguburkan kesadaran Ingsun Sejati.
Semoga yg ini
bermanfaat dalam kepasrahan yg tidak bisa dipikir dgn Akal tapi dengan
Hati yang sulit mengungkapkan rasa Cinta itu secara Tulus….
Walaupun rasa Cinta itu sulit diungkapkan dgn bahasa kita yg sangat terbatas ini…..amin….amin.
Surga dan Negara Syekh Siti Jenar
“anal
jannatu wa nara katannalr al anna”, sering digunakan oleh Syekh Siti
Jenar dalam menjelaskan hakikat surga dan neraka. Penulisan yg benar
nampaknya adalah “inna al-janatu wa al-naru qath’un ‘an al-ana”
(Sesungguhnya keberadaan surga dan neraka itu telah nyata adanya sejak
sekarang atau di dunia ini).
Sesungguhnya, menurut ajaran Islam pun, surga dan neraka itu tidaklah kekal. Yang menganggap kekal surga dan neraka itu adalah kalangan awam. Sesungguhnya mereka berdua wajib rusak dan binasa. Bagi Syekh Siti Jenar, surga atau neraka bukanlah tempat tertentu untuk memberikan pembalasan baik dan buruknya manusia.
Surga neraka adalah perasaan roh di dunia, sebagai akibat dari keadaan dirinya yg belum dapat menyatu-tunggal dgn Allah. Sebab bagi manusia yg sudah memiliki ilmu kasampurnan, jelas bahwa ketika mengalami kematian dan melalui pintunya, ia kembali kepada Hidup Yang Agung, hidup yang tan kena kinaya ngapa (hidup sempurna abadi sebagai Sang Hidup). Yaitu sebagai puncak cita-cita dan tujuan manusia. Jadi, karena surga dan neraka itu ternyata juga makhluk, maka surga dan neraka tidaklah kekal, dan juga bukanlah tempat kembalinya manusia yang sesungguhnya. Sebab tidak mungkin makhluk akan kembali kepada makhluk, kecuali karena keadaan yang belum sempurna hidupnya. Oleh al-Qur’an sudah ditegaskan bahwa tempat kembalinya manusia hanya Allah, yang tidak lain adalah proses kemanunggalan ……ilaihi raji’un, ilaihi al-mashir………
Sesungguhnya, menurut ajaran Islam pun, surga dan neraka itu tidaklah kekal. Yang menganggap kekal surga dan neraka itu adalah kalangan awam. Sesungguhnya mereka berdua wajib rusak dan binasa. Bagi Syekh Siti Jenar, surga atau neraka bukanlah tempat tertentu untuk memberikan pembalasan baik dan buruknya manusia.
Surga neraka adalah perasaan roh di dunia, sebagai akibat dari keadaan dirinya yg belum dapat menyatu-tunggal dgn Allah. Sebab bagi manusia yg sudah memiliki ilmu kasampurnan, jelas bahwa ketika mengalami kematian dan melalui pintunya, ia kembali kepada Hidup Yang Agung, hidup yang tan kena kinaya ngapa (hidup sempurna abadi sebagai Sang Hidup). Yaitu sebagai puncak cita-cita dan tujuan manusia. Jadi, karena surga dan neraka itu ternyata juga makhluk, maka surga dan neraka tidaklah kekal, dan juga bukanlah tempat kembalinya manusia yang sesungguhnya. Sebab tidak mungkin makhluk akan kembali kepada makhluk, kecuali karena keadaan yang belum sempurna hidupnya. Oleh al-Qur’an sudah ditegaskan bahwa tempat kembalinya manusia hanya Allah, yang tidak lain adalah proses kemanunggalan ……ilaihi raji’un, ilaihi al-mashir………
Puasa dan Haji Syekh Siti Jenar
“Syahadat,
shalat dan puasa itu, sesuatu yang tidak diinginkan, jadi tidak perlu.
Adapun zakat dan naik haji ke Makah, itu semua omong kosong (palson
kabeh). Itu seluruhnya kedurjanaan budi, penipuan terhadap sesama
manusia. Orang-orang dungu yg menuruti aulia, karena diberi harapan
surga di kelak kemudian hari, itu sesungguhnya keduanya orang yang tidak
tahu. Lain halnya dengan saya, Siti Jenar.”
“Tiada pernah saya
menuruti perintah budi, bersujud-sujud di mesjid mengenakan jubah,
pahalanya besok saja, bila dahi sudah menjadi tebal, kepala berbelulang.
Sesungguhnya hal ini idak masuk akal! Di dunia ini semua manusia adalah
sama. Mereka semua mengalami suka-duka, menderita sakit dan duka
nestapa, tiada beda satu dengan yang lain. Oleh karena itu saya, Siti
Jenar, hanya setia pada satu hal saja, yaitu Gusti Zat Maulana.”
Syekh
Siti jenar menyebutkan bahwa syariat yang diajarkan para wali adalah
“omong kosong belaka”, atau “wes palson kabeh”(sudah tidak ada yang
asli). Tentu istilah ini sangat amat berbeda dengan anggapan orang
selama ini, yang menyatakan bahwa Syekh Siti Jenar menolak syari’at
Islam. Yang ditolak adalah reduksi atas syari’at tersebut. Syekh Siti
Jenar menggunakan istilah “iku wes palson kabeh”, yg artinya “itu sudah
dipalsukan atau dibuat palsu semua.” Tentu ini berbeda pengertiannya
dengan kata “iku palsu kabeh” atau “itu palsu semua.” Jadi yang
dikehendaki Syekh Siti Jenar adalah penekanan bahwa syari’at Islam pada
masa Walisanga telah mengalami perubahan dan pergeseran makna dalam
pengertian syari’at itu. Semuanya hanya menjadi formalitas belaka.
Sehingga manfaat melaksanakan syariat menjadi hilang. Bahkan menjadi
mudharat karena pertentangan yang muncul dari aplikasi formal syariat
tsb.
Bagi Syekh Siti Jenar, syariat bukan hanya pengakuan dan
pelaksanaan, namun berupa penyaksian atau kesaksian. Ini berarti dalam
pelaksanaan syariat harus ada unsur pengalaman spiritual. Nah, bila
suatu ibadah telah menjadi palsu, tidak dapat dipegangi dan hanya untuk
membohongi orang lain, maka semuanya merupakan keburukan di bumi.
Apalagi
sudah tidak menjadi sarana bagi kesejahteraan hidup manusia. Ditambah
lagi, justru syariat hanya menjadi alat legitimasi kekuasaan (seperti
sekarang ini juga). Yang mengajarkan syari’at juga tidak lagi memahami
makna dan manfaat syari’at itu, dan tidak memiliki kemampuan mengajarkan
aplikasi syari’at yg hidup dan berdaya guna. Sehingga syari’at menjadi
hampa makna dan menambah gersangnya kehidupan rohani manusia.
Nah,
yg dikritik Syekh Siti Jenar adalah shalat yg sudah kehilangan makna
dan tujuannya itu. Shalat haruslah merupakan praktek nyata bagi
kehidupan. Yakni shalat sebagai bentuk ibadah yg sesuai dgn bentuk
profesi kehidupannya. Orang yg melakukan profesinya secara benar, karena
Allah, maka hakikatnya ia telah melaksanakan shalat sejati, shalat yg
sebenarnya. Orientasi kepada yang Maha Benar dan selalu berupaya
mewujudkan Manunggaling Kawula Gusti, termasuk dalam karya, karsa-cipta
itulah shalat yg sesungguhnya.
Makna Ihsan
“Itulah yang
dianggap Syekh Siti Jenar Hyang Widi. Ia berbuat baik dan menyembah atas
kehendak-NYA. Tekad lahiriahnya dihapus. Tingkah lakunya mirip dengan
pendapat yg ia lahirkan. Ia berketetapan hati untuk berkiblat dan setia,
teguh dalam pendiriannya, kukuh menyucikan diri dari segala yg kotor,
untuk sampai menemui ajalnya tidak menyembah kepada budi dan cipta.
Syekh Siti Jenar berpendapat dan menggangap dirinya bersifat Muhammad,
yaitu sifat rasul yg sejati, sifat Muhammad yg kudus.”
“Gusti Zat
Maulana. Dialah yg luhur dan sangat sakti, yg berkuasa maha besar,
lagipula memiliki dua puluh sifat, kuasa atas kehendak-NYA. Dialah yg
maha kuasa, pangkal mula segala ilmu, maha mulia, maha indah, maha
sempurna, maha kuasa, rupa warna-NYA tanpa cacat seperti hamba-NYA. Di
dalam raga manusia Ia tiada nampak. Ia sangat sakti menguasai segala yg
terjadi dan menjelajahi seluruh alam semesta, Ngidraloka”.
Dua
kutipan di atas adalah aplikasi dari teologi Ihsan menurut Syekh Siti
Jenar, bahwa sifatullah merupakan sifatun-nafs. Ihsan sebagaimana
ditegaskan oleh Nabi dalam salah satu hadistnya (Sahih Bukhari, I;6),
beribadah karena Allah dgn kondisi si ‘Abid dalam keadaan menyaksikan
(melihat langsung) langsung adanya si Ma’bud. Hanya sikap inilah yg akan
mampu membentuk kepribadian yg kokoh-kuat, istiqamah, sabar dan tidak
mudah menyerah dalam menyerukan kebenaran.
Sebab Syekh Siti Jenar
merasa, hanya Sang Wujud yg mendapatkan haq untuk dilayani, bukan
selain-NYA. Sehingga, dgn kata lain, Ihsan dalam aplikasinya atas
pernyataan Rasulullah adalah membumikan sifatullah dan sifatu-Muhammad
menjadi sifat pribadi.
Dengan memiliki sifat Muhammad itulah, ia
akan mampu berdiri kokoh menyerukan ajarannya dan memaklumkan
pengalamannya dalam “menyaksikan langsung” ada-NYA Allah. “Persaksian
langsung” itulah terjadi dalam proses manunggal.
“Hyang Widi,
wujud yg tak nampak oleh mata, mirip dengan ia sendiri, sifat-sifatnya
mempunyai wujud, seperti penampakan raga yg tiada tampak. Warnanya
melambangkan keselamatan, tetapi tanpa cahaya atau teja, halus, lurus
terus-menerus, menggambarkan kenyataan tiada berdusta, ibaratnya kekal
tiada bermula, sifat dahulu yg meniadakan permulaan, karena asal dari
diri pribadi.”
Ihsan berasal dari kondisi hati yg bersih. Dan hati
yg bersih adalah pangkal serta cermin seluruh eksistensi manusia di
bumi. Keihsanan melahirkan ketegasan sikap dan menentang ketundukan
membabi-buta kepada makhluk. Ukuran ketundukan hati adalah Allah atau
Sang Pribadi. Oelh karena itu, sesama manusia dan makhluk saling
memiliki kemerdekaan dan kebebasan diri. Dan kebebasan serta kemerdekaan
itu sifatnya pasti membawa kepada kemajuan dan peradaban manusia, serta
tatanan masyarakat yg baik, sebab diletakkan atas landasan Ke-Ilahian
manusia. Penjajahan atas eksistensi manusia lain hakikatnya adalah
bentuk dari ketidaktahuan manusia akan Hyang Widhi…Allah (seperti Rosul
sering sekali mengatakan bahwa “Sesungguhnya mereka tidak mengerti”).
Karena
buta terhadap Allah Yang Maha Hadir bagi manusia itulah, maka manusia
sering membabi-buta merampas kemanusiaan orang lain. Dan hal ini sangat
ditentang oleh Syekh Siti Jenar. Termasuk upaya sakralisasi kekuasaan
Kerajaan Demak dan Sultannya, bagi Syekh Siti Jenar harus ditentang,
sebab akan menjadi akibat tergerusnya ke-Ilahian ke dalam kedzaliman
manusia yang mengatasnamakan hamba Allah yg shalih dan mengatasnamakan
demi penegakan syari’at Islam.
Pribadi adalah pancara roh, sebagai
tajalli atau pengejawantahan Tuhan. Dan itu hanya terwujud dengan
proses wujudiyah, Manuggaling Kawula-Gusti, sebagai puncak dan substansi
tauhid. Maka manusia merupakan wujud dari sifat dan dzat Hyang Widi itu
sendiri. Dengan manusia yg manunggal itulah maka akan menjadikan
keselamatan yg nyata bukan keselamatan dan ketentraman atau
kesejahteraan yg dibuat oleh rekayasa manusia, berdasarkan ukurannya
sendiri. Namun keselamatan itu adalah efek bagi terejawantah-NYA Allah
melalui kehadiran manusia. Sehingga proses terjadinya keselamatan dan
kesejahteraan manusia berlangsung secara natural (sunnatullah), bukan
karena hasil sublimasi manusia, baik melalui kebijakan ekonomi, politik,
rekayasa sosial dan semacamnya sebagaimana selama ini terjadi.
Maka dapat diketahui bahwa teologi Manuggaling Kawula Gusti adalah teologi bumi yg lahir dengan sendirinya sebagai sunnatullah. Sehingga ketika manusia mengaplikasikannya, akan menghasilkan manfaat yg natural juga dan tentu pelecehan serta perbudakan kemanusiaan tidak akan terjadi, sifat merasa ingin menguasai, sifat ingin mencari kekuasaan, memperebutkan sesama manusia tidak akan terjadi. Dan tentu saja pertentangan antar manusia sebagai akibat perbedaan paham keagamaan, perbedaan agama dan sejenisnya juga pasti tidak akan terjadi.
Maka dapat diketahui bahwa teologi Manuggaling Kawula Gusti adalah teologi bumi yg lahir dengan sendirinya sebagai sunnatullah. Sehingga ketika manusia mengaplikasikannya, akan menghasilkan manfaat yg natural juga dan tentu pelecehan serta perbudakan kemanusiaan tidak akan terjadi, sifat merasa ingin menguasai, sifat ingin mencari kekuasaan, memperebutkan sesama manusia tidak akan terjadi. Dan tentu saja pertentangan antar manusia sebagai akibat perbedaan paham keagamaan, perbedaan agama dan sejenisnya juga pasti tidak akan terjadi.
Tafsir Kisah Musa dan Khidir (Syekh Siti Jenar)
“Sesungguhnya,
Khidir AS bukanlah sosok lain yg terpisah sama sekali dari keberadaan
manusia rohani. Apa yg disaksikan sebagai tanah menjorok dgn lautan di
sebelah kanan dan kiri itu bukanlah suatu tempat yg berada di luar diri
manusia. Tanah itulah yg disebut perbatasan (barzakh). Dua lautan itu
adalah Lautan Makna (bahr al-ma’na), perlambang alam tidak kasatmata
(‘alam al-ghaib) dan lautan Jisim (bahr al-ajsam), perlambang alam
kasatmata (‘alam asy-syahadat).”
“Sedangkan kawanan udang adalah
perlambang para pencari Kebenaran yg sudah berenang di perbatasan alam
kasatmata san alam tidak kasatmata. Kawanan udang perlambang para
penempuh jalan rohani (salik) yg benar-benar bertujuan mencari
Kebenaran. Sementara itu, kawanan udang yg berenang di lautan sebelah
kiri, di antara batu-batu, merupakan perlambang para salik yg penuh
diliputi hasrat-hasrat dan pamrih-pamrih duniawi.”
“Sesungguhnya,
peristiwa yg dialami Nabi Musa AS dgn Khidir AS, sebagaimana termaktub
di dalam Al-Qur’an Al-Karim, bukanlah hanya peristiwa sejarah seorang
manusia bertemu manusia lain. Ia adalah peristiwa perjalanan rohani yg
berlangsung di dalam diri Nabi Musa AS sendiri. Sebagaimana yg telah
saya jelaskan, yg disebut dua lautan di dalam Al-Qur’an tidak lain dan
tidak bukan adalah Lautan Makna (bahr al-ma’na) dan Lautan Jisim (bahr
al-ajsam). Kedua lautan itu dipisahkan oleh wilayah perbatasan atau
sekat (barzakh).”
“Ikan dan lautan dalam kisah Qur’ani itu
merupakan perlambang dunia kasatmata (‘alam asy-syahadat) yg berbeda
dengan wilayah perbatasan yg berdampingan dgn dunia gaib (‘alam
al-ghaib). Maksudnya, jika saat itu Nabi Musa AS melihat ikan dan
kehidupan yg melingkupi ikan tersebut dari tempatnya berdiri, yaitu di
wilayah perbatasan antara dua lautan, maka Nabi Musa AS akan melihat
sang ikan berenang di dalalm alamnya, yaiu lautan.
Jika saat itu Nabi Musa AS mencermati maka ia akan dapat menyaksikan bahwa sang ikan yg berenang itu dapat melihat segala sesuatu di dalam lautan, kecuali air (dilambangkan manusia juga sama). Maknanya, sang ikan hidup di dalam air dan sekaligus di dalam tubuh ikan ada air, tetapi ia tidak bisa melihat iar dan tidak sadar jika dirinya hidup di dalam air. Itulah sebabnya, ikan tidak dapat hidup tanpa air yg meliputi bagian luar dan bagian dalam tubuhnya. Di mana pun ikan berada, ia akan selalu diliputi air yg tak bisa dilihatnya.”
Jika saat itu Nabi Musa AS mencermati maka ia akan dapat menyaksikan bahwa sang ikan yg berenang itu dapat melihat segala sesuatu di dalam lautan, kecuali air (dilambangkan manusia juga sama). Maknanya, sang ikan hidup di dalam air dan sekaligus di dalam tubuh ikan ada air, tetapi ia tidak bisa melihat iar dan tidak sadar jika dirinya hidup di dalam air. Itulah sebabnya, ikan tidak dapat hidup tanpa air yg meliputi bagian luar dan bagian dalam tubuhnya. Di mana pun ikan berada, ia akan selalu diliputi air yg tak bisa dilihatnya.”
“Sementara itu, seandainya sang ikan di
dalam lautan melihat Nabi Musa AS dari tempat hidupnya di dalam air
lautan maka sang ikan akan berkata bahwa Musa AS di dalam dunia-yang
diliputi udara kosong-dapat menyaksikan segala sesuatu, kecuali udara
kosong yg meliputinya itu. Maknanya, Nabi Musa AS hidup di dalam liputan
udara kosong yg ada di luar maupun di dalam tubuhnya, tetapi ia tidak
bisa melihat udara kosong dan tidak sadar jika dirinya hidup di dalam
udara kosong. Itu sebabnya, Nabi Musa AS tidak dapat hidup tanpa udara
kosong yg meliputi bagian luar dan dalam tubuhnya. Di mana pun Nabi Musa
AS berada, ia akan selalu diliputi udara kosong yg tidak bisa
dilihatnya.”
“Sesungguhnya, pemuda (al-fata) yg mendampingi Nabi
Musa AS dan membawakan bekal makanan adalah perlambang dari terbukanya
pintu alam tidak kasatmata. Sesungguhnya, dibalik keberadaan pemuda
(al-fata) itu tersembunyi hakikat sang Pembuka (al-Fattah). Sebab, hijab
gaib yg menyelubungi manusia dari Kebenaran sejati tidak akan bisa
dibuka tanpa kehendak Dia, sang Pembuka (al-Fattah). Itu sebabnya, saat
Nabi Musa AS bertemu dgn Khidir AS, pemuda (al-fata) itu disebut-sebut
lagi karena ia sejatinya merupakan perlambang keterbukaan hijab ghaib.”
“Adapun
bekal makanan yg berupa ikan adalah perlambang pahala perbuatan baik
(al-‘amal ash-shalih) yg hanya berguna untuk bekal menuju ke Taman
Surgawi (al-jannah). Namun, bagi pencari Kebenaran sejati, pahala
perbuatan baik itu justru mempertebal gumpalan kabut penutup hati
(ghain). Itu sebabnya, sang pemuda mengaku dibuat lupa oleh setan hingga
ikan bekalnya masuk ke dalam lautan.”
“Andaikata saat itu Nabi
Musa AS memerintahkan si pemuda untuk mencari bekal yg lain, apalagi
sampai memburu bekal ikan yg telah masuk ke dalam laut, niscaya Nabi
Musa AS dan si pemuda tentu akan masuk ke Lautan Jisim (bahr al-ajsam)
kembali. Dan, jika itu terjadi maka setan berhasil memperdaya Nabi Musa
AS.”
“Ternyata, Nabi Musa AS tidak peduli dgn bekal itu. Ia justru
menyatakan bahwa tempat di mana ikan itu melompat ke lautan adalah
tempat yg dicarinya sehingga tersingkaplah gumpalan kabut ghain dari
kesadaran Nabi Musa AS. Saat itulah purnama rohani zawa’id berkilau dan
Nabi Musa AS dapat melihat Khidir AS, hamba yg dilimpahi rahmat dan
kasih sayang (rahmah al-khashshah) yg memancar dari citra ar-Rahman dan
ar-Rahim dan Ilmu Ilahi (ilm ladunni) yg memancar dari Sang Pengetahuan
(al-Alim).”
“Anugerah Ilahi dilimpahkan kepada Khidir AS karena
dia merupakan hamba-NYA yg telah mereguk Air Kehidupan (ma’ al-hayat) yg
memancar dari Sang Hidup (al-Hayy). Itu sebabnya, barang siapa di
antara manusia yg berhasil bertemu Khidir AS di tengah wilayah
perbatasan antara dua lautan, sesungguhnya manusia itu telah menyaksikan
pengejawantahan Sang Hidup (al-Hayy), Sang Penyayang (ar-Rahim). Dan,
sesungguhnya Khidir AS itu tidak lain dan idak bukan adalah ar-roh
al-idhafi, cahaya hijau terang yg tersembunyi di dalam diri manusia,
“Sang Penuntun” anak keturunan Adam AS ke jalan Kebenaran Sejati. Dialah
penuntun dan penunjuk (mursyid) sejati ke jalan Kebenaran (al-Haqq).
Dia sang mursyid adalah pengejawantahan yang Maha Menunjuki (as
–Rasyid).”
“Demikianlah, saat sang salik melihat Khidir AS
sesungguhnya ia telah menyaksikan ar-roh al-idhafi, mursyid sejati di
dalam diri manusia sendiri. Saat ia menyaksikan kawanan udang di lautan
sebelah kanan, sesungguhnya ia telah menyaksikan Lautan Makna
(bahr-al-ma’na) yg merupakan hamparan permukaan Lautan Wujud (bahr
al-wujud). Namun, jika terputus penglihatan batiin (bashirab) itu pada
titik ini, berarti perjalanan menusia itu menuju ke Kebenaran Sejati
masih akan berlanjut.”
Sesungguhnya, perjalanan rohani menuju
Kebenaran Sejati penuh diliputi tanda kebesaran Ilahi yg hanya bisa
diungkapkan dalam bahasa perlambang. Sesungguhnya, masing-masing menusia
akan mengalami pengalaman rohani yg berbeda sesuai pemahamannya dalam
menangkap kebenaran demi kebenaran. Yang jelas, pengalaman yg akan
manusia alami tidak selalu mirip dgn pengalaman yg dialami Nabi Musa
AS.”
“Setelah berada di wilayah perbatasan, Khidir AS dan Nabi
Musa AS digambarkan melanjutkan perjalanan memasuki Lautan Makna, yaitu
alam tidak kasatmata. Mereka kemudian digambarkan menumpang perahu.
Sesungguhnya, perahu yg mereka gunakan untuk menyeberang itu adalah
perlambang dari wahana (syari’ah) yg lazimnya digunakan oleh kalangan
awam untuk mencari ikan, yakni perlambang perbuatan baik (al ‘amal
ash-shalih). Padahal, perjalanan mengarungi Lautan Makna menuju
Kebenaran Sejati adalah perjalanan yg sangat pribadi menuju Lautan
Wujud. Itulah sebabnya, perahu (syari’ah) itu harus dilubangi agar air
dari Lautan Makna masuk ke dalam perahu dan penumpang perahu mengenal
hakikat air yg mengalir dari lubang tersebut.”
“Setelah penumpang
perahu mengenal air yg mengalir dari lubang maka ia akan menjadi sadar
bahwa lewat lubang itulah sesungguhnya ia akan bisa masuk ke dalam
Lautan Makna yg merupakan permukaan Lautan Wujud. Andaikata perahu itu
tidak dilubangi, dan kemudian perahu diteruskan berlayar, maka perahu
itu tentu akan dirampas oleh Sang Maha Raja (malik al-Mulki) sehingga
penumpangnya akan menjadi tawanan. Jika sudah demikian, maka untuk
selamanya sang penumpang perahu tidak bisa melanjutkan perjalanan menuju
Dia, Yang Maha Ada (al-Wujud), yg bersemayam di segenap penjuru
hamparan Lautan Wujud. Penumpang perahu itu mengalami nasib seperti
penumpang perahu yg lain, yakni akan dijadikan hamba sahaya oleh Sang
Maha Raja. Bahkan, jika Sang Maha Raja menyukai hamba sahaya-NYA itu
maka ia akan diangkat sebagai penghuni Taman (jannah) indah yg merupakan
pengejawantahan Yang Maha Indah (al Jamal).”
“Adapun Atas
Pernyataan kenapa wahana (syariah) harus dilubangi dan tidak lagi
digunakan dalam perjalanan menembus alam ghaib manuju Dia? Dapat
dijelaskan sebagai berikut.”
“Sebab, wahana adalah kendaraan bagi
manusia yg hidup di alam kasatmata untuk pedoman menuju ke Taman
Surgawi. Sedangkan alam tidak kasatmata adalah alam yg tidak jelas
batas-batasnya. Alam yg tidak bisa dinalar karena segala kekuatan akal
manusia mengikat itu tidak bisa berijtihad untuk menetapkan hukum yg
berlaku di alam gaib. Itu sebabnya, Khidir AS melarang Nabi Musa AS
bertanya sesuatu dgn akalnya dalam perjalanan tersebut. Dan, apa yg
disaksikan Nabi Musa AS terdapat perbuatan yg dilakukan Khidir AS
benar-benar bertentangan dgn hukum suci (syari’at) dan akal sehat yg
berlaku di dunia, yakni melubangi perahu tanpa alasan, membunuh seorang
anak kecil tak bersalah dan menegakkan tembok runtuh tanpa upah.”
“Namun
jika wahana (syari’ah) tidak lagi bisa dijadikan petunjuk, sebenarnya
pedomannya tetaplah sama, yaitu Kitabullah dan Sunnah Rasul. Tetapi
pemahamannya bukan dgn akal (‘aql) melainkan dgn dzauq, yaitu cita rasa
rohani. Inilah yg disebut cara (thariqah). Di sini, sang salik selain
harus berjuang keras juga harus pasrah kepada kehendak-NYA. Sebab, telah
termaktub dalam dalil araftu rabbi bi rabbi bahwa kita hanya mengenal
Dia dgn Dia. Maksudnya jika Tuhan tidak berkehendak kita mengenal-NYA
maka kita pun tidak akan bisa mengenal-NYA. Dan, kita mengenal-NYA pun
maka hanya melalui Dia (walaupun kita tidak mau tetapi semua telah
kehendak-NYA). Itu sebabnya, di alam tidak kasatmata yg tidak jelas
batas dan tanda-tandanya itu kita tidak dapat berbuat sesuatu kecuali
pasrah seutuhnya dan mengharap limpahan rahmat dan hidayah-NYA.”
“Tentang makna di balik kisah Khidir AS membunuh seorang anak (ghulam) dapat saya jelaskan sebagai berikut.”
“Anak
adalah perlambang keakuan kerdil yg kekanak-kanakan. Kedewasaan rohani
seorang yg teguh imannya bisa runtuh akibat terseret cinta kepada
keakuan kerdil yg kekanak-kanakan tersebut. Itu sebabnya, keakuan kerdil
y kekanak-kanakan itu harus dibunuh agar kedewasaan rohani tidak
terganggu.”
“Sesungguhnya, di dalam perjalanan rohani menuju
Kebenaran Sejati selalu terjadi keadaan di mana keakuan kerdil yg
kekank-kanakan (ghulam) dari salik cenderung mengikari kehambaan dirinya
terhadap Cahaya Yang Terpuji (Nur Muhammad) sebagai akibat ia belum
fana ke dalam Sang Rasul (fana fi rasul). Ghulam cenderung durhaka dan
ingkar terhadap kehambaan kepada Sang Rasul. Jika keakuan yg kerdil dan
kekanak-kanakan itu dibunuh maka akan lahir ghulam yg lebih baik dan
lebih diberbakti yg melihat dengan mata batin bahwa dia sesungguhnya
adalah “hamba” dari Sang Rasul, pengejawantahan Cahaya Yang Terpuji (Nur
Muhammad).”
“Sesungguhnya, keakuan kerdil yg kekanak-kanakan
adalah perlambang dari keberadaan nafsu manusia yg cenderung durhaka dan
ingkar terhadap Sumbernya. Sedangkan ghulam yg baik dan berbakti
merupakan perlambang dari keberadaan roh manusia yg cenderung setia dan
berbakti kepada Sumbernya. Dan sesungguhnya, perbuatan Khidir AS itu
adalah perlambang yg sama saat Nabi Ibrahim AS akan menyembelih Nabi
Ismail AS ‘Pembuhunan’ itu adalah perlambang puncak dari keimanan mereka
yg beriman (mu’min).”
“Adapun dinding yg ditinggikan Khidir AS
adalah perlambang Sekat Tertinggi (al barzakh al ‘a’la) yg disebut juga
dgn Hijab Yang Maha Pemurah (hajib ar-Rahman). Dinding itu adalah
pengejawantahan Yang Maha Luhur (al-Jalil). Lantaran itu, dinding
tersebut dinamakan Dinding al-Jalal (al jidar al-Jalal), yg dibawahnya
tersimpan Khazanah Perbendaharaan (Tahta al-Kanz) yg ingin diketahui.”
“Sedangkan
dua anak yatim (ghulamaini yatimaini) pewaris dinding itu adalah
perlambang jati diri Nabi Musa AS, yg keberadaannya terbentuk atas jasad
ragwi (al-basyar) dan rohani (roh). Kegandaan jati diri manusia itu
baru tersingkap jika seseorang sudah berada dalam keadaan tidak memiliki
apa-apa (muflis), terkucil sendiri (mufrad) dan telah berada di dalam
waktu tak berwaktu (ibn al-waqt). Dua anak yatim itu adalah perlambang
gambaran Nabi Musa AS dan bayangannya di depan Cermin Memalukan
(al-mir’ah al-haya’I).”
“Adapun gambaran tentang ‘ayah yg salih’
dari kedua anak yatim, yakni ayah yg mewariskan Khazanah Perbendaharaan ,
adalah perlambang diri dari Abu halih, Sang Pembuka Hikmah (al-hikmah
al-futuhiyyah), yakni pengejawantahan Sang Pembuka. Dengan demikian apa
yg telah dialami Nabi Musa AS dalam perjalanan bersama Khidir AS (QS.
Al-Kahfi : 60-82) menurut penafsiran adalah perjalanan rohani Nabi Musa
AS ke dalam dirinya sendiri yg penuh dgn perlambang (isyarat).”
“Memang
Nabi Musa AS lahir hanya satu. Namun, keberadaan jati dirinya
sesungguhnya adalah dua, yaitu pertama keberadaan sebagai al-basyar
‘anak’ Adam AS yg berasal dari anasir tanah yg tercipta; dan
keberadaannya sebagai roh ‘anak’ Cahaya Yang Terpuji (Nur Muhammad) yg
berasal dari tiupan (nafakhtu) Cahaya di Atas Cahaya (Nurun ‘ala Nurin).
Maksudnya, sebagai al-basyar, keberadaan jasad ragawi nabi Musa AS
berasal dari Yang Mencipta (al-Kha-liq).”
“Sehingga tidak akan
pernah terjadi perseteruan dalam memperebutkan Khazanah Perbendaharaan
warisan ayahnya yg shalih. Sebab, saat keduanya berdiri berhadap-hadapan
di depan Dinding al-jalal (al-jidar al-Jalal) dan mendapati dinding itu
runtuh maka saat itu yg ada hanya satu anak yatim. Maksudnya, saat itu
keberadaan al-basyar ‘anak’ Adam AS akan terserap ke dalam roh ‘anak’
Nur Muhammad. Saat itulah sang anak sadar bahwa ia sejatinya berasal
dari Cahaya di Atas cahaya (Nurun ‘ala Nurin) yg merupakan pancaran dari
Khazanah Perbendaharaan. Sesungguhnya, hal semacam itu tidak bisa
diuraikan dgn kaidah-kaidah nalar manusia karena akan membawa kesesatan.
Jadi, harus dijalani dan dialami sendiri sebagai sebuah pengalaman
pribadi.”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar