03
MeiSebuah Perenungan tentang Sosok AjisakaKarena kehendak Allah jugalah terjadinya manusia, hewan, pepohonan,
kutu walang ataga, yang kesemuanya itu terjadi serta hidup dan dapat
dilihat secara nyata wujudnya (ana rupa-wujude). Atas kehendak Allah
tersebut yang luluh pada diri manusia, menyebabkan manusia memiliki
keluhuran, keimanan, bawa laksana,
welas asih, keadilan, ketulusan,
eling lan waspada. Kesemuanya itu memberikan manusia kemuliaan
(kamulyan) dan kesejahteraan (karahayon). Rasa tersebut juga
menghubungkan kehidupan manusia dengan Allah
Sang Maha Pencipta.Ca-ra-ka sendiri pengertiannya adalah memuliakan Allah. Sebab tanpa
ada bawana seisinya, apalagi tanpa adanya manusia, tentu tidak akan ada
sebutan Asma Allah. Tanpa adanya caraka, tentu pula Hana-Ne tidak akan
disebut Hana. Sementara makna Da-ta-sa-wa-la dapat dijelaskan maknanya
sebagai berikut. Adanya yang ada (anane dumadi) sumber asalnya adalah
Satu, yaitu Dzat Allah. Dari yang kasar dan halus (agal lan alus),
wingit (penuh misteri) dan gha’ib, pasti pada dirinya melekat setidaknya
secercah Dzat Allah (kadunungan sapletheking Dzat Allah). Artinya,
pancaran kun fayakun itu tidak hanya mencipta bawana seisinya, namun
terus-menerus memancarkan kasih, mencermati dan meliputi terhadap
seluruh kehidupan (ngesihi, nyamadi lan nglimputi sakabehing dumadi).
Allah menciptakan bawana seisinya, khususnya dalam menciptakan
manusia, bukan tanpa rencana, namun dengan keinginan dan tujuan yang
nyata dan pasti. Titah Allah tidak dapat diingkari dari apa yang sudah
ditetapkan menjadi kodrat (pepesthen). Demikian juga seluruh makhluk
hidup di dunia (saobah-mosiking dumadi) pasti terkena keterbatasan dan
pembatasan (wates lan winates), seperti halnya sakit dan kematian. Namun
selain itu, juga melekat dalam dirinya (kadunungan) kelebihan satu dari
yang lain, saling ketergantungan, lebih melebihi (punjul-pinunjulan)
dan saling hidup-menghidupi (urip-inguripan).
Baik dalam rupa, wujud, warna dan sosoknya (balegere dumadi), manusia
dapat dikatakan sempurna tiada yang melebihi (kasampurnaning manungsa).
Terciptanya manusia yang ditakdirkan (pinesthi) menjadi Wali Allah,
menandakan bahwa hanya sosok manusia sajalah yang mampu menjadi Warangka
Dalem Yang Maha Esa (wakil Tuhan di dunia). Kelahiran manusia dalam
wujud raga-fisik dan bentuk badan itu merupakan sari-patining bawana.
Maka, menjadi keniscayaan jika manusia mampu menggunakan dayanya guna
mengungkap rahasia alam.
Kelahiran hidup manusia, merupakan wujud dari sukma, yang dalam
proses mengada dan menjadi (being and becoming) terbentuk dari sari-pati
terpancarnya Dzat Allah (dumadi saka sari-pati pletheking Dzat Allah).
Oleh sebab itu, manusia mampu mengkaji dan menelusuri, menggali dan
mencari serta meyakini dan mengimani adanya Allah (nguladi, ngupadi,
ngyakini lan ngimani marang kasunyataning Allah), sebab sukma sejati
manusia itu berasal dari Sana (sabab suksma sajatining manungsa asale
saka Kana). Selanjutnya Pa-dha-ja-ya-nya, maknanya bahwa sawenehing kang
dumadi atau apa pun dan siapa pun tidak akan dapat hidup sendiri, sebab
ia akan
senantiasa menjalani hidup dan kehidupan
bersama, sebagaimana
keniscayaan
fitrahnya, bahwa: panguripaning dumadi tansah
wor-ingaworan -dalam kehidupan manusia selalu saling pengaruh
mempengaruhi— selain juga punya ketergantungan satu sama lain. Begitu
juga hidup manusia, bahwa perangkat badaning manungsa tidak mungkin
secara parsial dapat hidup sendiri-sendiri. Artinya, ana raga tanpa
sukma/nyawa tidak mungkin bisa hidup, tetapi ana sukma tanpa raga juga
tidak bisa dikatakan hidup, karena tidak bisa bernafas.
Jika seluruh anggota badan makarti semua, baru disebut urip kang
sejati. Daya hidup (sang gesang) akan melekat (built-in) pada setiap
diri-pribadi seseorang, yaitu rupa, wujud berikut segala
tingkah-lakunya. Dapat dikatakan daya hidup akan luluh pada dirinya
(sing kadunungan). Semua yang berwujud dan hidup pasti bakal tarik-
enarik, saling bersinergi (daya-dinayan), sehingga menimbulkan
daya-daya, seperti: daya
adem-panas, positif-negatif, luhur-asor,
padhang-peteng, dan kesemuanya itu senantiasa berputar silih berganti
(cakra manggilingan).
Semua inti dari interaksi tersebut ada pada diri manusia, di mana
inti tadi sebenarnya telah terserap dari badan manusia sendiri. Maka
dapat disimpulkan, bahwa obah-mosiking jagat/alam, juga terjadi pada
obah-mosiking manungsa secara pribadi. Di mana ketika terjadi
gonjang-ganjinging jagat/ alam, kejadian pada manusia juga demikian
adanya. Ketika manusia bertingkah-laku angkara-murka, merusak dan
sebagainya, jagat/alam juga berada dalam ancaman bahaya, misalnya
musibah banjir, lahar, tanah longsor, banyaknya kecelakaan dan
sebagainya.
Makanya, manusia harus selalu ingat akan kewajiban pokoknya, yaitu:
Hamemayu-Hayuning Bawana. Artinya, kanthi adhedhasar sarana sastra
jendra hayuningrat pangruwating diyu sebetulnya manusia dapat nyidhem
atau menghindari kerusakan alam semesta, selain juga bisa nyirep
dahuruning praja (memadamkan kerusuhan negara).
Ikatan manusia dengan Allah Swt., berupa keyakinan dan kepercayaan
yangdiwujudkan dalam panembah lan pangesti seperti ditulis dalam
tuntunan kalam, yang disebut agama, mewajibkan manusia manembah
(sembahyang, samadi) hanya tertuju kepada Yang Satu, yaitu Tuhan Yang
Maha Esa. Ketika manusia manembah melalui sembah rasa, harus dengan
seluruh sukma (roh, moral) kita, bukan badan raga yang penuh dengan
kotoran (nafsu duniawi). Sebetulnya sembah raga itu hanya sarengating
lahir, agar supaya umat manusia taat dan manembah marang Gusti Kang
Murbeng Dumadi.
Manusia itu paling dipercaya ngembani asmaning Allah, maka manusia
harus menduduki rasa kemanusiaannya. Untuk itu, manusia harus bisa
menempatkan diri pada citra keTuhanannya. Allah telah menciptakan apa
saja untuk manusia, jagat sak isine, tinggal bagaimana manusia bekti
marang Allah Kang Maha Esa. Tergantung manusianya, seberapa besar
tanggung jawabnya marang Kang Maha Kuasa, sebab bawana beserta seluruh
isinya adalah menjadi tanggung jawab manusia.
Yang terakhir, Ma-ga-ba-tha-nga dapat dijelaskan maknanya,
kurang-lebih sebagai berikut. Manungsa kang kalenggahan wahyuning Allah,
manungsa kang manekung ing Allah Kang Maha Esa dadi daya cahyaning
Allah lan rasaning Allah luluh pada sukma manusia. Jagat (alam)
tergantung pada sejarah umat manusia yang disebut awal dan akhir, juga
menjadikannya jantraning manungsa. Hakikatnya gelaring alam/jagat itu,
juga gelaring manungsa. Jadi di dunia ini ora bakal ana lelakon, ora ana
samubarang kalir, kalau tidak ada gerak kridhaning manungsa.
Setelah ada manusia, sakabehing wewadi, sakabehing kang siningit lan
sinengker wus kabukak wadine –semua telah jelas, semua telah menjadi
nyata.
Wis ora dadi wadi, amerga wis tinarbuka;
Wis ora ana wingit, amerga wis kawiyak;
Wis ora ana angker, amerga wis kawuryan.
Artinya, kalau semua sudah kamanungsan/konangan —kalau semua telah
menjadi kenyataan— berarti tugas kewajiban manusia di dunia telah
selesai. Sudah sampai pada perjanjian pribadining manungsa dan sudah
titi mangsa harus pulang marang pangayuning Pangeran. Dari tidak ada
menjadi ada (ora ana dadi ana) menjadi tidak ada lagi (ora ana maneh).
Artinya, sakabehing dumadi yen wis tumekaning wates kodrate, mesti bakal
mulih marang mula-mulanira lan sirna. Awal-akhire, artinya sangkan
paraning dumadi wis khatam/tamat. Kalau umat manusia sudah tidak ada
lagi -kang dadi asmaning Allah-juga tidak akan disebut (kaweca), ana.
Demikianlah, kurang lebih hasil perenungan saya selama ini dalam
menggali makna filosofis yang terkandung dalam ajaran Aji Saka:
“Ha-na-ca-ra-ka”. Betapa pun kita mengagungkan ke-adiluhung-an karya
sastra Jawa, seperti Serat Wulangreh, Serat Wedhatama, atau pun filsafat
Ha-na-ca-ra-ka, apabila tanpa penghayatan dan meresapi nilai-nilai
substansial yang terkandung di dalamnya serta usaha mengembangkannya,
tentulah tidak akan bermakna bagi kehidupan sastra Jawa masa kini dan
masa depan, apalagi terhadap budaya Indonesia Baru yang harus kita
bangun.Sastra Jawa mengandung wulang-wuruk kejawen, yang jika dilakukan
penelitian lebih suntuk akan bisa digali ajaran kehidupan yang mampu
memberi pencerahan pikir dan rasa untuk direnungkan di malam hari.
Kesemuanya itu seakan meneguhkan makna peninggalan Aji Saka yang
diungkapkan Sri Susuhunan Paku Buwono IX dalam tembang Kinanthi: “… Nora
kurang wulang-wuruk, tumrape wong tanah Jawi. Laku-lakuning ngagesang,
lamun gelem anglakoni. Tegese aksara Jawa iku guru kang sejati”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar