Allah Swt berfirman :
“Al-Ikhlas itu adalah salah satu dari rahasia-rahasia-Ku,
yang telah Aku titipkan ke dalam hati
orang yang Aku cintai dari hamba-hamba-Ku.”
(Hadits Qudsi, Bihar al-Anwar 70 : 249)
“Al-Ikhlas itu adalah salah satu dari rahasia-rahasia-Ku,
yang telah Aku titipkan ke dalam hati
orang yang Aku cintai dari hamba-hamba-Ku.”
(Hadits Qudsi, Bihar al-Anwar 70 : 249)
Menurut bahasa, kata ikhlash berasal dari akar kata : khalasha – yakhlushu – khulushan – khalashan,
yang artinya : murni, atau tidak bercampur (dengan unsur lainnya). Dari
akar kata ini banyak makna lainnya di antaranya : bersih, jernih,
khusus, menyendiri, yang dipilih, sampai, lepas, bebas, terhindar,
selamat, memisahkan, habis, mencintai, tulus, membalas, selesai, inti,
sari, jalan keluar, penolong, dan jujur. 16]
Keikhlasan adalah anugerah misterius yang dikaruniakan Allah kepada
hamba-hamba-Nya yang berhati suci, dan selalu meningkatkan dan
memperdalam iman serta penghambaannya.
Di dalam irfan atau tasawwuf, ikhlas memiliki istilah tersendiri. Khwajah Abdullah al-Anshari qs mengatakan, ”Arti
ikhlas adalah membersihkan perbuatan dari segala ketidakmurnian” Dan
ketidakmurnian di sini adalah ketidakmurnian umum, termasuk apa yang
timbul dari keinginan untuk menyenangkan diri sendiri dan makhluk lain.”
I
khlash juga berarti : membebaskan perbuatan dari selain Tuhan yang
berperan dalam perbuatan tersebut, atau suatu motivasi perbuatan yang
tidak menginginkan balasan dunia mau pun akhirat. 19]
Penulis Gharaib al-Bayan menyebutkan bahwa : orang ikhlas
itu adalah orang yang beribadah kepada Allah sedemikian rupa sehingga
tidak memperhatikan kalau dirinya itu sedang beribadah, juga tidak
memperhatikan dunia atau penghuninya, juga tidak melebihi batas-batas
hamba dalam melihat Tuhan.
Syaikh al-Muhaqqiq Muhyiddin Ibn al-‘Arabi mengatakan, ”Bagi
Allah-lah kesetiaan yang tulus, yang bersih dari semua noda dan egoisme.
Dan kamu harus sepenuhnya sirna (fana) dalam Dia agar Dia tersambung
dengan esensi, perbuatan dan agamamu. Selama kesetiaan belum disucikan
secara hakiki, kesetiaan itu bukanlah untuk Allah.”
Ibadah orang-orang yang tulus merupakan jejak manifestasi (tajaliyyat) Sang Kekasih, dan yang senantiasa ada di hatinya hanyalah Zat Allah.
Imam Ali as mengatakan, “Beruntunglah orang yang telah
memurnikan (akhlash) penghambaan dan do’anya hanya kepada Allah dan
hatinya tidak disibukkan oleh apa-apa yang dilihat matanya, dan ia tidak
lupa dari berzikir kepada Allah karena apa-apa yang didengar
telinganya, dan hatinya tidak sedih karena karunia yang diberikan kepada
selain dirinya.”
Rasulullah saw bersabda, “Semua orang yang berilmu itu
(al-‘ulama) celaka kecuali yang beramal dan semua orang yang beramal itu
celaka kecuali orang yang ikhlas dan orang ikhlas itu senantiasa dalam
kekhawatiran.”
Manusia tidak pernah aman dari kejahatan setan dan egonya sampai
akhir hayatnya. Dia tidak boleh membayangkan bahwa setelah ia berbuat
ikhlas semata-mata demi Allah tanpa adanya keinginan untuk menyenangkan
makhluk, kemurniann perbuatannya akan selalu aman dari kejahatan godaan
setan, lintasan-lintasan ego dan hawa nafsu.
Jika ia tidak senantiasa waspada, niscaya suatu waktu ia akan tergelincir ke dalam bentuk riya atau ‘ujub
yang sedemikian halus sehingga ia tidak menyadarinya. Sebentar saja
manusia lalai, maka kendali egonya pun akan terlepas dan menyeretnya
kepada perbuatan buruk dan tercela.
“Sesungguhnya nafs (ego) manusia itu senantiasa mengajak kepada kejahatan, kecuali kalau Allah Swt mengasihi” (QS 12 : 53)
HAKIKAT IKHLAS
Rasulullah saw bersabda, ”Setiap kebenaran itu ada hakikatnya
dan tidaklah seorang hamba dapat mencapai hakikat keikhlasan sampai ia
merasa tidak suka dipuji atas amal (ibadah) yang ditujukannya kepada
Allah.”
Imam Ali as berkata, ”Barangsiapa yang tidak bertentangan apa
yang ada dalam hatinya dengan apa yang ia nyatakan, dan tidak
bertentangan pula perbuatan dan perkataannya, maka sungguh ia telah
menunaikan amanah dan telah memurnikan (akhlas) penghambaannya.”
Amal yang bernilai dalam pandangan Allah adalah amal yang dilakukan
semata-mata untuk ‘menyenangkan’-Nya, betapa pun kecilnya amal itu.
Amal sedikit yang dilakukan dengan ikhlas lebih disukai-Nya ketimbang
banyak tetapi tidak ikhlas.
Rasulullah saw bersabda, ”Ikhlas-kanlah hatimu, niscaya mencukupimu walau dengan sedikit amal.”
Amal perbuatan merupakan gambaran yang tidak hidup, namun keikhlasan di dalamnya memberikan ruh kehidupan padanya.
Secara lahiriah, shalat Ali bin Abi Thalib as tidak berbeda dengan
shalat orang-orang munafik. Namun secara batini, shalat Ali bin Abi
Thalib memiliki nilai spiritual tertinggi yang mampu mengangkat ruhnya
terbang ke langit, bermi’raj menghadap Tuhan.
Orang yang hatinya dibangkitkan oleh keikhlasan tidak peduli apakah
orang lain akan mencela atau menyanjung amalnya atau tidak. Ia
benar-benar tidak peduli bahkan apakah amal ibadahnya itu akan diberikan
ganjaran atau tidak.
Perhatian orang yang ikhlas tidak pernah berubah, baik ia berada
dalam keadaan susah mau pun senang. Hatinya hanya tertuju kepada Sang
Kekasih, tidak kepada yang lain.
“Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya beribadah kepada
Allah dengan memurnikan (mukhlishina) ketaatan kepada-Nya dalam
menjalankan agama yang lurus.” (QS 98 : 5)
Mereka tidak diperintahkan kecuali untuk beribadah. Namun ibadah
yang dicelup dengan warna ikhlas. Orang yang memberikan tempat kedua
bagi Tuhan dalam hatinya sebenarnya ia tidak memberikan tempat sama
sekali bagi Tuhan.
Jika amal dan keikhlasan kita umpamakan sebagai sepasang sayap,
maka takkan mungkin kita dapat terbang tanpa sepasang sayap. Rumi
mengatakan :
Engkau mesti ikhlas dalam beramal,
agar Tuhan Yang Maha Agung menerimanya.
ikhlash adalah sayap amal ibadah,
tanpa sayap, bagaimana engkau dapat
terbang ke tempat bahagia?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar