Sejauh yang saya ketahui, semua orang mengetahui dua kata ini,
“terbaik“ dan “terburuk“. Dalam bahasa apapun, saya rasa kedua kata itu
juga pasti akan muncul. Semua orang juga memiliki pengalamannya
masing-masing, walaupun dalam konteks yang berbeda-beda, yang menurut
mereka adalah yang terbaik dan terburuk.
Beberapa bulan yang lalu
saya menerima kabar bahwa saya mendapatkan kesempatan untuk melanjutkan
studi saya. Keinginan, dan sekaligus salah satu mimpi, saya ini yang
sempat tertunda beberapa kali dengan alasan. Mulai dari A sampai Z
kelihatannya selalu saja ada yang menghalangi niat saya untuk mewujudkan
mimpi dan keinginan itu.
Ketika kesempatan yang kesekian kalinya
itu datang, saya pun perlu mendiskusikannya terlebih dahulu dengan
beberapa orang yang ada disekitar saya. Atas dasar keterbukaan inilah
saya mencoba menggali informasi dan sekaligus memperkirakan apa yang
setidaknya bisa saya pikirkan. Maklum, walau itu sebuah keinginan dan
sekaligus mimpi setidaknya keputusan apapun yang akan saya buat akan
membawa efek terhadap orang-orang tersebut, baik langsung maupun tidak
langsung termasuk “keluarga besar“ saya. Dan.. abrakadabra… disinilah
saya sekarang… menjalani hidup di negeri dongeng, seperti kata temen
saya.
Apakah itu yang terbaik?
Hampir semua rekan dan teman
saya berkata dengan pasti “YA“ dan diiukuti dengan sejuta penjelasan
lainnya yang mungkin akan terlalu panjang kalau dijabarkan satu persatu.
Bahkan adik angkat saya sendiri yang sudah hampir 7 tahun hidup bersama
saya pun mengatakan hal yang sama.
Saat itu, secara jujur
sebenarnya saya melihat ini adalah keputusan yang terburuk yang saya
ambil. Melepaskan semua yang sudah saya rintis dan usahakan selama
beberapa tahun terakhir in bukanlah hal yang mudah. Ditambah lagi
beberapa faktor ketidakpastian yang ada selama dan setelah saya di
negeri dongeng ini. Dengan sejuta rencana saya mencoba meminimalisir
efek yang mungin akan terjadi. Bahkan ketika sudah mengambil keputusan
ini pun saya masih ragu dan ada pertanyaan, apakah semuanya akan
berjalan seperti yang sudah direncanakan?
Well, manusia hanya bisa
berencana dan sampai sejauh ini pun saya masih harus tambal sulam
menyusun kembali rencana-rencana yang ada sekaligus mencari opsi
lainnya. Apa yang selama ini mungkin kita lihat adalah yang terburuk
sebenarnya bukanlah yang terburuk, bahkan mungkin itu adalah yang
terbaik menurut yang kasih kita hidup pun ini. Allah punya kacamata yang
lain dalam melihat diri kita masing-masing dan sayangnya terkadang kita
terlalu terpuruk dengan kondisi yang kita anggap terburuk ini.
Dan
atas dasar pengalaman sendiri dalam menjalani hidup inilah saya
kemudian mencoba untuk berhenti men”cap” sesuatu yang terjadi, atau
mungkin juga orang, dengan kata terbaik ataupun terburuk. Pengen tahu
mengapa?
Semuanya itu bersifat relatif… Manusia melihat diri
manusia sesuai dengan apa yang dimilikinya dan sejauh pola pikir yang
bisa dijangkaunya.
Ada komentar?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar