Pengantar
Kisah Bima mencari tirta pawitra dalam cerita Dewaruci secara
filosofis melambangkan bagaimana manusia harus menjalani perjalanan
batin guna menemukan identitas dirinya atau pencarian sangkan paraning
dumadi ‘asal dan tujuan hidup manusia’ atau manunggaling kawula Gusti.
Dalam kisah ini termuat amanat ajaran konsepsi manusia, konsepsi Tuhan,
dan amanat bagaimana manusia kembali menuju Tuhannya.
Jalan menuju Tuhan yang ditempuh oleh Bima dalam menuju manusia
sempurna disebutkan melalui empat tahap, yaitu: syariat, tarekat,
hakikat, dan makrifat (Jawa sembah raga, sembah cipta, sembah jiwa, dan
sembah rasa).
Proses pencarian untuk menemukan identitas diri ini sesuai dengan
Hadist Nabi Muhammad SAW yang berbunyi Man ‘arafa nafsahu faqad rabbahu.
‘Barang siapa mengenal dirinya niscaya dia akan mengenal Tuhannya’.
Nilai Filosofis
Perjalanan Empat Tahap Menuju Manusia Sempurna oleh Bima
Kisah tokoh Wrekudara dalam menuju manusia sempurna pada cerita
Dewaruci dapat dibagi menjadi empat tahap, yaitu: syariat, tarekat,
hakikat, dan makrifat (Jawa disebut: laku raga, laku budi, laku manah,
dan laku rasa (Mangoewidjaja, 1928:44; Ciptoprawiro, 1986:71). Atau
menurut ajaran Mangkunegara IV seperti disebutkan dalam Wedhatama
(1979:19-23), empat tahap laku ini disebut: sembah raga, sembah cipta,
sembah jiwa, dan sembah rasa.
Perjalanan Bima yang Berkaitan dengan Syariat
Syariat (Jawa sarengat atau laku raga, sembah raga) adalah tahap
laku perjalanan menuju manusia sempurna yang paling rendah, yaitu dengan
mengerjakan amalan-amalan badaniah atau lahiriah dari segala hukum
agama. Amalan-amalan itu menyangkut hubungan manusia dengan Tuhan,
hubungan manusia dengan manusia, dan hubungan manusia dengan lingkungan
alam sekitarnya.
Di samping amalan-amalan seperti itu, dalam kaitan hubungan manusia
dengan manusia, orang yang menjalani syariat, di antaranya kepada orang
tua, guru, pimpinan, dan raja, ia hormat serta taat. Segala perintahnya
dilaksanakaannya. Dalam pergaulan ia bersikap jujur, lemah lembut,
sabar, kasih-mengasihi, dan beramal saleh.
Bagian-bagian cerita Dewaruci yang secara filosofis berkaitan dengan tahap syariat adalah sebagai berikut :
Bima Taat kepada Guru
Tokoh Bima dalam cerita Dewaruci diamanatkan bahwa sebagai murid ia
demikian taat. Sewaktu ia dicegah oleh saudara-saudaranya agar tidak
menjalankan perintah gurunya, Pendeta Durna, ia tidak menghiraukan. Ia
segera pergi meninggalkan saudara-saudaranya di kerajaan guna mencari
tirta pawitra. Taat menjalankan perintah guru secara filosofis adalah
sebagai realisasi salah satu tahap syariat.
Bima Hormat kepada Guru
Selain taat tokoh Bima juga sangat hormat kepada gurunya. Ia selalu
bersembah bakti kepada gurunya. Dalam berkomunikasi dengan kedua
gurunya, Pendeta Durna dan Dewaruci, ia selalu menggunakan ragam Krama.
Pernyataan rasa hormat dengan bersembah bakti dan penggunaaan ragam
Krama kepada gurunya ini secara filosofis merupakan realisasi sebagian
laku syariat.
Perjalanan Bima yang Berkaitan dengan Tarekat
Tarekat (Jawa laku budi, sembah cipta) adalah tahap perjalanan
menuju manusia sempurna yang lebih maju. Dalam tahap ini kesadaran
hakikat tingkah laku dan amalan-amalan badaniah pada tahap pertama
diinsyafi lebih dalam dan ditingkatkan (Mulder, 1983:24). Amalan yang
dilakukan pada tahap ini lebih banyak menyangkut hubungan dengan Tuhan
daripada hubungan manusia dengan manusia dan hubungan manusia dengan
lingkungan alam sekitarnya.
Pada tingkatan ini penempuh hidup menuju manusia sempurna akan
menyesali terhadap segala dosa yang dilakukan, melepaskan segala
pekerjaan yang maksiat, dan bertobat. Kepada gurunya ia berserah diri
sebagai mayat dan menyimpan ajarannya terhadap orang lain. Dalam
melakukan salat, tidak hanya salat wajib saja yang dilakukan. Ia
menambah lebih banyak salat sunat, lebih banyak berdoa, berdikir, dan
menetapkan ingatannya hanya kepada Tuhan. Dalam menjalankan puasa, tidak
hanya puasa wajib yang dilakukan. Ia lebih banyak mengurangi makan,
lebih banyak berjaga malam, lebih banyak diam, hidup menyendiri dalam
persepian, dan melakukan khalwat. Ia berpakaian sederhana dan hidup
mengembara sebagai fakir.
Bagian-bagian cerita Dewaruci yang menyatakan sebagian tahap
tarekat di antaranya terdapat pada Pupuh II Pangkur bait 29-30.
Diamanatkan dalam teks ini bahwa Bima kepada gurunya berserah diri
sebagai mayat. Sehabis berperang melawan Raksasa Rukmuka dan Rukmakala
di Gunung Candramuka Hutan Tikbrasara, Bima kembali kepada Pendeta
Durna. Air suci tidak didapat. Ia menanyakan di mana tempat tirta
pawitra yang sesungguhnya. Pendeta Durna menjawab, “Tempatnya berada di
tengah samudra”. Mendengar jawaban itu Bima tidak putus asa dan tidak
gentar. Ia menjawab, “Jangankan di tengah samudra, di atas surga atau di
dasar bumi sampai lapis tujuh pun ia tidak akan takut menjalankan
perintah Sang Pendeta”. Ia segera berangkat ke tengah samudra. Semua
kerabat Pandawa menangis mencegah tetapi tidak dihiraukan. Keadaan Bima
yeng berserah diri jiwa raga secara penuh kepada guru ini secara
filosofis merupakan realisasi sebagian tahap laku tarekat.
Perjalanan Bima yang Berkaitan dengan Hakikat
Hakikat (Jawa laku manah, sembah jiwa) adalah tahap perjalanan yang
sempurna. Pencapaian tahap ini diperoleh dengan mengenal Tuhan lewat
dirinya, di antaranya dengan salat, berdoa, berdikir, atau menyebut nama
Tuhan secara terus-menerus (bdk. Zahri, 1984:88). Amalan yang dilakukan
pada tahap ini semata-mata menyangkut hubungan manusia dengan Tuhan.
Hidupnya yang lahir ditinggalkan dan melaksanakan hidupnya yang batin
(Muder, 1983:24). Dengan cara demikian maka tirai yang merintangi hamba
dengan Tuhan akan tersingkap. Tirai yang memisahkan hamba dengan Tuhan
adalah hawa nafsu kebendaan. Setelah tirai tersingkap, hamba akan
merasakan bahwa diri hamba dan alam itu tidak ada, yang ada hanyalah
“Yang Ada”, Yang Awal tidak ada permulaan dan Yang Akhir tidak
berkesudahan.
Dalam keadaan demikian, hamba menjadi betul-betul dekat dengan
Tuhan. Hamba dapat mengenal Tuhan dan melihat-Nya dengan mata hatinya.
Rohani mencapai kesempurnaan. Jasmani takluk kepada rohani. Karena
jasmani takluk kepada rohani maka tidak ada rasa sakit, tidak ada susah,
tidak ada miskin, dan juga maut tidak ada. Nyaman sakit, senang susah,
kaya miskin, semua ini merupakan wujud ciptaan Tuhan yang berasal dari
Tuhan. Segala sesuatu milik Tuhan dan akan kembali kepada-Nya, manusia
hanya mendaku saja. Maut merupakan perpindahan rohani dari sangkar kecil
kepada kebebasan yang luas, mencari Tuhan, kekasihnya. Mati atau maut
adalah alamat cinta yang sejati (Aceh, 1987:67).
Tahap ini biasa disebut keadaan mati dalam hidup dan hidup dalam
kematian. Saat tercapainya tingkatan hakikat terjadi dalam suasana yang
terang benderang gemerlapan dalam rasa lupa-lupa ingat, antara sadar dan
tidak sadar. Dalam keadaan seperti ini muncul Nyala Sejati atau Nur
Ilahi (Mulyono, 1978:126).
Sebagian tahap hakikat yang dilakukan atau dialami oleh tokoh Bima,
di antaranya ialah: mengenal Tuhan lewat dirinya, mengalami dan melihat
dalam suasana alam kosong, dan melihat berbagai macam cahaya
(pancamaya, empat warna cahaya, sinar tunggal berwarna delapan, dan
benda bagaikan boneka gading yang bersinar).
Bima Mulai Melihat Dirinya
Setelah Bima menjalankan banyak laku maka hatinya menjadi bersih.
Dengan hati yang bersih ini ia kemudian dapat melihat Tuhannya lewat
dirinya. Penglihatan atas diri Bima ini dilambangkan dengan masuknya
tokoh utama ini ke dalam badan Dewaruci.
Bima masuk ke dalam badan Dewaruci melalui “telinga kiri”. Menurut
Hadis, di antaranya Al-Buchari, telinga mengandung unsur Ketuhanan.
Bisikan Ilahi, wahyu, dan ilham pada umumnya diterima melalui “telinga
kanan”. Dari telinga ini terus ke hati sanubari. Secara filosofis dalam
masyarakat Jawa, “kiri” berarti ‘buruk, jelek, jahat, tidak jujur’, dan
“kanan” berarti ‘baik (dalam arti yang luas)’. Masuk melalui “telinga
kiri” berarti bahwa sebelum mencapai kesempurnaan Bima hatinya belum
bersih (bdk. Seno-Sastroamidjojo, 1967:45-46).
Setelah Bima masuk dalam badan Dewaruci, ia kemudian melihat
berhadapan dengan dewa kerdil yang bentuk dan rupanya sama dengan Bima
sewaktu kecil. Dewa kerdil yang bentuk dan rupanya sama dengan Bima
waktu muda itu adalah Dewaruci; penjelmaan Yang Mahakuasa sendiri (bdk.
Magnis-Suseno, 1984:115).
Bima berhadapan dengan Dewaruci yang juga merupakan dirinya dalam
bentuk dewa kerdil. Kisah Bima masuk dalam badan Dewaruci ini secara
filosofis melambangkan bahwa Bima mulai berusaha untuk mengenali dirinya
sendiri. Dengan memandang Tuhannya di alam kehidupan yang kekal, Bima
telah mulai memperoleh kebahagiaan (bdk. Mulyono, 1982:133).
Pengenalan diri lewat simbol yang demikian secara filosofis sebagai realisasi bahwa Bima telah mencapai tahap hakikat.
Bima Mengalami dan Melihat dalam Suasana Alam Kosong
Bima setelah masuk dalam badan dewaruci melihat dan merasakan bahwa
dirinya tidak melihat apa-apa. Yang ia lihat hanyalah kekosongan
pandangan yang jauh tidak terhingga. Ke mana pun ia berjalan yang ia
lihat hanya angkasa kosong, dan samudra yang luas yang tidak bertepi.
Keadaan yang tidak bersisi, tiada lagi kanan kiri, tiada lagi muka
belakang, tiada lagi atas bawah, pada ruang yang tidak terbatas dan
bertepi menyiratkan bahwa Bima telah memperoleh perasaan batiniahnya.
Dia telah lenyap sama sekali dari dirinya, dalam keadaan kebakaan Allah
semata.
Segalanya telah hancur lebur kecuali wujud yang mutlak. Dalam
keadaan seperti ini manusia menjadi fana ke dalam Tuhan (Simuh,
1983:312).
Segala yang Ilahi dan yang alami walaupun kecil jasmaninya telah
terhimpun menjadi satu, manunggal (Daudy, 1983:188). Zat Tuhan telah
berada pada diri hambabnya (Simuh, 1983:311),
Bima telah sampai pada tataran Hakikat.
Disebutkan bahwa Bima karena merasakan tidak melihat apa-apa, ia
sangat bingung. Tiba-tiba ia melihat dengan jelas Dewaruci bersinar
kelihatan cahayanya. Lalu ia melihat dan merasakan arah mata angin,
utara, selatan, timur, barat, atas dan bawah, serta melihat matahari.
Keadaan mengetahui arah mata angin ini menyiratkan bahwa ia telah
kembali dalam keadaan sadar. Sebelumnya ia dalam keadaan tidak sadar
karena tidak merasakan dan tidak melihat arah mata angin. Merasakan
dalam keadaan sadar dan tidak sadar dalam rasa lupa-lupa ingat
menyiratkan Bima secara filosofis telah sampai pada tataran hakikat.
Setelah mengalami suasana alam kosong antara sadar dan tidak sadar,
ia melihat berbagai macam cahaya. Cahaya yang dilihatnya itu ialah:
pancamaya, sinar tunggal berwarna delapan, empat warna cahaya, dan benda
bagaikan boneka gading yang bersinar. Hal melihat berbagai macam cahaya
seperti itu secara filosofis melambangkan bahwa Bima telah sampai pada
tataran hakikat. Ia telah menemukan Tuhannya
Bima Melihat Pancamaya
Tokoh utama Bima disebutkan melihat pancamaya. Pancamaya adalah
cahaya yang melambangkan hati yang sejati, inti badan. Ia menuntun
kepada sifat utama. Itulah sesungguhnya sifat. Oleh Dewaruci, Bima
disuruh memperlihatkan dan merenungkan cahaya itu dalam hati, agar
supaya ia tidak tersesat hidupnya.
Hal-hal yang menyesatkan hidup dilambangkan dengan tiga macam warna cahaya, yaitu: merah, hitam, dan kuning.
Bima Melihat Empat Warna Cahaya
Bima disebutkan melihat empat warna cahaya, yaitu: hitam, merah,
kuning, dan putih. Isi dunia sarat dengan tiga warna yang pertama.
Ketiga warna yang pertama itu pengurung laku, penghalang cipta karsa
menuju keselamatan, musuhnya dengan bertapa. Barang siapa tidak terjerat
oleh ketiga hal itu, ia akan selamat, bisa manunggal, akan bertemu
dengan Tuhannya. Oleh karena itu, perangai terhadap masing-masing warna
itu hendaklah perlu diketahui.
Yang hitam lebih perkasa, perbuatannya marah, mengumbar hawa nafsu,
menghalangi dan menutup kepada hal yang tidak baik. Yang merah
menunjukkan nafsu yang tidak baik, iri hati dan dengki keluar dari sini.
Hal ini menutup (membuat buntu) kepada hati yang selalu ingat dan
waspada. Yang kuning pekerjaannya menghalangi kepada semua cipta yang
mengarah menuju kebaikan dan keselamatan. Oleh Sri Mulyono (1982:39)
Nafsu yang muncul dari warna hitam disebut aluamah, yang dari warna
merah disebut amarah, dan yang muncul dari warna kuning disebut sufiah.
Nafsu aluamah amarah, dan sufiah merupakan selubung atau penghalang
untuk bertemu dengan Tuhannya.
Hanya yang putih yang nyata. Hati tenang tidak macam-macam, hanya
satu yaitu menuju keutamaan dan keselamatan. Namun, yang putih ini hanya
sendiri, tiada berteman sehingga selalu kalah. Jika bisa menguasai yang
tiga hal, yaitu yang merah, hitam, dan kuning, manunggalnya hamba
dengan Tuhan terjadi dengan sendirinya; sempurna hidupnya.
Melihat Sinar Tunggal Berwarna Delapan
Bima dalam badan Dewaruci selain melihat pancamaya melihat urub
siji wolu kang warni ‘sinar tunggal berwarna delapan’. Disebutkan bahwa
sinar tunggal berwarna delapan adalah “Sesungguhnya Warna”, itulah Yang
Tunggal. Seluruh warna juga berada pada Bima. Demikian pula seluruh isi
bumi tergambar pada badan Bima. Dunia kecil, mikrokosmos, dan dunia
besar, makrokosmos, isinya tidak ada bedanya. Jika warna-warna yang ada
di dunia itu hilang, maka seluruh warna akan menjadi tidak ada, kosong,
terkumpul kembali kepada warna yang sejati, Yang Tunggal.
Bima Melihat Benda bagaikan Boneka Gading yang Bersinar
Bima dalam badan Dewaruci di samping melihat pancamaya, empat warna
cahaya, sinar tunggal berwarna delapan, ia melihat benda bagaikan
boneka gading yang bersinar. Itu adalah Pramana, secara filosofis
melambangkan Roh. Pramana ‘Roh’ kedudukannya dibatasi oleh jasad. Dalam
teks diumpamakan bagaikan lebah tabuhan. Di dalamnya terdapat anak lebah
yang menggantung menghadap ke bawah. Akibatnya mereka tidak tahu
terhadap kenyataan yang ada di atasnya (Hadiwijono, 1983:40).
Perjalanan Bima yang Berkaitan dengan Makrifat
Makrifat (Jawa laku rasa, sembah rasa) adalah perjalanan menuju
manusia sempurna yang paling tinggi. Secara harfiah makrifat berarti
pengetahuan atau mengetahui sesuatu dengan seyakin-yakinnya (Aceh,
1987:67).
Dalam tasawuf, makrifat berarti mengenal langsung atau mengetahui
langsung tentang Tuhan dengan sebenar-benarnya atas wahyu atau
petunjuk-Nya (Nicholson, 1975:71), meliputi zat dan sifatnya.
Pencapaian tataran ini diperoleh lewat tataran tarekat, yaitu
ditandai dengan mulai tersingkapnya tirai yang menutup hati yang
merintangi manusia dengan Tuhannya. Setelah tirai tersingkap maka
manusia akan merasakan bahwa diri manusia dan alam tidak ada, yang ada
hanya Yang Ada. Dalam hal seperti ini zat Tuhan telah masuk menjadi satu
pada manusia. Manusia telah merealisasikan kesatuannya dengan Yang
Ilahi. Keadaan ini tidak dapat diterangkan (Nicholson, 1975:148)
(Jawa tan kena kinaya ngapa) (Mulyono, 1982:47), yang dirasakan hanyalah indah (Zahri, 1984:89).
Dalam masyarakat Jawa hal ini disebut dengan istilah manunggaling
kawula Gusti, pamoring kawula Gusti, jumbuhing kawula Gusti, warangka
manjing curiga curiga manjing warangka.
Pada titik ini manusia tidak akan diombang-ambingkan oleh suka duka
dunia. Ia akan berseri bagaikan bulan purnama menyinari bumi, membuat
dunia menjadi indah. Di dunia ia menjadi wakil Tuhan (wakiling Gusti),
menjalankan kewajiban-kewajiban-Nya dan memberi inspirasi kepada manusia
yang lain (de Jong, 1976:69; Mulder, 1983:25).
Ia mampu mendengar, merasa, dan melihat apa yang tidak dapat
dikerjakan oleh manusia yang masih diselubungi oleh kebendaan, syahwat,
dan segala kesibukan dunia yang fana ini (Aceh, 1987:70).
Tindakan diri manusia semata-mata menjadi laku karena Tuhan (Subagya, 1976:85).
Keadaan yang dialami oleh Bima yang mencerminkan bahwa dirinya
telah mencapai tahap makrifat, di antaranya ia merasakan: keadaan
dirinya dengan Tuhannya bagaikan air dengan ombak, nikmat dan
bermanfaat, segala yang dimaksud olehnya tercapai, hidup dan mati tidak
ada bedanya, serta berseri bagaikan sinar bulan purnama menyinari bumi.
Hamba (Bima) dengan Tuhan bagaikan Air dengan Ombak
Wujud “Yang Sesungguhnya”, yang meliputi segala yang ada di dunia,
yang hidup tidak ada yang menghidupi, yang tidak terikat oleh waktu,
yaitu Yang Ada telah berada pada Bima, telah menunggal menjadi satu.
Jika telah manunggal penglihatan dan pendengaran Bima menjadi
penglihatan dan pendengaran-Nya (bdk. Nicholson, 1975:100-1001).
Badan lahir dan badan batin Suksma telah ada pada Bima, hamba
dengan Tuhan bagaikan api dengan asapnya, bagaikan air dengan ombak,
bagaikan minyak di atas air susu.
Namun, bagaimana pun juga hamba dengan zat Tuhannya tetap berbeda (Nicholson, 1975:158-159).
Yang mendekati kesamaan hanyalah dalam sifatnya. Dalam keadaan
manunggal manusia memiliki sifat-sifat Ilahi (Hadiwijono, 1983:94).
Perumpamaan manusia dalam keadaan yang sempurna dengan Tuhannya,
bagaikan air dengan ombak ada kesamaannya dengan yang terdapat dalam
kepercayaan agama Siwa. Dalam agama Siwa kesatuan antara hamba dengan
dewa Siwa disebutkan seperti kesatuan air dengan laut, sehingga keduanya
tidak dapat dibedakan lagi. Tubuh Sang Yogin yang telah mencapai
kalepasan segera akan berubah menjadi tubuh dewa Siwa. Ia akan
mendapatkan sifat-sifat yang sama dengan sifat dewa Siwa (Hadiwijono,
1983:45).
Bima Merasakan Nikmat dan Bermanfaat
Bima setelah manunggal dengan Tuhannya tidak merasakan rasa
khawatir, tidak berniat makan dan tidur, tidak merasakan lapar dan
mengantuk, tidak merasakan kesulitan, hanya nikmat yang memberi berkah
karena segala yang dimaksud dapat tercapai. Hal ini menyebabkan Bima
ingin manunggal terus. Ia telah memperoleh kebahagiaan nikmat rahmat
yang terkandung pada kejadian dunia dan akhirat. Sinar Ilahi yang
melahirkan kenikmatan jasmani dan kebahagian rohani telah ada pada Bima.
Oleh kaum filsafat, itulah yang disebut surga (Hamka, 1984:139).
Keadaan ini secara filosofis melambangkan bahwa Bima telah mencapai
tahap makrifat.
Segala yang Dimaksud oleh Bima Tercapai
Segala yang menjadi niat hatinya terkabul, apa yang dimaksud
tercapai, dan apa yang dicipta akan datang, jika hamba telah bisa
manunggal dengan Tuhannya. Segala yang dimaksud oleh Bima telah
tercapai. Keadaan ini secara filosofis melambangkan bahwa Bima telah
mencapai tataran makrifat.
Segala yang diniatkan oleh hamba yang tercapai ini kadang-kadang
bertentangan dengan hukum alam sehingga menjadi suatu keajaiban.
Keajaiban itu dapat terjadi sewaktu hamba dalam kendali Ilahi
(Nicholson, 1975:132).
Ada dua macam keajaiban, yang pertama yang dilakukan oleh para wali
disebut keramat dan yang kedua keajaiban yang dilakukan oleh para nabi
disebut mukjizat (Nicholson, 1975:129).
Bima Merasakan Bahwa Hidup dan Mati Tidak Ada Bedanya
Hidup dan mati tidak ada bedanya karena dalam hidup di dunia
hendaklah manusia dapat mengendalikan atau mematikan nafsu yang tidak
baik dalam dalam kematian manusia akan kembali menjadi satu dengan
Tuhannya. Mati merupakan perpindahan rohani dari sangkar kecil menuju
kepada kebebasan yang luas, kembali kepada-Nya. Dalam kematian raga
nafsu yang tidak sempurna dan yang menutupi kesempurnaan akan rusak.
Yang tinggal hanyalah Suksma. Ia kemudian bebas merdeka sesuai
kehendaknya kembali manunggal kepada Yang Kekal (Marsono, 1997:799).
Keadaan bahwa hidup dan mati tidak ada bedanya secara filosofis
melambangkan bahwa tokoh Bima telah mencapai tahap makrifat.
Hati Bima Terang bagaikan Bunga yang Sedang Mekar
Bima setelah mengetahui, menghayati, dan mengalami manunggal
sempurna dengan Tuhannya karena mendapatkan wejangan dari Dewaruci, ia
hatinga terang bagaikan kuncup bunga yang sedang mekar. Dewaruci
kemudian musnah. Bima kembali kepada alam dunia semula. Ia naik ke darat
kembali ke Ngamarta. Keadaan hati yang terang benderang bagaikan kuncup
bunga yang sedang mekar secara filosofis melambangkan bahwa Bima telah
mencapai tahap makrifat.
Kesimpulan
Kisah Bima dalam mencari tirta pawitra dalam cerita Dewaruci secara
filosofis melambangkan bagaimana manusia harus menjalani perjalanan
batin guna menemukan identitas dirinya atau pencarian sangkan paraning
dumadi ‘asal dan tujuan hidup manusia’ atau manunggaling kawula Gusti.
Dalam kisah ini termuat amanat ajaran konsepsi manusia, konsepsi
Tuhan, dan bagaimana manusia menuju Tuhannya. Konsepsi manusia
disebutkan bahwa ia berasal dari Tuhan dan akan kembali kepada-Nya.
Ia dijadikan dari air. Ia wajib menuntut ilmu. Dalam menuntut ilmu
tugas guru hanya memberi petunjuk. Manusia tidak memiliki karena segala
yang ada adalah milik-Nya. Ia wajib selalu ingat terhadap Tuhannya, awas
dan waspada terhadap segala godaan nafsu yang tidak baik, sebab pada
akhirnya manusia akan kembali kepada-Nya. Konsepsi Tuhan disebutkan
bahwa Ia Yang Awal dan Yang Akhir, Hidup dan Yang Menghidupkan,
Mahatahu, dan Mahabesar. Ia tan kena kinaya ngapa ‘tidak dapat dikatakan
dengan apa pun’.
Kisah perjalanan batin Bima dalam menuju manusia sempurna ini dapat
dibagi menjadi empat tahap, yaitu: syariat, tarekat, hakikat, dan
makrifat (Jawa sembah raga, sembah cipta, sembah jiwa, dan sembah rasa).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar