Kita Sering mendengar istilah " MAJMA’AL BAHRAIN"
Pertemuan Dua Lautan. Kalau kita ketik MAJMA’AL BAHRAIN di google. kita
akan melihat ribuan, lebih dari 10 ribu yang menerangkan
tentang itu.
Rata-rata MAJMA’AL BAHRAIN berhubungan dengan nama pesantren di Jombang,
Group FB, Account FB, Salah satu Nama Kitab karangan al-Fanshuri. Yang
jelas istilah MAJMA’AL BAHRAIN ada dalam kisah Nabi Musa dan Nabi
Khidir, yang juga diceritakan dalam kisah pewayangan Seno dan Dewaruci
Apa hakekat MAJMA’AL BAHRAIN ? dalam salah satu keterangan Syeikh Google, ada yang mengupas HAKEKAT MAJMA’AL BAHRAIN.
Karena ini agak aneh, di harap para pembaca yang kurang paham atau
mungkin tidak paham, baca pelan-pelan saja, atau bertanya pada ahlinya.
Karena Sebagian besar istilah MAJMA’AL BAHRAIN adalah nama Pesantren di Ploso – Jombang, Jawa Timur(google), mungkin
sebagain besar murid pesantren ini sudah memahami hakekat MAJMA’AL
BAHRAIN. Anda bisa menanyakan kepada salah satu murid di pesantren
tersebut jika kurang paham. Kalau kurang puas bisa bertanya kepada salah
satu kader, kalau masih kurang puas juga bisa bertanya ke salah satu
pengurus oraganisasi, kalau kurang puas juga bertanyalah kepada salah
satu bapak Kholifah di pesantren tersebut. Kalau tetap saja kurang puas,
cukup baca ini saja. Insya Alloh !.
Ini Artikel tentang HAKEKAT MAJMA’AL BAHRAIN menurut Syekh Google :
“Sesungguhnya, Khidir AS
bukanlah sosok lain yg terpisah sama sekali dari keberadaan manusia
rohani. Apa yg disaksikan sebagai tanah menjorok dgn lautan di sebelah
kanan dan kiri itu bukanlah suatu tempat yg berada di luar diri manusia.
Tanah itulah yg disebut perbatasan (barzakh). Dua lautan itu adalah
Lautan Makna (bahr al-ma’na), perlambang alam tidak kasatmata (‘alam
al-ghaib) dan lautan Jisim (bahr al-ajsam), perlambang alam kasatmata
(‘alam asy-syahadat).”
“Sedangkan kawanan udang
adalah perlambang para pencari Kebenaran yg sudah berenang di perbatasan
alam kasatmata san alam tidak kasatmata. Kawanan udang perlambang para
penempuh jalan rohani (salik) yg benar-benar bertujuan mencari
Kebenaran. Sementara itu, kawanan udang yg berenang di lautan sebelah
kiri, di antara batu-batu, merupakan perlambang para salik yg penuh
diliputi hasrat-hasrat dan pamrih-pamrih duniawi.”
“Sesungguhnya, peristiwa yg
dialami Nabi Musa AS dgn Khidir AS, sebagaimana termaktub di dalam
Al-Qur’an Al-Karim, bukanlah hanya peristiwa sejarah seorang manusia
bertemu manusia lain. Ia adalah peristiwa perjalanan rohani yg
berlangsung di dalam diri Nabi Musa AS sendiri. Sebagaimana yg telah
saya jelaskan, yg disebut dua lautan di dalam Al-Qur’an tidak lain dan
tidak bukan adalah Lautan Makna (bahr al-ma’na) dan Lautan Jisim (bahr
al-ajsam). Kedua lautan itu dipisahkan oleh wilayah perbatasan atau
sekat (barzakh).”
“Ikan dan lautan dalam kisah
Qur’ani itu merupakan perlambang dunia kasatmata (‘alam asy-syahadat) yg
berbeda dengan wilayah perbatasan yg berdampingan dgn dunia gaib (‘alam
al-ghaib). Maksudnya, jika saat itu Nabi Musa AS melihat ikan dan
kehidupan yg melingkupi ikan tersebut dari tempatnya berdiri, yaitu di
wilayah perbatasan antara dua lautan, maka Nabi Musa AS akan melihat
sang ikan berenang di dalalm alamnya, yaiu lautan. Jika saat itu Nabi
Musa AS mencermati maka ia akan dapat menyaksikan bahwa sang ikan yg
berenang itu dapat melihat segala sesuatu di dalam lautan, kecuali air
(dilambangkan manusia juga sama). Maknanya, sang ikan hidup di dalam air
dan sekaligus di dalam tubuh ikan ada air, tetapi ia tidak bisa melihat
iar dan tidak sadar jika dirinya hidup di dalam air. Itulah sebabnya,
ikan tidak dapat hidup tanpa air yg meliputi bagian luar dan bagian
dalam tubuhnya. Di mana pun ikan berada, ia akan selalu diliputi air yg
tak bisa dilihatnya.”
“Sementara itu, seandainya
sang ikan di dalam lautan melihat Nabi Musa AS dari tempat hidupnya di
dalam air lautan maka sang ikan akan berkata bahwa Musa AS di dalam
dunia-yang diliputi udara kosong-dapat menyaksikan segala sesuatu,
kecuali udara kosong yg meliputinya itu. Maknanya, Nabi Musa AS hidup di
dalam liputan udara kosong yg ada di luar maupun di dalam tubuhnya,
tetapi ia tidak bisa melihat udara kosong dan tidak sadar jika dirinya
hidup di dalam udara kosong. Itu sebabnya, Nabi Musa AS tidak dapat
hidup tanpa udara kosong yg meliputi bagian luar dan dalam tubuhnya. Di
mana pun Nabi Musa AS berada, ia akan selalu diliputi udara kosong yg
tidak bisa dilihatnya.”
“Sesungguhnya, pemuda
(al-fata) yg mendampingi Nabi Musa AS dan membawakan bekal makanan
adalah perlambang dari terbukanya pintu alam tidak kasatmata.
Sesungguhnya, dibalik keberadaan pemuda (al-fata) itu tersembunyi
hakikat sang Pembuka (al-Fattah). Sebab, hijab gaib yg menyelubungi
manusia dari Kebenaran sejati tidak akan bisa dibuka tanpa kehendak Dia,
sang Pembuka (al-Fattah). Itu sebabnya, saat Nabi Musa AS bertemu dgn
Khidir AS, pemuda (al-fata) itu disebut-sebut lagi karena ia sejatinya
merupakan perlambang keterbukaan hijab ghaib.”
“Adapun bekal makanan yg
berupa ikan adalah perlambang pahala perbuatan baik (al-‘amal
ash-shalih) yg hanya berguna untuk bekal menuju ke Taman Surgawi
(al-jannah). Namun, bagi pencari Kebenaran sejati, pahala perbuatan baik
itu justru mempertebal gumpalan kabut penutup hati (ghain). Itu
sebabnya, sang pemuda mengaku dibuat lupa oleh setan hingga ikan
bekalnya masuk ke dalam lautan.”
“Andaikata saat itu Nabi Musa
AS memerintahkan si pemuda untuk mencari bekal yg lain, apalagi sampai
memburu bekal ikan yg telah masuk ke dalam laut, niscaya Nabi Musa AS
dan si pemuda tentu akan masuk ke Lautan Jisim (bahr al-ajsam) kembali.
Dan, jika itu terjadi maka setan berhasil memperdaya Nabi Musa AS.”
“Ternyata, Nabi Musa AS tidak
peduli dgn bekal itu. Ia justru menyatakan bahwa tempat di mana ikan
itu melompat ke lautan adalah tempat yg dicarinya sehingga tersingkaplah
gumpalan kabut ghain dari kesadaran Nabi Musa AS. Saat itulah purnama
rohani zawa’id berkilau dan Nabi Musa AS dapat melihat Khidir AS, hamba
yg dilimpahi rahmat dan kasih sayang (rahmah al-khashshah) yg memancar
dari citra ar-Rahman dan ar-Rahim dan Ilmu Ilahi (ilm ladunni) yg
memancar dari Sang Pengetahuan (al-Alim).”
“Anugerah Ilahi dilimpahkan
kepada Khidir AS karena dia merupakan hamba-NYA yg telah mereguk Air
Kehidupan (ma’ al-hayat) yg memancar dari Sang Hidup (al-Hayy). Itu
sebabnya, barang siapa di antara manusia yg berhasil bertemu Khidir AS
di tengah wilayah perbatasan antara dua lautan, sesungguhnya manusia itu
telah menyaksikan pengejawantahan Sang Hidup (al-Hayy), Sang Penyayang
(ar-Rahim). Dan, sesungguhnya Khidir AS itu tidak lain dan idak bukan
adalah ar-roh al-idhafi, cahaya hijau terang yg tersembunyi di dalam
diri manusia, “Sang Penuntun” anak keturunan Adam AS ke jalan Kebenaran
Sejati. Dialah penuntun dan penunjuk (mursyid) sejati ke jalan Kebenaran
(al-Haqq). Dia sang mursyid adalah pengejawantahan yang Maha Menunjuki
(as –Rasyid).”
“Demikianlah, saat sang salik
melihat Khidir AS sesungguhnya ia telah menyaksikan ar-roh al-idhafi,
mursyid sejati di dalam diri manusia sendiri. Saat ia menyaksikan
kawanan udang di lautan sebelah kanan, sesungguhnya ia telah menyaksikan
Lautan Makna (bahr-al-ma’na) yg merupakan hamparan permukaan Lautan
Wujud (bahr al-wujud). Namun, jika terputus penglihatan batiin
(bashirab) itu pada titik ini, berarti perjalanan menusia itu menuju ke
Kebenaran Sejati masih akan berlanjut.”
Sesungguhnya, perjalanan
rohani menuju Kebenaran Sejati penuh diliputi tanda kebesaran Ilahi yg
hanya bisa diungkapkan dalam bahasa perlambang. Sesungguhnya,
masing-masing menusia akan mengalami pengalaman rohani yg berbeda sesuai
pemahamannya dalam menangkap kebenaran demi kebenaran. Yang jelas,
pengalaman yg akan manusia alami tidak selalu mirip dgn pengalaman yg
dialami Nabi Musa AS.”
“Setelah berada di wilayah
perbatasan, Khidir AS dan Nabi Musa AS digambarkan melanjutkan
perjalanan memasuki Lautan Makna, yaitu alam tidak kasatmata. Mereka
kemudian digambarkan menumpang perahu. Sesungguhnya, perahu yg mereka
gunakan untuk menyeberang itu adalah perlambang dari wahana (syari’ah)
yg lazimnya digunakan oleh kalangan awam untuk mencari ikan, yakni
perlambang perbuatan baik (al ‘amal ash-shalih). Padahal, perjalanan
mengarungi Lautan Makna menuju Kebenaran Sejati adalah perjalanan yg
sangat pribadi menuju Lautan Wujud. Itulah sebabnya, perahu (syari’ah)
itu harus dilubangi agar air dari Lautan Makna masuk ke dalam perahu dan
penumpang perahu mengenal hakikat air yg mengalir dari lubang
tersebut.”
“Setelah penumpang perahu
mengenal air yg mengalir dari lubang maka ia akan menjadi sadar bahwa
lewat lubang itulah sesungguhnya ia akan bisa masuk ke dalam Lautan
Makna yg merupakan permukaan Lautan Wujud. Andaikata perahu itu tidak
dilubangi, dan kemudian perahu diteruskan berlayar, maka perahu itu
tentu akan dirampas oleh Sang Maha Raja (malik al-Mulki) sehingga
penumpangnya akan menjadi tawanan. Jika sudah demikian, maka untuk
selamanya sang penumpang perahu tidak bisa melanjutkan perjalanan menuju
Dia, Yang Maha Ada (al-Wujud), yg bersemayam di segenap penjuru
hamparan Lautan Wujud. Penumpang perahu itu mengalami nasib seperti
penumpang perahu yg lain, yakni akan dijadikan hamba sahaya oleh Sang
Maha Raja. Bahkan, jika Sang Maha Raja menyukai hamba sahaya-NYA itu
maka ia akan diangkat sebagai penghuni Taman (jannah) indah yg merupakan
pengejawantahan Yang Maha Indah (al Jamal).”
“Adapun Atas Pernyataan
kenapa wahana (syariah) harus dilubangi dan tidak lagi digunakan dalam
perjalanan menembus alam ghaib manuju Dia? Dapat dijelaskan sebagai
berikut.”
“Sebab, wahana adalah
kendaraan bagi manusia yg hidup di alam kasatmata untuk pedoman menuju
ke Taman Surgawi. Sedangkan alam tidak kasatmata adalah alam yg tidak
jelas batas-batasnya. Alam yg tidak bisa dinalar karena segala kekuatan
akal manusia mengikat itu tidak bisa berijtihad untuk menetapkan hukum
yg berlaku di alam gaib. Itu sebabnya, Khidir AS melarang Nabi Musa AS
bertanya sesuatu dgn akalnya dalam perjalanan tersebut. Dan, apa yg
disaksikan Nabi Musa AS terdapat perbuatan yg dilakukan Khidir AS
benar-benar bertentangan dgn hukum suci (syari’at) dan akal sehat yg
berlaku di dunia, yakni melubangi perahu tanpa alasan, membunuh seorang
anak kecil tak bersalah dan menegakkan tembok runtuh tanpa upah.”
“Namun jika wahana (syari’ah)
tidak lagi bisa dijadikan petunjuk, sebenarnya pedomannya tetaplah
sama, yaitu Kitabullah dan Sunnah Rasul. Tetapi pemahamannya bukan dgn
akal (‘aql) melainkan dgn dzauq, yaitu cita rasa rohani. Inilah yg
disebut cara (thariqah). Di sini, sang salik selain harus berjuang keras
juga harus pasrah kepada kehendak-NYA. Sebab, telah termaktub dalam
dalil araftu rabbi bi rabbi bahwa kita hanya mengenal Dia dgn Dia.
Maksudnya jika Tuhan tidak berkehendak kita mengenal-NYA maka kita pun
tidak akan bisa mengenal-NYA. Dan, kita mengenal-NYA pun maka hanya
melalui Dia (walaupun kita tidak mau tetapi semua telah kehendak-NYA).
Itu sebabnya, di alam tidak kasatmata yg tidak jelas batas dan
tanda-tandanya itu kita tidak dapat berbuat sesuatu kecuali pasrah
seutuhnya dan mengharap limpahan rahmat dan hidayah-NYA.”
“Tentang makna di balik kisah Khidir AS membunuh seorang anak (ghulam) dapat saya jelaskan sebagai berikut.”
“Anak adalah perlambang
keakuan kerdil yg kekanak-kanakan. Kedewasaan rohani seorang yg teguh
imannya bisa runtuh akibat terseret cinta kepada keakuan kerdil yg
kekanak-kanakan tersebut. Itu sebabnya, keakuan kerdil y kekanak-kanakan
itu harus dibunuh agar kedewasaan rohani tidak terganggu.”
“Sesungguhnya, di dalam
perjalanan rohani menuju Kebenaran Sejati selalu terjadi keadaan di mana
keakuan kerdil yg kekank-kanakan (ghulam) dari salik cenderung
mengikari kehambaan dirinya terhadap Cahaya Yang Terpuji (Nur Muhammad)
sebagai akibat ia belum fana ke dalam Sang Rasul (fana fi rasul). Ghulam
cenderung durhaka dan ingkar terhadap kehambaan kepada Sang Rasul. Jika
keakuan yg kerdil dan kekanak-kanakan itu dibunuh maka akan lahir
ghulam yg lebih baik dan lebih diberbakti yg melihat dengan mata batin
bahwa dia sesungguhnya adalah “hamba” dari Sang Rasul, pengejawantahan
Cahaya Yang Terpuji (Nur Muhammad).”
“Sesungguhnya, keakuan kerdil
yg kekanak-kanakan adalah perlambang dari keberadaan nafsu manusia yg
cenderung durhaka dan ingkar terhadap Sumbernya. Sedangkan ghulam yg
baik dan berbakti merupakan perlambang dari keberadaan roh manusia yg
cenderung setia dan berbakti kepada Sumbernya. Dan sesungguhnya,
perbuatan Khidir AS itu adalah perlambang yg sama saat Nabi Ibrahim AS
akan menyembelih Nabi Ismail AS ‘Pembuhunan’ itu adalah perlambang
puncak dari keimanan mereka yg beriman (mu’min).”
“Adapun dinding yg
ditinggikan Khidir AS adalah perlambang Sekat Tertinggi (al barzakh al
‘a’la) yg disebut juga dgn Hijab Yang Maha Pemurah (hajib ar-Rahman).
Dinding itu adalah pengejawantahan Yang Maha Luhur (al-Jalil). Lantaran
itu, dinding tersebut dinamakan Dinding al-Jalal (al jidar al-Jalal), yg
dibawahnya tersimpan Khazanah Perbendaharaan (Tahta al-Kanz) yg ingin
diketahui.”
“Sedangkan dua anak yatim
(ghulamaini yatimaini) pewaris dinding itu adalah perlambang jati diri
Nabi Musa AS, yg keberadaannya terbentuk atas jasad ragwi (al-basyar)
dan rohani (roh). Kegandaan jati diri manusia itu baru tersingkap jika
seseorang sudah berada dalam keadaan tidak memiliki apa-apa (muflis),
terkucil sendiri (mufrad) dan telah berada di dalam waktu tak berwaktu
(ibn al-waqt). Dua anak yatim itu adalah perlambang gambaran Nabi Musa
AS dan bayangannya di depan Cermin Memalukan (al-mir’ah al-haya’I).”
“Adapun gambaran tentang
‘ayah yg salih’ dari kedua anak yatim, yakni ayah yg mewariskan Khazanah
Perbendaharaan , adalah perlambang diri dari Abu halih, Sang Pembuka
Hikmah (al-hikmah al-futuhiyyah), yakni pengejawantahan Sang Pembuka.
Dengan demikian apa yg telah dialami Nabi Musa AS dalam perjalanan
bersama Khidir AS (QS. Al-Kahfi : 60-82) menurut penafsiran adalah
perjalanan rohani Nabi Musa AS ke dalam dirinya sendiri yg penuh dgn
perlambang (isyarat).”
“Memang Nabi Musa AS lahir
hanya satu. Namun, keberadaan jati dirinya sesungguhnya adalah dua,
yaitu pertama keberadaan sebagai al-basyar ‘anak’ Adam AS yg berasal
dari anasir tanah yg tercipta; dan keberadaannya sebagai roh ‘anak’
Cahaya Yang Terpuji (Nur Muhammad) yg berasal dari tiupan (nafakhtu)
Cahaya di Atas Cahaya (Nurun ‘ala Nurin). Maksudnya, sebagai al-basyar,
keberadaan jasad ragawi nabi Musa AS berasal dari Yang Mencipta
(al-Kha-liq).”
“Sehingga tidak akan pernah
terjadi perseteruan dalam memperebutkan Khazanah Perbendaharaan warisan
ayahnya yg shalih. Sebab, saat keduanya berdiri berhadap-hadapan di
depan Dinding al-jalal (al-jidar al-Jalal) dan mendapati dinding itu
runtuh maka saat itu yg ada hanya satu anak yatim. Maksudnya, saat itu
keberadaan al-basyar ‘anak’ Adam AS akan terserap ke dalam roh ‘anak’
Nur Muhammad. Saat itulah sang anak sadar bahwa ia sejatinya berasal
dari Cahaya di Atas cahaya (Nurun ‘ala Nurin) yg merupakan pancaran dari
Khazanah Perbendaharaan. Sesungguhnya, hal semacam itu tidak bisa
diuraikan dgn kaidah-kaidah nalar manusia karena akan membawa kesesatan.
Jadi, harus dijalani dan dialami sendiri sebagai sebuah pengalaman
pribadi.”
Semoga mengerti apa yang dijelaskan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar