Assalamualaikum Wr Wb
Nabi Muhammad shollallahu ’alaih wa sallam mengibarkan bendera La ilaha ill-Allah bukan bendera lainnya. Padahal dengan mengibarkan bendera La ilaha ill-Allah
bangsa Arab bukan saja enggan menerima seruan tersebut, tetapi bahkan
menentang dengan keras sampai ke tingkat mengusir dan memerangi Nabi shollallahu ’alaih wa sallam dan para sahabat.
Tidakkah ada pilihan strategi lain yang lebih memperkecil resiko dan mengandung maslahat lebih besar? Misalnya, mengapa Nabi shollallahu ’alaih wa sallam tidak
diarahkan Allah untuk mengibarkan panji Moralisme yang lebih solutif
menghadapi problema perilaku bangsa Arab yang saat itu sarat diwarnai
kerusakan dan kebejatan? Bila bendera Moralisme yang dikibarkan sejak
hari pertama sangat mungkin menghasilkan penerimaan kaum pejuang susila
dari kalangan bangsa Arab yang sudah muak menyaksikan tersebarnya
kerusakan moral. Perhatikanlahlah tulisan Sayyid Quthb berikut ini:
Pada waktu Rasulullah s.a.w. diutus, tingkat kesusilaan di Semenanjung Arab berada dalam titik yang amat rendah dalam banyak seginya, di samping hal-hal yang mulia yang asli baduwi (di perkampungan dan bukan di kota, pent) yang masih ada dalam masyarakat.
Ketidakadilan merajalela dalam masyarakat, tergambar dalam kata-kata penyair Zuhair bin Abi Salma :
"Siapa yang tidak mempertahankan kolam airnya dengan senjatanya akan diruntuhkan dan siapa yang tidak menganiaya manusia akan dianiaya."
Hal itu digambarkan juga oleh perkataan yang terkenal di zaman jahiliyah: "Tolonglah saudaramu baik ia menganiaya atau dianiaya."
Minuman yang memabukkan dan perjudian telah menjadi tradisi masyarakat yang tersebar luas. Dan menjadi suatu hal yang dibangga-banggakan.
Pelacuran dengan segala bentuknya telah menjadi tanda dari masyarakat ini, sebagaimana keadaannya dalam setiap masyarakat jahiliyah, baik yang kuno maupun yang modern.
Barangkali ada yang mengatakan : Sesungguhnya adalah dalam kekuasaan Muhammad s.a.w. untuk mengumumkan suatu da’wah reforrnasi yang menyangkut dengan perbaikan budi pekerti, pembersihan masyararakat dan pensucian diri.
Barangkali
ada yang mengatakan : Sesungguhnya Muhammad shollollahu alaihi wa
sallam pada waktu itu dapat menjumpai jiwa-jiwa yang baik yang merasa
sakit melihat kekotoran ini, sebagaimana dijumpai oleh setiap reformis
susila di setiap lingkungan. Jiwa-jiwa ini dipengaruhi oleh keluhuran
dan keinginan untuk memperkenankan seruan reformasi dan pembersihan.
Barangkali
ada orang yang berkata : Seandainya hal itu diperbuat oleh Rasulullah
s.a.w. semenjak dari pertama kali tentulah ia akan diperkenankan oleh
sejumlah orang yang baik, yang bersih budi pekertinya, yang suci jiwa mereka, sehingga mereka itu lebih dekat untuk menerima dan memikul aqidah, dan tidak perlu lagi mengobarkan seruan La ilaha illa-llah yang menimbulkan opposisi yang kuat semenjak permulaan jalan.
Jelas sekali bahwa saat Nabi Muhammad shollallahu ’alaih wa sallam
diperintahkan Allah untuk berda’wah di Mekkah beliau menghadapi
problema kebangkrutan moral di tengah masyarakat. Adalah sangat wajar
bila orang mengusulkan agar Nabi shollallahu ’alaih wa sallam mengawali da’wahnya dengan mengibarkan bendera Moralisme. Artinya bisa saja Nabi shollallahu ’alaih wa sallam menyerukan suatu gerakan reformasi moral, apalagi beliau sendiri terkenal berakhlak mulia.
Jika ini dijadikan entry point
beliau dalam mengawali da’wah Islam tentulah akan begitu banyak
pendukung berbaris di belakang beliau. Bukankah ini jauh lebih kondusif
daripada mengibarkan bendera La Ilaha ill-Allah yang hanya
menimbulkan kegoncangan dan perlawanan dari kebanyakan bangsa Arab?
Lalu mengapa bukan jalan ini yang ditempuh Nabi shollallahu ’alaih wa sallam?
Mengapa beliau malah menempuh jalan yang susah-payah menghasilkan
begitu banyak rintangan bahkan repons balik yang keras? Simaklah
penjelasan Sayyid Quthb selanjutnya:
Tetapi Allah Yang
Mahasuci mengetahui bahwa bukan itu jalannya. la mengetahui bahwa akhlak
hanya dapat berdiri di atas dasar suatu aqidah yang meletakkan ukuran
dan menetapkan nilai : sebagaimana juga menetapkan kekuasaan yang akan menjadi sandaran ukuran dan nilai ini dan pembalasan yang dimiliki kekuasaan ini, dan memberikannya baik kepada yang mematuhi maupun kepada yang melanggar. Sebelum aqidah yang seperti ini ditetapkan, dan kekuasaan yang seperti ini ditentukan maka seluruh nilai-nilai akan tetap terombang- ambing, dan kesusilaan yang berdiri di atasnya akan tetap terombang-ambing juga, tanpa pengendalian, tanpa kekuasaan dan tanpa sanksi.
Islam merupakan ajaran
yang memposisikan aqidah sebagai fondasi sedangkan akhlak sebagai
bangunan yang berdiri di atas fondasi tersebut. Itulah sebabnya Nabi shollallahu ’alaih wa sallam diperintahkan untuk mengibarkan bendera La ilaha ill-Allah terlebih dahulu bukan panji Akhlak atau Moralisme. Sebab bendera La ilaha ill-Allah
yang mencerminkan penancapan fondasi aqidah haruslah didahulukan
sebelum berharap masyarakat dapat merubah atau memperbaiki akhlaknya.
Sehingga jelas dan tegas Sayyid Quthb menyatakan: ” Sebelum aqidah
yang seperti ini ditetapkan, dan kekuasaan yang seperti ini
ditentukan maka seluruh nilai-nilai akan tetap terombang- ambing,
dan kesusilaan yang berdiri di atasnya akan tetap terombang-ambing juga,
tanpa pengendalian, tanpa kekuasaan dan tanpa sanksi.”
Bilamana aqidah telah
tertancap dengan benar dan lengkap dalam suatu masyarakat maka mereka
akan memiliki motivasi yang tidak terkait dengan kepentingan duniawi
apapun ketika menegakkan segenap tuntutan aqidah tersebut. Mereka akan
menjadikan sesuatu di luar dunia sebagai pendorong utama mereka dalam
mewujudkan kelengkapan bangunan Islam di atas fondasi aqidah kokoh tadi.
Motivasi tersebut berupa cita-cita menikmati janji Allah di akhirat,
yakni: Surga. Hal inilah yang menyebabkan mereka sejak awal rela bersusah-payah mengibarkan bendera La Ilaha ill-Allah
walaupun berakibat derita dan permusuhan dari keluarga dan masyarakat
mereka sendiri. Inilah yang ditulis Sayyid Quthb selanjutnya:
Untuk mendirikan agama ini mereka telah mendapat satu janji, di mana kemenangan dan kekuasaan tidak
ikut serta dan bahkan juga tidak bagi agama yang berada di
tangan mereka ini, suatu janji yang tidak berhubungan dengan
sesuatupun dalam kehidupan dunia ini, sebuah janji, yaitu: sorga. Inilah hanya yang dijanjikan kepada mereka atas perjuangan yang penuh derita dan penderitaan yang pahit, dan terus berda’wah dan menghadapi kejahiliyahan dengan sesuatu hal yang dibenci oleh mereka yang berkuasa di tiap zaman dan di tiap tempat : yaitu: La ilaha illa-llah.
Para sahabat tatkala
diajak kepada seruan aqidah tidak dijanjikan oleh Nabi suatu
kepentingan duniawi apapun. Mereka tidak dijanjikan apapun selain surga
di akhirat. Mereka tidak dijanjikan bakal mendapat perbaikan nasib
berupa gaji besar atau kedudukan prestisius berupa jabatan formal di
tengah masyarakat. Maka pantaslah bilamana istri Nabi shollallahu ’alaih wa sallam, yaitu Aisyah radhiyallahu ‘anha melontarkan kalimat sebagai berikut:
لو أن أول ما نزل من القرآن لا تشربوا الخمر لقالوا
لا والله لا نترك الخمر أبدا و لو كان أول ما نزل من القرآن لا تزنوا لقالو
لا و الله لا نترك الزنا أبدا و لكن كان أول ما نزل من القرآن سور المفصل
فيها ذكر الجنة و النار حتى ثابت القلوب إلى ربها ثم نزل الحلال و الحرام
“Andaikan awal yang
diturunkan dari Al-Qur’an adalah jangan minum khamr, niscaya mereka
berkata “Demi Allah kami takkan meninggalkan khamr”. Andaikan awal yang
diturunkan dari Al-Qur’an adalah jangan berzina, niscaya mereka berkata
“Demi Allah kami takkan meninggalkan zina”. Akan tetapi awal yang
diturunkan ialah surah-2 detail mengenai surga dan neraka, sehingga hati
menjadi teguh mengingat Allah. Barulah kemudian (lambat-laun)
diturunkan (daftar perkara) halal dan haram.”
Saudaraku, inilah
barangkali pokok pangkal masalah di negeri kita dan banyak negeri muslim
lainnya. Banyak orang tahu bahwa ada kebangkrutan moral yang berkembang
dimana-mana dewasa ini. Namun kita tidak secara konsisten membenahi
masalah dari akarnya, yakni pembinaan aqidah. Kita mengira bahwa kerusakan moral dapat diselesaikan hanya dengan mengibarkan bendera gerakan reformasi moral dengan penuh semangat. Kita menyangka bahwa urusan perbaikan moral tidak ada kaitannya dengan urusan aqidah serta ideologi.
Kita tidak sadar bahwa manusia tidak mungkin disuruh mentaati suatu
perintah atau menjauhi suatu larangan bila di dalam dirinya belum ada
fondasi aqidah serta keyakinan kokoh terhadap fihak yang menjadi sumber
perintah dan larangan tersebut.
Di sinilah kita lihat mengapa Nabi Muhammad shollallahu ’alaih wa sallam secara konsisten di bawah bimbingan wahyu Allah terus mendahulukan pengibaran bendera La ilaha ill-Allah sebelum
pengibaran panji Moralisme. Padahal beliau sangat faham bahwa
kebangkrutan moral sedang merajalela di tengah masyarakat. Padahal
beliau adalah seorang manusia yang dikenal luas memiliki akhlak mulia
yang dapat menjadi teladan dalam bidang pembenahan moral dan akhlak.
Padahal beliau sangat faham bahwa langkah pengibaran bendera La ilaha ill-Allah merupakan
pilihan yang tidak populer di tengah masyarakatnya. Padahal beliau
sangat faham bahwa pengibaran panji Moralisme sangat mugkin mendulang
simpati masyarakat luas.
Saudaraku, prioritas
utama da’wah Islam bukanlah memperbanyak pendukung atau konstituen.
Walaupun tentunya selaku aktivis da’wah kita pastilah akan sangat
gembira bila melihat da’wah Islam memperoleh dukungan banyak orang.
Tetapi itu bukanlah prioritas utama.
Prioritas
utama da’wah Islam ialah memastikan gerakannya berada di atas jalan
yang diridhai Allah, jalan yang telah ditempuh oleh teladan utama kita
bersama, yaitu jalan Nabi Muhammad shollallahu ’alaih wa sallam.
Memang idealnya ialah gerakan da’wah Islam berada di atas jalan yang
diridhai Allah sambil memperoleh dukungan banyak orang. Tetapi belajar
dari teladan utama kita Nabi Muhammad shollallahu ’alaih wa sallam
tidaklah demikian keadaannya. Setidaknya tidaklah demikian keadaannya
saat da’wah berada dalam tahap awal perjuangannya menghadapi
kejahiliyahan masyarakat yang masih begitu dominan. Wallahu a’lam bish-showwaab.-
Ya Allah,
curahkanlah kepada kami rahmat dan ridhaMu selalu. Bimbinglah kami
selalu agar berada di atas jalanMu yang benar, jalan NabiMu Muhammad shollallahu
’alaih wa sallam. Ya Allah, janganlah dunia menjadi pertimbangan utama
kami saat berjuang di atas jalan da’wahMu. Ya Allah, kami mohon kepadaMu
surgaMu dan segenap ucapan serta perbuatan yang dapat mendekatkan kami
kepadanya. Ya Allah, kami berlindung kepadaMu dari nerakaMu dan segenap
ucapan serta perbuatan yang dapat mendekatkan kami kepadanya.
Wassalam
Tidak ada komentar:
Posting Komentar