Martabat Ke dua, Martabat Wahdah
Martabat
kedua, dari martabat tujuh adalah al-Wahdah, yaitu al-Ta’ayyun Awal.
Tingkat perbedaan pertama, atau awal ada dalam tingkatan ini. Tegasnya
mulai adanya batas perbedaan. Tetapi, walau ada tingkat perbedaan awal,
namun Zat-Nya masih dalam keadaan universal yang masih menyatu dalam
alam ketuhanan-Nya, yang disebut al-Martabah Ilahiyyah.
Hal tersebut di atas diiraikan dalam nukilan terjemahan Suluk Sujinah;
Dan
martabat kedua adalah Wahdah. Nama-nama sifat yang awal diuraikan.
Awalnya ruh yang akan menguraikan nama-nama roh yang wujudnya masih
dalam bentuk hak. Dan Cahaya-Nya dinamakan Nur Muhammadiyah. Wujud ilmu
dari nur adalah ibadah pengetahuan yang sejati. Pada tingkatan ini belum
dapat diuraikan. Pengetahuan sejatinya adalah dalam tingkatan Wahdat.
Namun, Pangeran, Allah dalam wujud yang jamak, namun diri-Nya adalah kehampaan. Tak ada Pangeran selain Allah, ia hanya Allah yang tunggal. Tunggal wujud-Nya. Dia yang memberikan penghidupan. Dia yang menjadikan sesuatu.
Namun, Pangeran, Allah dalam wujud yang jamak, namun diri-Nya adalah kehampaan. Tak ada Pangeran selain Allah, ia hanya Allah yang tunggal. Tunggal wujud-Nya. Dia yang memberikan penghidupan. Dia yang menjadikan sesuatu.
Sementara, menurut nukilan terjemahan Serat Wiirid Hidayat Jati;
Nur
Muhammad yaitu cahaya yang terpuji. Diceritakan di dalam Hadist;
rupanya seperti burung merak yang berada di dalam permata putih, dan
berada dalam arah Syajaratul Yakin. Itulah hakikat cahaya yang diakui
sebagai tajjalinya zat, berada dalam nukat gaib, merupakan sifat atma
yang menjadi tempatnya alam Wahdah.
Sejatinya,
ruh adalah pralambang pertama yang mendahului segala penciptaan-Nya.
Ruh dalam tingkatan ini bersifat al-Ruh, yaitu ruh yang universal, atau
ruh dalam kejamakan-Nya. Tuhan menciptakan hakikat Muhammadiyah ibarat
penciptaan-Nya terhadap pena yang Agung, yaitu, al Qalam al-Ala. Dan
menurut hadist, pertama kali wujud yang diciptakan Allah adalah ruh.
Di
dalam tingkatan ini belum ada penguraian atau pembedaan zat. Zat-Nya
adalah sifat kejamakan-Nya. Bahkan dalam ta-Ayyun awal-Nya, dikenal
dengan empat hal yang tak dapat dipisahkan antara satu dengan lainnya,
yaitu, ilmu, wujud, syuhud dan nur. Keempat hal tersebut merupakan satu
kesatuan atau manunggal — karena dari ilmu-Nya, maka, alim dan mak’lum
menjadi nyata. Karena wujud, maka, yang mengadakan dan yang diadakan
menjadi nyata, dan syuhud, menjadikan yang melihat dan yang dilihat
menjadi nyata. Sementara, karena cahaya-Nya, maka, yang menerangkan dan
yang diterangkan menjadi nyata.
Dan
keempat hal tersebut di atas adalah suatu perkembangan Allah dari
hakikat yang tidak terinci lewat hakikat yang mempunyai sifat-sifat, dan
pengetahuan-Nya disebut menuju perkembangan pengetahuan tentang
berbagai rincian dari Ada-Nya Allah dalam karya-Nya yang disebut
kenyataan ada-Nya Nur Muhammad.
Konsep
adanya Nur Muhammad sebagai kenyataan karya Allah dalam tajjali-Nya
yang pertama kali diperkenalkan dan dikembangkan oleh Husin bin Mansur
Al-Hallaj, kelahiran Parsi, yang kemudian menjadi tokoh sentral dalam
pengembangan Wadhatul al-Wujud. Menurut Al-Hallaj, adanya alam pada
mulanya ialah dari adanya hakikat Muhammadiyah atau Nur Muhammad. Nur
Muhammad adalah asalnya zat yang Hadrah al-’Ama’iyyah yaitu hadrah yang
tidak diketahui. Allah ada dalam kenisbian-Nya, atau, ada-Nya dalam
ketiadaan.
Pada
perkembangan selanjutnya, para sufi pun percaya bila nabi Muhammad
memiliki dua rupa. Rupa pertama disebut dengan qadim dan yang kedua
adalah ajali. Rupa qadim adalah ujud yang terawal dari adanya segala
zat, ia tak terikat atau terpengaruh oleh masa. Dia telah terjadi
sebelum terjadinya semua yang ada. Rupanya yang qadim itulah sumber
terciptanya segala nabi-nabi, rasul-rasul dan aulia. Cahayanya menyinari
segala kehidupan dan tak ada cahaya yang lebih terang dari pada Nur
Muhammad.
Rupa
kedua adalah bersifat Azali. Adalah rupa dari Muhammad yang berujud
sebagai manusia yang terikat oleh masa dan mengalami pemunahan. Ia juga
mengalami suka duka, kecewa dan bercita-cita serta bergaul dengan
manusia lainnya.
Sementara,
di dalam Serat Wirid Hidayat Jati, Nur Muhammad adalah tajjali Allah
yang kedua. Setelah Allah bertajjali dalam alam Ahadiyah, kemudian
dijadikan Nur Muhammad. Nur tersebut terbuat dari permata putih yang
bening dan berasal dari alam Jabarut. Adapun wujud dari nur tersebut
bagaikan burung Merak. Setelah Tuhan menciptakan Nur Muhammad yang
wujudnya bagaikan burung Merak, maka, diletakkan Merak tersebut di dahan
pohon kehidupan yang disebut Syajaratul Yakin.
Nur
Muhammad itu adalah bakal wajib dari segala kehidupan yang sifatnya
masih gaib, pengertian gaib di sini adalah, belum dapat dilihat dengan
indra sebab sifatnya dalam keadaan batin. Di samping itu, zat Nur
Muhammad, masih dalam kesatuan yang manunggal dengan zat-Nya.
Dengan
kata lain, Nur Muhammad atau Hakikat Muhammad merupakan tajjali dari
Hayyu — sebab sifat-sifat kehidupannya disinari dan berasal dari Hayyu
(Syajaratul Yakin). Syajaratul atau pohon kehidupan (Hayyu), adalah
sumber mengalirnya sifat-sifat hidup. Hayyu disebut juga
dengan kuasa atma. Maka, Hayyu dijadikan sandaran hidup Nur Muhammad.
Namun, keduanya saling mempengaruhi pada kehidupan, hal itu ditamsilkan
dengan pohon tunjung dan air. Artinya, di mana ada tunjung tumbuh dan
berkembang, maka, di situ pasti ada sumber air.
Dalam
alam ini, sifat atmanya dalam bentuk kejamakan. Karena jamak, maka, di
sini belum ada batas-batas pemisahan meski sudah adanya
kenyataan-kenyataan yang awal yang disebut dengan ta’yun awal.
Martabat Ke tiga, Martabat Wahadiyah
Martabat
ketiga di dalam Martabat tujuh adalah Wahadiyah yang biasa diungkapkan
dengan kata-kata A’yan Thabitah (realitas-realitas terpendam). Dan alam
ini juga disebut sebagai Hakikat Adam. Ma’lumat Ilahiyah (ketentuan yang
bersifat ketuhanan), al-Ta’ayyun al-Thani (tingkatan perbedaan kedua),
al-Ta’ayyunat al-Kuliyyah (realitas-realitas yang universal), al-Barzakh
al-Sughra (batas antara kecil dan besar), al-Falakiyyah al-Uluwiyyah
(kehidupan yang tertinggi), Zakir al-Wujud (zakir segala yang wujud),
Hadrah al-Wujud (hadrah yang wujud), dan Zakir Ilm (ilmu zakir).
Pada
martabat ini, Zat-Nya bertajjali lewat nama-nama-Nya yang dikenal
dengan Asma ul’Husna di mana Tuhan mulai muncul dalam al-A’yan Thabitah
atau realitas-realitas yang terpendam yang sudah tidak mengandung
kejamakan. Dalam tahap ini, segala sesuatu yang terpendam sudah
dibedakan dengan tegas dan terperinci, meskipun Zat-Nya belum muncul
dalam wujud kenyataan.
Di dalam terjemahan Suluk Sujinah tersurat;
Tiada
Tuhan selain Allah yang dikatakan sejati, tingkatannya berada dalam
Wahadiyah, wujudnya mutlak, meski dalam kondisi kekosongan akan
Diri-Nya. Allah dalam alam Wahadiyah mulai memperkenalkan nama-namanya.
Kalimat yang luhur ditandai dengan kalimat sahadat, yaitu kalimah
pengetahuan tentang Diri-Nya, di mana pengertian kalimatnya dibagi dua.
Kalimat pertama adalah pengetahuan tentang hakikat Allah yang mencipta
jagat raya. Sedangkan pengetahuan yang kedua adalah tentang Muhammad.
Muhammad adalah panutan manusia. Muhammad sangat dicintai Allah. Dan
keduanya telah menyatu dalam rasa yang tunggal.
Sementara Serat Wirid Hidayat Jati menyuratkan;
Miratul
Haya’i, artinya kaca wara’i. Diceritakan di dalam Hadist, bila alam
tersebut terdapat di depan Nur Muhammad. Itulah hakikat pramana, yang
disebut rahsa zat, sebagai asmanya atma dan menjadi tempatnya alam
wahadiyah.
Di
dalam alam Wahadiyah, Allah dalam kesejatiannya yang dikenal dengan
ucapan “tiada Tuhan selain Allah”. Persaksian keeksistensian-Nya adalah
hal yang berada dalam kedudukan yang tertinggi. Wujud Tuhan masih dalam
kekosongan yang mutlak, meski Allah sudah mulai memberikan pengetahuan
lewat nama-namanya satu persatu.
Dalam
kalimat persaksian tersebut, keluhuran-Nya terbagi dalam dua
pengetahuan. Persaksian yang pertama mengandung Syahadah Tauhid, sedang
yang kedua adalah syahadat Rasul. Pengertian syahadat Tauhid berbunyi;
“Ashadu an la illaha illallah”, yang bermakna saya bersaksi tiada Tuhan
selain Allah. Dan kalimat ini biasa juga disebut dengan kalimat Taqwa.
Allah adalah al-Falakiyyah al-Huliyyah, yaitu, keeksistensiannya berada
dalam tahap tertinggi. Ia adalah kehidupan yang tertinggi.
Sementara,
menurut Serat Wirid Hidayat Jati, tajjali Allah yang ketiga adalah
Mir’atul Haya’i yang tercipta dari alam Nur Muhammad. Maka, dalam alam
Mir’atul Haya’i yang dipersamakan dengan pramana atau sir atau rahsa
disebut juga sebagai tajjalinya dari alam Nur Muhammad.
Pengertian
pramana atau sir adalah suatu zat yang berada dalam tubuh manusia. Zat
tersebut tiada turut rasa sedih, susah, dan juga tidak turut makan dan
minum atau segala kegiatan yang berwujud fisik. Makanan dan minuman
utama pramana adalah dzikir, atau menciptakan rasa ingat kepada Allah
dengan melakukan do’a-do’a atau hal-hal yang bersifat religius.
Sejatinya,
fungsi utama pramana di dalam tunbuh adalah untuk menegakkan jasmani.
Jadi, apabila pramana berpisah dengan tubuh, maka, tubuh akan menjadi
lemah dan lemas, tiada berdaya apa-apa. Hal itu disebabkan karena
pramana adalah rahsa zat, dan pramana mendapat hidup dari Nur Muhammad
yang dijadikan sebagai perantaranya Hayyu.
Martabat Ke empat, Alam Arwah
Martabat
yang ke empat dari Martabat tujuh adalah alam al-Arwah (alam ruh) yang
hampa bagi manusia yang juga dinamakan sebagai alam al-Malakut al-adna
(alam yang terdiri dari akal dan jiwa yang rendah), Awwal al-tanazzulat
li’l-Dhat al-Mujarrad al-Basit (alam peninggalan terhadap kehampaan yang
menengah), al-Martabat al-Imkaniyyah (martabat kekuatan). Dan alam ini
juga biasa disebut sebagai alam al-Af’al (alam perbuatan Allah),
al-Ta-thirat (alam kenyataan), alam Ghayb (alam gaib), alam al-Amr (alam
yang diciptakan Allah tanpa perantara), al-Ashya al-Kawiyyah (segala
sesuatu di alam semesta).
Hal tersebut di atas, tersurat dengan apik di dalam Suluk Sujinah;
Hakiki
alam arwah dimulai dengan wujud nurani yang disebut af’al, yang
sifatnya kudrat kuasa. Zat Nur Muhammad yang agung mendahului nama dan
penciptaan arwah. Nur Muhammad juga dinamakan rasa. Hakikatnya adalah
Rasul Allah, yang sudah menyatu, tunggal.
Yang
mana hakiki Muhammad. Ketahuilah oleh kamu dengan jelas, bahwa nama
Muhammad adalah ada dalam kesatuan atau ketunggulan dengan Allah.
Itulah
hakikat yang sesungguhnya, dan kemudian bernama Nabi Muhammad. Mengenai
kejadian terbentuknya Nur Muhammad hendaknya dimengerti yang ujud,
khayal dan hak. Jangan sembrono.
Sedang Serat Wirid Hidayat Jati menyuratkan;
Ruh
Idlafi; artinya nyawa yang jernih. Diceritakan dalam Hadist berasal
dari Nur Muhammad. Itulah hakikat suksma yang dakui keadaan Zat, yang
merupakan af’al atma, menjadi tempatnya alam Arwah.
Dalam
martabat ini ditandai dengan keberadaan al-Arwah dalam bentuk jamak.
Sejatinya, semua ruh dibentuk dan berasal dari alam al-Arwah. Alam
al-Arwah yang berujud nurani adalah alam yang diciptakan oleh Allah
tanpa perantara. Allah menciptakan melalui perbuatan-Nya sendiri yang
disebut dengan Af’al — Allah menciptakan al-Arwah dari uap pilihan yang
bersumber dari Jauhar. Di samping itu al-Arwah dibentuk oleh nur, sifat
kebakaan, hayat, ilmu, dan dari alam Uluwwi.
Tentang
alam al-Arwah, tak ada sesuatu yang mengetahui keberadaannya.
Kerahasiaan dan keberadaan alam al-Arwah hanya Tuhan yang bisa
menyingkap tabirnya. Sebab jika tidak dirahasiakan, maka, sujudlah semua
kafir kepada-Nya, karena semua makhluk hidup yang ada berasal dari alam
Uluwwi yang hakikatnya adalah murni. Dengan kata lain, al-Arwah berasal
dari Zat Hakk Ta’ala.
Tegasnya,
pengertian alam ruh al-Arwah karena semua arwah terjadi dari padanya di
mana wujudnya masih dalam bentuk kejamakan. Dalam alam ini belum ada
individuasi kehidupan bagi makhluk. Oleh karena itu, segala bentuk
kehidupan, baik malaikat, manusia, hewan dan tumbuhan berasal dari alam
al-Arwah.
Di
dalam sifat al-Arwah yang digolongkan dalam empat kelompok, yakni,
Namiya, Mutaharrika, Natika dan Ruh Kudus. Ruh Namiya adalah membentuk
kehidupan manusia, hewan dan tumbuh-tumbuhan. Pekerjaannya memelihara
dan menumbuhkan, sedang Ruh Mutaharrika yang kelak bersemayam dalam diri
manusia dan hewan. Sedang Ruh Mutaharikka juga disebut sebagai ruh
hewani, sebab semua hewan bergerak karenanya. Sementara, Ruh Natika yang
disebut juga sebagai ruh insani adalah pencipta dan penggerak kehidupan
manusia — Ruh Natika berasal dari alam Amr, tempat asalnya ruh dan
nafsu yang merupakan pralambang dari Adam dan Hawa.
Sedang yang disebut dengan
Ruh Kudus yaitu Faid nur zat Allah. Ruh di mana merupakan penggerakl
bagi semua nabi dan rasul yang bersifat mu’jizat dan keramat; mereka
faham akan semua ma’ani dan batin. Dan kesemuanya ini dari la’thir ruh
Kudus. Disebut fa’id nur zat Allah karena ruh tersebut terbuat dari
cahaya pilihan, maka manusia-manusia tersebut faham dan mengetahui
berbagai hal yang tersembunyi, yang bersifat batin sebab jiwanya tak
terpengaruh atau terbebas dari hal-hal yang bersifat batil.
Alam
al-Arwah terbentuk dari Tajjali dan penyinaran dari Nur Muhammad dari
zat ilahi. Dalam alam kabir tersebut, alam besar, Nur Muhammad
menenrangi segala alam dan nur tersebut semua makhluk Allah hidup dan
bergerak. Nur tersebut meliputi alam, tiada satu daerah pun yang tidak
dilingkarinya. Ia yang memelihara alam dan melingkarinya. Nur Muhammad
yang juga hakikat rasa, adalah wali Allah, dan keduanya tak dapat
dipisahkan. Keduanya dalam bentuk nama yang berbeda, namun, hakikatnya
adalah kesatuan-Nya. Keduanya ada dalam kesatuan.
Alam
al-Arwah adalah Haakk Taala dengan sifat-sifatnya. Sekalian alam itu
A’rad (kejadian-kejadian atau penciptaan-penciptaan), yang terhimpun
pada Zatnya yang Esa. Oleh sebab itu, al-Arwah mempunyai sifat-sifat
Allah, seperti mendengar, melihat, mengerti, berkehendak dan baka.
Alam
al-Arwah disebut juga alam kejiwaan, yaitu, tempatnya jiwa dan nyawa
berkumpul dalam wujud kesatuan sebelum manusia menjelma ke dunia. Dalam
alam al-Arwah itulah kita mengikat janji dengan Allah dan mengakui bahwa
Dia-lah Allah yang disembah. Tiada yang lainnya! Sedang pengertian
majaji, adalah pralambang dari sifat yang metaforis. Dengan kata lain,
majaji dipakai untuk menunjukkan ada-Nya yang Ada
yaitu ada-Nya yang ilahi. Atau, sebagai simbol adanya makhluk sudah
menunjukkan adanya Khalik sebagai pencipta — sebab, makhluk muncul dari
adanya yang mengalir, yaitu Zat-Nya yang Ada sebelum zat yang lain ada.
Oleh
karena itu, pengertian umum dari konsep majaji bermakna dua. Pertama,
adalah penunjukkan pada sang pencipta, sebagai bukti Allah menciptakan
alam Arwah sebagai petunjuk akan keberadaan-Nya. Sedangkan pengertian
kedua adalah hal-hal yang diciptakan-Nya, yaitu, makhluk-makhluk-Nya
yang merupakan lambang atau simbol dari kekuasaan-Nya.
Di
dalam Serat Wirid Hidayat Jati, Ruh Idlafi adalah tajjali Allah yang
keempat. Setelah bertajjali dalam alam Mir’atul Haya’i, kemudian
bertajjali dalam bentuk Ruh Idlafi. Ruh Idlafi disebut juga tajjali dari
pramana atau sir. Hal itu disebabkan Ruh Idlafi mendapatkan sinar dari
kuasa rahsa atau pramana — sedang letaknya di luar lingkaran pramana.
Dalam martabat tujuh, Ruh Idlafi dipersamakan dengan alam al-Arwah,
wujud kejamakan ruh. Di mana hakikat Ruh Idlafi atau al-Arwah tiada satu
pun makhluk yang mentetahui, kecuali Allah yang Khalik. Oleh karena
itu, Ruh Idlafi juga disebut sebagai nyawa atau suksma — dan disebut Ruh
Idlafi karena ia berhadapan dengan Hak Taa’ala. Ruh Idlafi juga sama
dengan ruh utusan, ruh yang pancarannya bagaikan mutiara dan menyinari
segala hidup dan kehidupan di dunia. Ruh Idlafi merajai segala sesuatu
yang nampak dan sinar-sinarnya menerangi semesta alam, dan bidang-bidang
kenisbian.
Martabat Ke lima, Alam Mitsal
Martabat
ke lima dari martabat tujuh adalah alam al-Mithal (alam bentuk), yang
diungkapkan sebagai awal Misal begi bentuk zat yang disucikan dengan
makna al-Surah al-Thaniyyah (gambaran kedua) dari al-Tanazzulat li’l
Dhat (peninggalan bagi zat), Surah Jami al-ashya al-Kawaniyyah (gambaran
segala sesuatu di alam semesta), Surah al-Rahman (bentuk Rahman), Surah
al-Haq (bentuk hak), Surah al-Illah (bentuk Ilahi), Surah al-Wujud al
Ilahi (bentuk wujud Ilahi), Surah al-Shu’un (bentuk keadaan), Surah al
Ula al Zahirah al-Asma (bentuk utama zahir nama-nama).
Di dalam terjemahan Suluk Sujinah, ajaran martabat tujuh tersebut dapat dilihat pada berikut ini:
Tersebutlah
alam bertingkat Mitsal, wujud adam terjadinya alam jagad raya yang
bersifat kalam, meski pengucap dan pencium, pendengaran dan penglihatan
belum terbentuk semuanya. Calon terbentuknya, cerminan mulut, wujud
mata, rasa kuping, dan penciuman yang berada dalam hidung.
Sementara, dalam Serat Wirid Hidayat Jati disuratkan:
Kandil:
artinya lampu tanpa api, diceritakan dalam Hadist berupa permata yang
cahayanya berkilauan, tergantung tanpa kaitan, itulah keadaan Nur
Muhammad, dan tempatnya semua ruh. Adalah hakikat angan-angan yang
diakui sebagai bayangan Zat, yang menjadi bingkai atma dan menkjadi
tempatnya alam Mitsal.
Alam
Mitsal adalah alam perencanaan tentang perkembangan manusia, di mana
tiap diri insan ada di dalam ilmu Allah. Alam ini adalah alam ide dan
merupakan perbatasan antara alam Arwah dan alam jisim. Dan alam Mitsal
adalah sebagai awal wujud fisik manusia dan makhluk lainnya. Walau
keadaannya sudah mempunyai sifat, bentuk dan warna, tetapi belum bisa
dikenali baik secara batin maupun lahir.
Pada Serat Wirid Hidayat Jati, Kandil, adalah tajjali Allah yang ke lima.
Setelah Allah bertajjali dalam alam Ruh Idlafi, kemudian bertajjali
dalam alam Kandil yang dalam kata bahasa mempunyai arti lampu. Uraian di
atas, angan-angan diibaratkan sebagai Kandil atau lampu yang tergantung
tanpa kaitan. Yang bila dipersamakan dengan aajaran martabat tujuh,
Kandil digambarkan sebagai alam Mitsal — nafsu atau kandil merupakan
tajjalinya ruh karena menerima sinar dari suksma atau Ruh Idlafi.
Kandil
juga digambarkan sebagai api yang berkobar di tengah lautan, artinya,
suatu keajaiban bila api dapat menyala di tengah-tengah lautan. Oleh
karena itu, dalam martabat ini disebut Ayan Mukawiyah, karena telah
benar hidup keadaannya. Dan Nafsu atau Kandil bermakna angkara yang
terletak di luar suksma.
Martabat Ke enam, Alam Ajsam
Martabat
ke enam adalah Alam Ajsam, atau alam jasmani. Alam ini juga disebut
sebagai bagian dari al-Tanazzulat li’l-Dhat (peninggalan bagi zat), Alam
al-Mahsus (alam rasa), Akhir al-Tanazzulat li’l Dhat (akhir peninggalan
bagi zat), yaitu, Alam al-Sufliyyah (alam dunia), al-Anam (manusia),
al-Ajsam (jasmani), al-Shahadah (nyata), al-khalq (manusia), al-Zahir
(lahir), al-Kashit (alam terbuka), al-Ajram (tubuh), al-Majsum
(terkungkung), al-Mahsusat (alam rasa).
Di dalam terjemahan Suluk Sujinah ajaran martabat tujuh yang ke enam dapat dilihat pada nukilan di bawah ini:
Alam
Acesan wujudnya itu dipenuhi badan halus semuanya. Tidak ada batasnya.
Itu dasar sifatnya. Memang begitu kenyataannya yang disebut jisim nama
wujud. Alam ini masih dalam keadaan gaib. Belum lahir wujudnya. Dan
setelah lahir disebut dengan Insan Kamil. Itulah namanya Rasul Allah.
Sementara, terjemahan Serat Wirid Hidayat Jati menyuratkan;
Dharah
artinya permata. Tersebut dalam Hadist punya sinar beraneka warna,
kesemuanya ditempati malaikat. Itulah hakikat budi, yang diakui sebagai
perhiasan Zat. Dan merupakan pintu atma. Dharah menjadi tempatnya alam
Ajsam.
Pada
Suluk Sujinah, alam Acesan adalah tajjali Allah yang ke enam, yang di
dalam martabat tujuh alam Acesan dipersamakan dengan ajaran alam Ajsam.
Alam ini adalah tajjalinya dari alam Mitsal. Wujud alam Acesan berbentuk
segi empat yang dihuni oleh jasmani dalam bentuk halus — alam tersebut
teramat luas, sehingga tak diketahui di mana batas-batasnya. Dan yang
mengetahui luas serta batas-batasnya hanyalah Allah Yang Maha
Mengetahui.
Meski
wujudnya dalam keadaan gaib, tetapi, alam ini sudah menampakkan bentuk
lahir yang ke tiga, yaitu, wujud yang sudah dapat diindra. Sebab, dasar
sifatnya adalah jisim, atau, tubuh dalam bentuk wadag.
Sedang
Serat Suluk Hidayat Jati menyebutkan bahwa tajjali Allah yang ke enam
disebut dengan Dharah yang memiliki pengertian atau arti permata.
Diceritakan, bahwa permata tersebut mengeluarkan cahaya atau sinar yang
beraneka warna, di mana, setiap warnanya ditempati oleh malaikat yang
menjaga pancaran dari sinar tersebut. Dan disebutkan juga bahwasanya
bila hakikat dari Dharah adalah budi, di mana budi dijadikan sebagai
perhiasan zat.
Martabat Ke tujuh, Alam Insan Kamil
Martabat
ke tujuh adalah Alam Insan Kamil, alam manusia dalam kesempurnaannya.
Alam ini disebut juga sebagai Akhir al-Tanazzulat (akhir peninggalan),
Khatim al-Mawjudat (puncak dari segala yang ada) atau gabungan lahir dan
batin, al-Khamsah al-Muhit, yaitu, terbentuknya alam, segala yang
bersifat rohani, jasmani dan benda tak bernyawa. Di dalam alam ini,
Insan Kamil adalah wakil Allah di bumi guna mengelola alam beserta
dengan segala isinya. Ia juga bergelar sebagai khalifah di bumi.
Ajaran Insan Kami di dalam martabat tujuh ini bisa disimak di dalam terjemahan Suluk Sujinah di bawah ini:
Sifat
yang terlihat berujud manusia. Wujudnya juga yang bernama mukinat
(makanah), yaitu dalam wujud yang berada di martabat ini. Selesailah
penjelasan tentang martabat, dan jumlahnya adalah itu (tujuh). Semua
orang wajib mengerti dan mengetahui. Jika tak mengerti, maka orang itu
tergolong kafir, dan belum mengerti sahadat.
Sedang terjemahan Serat Wirid Hidayat Jati menyuratkan:
Hijab:
disebut dinding jalal, artinya, tabir yang agung, Diceritakan dalam
Hadist timbul dari permata yang beraneka warna, pada waktu gerak
menimbulkan buih asap, dan air. Itulah hakikat jasad, merupakan tempat
atma, menjadi tempatnya alam Insan Kamil.
Dalam
Insan kamil, Allah menemukan manifestasi-Nya yang definitif dan
sempurna, sebaliknya, dalam Insan Kamil itu dunia yang ke luar dari
Allah menurut garis emanasi yang menurun, dan naik kembali ke Allah.
Insan Kamil (manusia sempurna) adalah merupakan pusat semesta alam serta
titik pertemuan antara Allah dan dunia sebagaimana contoh yang
diperagakan dalam garis lurus berikut ini;
Allah
!
!
Ahadiyah
!
!
Wahdah
!
!
Wahadiyah
!
!
Alam Arwah
!
!
Alam Mitsal
!
!
Alam Ajsam
!
!
Alam Insan Kamil
Berdasarkan
uraian di atas, maka, manusia yang sempurna merupakan ulangan atau
perkalian numerik mengenai Akal Awal — karena akal itupun merupakan
akibat dari materi Awal yang diterangi oleh cahaya Allah. Tak pelak,
oleh Ibn Arabi, Akal Awal itu dinamakan sebagai manusia Universal Agung.
Yaitu, wujud yang telah mencapai kesempurnaan dengan melalui tujuh
tingkatan.
Demikian
sekelumit sajian Martabat Tujuh yang diangkat dari Suluk Sujinah dan
Serat Wirid Hidayat Jati. Sudah barang tentu, semuanya tak luput dari
kekurangan, maka, akan terasa lebih sempurna bila ada tulisan-tulisan
lain yang akan mampu menambah khasanah perbendaharaan ilmu kita dengan
tujuan mencari ridho Allah semata. Semoga.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar