Mengingat Gatotkaca adalah meraba sebuah epos kesunyian. Dia adalah
tokoh yang dipuja oleh banyak orang, tetapi tak sempat memiliki hidupnya
sendiri. Dia terlanjur diplot sebagai bidak catur terdepan untuk
merusak pertahanan lawan. Dia dijadikan tumbal. Hidupnya dikorbankan,
bahkan sejak dia baru lahir ke dunia.
Saat kita coba kembali menengok fragmen-fragmen tentang Gatotkaca, akan nampak kisah heroisme yang begitu gagah berani, tanpa cacat. Semua orang mengagumi kekuatannya. Otot kawat tulang besi, begitu yang seringkali orang bilang. Tetapi saat kita lihat lebih dalam, akan terasa bahwa cerita Gatotkaca lebih merupakan kemurungan yang dipendam. Juga kekalahan yang direncanakan.
Ketika Gatotkaca lahir, tali pusarnya tidak dapat dipotong, bahkan oleh senjata tajam seperti apapun. Tak terbayangkan kesakitan yang dirasakan oleh Gatotkaca dan ibunya pada waktu itu. Tetapi akhirnya setelah tali pusarnya dapat dipotong oleh sarung senjata kunta milik Karna, Gatotkaca tak dibiarkan beristirahat lebih lama. Dia justru langsung dibawa ke kahyangan untuk membasmi raksasa yang mengacau. Dia bahkan tak pernah sempat merasakan air susu ibu karena sepulangnya dari kahyangan, dia telah menjelma menjadi seorang dewasa berbadan tegap, berdada bidang—yang justru akan menakuti ibu yang baru saja melahirkannya—berkat kawah Candradimuka yang melegenda.
Setelahnya, masa balita, bahkan seluruh masa kecil, Gatotkaca praktis
hilang. Semua dicuri oleh pertarungan demi pertarungan yang sebetulnya
tak pernah dia sukai. Gatotkaca tak berteman dengan kedamaian. Bahkan
sebetul-betul teman pun dia tak pernah punya. Semua teman yang
seharusnya seusia dengan dia masih asyik bermain lumpur dan memanjat
pohon ketika Gatotkaca telah terbenam dalam genangan darah yang muncrat
dari lawan-lawannya.
Para pemuja Gatotkaca, barisan prajurit di pihak Pandawa, tak pernah
sungguh-sungguh menyukai kepribadian ksatria Pringgondani itu. Mereka
hanya membutuhkan kehadiran Gatotkaca sebagai tameng sekaligus tombak
dalam perang. Dalam perang, tak ada yang menganggap Gatotkaca sebagai
seorang manusia yang butuh makan butuh minum. Yang butuh kawan
berbincang dan bercanda. Jika ada yang benar-benar mencintai Gatotkaca
tanpa syarat, mereka hanyalah dua orang: Arimbi, ibunya dan Pregiwa
istrinya. Selebihnya, dusta.
Menatap Gatotkaca adalah membaca sejarah kepahlawanan yang diredam. Ia tewas saat semua keluarga ksatria pandawa menitip sejumput harapan padanya untuk menuntaskan perang besar di antara sesama keturunan Barata itu. Ia keburu meregang nyawa sebelum sempat menyudahi pertempuran, membersihkan kotoran pada badannya, lalu bilang cinta pada Pregiwa yang telah menanti sang suami dengan kecemasan panjang setiap malam. Terkadang seorang harus menemui ajal terlebih dahulu sebelum bisa diingat sebagai seorang baik yang telah memperjuangkan hak orang-orang yang telah direbut paksa oleh tiran.
Saya bayangkan, dalam remang, Yudistira sebagai pemimpin para Pandawa tengah berbincang dengan Kresna, sesepuh sekaligus guru dan penasihat mereka.
“Bangkitlah, nduk. Jangan berlarut dalam kesedihan. Perang belum usai. Namun kulihat jalan meraih kemenangan telah terbuka,” ujar Kresna.
“Bagaimana saya tidak sedih gurunda. Gatotkaca, putra Bima, ksatria terbaik kita telah gugur. Dia moksa mendahului kita yang lebih tua dengan membawa beban berat di pundaknya,” jawab Yudistira.
“Terkadang, kau harus tahu, kita harus mengorbankan pion demi raja. Kita harus melempar sebuah bayaran demi kemenangan yang jauh lebih besar. Senjata kunta milik Karna cepat atau lambat akan menemui sarung penutup yang telah menjadi jodohnya. Semua telah digariskan oleh Yang Maha Kuasa.”
“Jadi gurunda yang telah mengorbankan Gatotkaca?”
“Bangunlah. Takdir tak dapat menanti lebih lama lagi.”.
Pola Pikir yang Aneh
Logika dan konsep berfikir sang Gathotkaca sangat ideal, manakala berfikir bahwa habluminannas
atau beribadah kepada sesama manusia dan seluruh makhluk ciptaan Hyang
Widhi beserta seluruh alam semesta ini merupakan JEMBATAN utama menuju habluminallah. Sang Gatotkaca tidak tekecoh oleh mind set
sebaliknya, bahwa habluminallah sebagai sarana mengumpulkan pahala
sebanyak-banyaknya. Umat yang merasa sudah berhasil mengumpulkan pahala
yang banyak sehingga membuat lupa diri, timbul sikap mentang-mentang
gemar melecehkan dan menuduh orang lain sebagai kafir dan fasikun.
Kesombongan itu hanya karena dirinya sudah merasa mendapatkan malam lailatul qadar
sebanyak 7 kali (7000 bulan) yang kurang lebih diumpamakan sebagai
sembahyang selama 560 tahun. Angka pahala itu tentu sudah lebih dari
cukup, malah sisa banyak sekali jika dibanding umur manusia. Yah, sang
Gathotkaca merasa logika demikian sebagai sebuah kejahiliahan
tersembunyi dan sangat halus, sehingga membuat sang Gathotkaca sadar
diri perlu merubah mind set yang aneh itu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar