Wayang, merupakan salah satu bentuk teater tradisional yang paling tua.
Pada masa pemerintahan Raja Balitung, telah ada petunjuk adanya
pertunjukan wayang, yaitu yang terdapat pada prasasti Balitung dengan
tahun 907 Masehi, yang mewartakan bahwa pada saat itu telah dikenal
adanya pertunjukan wayang.
Prasasti berupa lempengan tembaga dari Jawa Tengah; Royal Tropical
Institute, Amsterdam, contoh prasasti ini dapat dilihat dalam lampiran
buku Claire Holt Art in Indonesia: Continuities and Changes,1967
terjemahan Prof.Dr.Soedarsono(MSPI-2000-hal 431).
Tertulis sebagai berikut:
Tertulis sebagai berikut:
Dikeluarkan atas nama Raja Belitung teks ini mengenai desa Sangsang,
yang ditandai sebagai sebuah tanah perdikan, yang pelaksanaannya
ditujukan kepada dewa dari serambi di Dalinan. Lagi setelah menghias
diri dengan cat serta bunga-bunga para peserta duduk di dalam tenda
perayaan menghadap Sang Hyang Kudur. “Untuk keselamatan bangunan suci
serta rakyat” pertunjukan (tontonan) disakilan. Sang Tangkil Hyang sang
(mamidu), si Nalu melagukan (macarita) Bhima Kumara, serta menari
(mangigal) sebagai Kicaka; si Jaluk melagukan Ramayana; si Mungmuk
berakting (mamirus) serta melawak (mebanol), si Galigi mempertunjukkan
Wayang (mawayang) bagi para Dewa, melagukan Bhimaya Kumara.
Pentingnya teks ini terletak pada indikasi yang jelas bahwa pada awal
abad ke-10, episode-episode dari Mahabharata dan Ramayana dilagukan
dalam peristiwa-peristiwa ritual. Bhimaya Kumara mungkin sebuah cerita
yang berhubungan dengan Bima boleh jadi telah dipertunjukan sebagai
sebuah teater bayangan (sekarang: wayang purwa). Dari mana asal-usul
wayang, sampai saat ini masih dipersoalkan, karena kurangnya bukti-bukti
yang mendukungnya. Ada yang meyakini bahwa wayang asli kebudayaan Jawa
dengan mengatakan karena istilah-istilah yang digunakan dalam pewayangan
banyak istilah bahasa Jawa.
Dr.G.A.J.Hazeu, dalam detertasinya Bijdrage tot de Kennis van het
Javaansche Tooneel (Th 1897 di Leiden, Negeri Belanda) berkeyakinan
bahwa pertunjukan wayang berasal dari kesenian asli Jawa. Hal ini dapat
dilihat dari istilah-istilah yang digunakan banyak menggunakan bahasa
Jawa misalnya, kelir, blencong, cempala, kepyak, wayang. Pada susunan
rumah tradisional di Jawa, kita biasanya akan menemukan bagian-bagian
ruangan: emper, pendhapa, omah mburi,
gandhok senthong dan ruangan untuk pertujukan ringgit (pringgitan), dalam bahasa Jawa ringgit artinya wayang. Bagi orang Jawa dalam membangun rumahpun menyediakan tempat untuk pergelaran wayang. Dalam buku Over de Oorsprong van het Java-ansche Tooneel – Dr.W Rassers mengatakan bahwa, pertunjukan wayang di Jawa bukanlah ciptaan asli orang Jawa. Pertunjukan wayang di Jawa, merupakan tiruan dari apa yang sudah ada di India. Di India pun sudah ada pertunjukan bayang-bayang mirip dengan pertunjukan wayang di Jawa.
gandhok senthong dan ruangan untuk pertujukan ringgit (pringgitan), dalam bahasa Jawa ringgit artinya wayang. Bagi orang Jawa dalam membangun rumahpun menyediakan tempat untuk pergelaran wayang. Dalam buku Over de Oorsprong van het Java-ansche Tooneel – Dr.W Rassers mengatakan bahwa, pertunjukan wayang di Jawa bukanlah ciptaan asli orang Jawa. Pertunjukan wayang di Jawa, merupakan tiruan dari apa yang sudah ada di India. Di India pun sudah ada pertunjukan bayang-bayang mirip dengan pertunjukan wayang di Jawa.
Dr.N.J. Krom sama pendapatnya dengan Dr. W. Rassers, yang mengatakan
pertunjukan wayang di Jawa sama dengan apa yang ada di India Barat, oleh
karena itu ia menduga bahwa wayang merupakan ciptaan Hindu dan Jawa.
Ada pula peneliti dan penulis buku lainnya yang mengatakan bahwa wayang
berasal dari India, bahkan ada pula yang mengatakan dari Cina. Dalam
buku Chineesche Brauche und Spiele in Europa – Prof G. Schlegel menulis,
bahwa dalam kebudayaan Cina kuno terdapat pergelaran semacam wayang.
Pada pemerintahan Kaizar Wu Ti, sekitar tahun 140 sebelum Masehi, ada
pertunjukan bayang-bayang semacam wayang. Kemudian pertunjukan ini
menyebar ke India, baru kemudian dari India dibawa ke Indonesia. Untuk
memperkuat hal ini, dalam majalah Koloniale Studien, seorang penulis
mengemukakan adanya persamaan kata antara bahasa Cina Wa-yaah (Hokian),
Wo-yong (Kanton), Woying (Mandarin), artinya pertunjukan bayang-bayang,
yang sama dengan wayang dalam bahasa Jawa.
Meskipun di Indonesia orang sering mengatakan bahwa wayang asli
berasal dari Jawa/Indonesia, namun harus dijelaskan apa yang asli materi
wayang atau wujud wayang dan bagaimana dengan cerita wayang.
Pertanyaannya, mengapa pertunjukan wayang kulit, umumnya selalu
mengambil cerita dari epos Ramayana dan Mahabharata? Dalam papernya
Attempt at a historical outline of the shadow theatre Jacques Brunet,
(Kuala Lumpur, 27-30 Agustus 1969), mengatakan,
sulit untuk menyanggah atau menolak anggapan bahwa teater wayang yang terdapat di Asia Tenggara berasal dari India terutama tentang sumber cerita. Paper tersebut di atas mencoba untuk menjelaskan bahwa wayang mempunyai banyak kesamaan terdapat di daerah Asia terutama Asia Tenggara dengan diikat oleh cerita-cerita yang sama yang bersumber dari Ramayana dan Mahabharata dari India. Sejarah penyebaran wayang dari India ke Barat sampai ke Timur Tengah dan ke timur umumnya sampai ke Asia Tenggara.
sulit untuk menyanggah atau menolak anggapan bahwa teater wayang yang terdapat di Asia Tenggara berasal dari India terutama tentang sumber cerita. Paper tersebut di atas mencoba untuk menjelaskan bahwa wayang mempunyai banyak kesamaan terdapat di daerah Asia terutama Asia Tenggara dengan diikat oleh cerita-cerita yang sama yang bersumber dari Ramayana dan Mahabharata dari India. Sejarah penyebaran wayang dari India ke Barat sampai ke Timur Tengah dan ke timur umumnya sampai ke Asia Tenggara.
Di Timur Tengah, disebut Karagheuz, di Thailand disebut Nang Yai
& Nang Talun, di Cambodia disebut Nang Sbek & Nang Koloun. Dari
Thailand ke Malaysia disebut Wayang Siam. Sedangkan yang langsung dari
India ke Indonesia disebut Wayang Kulit Purwa. Dari Indonesia ke
Malaysia disebut Wayang Jawa. Di Malaysia ada 2 jenis nama wayang, yaitu
Wayang Jawa (berasal dari Jawa) dan Wayang Siam berasal dari Thailand.
Abad ke-4 orang-orang Hindu datang ke Indonesia, terutama para
pedagangnya. Pada kesempatan tersebut orang-orang Hindu membawa
ajarannya dengan Kitab Weda dan epos cerita maha besar India yaitu
Mahabharata dan Ramayana dalam bahasa Sanskrit. Abad ke-9, bermunculan
cerita dengan bahasa Jawa kuno dalam bentuk kakawin yang bersumber dari
cerita Mahabharata atau Ramayana, yang telah
diadaptasi kedalam cerita yang berbentuk kakawin tersebut, misalnya cerita-cerita seperti: Arjunawiwaha karangan Empu Kanwa, Bharatayuda karangan Empu Sedah dan Empu Panuluh, Kresnayana karangan Empu Triguna, Gatotkaca Sraya karangan Empu Panuluh dan lain-lainnya. Pada jamannya, semua cerita tersebut bersumber dari cerita Mahabharata, yang kemudian diadaptasi sesuai dengan sejarah pada jamannya dan juga disesuaikan dengan dongeng serta legenda dan cerita rakyat setempat. Dalam mengenal wayang,
kita dapat mendekatinya dari segi sastra, karena cerita yang dihidangkan dalam wayang terutama wayang kulit umumnya selalu diambil dari epos Mahabharata atau Ramayana. Kedua cerita tersebut, apabila kita telusuri sumber ceritanya berasal dari India. Mahabharata bersumber dari karangan Viyasa, sedangkan Epos Ramayana karangan Valmiki.
diadaptasi kedalam cerita yang berbentuk kakawin tersebut, misalnya cerita-cerita seperti: Arjunawiwaha karangan Empu Kanwa, Bharatayuda karangan Empu Sedah dan Empu Panuluh, Kresnayana karangan Empu Triguna, Gatotkaca Sraya karangan Empu Panuluh dan lain-lainnya. Pada jamannya, semua cerita tersebut bersumber dari cerita Mahabharata, yang kemudian diadaptasi sesuai dengan sejarah pada jamannya dan juga disesuaikan dengan dongeng serta legenda dan cerita rakyat setempat. Dalam mengenal wayang,
kita dapat mendekatinya dari segi sastra, karena cerita yang dihidangkan dalam wayang terutama wayang kulit umumnya selalu diambil dari epos Mahabharata atau Ramayana. Kedua cerita tersebut, apabila kita telusuri sumber ceritanya berasal dari India. Mahabharata bersumber dari karangan Viyasa, sedangkan Epos Ramayana karangan Valmiki.
(Lihat: buku Traditional Drama And Music of Southeast Asia – Edited
by M.Taib Osman, Terbitan Dewan Bahasa dan Pustaka, Kuala Lumpur. Th.
1974)
Hal ini diperkuat fakta bahwa cerita wayang yang terdapat di Asia
terutama di Asia Tenggara yang umumnya menggunakan sumber cerita
Ramayana dan Mahabharata dari India. Cerita-cerita yang biasa disajikan
dalam wayang, sebenarnya merupakan adaptasi dari epos Ramayana dan
Mahabharata yang disesuaikan dengan cerita rakyat atau dongeng setempat.
Dalam sejarahnya pertunjukan wayang kulit selalu dikaitkan dengan suatu
upacara, misalnya untuk keperluan upacara khitanan, bersih desa,
menyingkirkan malapetaka dan bahaya. Hal tersebut sangat erat dengan
kebiasaan dan adat-istiadat setempat.
Dalam menelusuri sejak kapan ada pertunjukan wayang di Jawa, dapat
kita temukan berbagai prasasti pada jaman raja-raja Jawa, antara lain
pada masa Raja Balitung. Namun tidak jelas apakah pertunjukan wayang
tersebut seperti yang kita saksikan sekarang. Pada masa pemerintahan
Raja Balitung, telah ada petunjuk adanya pertunjukan wayang.
Hal ini juga ditemukan dalam sebuah kakawin Arjunawiwaha karya Empu Kanwa, pada jaman Raja Airlangga dalam abad ke-11. Oleh karenanya pertunjukan wayang dianggap kesenian tradisi yang cukup tua. Sedangkan bentuk wayang pada pertunjukan di jaman itu belum jelas tergambar bagaimana bentuknya. Pertunjukan teater tradisional pada umumnya digunakan untuk pendukung sarana upacara baik keagamaan ataupun adat-istiadat, tetapi pertunjukan wayang kulit dapat langsung menjadi ajang keperluan upacara tersebut.
Ketika kita menonton wayang, kita langsung dapat menerka pertunjukan wayang tersebut untuk keperluan apa. Hal ini dapat dilihat langsung pada cerita yang dimainkan, apakah untuk keperluan menyambut panen atau untuk ngruwat dan pertunjukan itu sendiri merupakan suatu upacara.
Hal ini juga ditemukan dalam sebuah kakawin Arjunawiwaha karya Empu Kanwa, pada jaman Raja Airlangga dalam abad ke-11. Oleh karenanya pertunjukan wayang dianggap kesenian tradisi yang cukup tua. Sedangkan bentuk wayang pada pertunjukan di jaman itu belum jelas tergambar bagaimana bentuknya. Pertunjukan teater tradisional pada umumnya digunakan untuk pendukung sarana upacara baik keagamaan ataupun adat-istiadat, tetapi pertunjukan wayang kulit dapat langsung menjadi ajang keperluan upacara tersebut.
Ketika kita menonton wayang, kita langsung dapat menerka pertunjukan wayang tersebut untuk keperluan apa. Hal ini dapat dilihat langsung pada cerita yang dimainkan, apakah untuk keperluan menyambut panen atau untuk ngruwat dan pertunjukan itu sendiri merupakan suatu upacara.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar