Selasa

Aceh

Berdirinya Kerajaan Aceh Darussalam





Berdasarkan naskah tua dan catatan-catatan sejarah, Kerajaan Aceh Darussalam dibangun diatas puing-puing kerajaan-kerajaan Hindu dan Budha seperti Kerajaan Indra Purba, Kerajaan Indra Purwa, Kerajaan Indra Patra dan Kerajaan Indra Pura Dari penemuan batu-batu nisan di Kampung Pande salah satu dari batu nisan tersebut terdapat batu nisan Sultan Firman Syah cucu dari Sultan Johan Syah, maka terungkaplah keterangan bahwa Banda Aceh adalah ibukota Kerajaan Aceh Darussalam yang dibangun pada hari Jum'at, tanggal 1 Ramadhan 601 H ( 22 April 1205 M) yang dibangun oleh Sultan Johan Syah setelah berhasil menaklukkan Kerajaan Hindu/Budha Indra Purba dengan ibukotanya Bandar Lamuri. Tentang Kota Lamuri ada yang mengatakan ia adalah Lam Urik sekarang terletak di Aceh Besar. Menurut Dr. N.A. Baloch dan Dr. Lance Castle yang dimaksud dengan Lamuri adalah Lamreh di Pelabuhan Malahayati (Krueng Raya sekarang). Sedangkan Istananya dibangun di tepi Kuala Naga (kemudian menjadi Krueng Aceh) di Kampung Pande sekarang ini dengan nama "Kandang Aceh". Dan pada masa pemerintahan cucunya Sultan Alaidin Mahmud Syah, dibangun istana baru di seberang Kuala Naga (Krueng Aceh) dengan nama Kuta Dalam Darud Dunia (dalam kawasan Meligoe Aceh atau Pendopo Gubernur sekarang) dan beliau juga mendirikan Mesjid Djami Baiturrahman pada tahun 691 H.

Banda Aceh Darussalam sebagai ibukota Kerajaan Aceh Darussalam dan sekarang ini merupakan ibukota Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam telah berusia 806 tahun (tahun 2011 M) merupakan salah satu Kota Islam Tertua di Asia Tenggara. Seiring dengan perkembangan zaman Kerajaan Aceh Darussalam dalam perjalanan sejarahnya telah mengalami zaman gemilang dan pernah pula mengalami masa-masa suram yang menggentirkan.

Adapun Masa gemilang Kerajaan Aceh Darussalam yaitu pada masa pemerintahan "Sultan Alaidin Ali Mughayat Syah, Sultan Alaidin Abdul Qahhar (Al Qahhar), Sultan Alaidin Iskandar Muda Meukuta Alam dan Sultanah Tajul Alam Safiatuddin".

Sedangkan masa percobaan berat, pada masa Pemerintahan Ratu yaitu ketika golongan oposisi "Kaum Wujudiyah" menjadi kalap karena berusaha merebut kekuasaan menjadi gagal, maka mereka bertindak liar dengan membakar Kuta Dalam Darud Dunia, Mesjid DJami Baiturrahman dan bangunan-bangunan lainnya dalam wilayah kota.

Kemudian Banda Aceh Darussalam menderita penghancuran pada waktu pecah "Perang Saudara" antara Sultan yang berkuasa dengan adik-adiknya, peristiwa ini dilukiskan oleh Teungku Dirukam dalam karya sastranya, Hikayat Pocut Muhammad.

Masa yang amat getir dalam sejarah Banda Aceh Darussalam pada saat terjadi Perang Dijalan Allah selama 70 tahun yang dilakukan oleh Sultan dan Rakyat Aceh sebagai jawaban atas "ultimatum" Kerajaan Belanda yang bertanggal 26 Maret 1837. Dan yang lebih luka lagi setelah Banda Aceh Darussalam menjadi puing dan diatas puing Kota Islam yang tertua di Nusantara ini Belanda mendirikan Kutaraja sebagai langkah awal Belanda dari usaha penghapusan dan penghancuran kegemilangan Kerajaaan Aceh Darussalam dan ibukotanya Banda Aceh Darussalam.

Sejak itu ibukota Banda Aceh Darussalam diganti namanya oleh Gubernur Van Swieten ketika penyerangan Agresi ke-2 Belanda pada Kerajaan Aceh Darussalam tanggal 24 Januari 1874 setelah berhasil menduduki Istana/Keraton yang telah menjadi puing-puing dengan sebuah proklamasinya yang berbunyi :

Bahwa Kerajaan Belanda dan Banda Aceh dinamainya dengan Kutaraja, yang kemudian disahkan oleh Gubernur Jenderal di Batavia dengan beslit yang bertanggal 16 Maret 1874, semenjak saat itu resmilah Banda Aceh Darussalam dikebumikan dan diatas pusaranya ditegaskan Kutaraja sebagai lambang dari Kolonialisme.

Pergantian nama ini banyak terjadi pertentangan di kalangan para tentara Kolonial Belanda yang pernah bertugas dan mereka beranggapan bahwa Van Swieten hanya mencari muka pada Kerajaan Belanda karena telah berhasil menaklukkan para pejuang Aceh dan mereka meragukannya.

Awal Penetapan Kota Banda Aceh 

Setelah 89 tahun nama Banda Aceh Darussalam telah dikubur dan Kutaraja dihidupkan, maka pada tahun 1963 Banda Aceh dihidupkan kembali, hal ini berdasarkan Keputusan Menteri Pemerintahan Umum dan Otonomi Daerah bertanggal 9 Mei 1963 No. Des 52/1/43-43. Dan semenjak tanggal tersebut resmilah Banda Aceh menjadi nama ibukota Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam bukan lagi Kutaraja hingga saat ini.

Sejarah duka kota Banda Aceh yang masih segar dalam ingatan adalah terjadinya bencana gempa dan tsunami pada hari Minggu tanggal 26 Desember 2004 jam 7.58.53 telah menghancurkan sepertiga wilayah Kota Banda Aceh. Ratusan ribu jiwa penduduk menjadi korban bersama dengan harta bendanya menambah kegetiran warga Kota Banda Aceh. Bencana gempa dan tsunami ini dengan kekuatan 8,9 SR tercatat sebagai peristiwa terbesar sejarah dunia dalam masa dua abad terakhir ini.

Kini Kota Banda Aceh telah mulai pulih kembali, kedamaian telah menjelma setelah perjanjian damai di Helsinki antara pemerintah RI dan GAM seiring dengan proses rehabilitasi dan rekontruksi Kota Banda Aceh yang sedang dilaksanakan. Membangun kembali Kota Banda Aceh ke depan selain dilaksanakan oleh pemerintah pusat melalui Badan Pelaksana Rehabilitasi dan Rekontruksi Aceh dan Nias (BRR) serta bantuan dari badan-badan dunia dan berbagai Negara Donor bersama NGO, Pemerintah Kota Banda Aceh telah menetapkan kebijakan-kebijakan pembangunan yang disepakati bersama DPRD Kota Banda Aceh yang dituangkan dalam Rencana Strategis Kota Banda Aceh tahun 2005-2009, selanjutnya dituangkan dalam program kegiatan tahunan melalui Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah Kota Banda Aceh .Dengan kedamaian yang telah diraih ini dan melalui proses rehabilitasi dan reknstruksi, Banda Aceh mulai bangkit kembali, cahaya terang membawa harapan untuk meraih cita-cita bagi kemajuan dan kesejahteraan masyarakat.

Provinsi Aceh atau yang pernah dikenal sebagai Nanggröe Aceh Darussalam memiliki sejarah yang panjang dan terutama dikaitkan dengan sejarah kerajaan-kerajaan Islam yang pernah ada di kawasan tersebut.


Era Malik Al Saleh

Sebelum Dinasti Usmaniyah di Turki berdiri pada tahun 699 H-1341 H atau bersamaan dengan tahun 1385 M-1923 M, ternyata nun jauh di belahan dunia sebelah timur, di dunia bagian Asia, telah muncul Kerajaan Islam Samudera-Pasai yang berada di wilayah Aceh yang didirikan oleh Meurah Silu (Meurah berarti Maharaja dalam bahasa Aceh) yang segera berganti nama setelah masuk Islam dengan nama Malik al-Saleh yang meninggal pada tahun 1297. Dimana penggantinya tidak jelas, namun pada tahun 1345 Samudera-Pasai diperintah oleh Malik Al Zahir, cucu daripada Malik al-Saleh.

Samudera Pasai

Lahirnya Kerajaan Islam Samudera Pasai

Kedaulatan kerajaan Sriwijaya (684 M- 1377 M) dibawah dinasti Syailendra dengan rajanya yang pertama Balaputera Dewa, yang berpusat di Palembang, Sumatera Selatan makin kuat dan daerahnya semakin meluas, setelah daerah kerajaan Melayu; Tulang Bawang, Pulau Bangka Jambi, Genting Kra dan daerah Jawa Barat didudukinya. Ketika Sriwijaya sedang mencapai puncak kekuatannya, ternyata mengundang raja Rajendra Chola dari Chola di India selatan tidak bisa menahan nafsu serakahnya, maka pada tahun 1023 lahirlah serangan dari raja India selatan ini kepada Sriwijaya.

Dalam pertempuran, dinasti Syailendra tidak mampu menahan serangan tentara India selatan ini, raja Sriwijaya ditawannya dan tentara Chola dari India selatan ini kembali ke negerinya. Walaupun Sriwijaya bisa dilumpuhkan, tetapi tetap kerajaan Buddha ini hidup sampai pada tahun 1377. Disaat-saat Sriwijaya ini lemah, muncullah kerajaan Islam Samudera-Pasai di Aceh dengan rajanya Malik Al Saleh dan diteruskan oleh cucunya Malik Al Zahir.

Politik Samudera Pasai bertentangan dengan Politik Gajah Mada

Gajah Mada yang diangkat sebagai patih di Kahuripan (1319-1321) oleh raja Jayanegara dari Majapahit. Dan pada tahun 1331, naik pangkat Gajah Mada menjadi mahapatih Majapahit yang diangkat oleh raja Tribuana Tunggadewi.

Ketika pelantikan Gajah Mada menjadi mahapatih Majapahit inilah keluar ucapannya yang disebut dengan sumpah palapa yang berisikan “dia tidak akan menikmati palapa sebelum seluruh Nusantara berada dibawah kekuasaan kerajaan Majapahit”. Ternyata dengan dasar sumpah palapanya inilah Gajah Mada merasa tidak senang ketika mendengar dan melihat bahwa Samudera Pasai di Aceh makin berkembang dan maju. Pada tahun 1350 Majapahit ingin menggempur Samudera Pasai, tetapi Majapahit tidak pernah mencapai kerajaan Samudra Pasai karena di hadang askar Sriwijaya. Selama 27 tahun Majapahit dendam terhadap kerajaan Sriwijaya dan kemudian pada tahun 1377 giliran Sriwijaya digempurnya, sehingga habislah riwayat Sriwijaya sebagai negara Budha yang berpusat di Palembang ini.

Era Sultan Iskandar Muda


Aceh merupakan negeri yang amat kaya dan makmur pada masa kejayaannya. Menurut seorang penjelajah asal Perancis yang tiba pada masa kejayaan Aceh di zaman Sultan Iskandar Muda Meukuta Perkasa Alam, kekuasaan Aceh mencapai pesisir barat Minangkabau, Sumatera Timur, hingga Perak di semenanjung Malaysia.

Aceh merupakan salah satu bangsa di pulau Sumatra yang memiliki tradisi militer, dan pernah menjadi bangsa terkuat di Selat Malaka, yang meliputi wilayah Sumatra dan Semenanjung Melayu, ketika dibawah kekuasaan Iskandar Muda.

Sultan Iskandar Muda kemudian menikah dengan seorang putri dari Kesultanan Pahang. Putri ini dikenal dengan nama Putroe Phang. Konon, karena terlalu cintanya sang Sultan dengan istrinya, Sultan memerintahkan pembangunan Gunongan di tengah Medan Khayali (Taman Istana) sebagai tanda cintanya. Kabarnya, sang puteri selalu sedih karena memendam rindu yang amat sangat terhadap kampung halamannya yang berbukit-bukit. Oleh karena itu Sultan membangun Gunongan untuk mengubati rindu sang puteri. Hingga saat ini Gunongan masih dapat disaksikan dan dikunjungi.

Aceh melawan Portugis

Ketika kerajaan Islam Samudera Pasai dalam krisis, maka kerajaan Islam Malaka yang muncul dibawah Parameswara (Paramisora) yang berganti nama setelah masuk Islam dengan panggilan Iskandar Syah. Kerajaan Islam Malaka ini maju pesat sampai pada tahun 1511 ketika Portugis dibawah pimpinan Albuquerque dengan armadanya menaklukan Malaka.

Ketika Malaka jatuh ke tangan Portugis, kembali Aceh bangkit dibawah pimpinan Sultan Ali Mughayat Syah (1514-1528). Yang diteruskan oleh Sultan Salahuddin (1528-1537). Sultan Alauddin Riayat Syahal Kahar (1537-1568). Sultan Ali Riyat Syah (1568-1573). Sultan Seri Alam (1576. Sultan Muda (1604-1607). Sultan Iskandar Muda, gelar marhum mahkota alam (1607-1636). Semua serangan yang dilancarkan pihak Portugis dapat ditangkisnya.

Pada abad ke-16, Ratu Inggris yang paling berjaya Elizabeth I sang Perawan, mengirim utusannya bernama Sir James Lancester kepada Kerajaan Aceh dan pula mengirim surat bertujuan “Kepada Saudara Hamba, Raja Aceh Darussalam”, serta seperangkat perhiasan yang tinggi nilainya. Sultan Aceh kala itu menerima maksud baik “saudarinya” di Inggeris dan mengizinkan Inggris untuk berlabuh dan berdagang di wilayah kekuasaan Aceh. Bahkan Sultan juga mengirim hadiah-hadiah yang amat berharga termasuk sepasang gelang dari batu rubi dan surat yang ditulis di atas kertas yang halus dengan tinta emas. Sir James pun dianugerahi gelar “Orang Kaya Putih”. Hubungan yang misra antara Aceh dan Inggris dilanjutkan pada masa Raja James I dari Inggris dan Skotlandia. Raja James mengirim sebuah meriam sebagai hadiah untuk Sultan Aceh. Meriam tersebut hingga kini masih terawat dan dikenal dengan nama Meriam Raja James.

Selain Kerajaan Inggris, Pangeran Maurits -pendiri dinasti Oranje- juga pernah mengirim surat dengan maksud meminta bantuan Kesultanan Aceh Darussalam. Sultan menyambut maksud baik mereka dengan mengirimkan rombongan utusannya ke Belanda. Rombongan tersebut dipimpin oleh Tuanku Abdul Hamid. Rombongan inilah yang dikenal sebagai orang Indonesia pertama yang singgah di Belanda. Dalam kunjungannya Tuanku Abdul Hamid sakit dan akhirnya meninggal dunia. Ia dimakamkan secara besar-besaran di Belanda dengan dihadiri ileh para pembesar-pembesar Belanda. Namun karena orang Belanda belum pernah memakamkan orang Islam, maka beliau dimakamkan dengan cara agama nasrani di pekarangan sebuah Gereja. Kini di makam beliau terdapat sebuah prasasti yang dirasmikan oleh Mendinag Yang Mulia Pangeran Bernard suami menidiang Ratu Juliana dan Ayahanda Yang Maha Mulia Ratu Beatrix.

Pada masa Iskandar Muda, Kerajaan Aceh mengirim utusannya untuk menghadap sultan Empayar Turki Uthmaniyyah yang berkedudukan di Konstantinompel. Kerana saat itu, sultan Turki Uthmaniyyah sedang gering maka utusan kerajaan Aceh terluntang-lantung demikian lamanya sehingga mereka harus menjual sedikit demi sedikit hadiah persembahan untuk kelangsungan hidup mereka. Lalu pada akhirnya ketika mereka diterima oleh sang Sultan, persembahan mereka hanya tinggal Lada Sicupak atau Lada sekarung. Namun sang Sultan menyambut baik hadiah itu dan mengirimkan sebuah meriam dan beberapa orang yang cakap dalam ilmu perang untuk membantu kerajaan Aceh. Meriam tersbut pula masih ada hingga kini dikenal dengan nama Meriam Lada Sicupak. Pada masa selanjutnya sultan Turki Uthmaniyyah mengirimkan sebuha bintang jasa kepada Sultan Aceh.

Kerajaan Aceh pula menerima kunjungan utusan Diraja Perancis. Utusan Raja Perancis tersebut semula bermaksud menghadiahkan sebuah cermin yang amat berharga bagi Sultan Aceh. Namun dalam perjalanan cermin tersebut pecah. Akhirnya mereka mempersembahkan seripah cermin tersbut sebagai hadiah bagi sang Sultan. Dalam bukunya Danis Lombard mengatakan bahwa Sultan Iskanda Muda amat menggemari benda-benda berharga. Pada masa itu, Kerajaan Aceh merupakan satu-satunya kerajaan melayu yang memiliki Bale Ceureumin atau Hall of Mirror di dalam Istananya. Menurut Utusan Perancis tersebut, Istana Kesultanan Aceh luasnya tak kurang dari 2 kilometer. Istana tersbut bernama Istana Dalam Darud Dunya. Didalamnya meliputi Medan Khayali dan medan Khaerani yang mampu menampung 300 ekor pasukan gajah. Sultan Iskandar muda juga memerintahkan untuk memindahkan aliran sungai Krueng Aceh hingga mengaliri istananya. Disanalah sultan acap kali berenang sambil menjamu tetamu-tetamunya.

Kerajaan Aceh sepeninggal Sultan Iskandar Thani mengalami kemunduran yang terus menerus. Hal ini disebabkan kerana naiknya 4 Sultanah berturut-turut sehingga membangkitkan amarah kaum Ulama Wujudiyah. Padahal, Seri Ratu Safiatudin Seri Ta’jul Alam Syah Berdaulat Zilullahil Filalam yang merupakan Sultanah yang pertama adalah seorang wanita yang amat cakap. Ia merupakan puteri Sultan Iskandar Muda dan Isteri Sultan Iskandar Thani. Ia pula menguasai 6 bahasa, Spanyol, Belanda, Aceh, Melayu, Arab, dan Parsi. Saat itu di dalam Parlemen Aceh yang beranggotakan 96an orang, 1/4 diantaranya adalah wanita. Perlawanan kaum ulama Wujudiyah berlanjut hingga datang fatwa dari Mufti Besar Mekkah yang menyatakan keberatannya akan seorang Wanita yang menjadi Sultanah. Akhirnya berakhirlah masa kejayaan wanita di Aceh.

Pada masa perang dengan Belanda, Kesultanan aceh sempat meminta bantuan kepada perwakilan Amerika Serikta di Singapura yang disinggahi Panglima Tibang Muhammad dalam perjalanannya menuju Pelantikan Kaisar Napoleon III di Perancis. Aceh juga mengirim Habib Abdurrahman untuk meminta bantuan kepada Empayar Turki Uthmaniyyah. Namun Empayar Turki Uthmaniyyah kala itu sudah mengalami masa kemunduran. Sedangkan Amerika menolak campur tangan dalam urusan Aceh dan Belanda.

Hubungan dengan Barat Inggris




 














Pada abad ke-16, Ratu Inggris, Elizabeth I, mengirimkan utusannya bernama Sir James Lancester kepada Kerajaan Aceh dan mengirim surat yang ditujukan: “Kepada Saudara Hamba, Raja Aceh Darussalam.” serta seperangkat perhiasan yang tinggi nilainya. Sultan Aceh kala itu menerima maksud baik “saudarinya” di Inggris dan mengizinkan Inggris untuk berlabuh dan berdagang di wilayah kekuasaan Aceh. Bahkan Sultan juga mengirim hadiah-hadiah yang berharga termasuk sepasang gelang dari batu rubi dan surat yang ditulis di atas kertas yang halus dengan tinta emas. Sir James pun dianugerahi gelar “Orang Kaya Putih”.

Sultan Aceh pun membalas surat dari Ratu Elizabeth I. Berikut cuplikan isi surat Sultan Aceh, yang masih disimpan oleh pemerintah kerajaan Inggris, tertanggal tahun 1585:

I am the mighty ruler of the Regions below the wind, who holds sway over the land of Aceh and over the land of Sumatra and over all the lands tributary to Aceh, which stretch from the sunrise to the sunset.

(Hambalah sang penguasa perkasa Negeri-negeri di bawah angin, yang terhimpun di atas tanah Aceh dan atas tanah Sumatra dan atas seluruh wilayah wilayah yang tunduk kepada Aceh, yang terbentang dari ufuk matahari terbit hingga matahari terbenam).

Hubungan yang mesra antara Aceh dan Inggris dilanjutkan pada masa Raja James I dari Inggris dan Skotlandia. Raja James mengirim sebuah meriam sebagai hadiah untuk Sultan Aceh. Meriam tersebut hingga kini masih terawat dan dikenal dengan nama Meriam Raja James.

Belanda

Selain Kerajaan Inggris, Pangeran Maurits – pendiri dinasti Oranje– juga pernah mengirim surat dengan maksud meminta bantuan Kesultanan Aceh Darussalam. Sultan menyambut maksud baik mereka dengan mengirimkan rombongan utusannya ke Belanda. Rombongan tersebut dipimpin oleh Tuanku Abdul Hamid. Rombongan inilah yang dikenal sebagai orang Indonesia pertama yang singgah di Belanda. Dalam kunjungannya Tuanku Abdul Hamid sakit dan akhirnya meninggal dunia. Ia dimakamkan secara besar-besaran di Belanda dengan dihadiri oleh para pembesar-pembesar Belanda. Namun karena orang Belanda belum pernah memakamkan orang Islam, maka beliau dimakamkan dengan cara agama Nasrani di pekarangan sebuah gereja. Kini di makam beliau terdapat sebuah prasasti yang diresmikan oleh Mendiang Yang Mulia Pangeran Bernhard suami mendiang Ratu Juliana dan Ayahanda Yang Mulia Ratu Beatrix.

Ottoman

Pada masa Iskandar Muda, Kerajaan Aceh mengirim utusannya untuk menghadap Sultan Kekaisaran Ottoman yang berkedudukan di Konstantinopel. Karena saat itu Sultan Ottoman sedang gering maka utusan Kerajaan Aceh terluntang-lantung demikian lamanya sehingga mereka harus menjual sedikit demi sedikit hadiah persembahan untuk kelangsungan hidup mereka. Lalu pada akhirnya ketika mereka diterima oleh sang Sultan, persembahan mereka hanya tinggal Lada Sicupak atau Lada sekarung. Namun sang Sultan menyambut baik hadiah itu dan mengirimkan sebuah meriam dan beberapa orang yang cakap dalam ilmu perang untuk membantu kerajaan Aceh. Meriam tersebut pula masih ada hingga kini dikenal dengan nama Meriam Lada Sicupak. Pada masa selanjutnya Sultan Ottoman mengirimkan sebuah bintang jasa kepada Sultan Aceh.

Perancis

Kerajaan Aceh juga menerima kunjungan utusan Kerajaan Perancis. Utusan Raja Perancis tersebut semula bermaksud menghadiahkan sebuah cermin yang sangat berharga bagi Sultan Aceh. Namun dalam perjalanan cermin tersebut pecah. Akhirnya mereka mempersembahkan serpihan cermin tersebut sebagai hadiah bagi sang Sultan. Dalam bukunya, Danis Lombard mengatakan bahwa Sultan Iskandar Muda amat menggemari benda-benda berharga. Pada masa itu, Kerajaan Aceh merupakan satu-satunya kerajaan Melayu yang memiliki Balee Ceureumeen atau Aula Kaca di dalam Istananya. Menurut Utusan Perancis tersebut, Istana Kesultanan Aceh luasnya tak kurang dari dua kilometer. Istana tersebut bernama Istana Dalam Darud Donya (kini Meuligo Aceh, kediaman Gubernur). Di dalamnya meliputi Medan Khayali dan Medan Khaerani yang mampu menampung 300 ekor pasukan gajah. Sultan Iskandar Muda juga memerintahkan untuk memindahkan aliran Sungai Krueng Aceh hingga mengaliri istananya (sungai ini hingga sekarang masih dapat dilihat, mengalir tenang di sekitar Meuligoe). Di sanalah sultan acap kali berenang sambil menjamu tetamu-tetamunya.

Pasca-Sultan Iskandar Thani





Kerajaan Aceh sepeninggal Sultan Iskandar Thani mengalami kemunduran yang terus menerus. Hal ini disebabkan kerana naiknya empat Sultanah berturut-turut sehingga membangkitkan amarah kaum Ulama Wujudiyah. Padahal, Seri Ratu Safiatudin Seri Ta’jul Alam Syah Berdaulat Zilullahil Filalam yang merupakan Sultanah yang pertama adalah seorang wanita yang amat cakap. Ia merupakan puteri Sultan Iskandar Muda dan Isteri Sultan Iskandar Thani. Ia pula menguasai 6 bahasa, Spanyol, Belanda, Aceh, Melayu, Arab, dan Parsi. Saat itu di dalam Parlemen Aceh yang beranggotakan 96 orang, 1/4 di antaranya adalah wanita. Perlawanan kaum ulama Wujudiyah berlanjut hingga datang fatwa dari Mufti Besar Mekkah yang menyatakan keberatannya akan seorang wanita yang menjadi Sultanah. Akhirnya berakhirlah masa kejayaan wanita di Aceh.

Datangnya pihak kolonial

Kesultanan Aceh terlibat perebutan kekuasaan yang berkepanjangan sejak awal abad ke-16, pertama dengan Portugal, lalu sejak abad ke-18 dengan Britania Raya (Inggris) dan Belanda. Pada akhir abad ke-18, Aceh terpaksa menyerahkan wilayahnya di Kedah dan Pulau Pinang di Semenanjung Melayu kepada Britania Raya.

Pada tahun 1824, Perjanjian Britania-Belanda ditandatangani, di mana Britania menyerahkan wilayahnya di Sumatra kepada Belanda. Pihak Britania mengklaim bahwa Aceh adalah koloni mereka, meskipun hal ini tidak benar. Pada tahun 1871, Britania membiarkan Belanda untuk menjajah Aceh, kemungkinan untuk mencegah Perancis dari mendapatkan kekuasaan di kawasan tersebut.

Perang Aceh

Artikel utama untuk bagian ini adalah: Perang Aceh

Tahun 1873 pecah perang Aceh melawan Belanda. Perang Aceh disebabkan karena:

  1. Belanda menduduki daerah Siak. Akibat dari perjanjian Siak 1858. Dimana Sultan Ismail menyerahkan daerah Deli, Langkat, Asahan dan Serdang kepada Belanda, padahal daerah-daerah itu sejak Sultan Iskandar Muda ada dibawah kekuasaan Aceh.

  2. Belanda melanggar Siak, maka berakhirlah perjanjian London (1824). Dimana isi perjanjian London adalah Belanda dan Inggris membuat ketentuan tentang batas-batas kekuasaan kedua daerah di Asia Tenggara yaitu dengan garis lintang Sinagpura. Keduanya mengakui kedaulatan Aceh.

  3. Aceh menuduh Belanda tidak menepati janjinya, sehingga kapal-kapal Belanda yang lewat perairan Aceh ditenggelamkan Aceh. Perbuatan Aceh ini disetujui Inggris, karena memang Belanda bersalah.

  4. Di bukanya terusan Suez oleh Ferdinand de Lessep. Menyebabkan perairan Aceh menjadi sangat penting untuk lalulintas perdagangan.

  5. Dibuatnya Perjanjian Sumatera 1871 antara Inggris dan Belanda, yang isinya, Inggris memberika keleluasaan kepada Belanda untuk mengambil tindakan di Aceh. Belanda harus menjaga keamanan lalulintas di Selat Sumatera. Belanda mengizinkan Inggris bebas berdagang di Siak dan menyerahkan daerahnya di Guinea Barat kepada Inggris.

  6. Akibat perjanjian Sumatera 1871, Aceh mengadakan hubungan diplomatik dengan Konsul Amerika, Italia, Turki di Singapura. Dan mengirimkan utusan ke Turki 1871.

  7. Akibat hubungan diplomatik Aceh dengan Konsul Amerika, Italia dan Turki di Singapura, Belanda menjadikan itu sebagai alasan untuk menyerang Aceh. Wakil Presiden Dewan Hindia Nieuwenhuyzen dengan 2 kapal perangnya datang ke Aceh dan meminta keterangan dari Sultan Machmud Syah tengtang apa yang sudah dibicarakan di Singapura itu, tetapi Sultan Machmud menolak untuk memberikan keterangan.

Belanda menyatakan perang terhadap Aceh pada 26 Maret 1873 setelah melakukan beberapa ancaman diplomatik. Sebuah ekspedisi dengan 3.000 serdadu yang dipimpin Mayor Jenderal Köhler dikirimkan pada tahun 1874, namun dikalahkan tentara Aceh, di bawah pimpinan Panglima Polem dan Sultan Machmud Syah, yang telah memodernisasikan senjatanya. Köhler sendiri berhasil dibunuh pada tanggal 10 April 1873.

Ekspedisi kedua di bawah pimpinan Jenderal van Swieten berhasil merebut istana sultan. Ketika Sultan Machmud Syah wafat 26 Januari 1874, digantikan oleh Tuanku Muhammad Dawot yang dinobatkan sebagai Sultan di masjid Indragiri. Pada 13 Oktober 1880, pemerintah kolonial menyatakan bahwa perang telah berakhir. Bagaimanapun, perang dilanjutkan secara gerilya dan perang fi’sabilillah dikobarkan, di mana sistem perang gerilya ini dilangsungkan sampai tahun 1904.

Pada masa perang dengan Belanda, Kesultanan Aceh sempat meminta bantuan kepada perwakilan Amerika Serikat di Singapura yang disinggahi Panglima Tibang Muhammad dalam perjalanannya menuju Pelantikan Kaisar Napoleon III di Perancis. Aceh juga mengirim Habib Abdurrahman untuk meminta bantuan kepada Kekaisaran Ottoman. Namun Kekaisaran Ottoman kala itu sudah mengalami masa kemunduran. Sedangkan Amerika menolak campur tangan dalam urusan Aceh dan Belanda.

Perang kembali berkobar pada tahun 1883. Pasukan Belanda berusaha membebaskan para pelaut Britania yang sedang ditawan di salah satu wilayah kekuasaan Kesultanan Aceh, dan menyerang kawasan tersebut. Sultan Aceh menyerahkan para tawanan dan menerima bayaran yang cukup besar sebagai gantinya. Sementara itu, Menteri Perang Belanda, Weitzel, kembali menyatakan perang terbuka melawan Aceh. Belanda kali ini meminta bantuan para pemimpin setempat, di antaranya Teuku Umar. Teuku Umar diberikan gelar panglima perang besar dan pada 1 Januari 1894 bahkan menerima dana bantuan Belanda untuk membangun pasukannya. Ternyata dua tahun kemudian Teuku Umar malah menyerang Belanda dengan pasukan baru tersebut. Dalam perang gerilya ini Teuku Umar bersama Panglima Polem dan Sultan terus tanpa pantang mundur. Tetapi pada tahun 1899 ketika terjadi serangan mendadak dari pihak Van Der Dussen di Meulaboh Teuku Umar gugur. Tetapi Cut Nya’ Dien istri Teuku Ummar siap tampil menjadi komandan perang gerilya.

Pada 1892 dan 1893, pihak Belanda menganggap bahwa mereka telah gagal merebut Aceh. Dr. Snoeck Hurgronje, seorang ahli Islam dari Universitas Leiden yang telah berhasil mendapatkan kepercayaan dari banyak pemimpin Aceh, kemudian memberikan saran kepada Belanda agar serangan mereka diarahkan kepada para ulama, bukan kepada sultan. Saran ini ternyata berhasil. Dr Snouck Hurgronye yang menyamar selama 2 tahun di pedalaman Aceh untuk meneliti kemasyarakatan dan ketatanegaraan Aceh. Hasil kerjanya itu dibukukan dengan judul Rakyat Aceh ( De Acehers). Dalam buku itu disebutkan rahasia bagaimana untuk menaklukkan Aceh.

Isi nasehat Snouck Hurgronye kepada Gubernur Militer Belanda yang bertugas di Aceh adalah:

  1. Mengesampingkan golongan Keumala (yaitu Sultan yang berkedudukan di Keumala) beserta pengikutnya.

  2. Senantiasa menyerang dan menghantam kaum ulama.

  3. Jangan mau berunding dengan para pimpinan gerilya.

  4. Mendirikan pangkalan tetap di Aceh Raya.

  5. Menunjukkan niat baik Belanda kepada rakyat Aceh, dengan cara mendirikan langgar, masjid, memperbaiki jalan-jalan irigasi dan membantu pekerjaan sosial rakyat Aceh.

Pada tahun 1898, J.B. van Heutsz dinyatakan sebagai gubernur Aceh pada 1898-1904, kemudian Dr Snouck Hurgronye diangkat sebagai penasehatnya, dan bersama letnannya, Hendrikus Colijn (kelak menjadi Perdana Menteri Belanda), merebut sebagian besar Aceh.

Sultan M. Daud akhirnya meyerahkan diri kepada Belanda pada tahun 1903 setelah dua istrinya, anak serta ibundanya terlebih dahulu ditangkap oleh Belanda. Kesultanan Aceh akhirnya jatuh seluruhnya pada tahun 1904. Istana Kesultanan Aceh kemudian di luluhlantakkan dan diganti dengan bangunan baru yang sekarang dikenal dengan nama Pendopo Gubernur. Pada tahun tersebut, hampir seluruh Aceh telah direbut Belanda.

Taktik perang gerilya Aceh ditiru oleh Van Heutz, dimana dibentuk pasukan marsuse yang dipimpin oleh Christoffel dengan pasukan Colone Macannya yang telah mampu dan menguasai pegunungan-pegunungan, hutan-hutan rimba raya Aceh untuk mencari dan mengejar gerilyawan-gerilyawan Aceh.

Taktik berikutnya yang dilakukan Belanda adalah dengan cara penculikan anggota keluarga Gerilyawan Aceh. Misalnya Christoffel menculik permaisuri Sultan dan Tengku Putroe (1902). Van Der Maaten menawan putera Sultan Tuanku Ibrahim. Akibatnya, Sultan menyerah pada tanggal 5 Januari 1902 ke Sigli dan berdamai. Van Der Maaten dengan diam-diam menyergap Tangse kembali, Panglima Polem dapat meloloskan diri, tetapi sebagai gantinya ditangkap putera Panglima Polem, Cut Po Radeu saudara perempuannya dan beberapa keluarga terdekatnya. Akibatnya Panglima Polem meletakkan senjata dan menyerah ke Lo’ Seumawe (1903). Akibat Panglima Polem menyerah, banyak penghulu-penghulu rakyat yang menyerah mengikuti jejak Panglima Polem.

Taktik selanjutnya, pembersihan dengan cara membunuh rakyat Aceh yang dilakukan dibawah pimpinan Van Daalen yang menggantikan Van Heutz. Seperti pembunuhan di Kuta Reh (14 Juni 1904) dimana 2922 orang dibunuhnya, yang terdiri dari 1773 laki-laki dan 1149 perempuan.

Taktik terakhir menangkap Cut Nya’ Dien istri Teuku Umar yang masih melakukan perlawanan secara gerilya, dimana akhirnya Cut Nya’ Dien dapat ditangkap dan diasingkan ke Sumedang, Jawa Barat.

Surat Perjanjian Pendek Tanda Menyerah Ciptaan Van Heutz


Van Heutz telah menciptakan surat pendek penyerahan yang harus ditandatangani oleh para pemimpin Aceh yang telah tertangkap dan menyerah. Dimana isi dari surat pendek penyerahan diri itu berisikan, Raja (Sultan) mengakui daerahnya sebagai bagian dari daerah Hindia Belanda. Raja berjanji tidak akan mengadakan hubungan dengan kekuasaan di luar negeri. Berjanji akan mematuhi seluruh perintah-perintah yang ditetapkan Belanda. (RH Saragih, J Sirait, M Simamora, Sejarah Nasional, 1987)

Bangkitnya Nasionalisme



 




Sementara pada masa kekuasaan 

Belanda, bangsa Aceh mulai mengadakan kerjasama dengan wilayah-wilayah lain di Indonesia dan terlibat dalam berbagai gerakan nasionalis dan politik. Sarekat Islam, sebuah organisasi dagang Islam yang didirikan di Surakarta pada tahun 1912, tiba di Aceh pada sekitar tahun 1917. Ini kemudian diikuti organisasi sosial Muhammadiyah pada tahun 1923. Muhammadiyah membangun sebuah sekolah Islam di Kutaraja (kini bernama Banda Aceh) pada tahun 1929. Kemudian pada tahun 1939, Partai Indonesia Raya (Parindra) membukan cabangnya di Aceh, menjadi partai politik pertama di sana. Pada tahun yang sama, para ulama mendirikan PUSA(Persatuan Ulama Seluruh Aceh), sebuah organisasi anti-Belanda.



Perang Dunia II

Aceh kian hari kian terlibat dalam gerakan nasionalis Indonesia. Saat Volksraad (parlemen) dibentuk, Teuku Nyak Arif terpilih sebagai wakil pertama dari Aceh. (Nyak Arif lalu dilantik sebagai gubernur Aceh oleh gubernur Sumatra pertama, Moehammad Hasan).

Seperti banyak penduduk Indonesia dan Asia Tenggara lainnya, rakyat Aceh menyambut kedatangan tentara Jepang saat mereka mendarat di Aceh pada 12 Maret 1942, karena Jepang berjanji membebaskan mereka dari penjajahan. Namun ternyata pemerintahan Jepang tidak banyak berbeda dari Belanda. Jepang kembali merekrut para uleebalang untuk mengisi jabatan Gunco dan Sunco (kepala adistrik dan subdistrik). Hal ini menyebabkan kemarahan para ulama, dan memperdalam perpecahan antara para ulama dan uleebalang. Pemberontakan terhadap Jepang pecah di beberapa daerah, termasuk di Bayu, dekat Lhokseumawe, pada tahun 1942, yang dipimpin Teungku Abdul Jalil, dan di Pandrah, Jeunieb, pada tahun 1944.

Masa Republik Indonesia

Aceh Tidak Termasuk Anggota Negara-negara Bagian RIS

41 tahun kemudian semenjak selesainya perang Aceh, Indonesia diproklamasikan oleh Soekarno pada tanggal 17 Agustus 1945. Ternyata perjuangan untuk bebas dari cengkraman Belanda belum selesai, sebelum Van Mook menciptakan negara-negara bonekanya yang tergabung dalam RIS (Republik Indonesia Serikat).

Dimana ternyata Aceh tidak termasuk negara bagian dari federal hasil ciptaan Van Mook yang meliputi seluruh Indonesia yaitu yang terdiri dari: ~ Negara RI, yang meliputi daerah status quo berdasarkan perjanjian Renville. ~ Negara Indonesia Timur. ~ Negara Pasundan, termasuk Distrik Federal Jakarta ~ Negara Jawa Timur ~ Negara Madura ~ Negara Sumatra Timur, termasuk daerah status quo Asahan Selatan dan Labuhan Batu ~ Negara Sumatra Selatan ~ Satuan-satuan kenegaraan yang tegak sendiri, seperti Jawa Tengah, Bangka-Belitung, Riau, Daerah Istimewa Kalimantan Barat, Dayak Besar, Daerah Banjar, Kalimantan Tenggara dan Kalimantan Timur. ~ Daerah.daerah Indonesia selebihnya yang bukan daerah-daerah bagian.

Yg terpilih menjadi Presiden RIS adalah Soekarno dalam sidang Dewan Pemilihan Presiden RIS pada tanggal 15-16 Desember 1949. Pada tanggal 17 Desember 1949 Presiden Soekarno dilantik menjadi Presiden RIS. Sedang untuk jabatan Perdana Menteri diangkat Mohammad Hatta. Kabinet dan Perdana Menteri RIS dilantik pada tanggal 20 Desember 1949.

Pengakuan Belanda Kepada Kedaulatan RIS Tanpa Aceh

Belanda dibawah Ratu Juliana, Perdana Menteri Dr. Willem Drees, Menteri Seberang Lautnan Mr AMJA Sassen dan ketua Delegasi RIS Moh Hatta membubuhkan tandatangannya pada naskah pengakuan kedaulatan RIS oleh Belanda dalam upacara pengakuan kedaulatan RIS pada tanggal 27 Desember 1949. Pada tanggal yang sama, di Yogyakarta dilakukan penyerahan kedaulatan RI kepada RIS. Sedangkan di Jakarta pada hari yang sama, Sri Sultan Hamengkubuwono IX dan Wakil Tinggi Mahkota AHJ Lovink dalam suatu upacara bersama-sama membubuhkan tandangannya pada naskah penyerahan kedaulatan. (30 Tahun Indonesia Merdeka, 1945-1949, Sekretariat Negara RI, 1986)

Kembali Ke Negara Kesatuan Republik Indonesia

Tanggal 8 Maret 1950 Pemerintah RIS dengan persetujuan Parlemen (DPR) dan Senat RIS mengeluarkan Undang-Undang Darurat No 11 tahun 1950 tentang Tata Cara Perubahan Susunan Kenegaraan RIS. Berdasarkan Undang-Undang Darurat itu, beberapa negara bagian menggabungkan ke RI, sehingga pada tanggal 5 April 1950 yang tinggal hanya tiga negara bagian yaitu, RI, NST (Negara Sumatera Timur), dan NIT (Negara Indonesia Timur).

Pada tanggal 14 Agustus 1950 Parlemen dan Senat RIS mengesahkan Rancangan Undang-Undang Dasar Sementara Negara Kesatuan Republik Indonesia hasil panitia bersama.

Pada rapat gabungan Parlemen dan Senat RIS pada tanggal 15 Agustus 1950, Presiden RIS Soekarno membacakan piagam terbentuknya Negara Kesatuan Republik Indonesia. Pada hari itu juga Presiden Soekarno kembali ke Yogya untuk menerima kembali jabatan Presiden RI dari Pemangku Sementara Jabatan Presiden RI Mr. Asaat. (30 Tahun Indonesia Merdeka, 1950-1964, Sekretariat Negara RI, 1986)

Maklumat Negara Islam Indonesia Aceh oleh Daud Beureueh

3 tahun setelah RIS bubar dan kembali menjadi RI, Daud Beureueh di Aceh memaklumatkan Negara Islam Indonesia di bawah Imam SM Kartosoewirjo pada tanggal 20 September 1953.

Isi Maklumat NII di Aceh adalah: Dengan Lahirnja Peroklamasi Negara Islam Indonesia di Atjeh dan daerah sekitarnja, maka lenjaplah kekuasaan Pantja Sila di Atjeh dan daerah sekitarnja, digantikan oleh pemerintah dari Negara Islam.

Dari itu dipermaklumkan kepada seluruh Rakjat, bangsa asing, pemeluk bermatjam2 Agama, pegawai negeri, saudagar dan sebagainja:

  1. Djangan menghalang2i gerakan Tentara Islam Indonesia, tetapi hendaklah memberi bantuan dan bekerdja sama untuk menegakkan keamanan dan kesedjahteraan Negara.

  2. Pegawai2 Negeri hendaklah bekerdja terus seperti biasa, bekerdjalah dengan sungguh2 supaja roda pemerintahan terus berdjalan lantjar.

  3. Para saudagar haruslah membuka toko, laksanakanlah pekerdjaan itu seperti biasa, Pemerintah Islam mendjamin keamanan tuan2.

  4. Rakjat seluruhnja djangan mengadakan Sabotage, merusakkan harta vitaal, mentjulik, merampok, menjiarkan kabar bohong, inviltratie propakasi dan sebagainja jang dapat mengganggu keselamatan Negara. Siapa sadja jang melakukan kedjahatan2 tsb akan dihukum dengan hukuman Militer.

  5. Kepada tuan2 bangsa Asing hendaklah tenang dan tentram, laksanakanlah kewadjiban tuan2 seperti biasa keamanan dan keselamatan tuan2 didjamin.

  6. Kepada tuan2 yang beragama selain Islam djangan ragu2 dan sjak wasangka, jakinlah bahwa Pemerintah N.I.I. mendjamin keselamatan tuan2 dan agama jang tuan peluk, karena Islam memerintahkan untuk melindungi tiap2 Umat dan agamanja seperti melindungi Umat dan Islam sendiri. Achirnja kami serukan kepada seluruh lapisan masjarakat agar tenteram dan tenang serta laksanakanlah kewadjiban masing2 seperti biasa.

Negara Islam Indonesia Gubernur Sipil/Militer Atjeh dan Daerah sekitarnja. MUHARRAM 1373 Atjeh Darussalam September 1953

Daud Beureueh Menyerah kepada Penguasa Daulah Pancasila

Bulan Desember 1962, 7 bulan setelah Sekarmadji Maridjan Kartosuwirjo Imam NII tertangkap (4 Juni 1962) di atas Gunung Geber di daerah Majalaya oleh kesatuan-kesatuan Siliwangi dalam rangka Operasi Bratayudha, Daud Beureueh di Aceh menyerah kepada Penguasa Daulah Pancasila setelah dilakukan “Musyawarah Kerukunan Rakyat Aceh” atas prakarsa Panglima Kodam I/Iskandar Muda, Kolonel M.Jasin. (30 Tahun Indonesia Merdeka, 1950-1964, Sekretariat Negara RI, 1986)

Hasan Di Tiro Mendeklarasi Negara Aceh Sumatera

14 tahun kemudian setelah Daud Beureueh menyerah kepada Penguasa Daulah Pancasila, Hasan Muhammad di Tiro pada tanggal 4 Desember 1976 mendeklarasikan kemerdekaan Aceh Sumatra. Bunyi deklarasi kemerdekaan Negara Aceh Sumatra itu adalah:”.[1]

“Kepada rakyat di seluruh dunia:Kami, rakyat Aceh, Sumatra melaksanakan hak menentukan nasib sendiri, dan melindungi hak sejarah istimewa nenek moyang negara kami, dengan ini mendeklarasikan bebas dan berdiri sendiri dari semua kontrol politik pemerintah asing Jakarta dan dari orang asing Jawa.Atas nama rakyat Aceh, Sumatra yang berdaulat.Tengku Hasan Muhammad di Tiro. Ketua National Liberation Front of Acheh Sumatra dan Presiden Aceh Sumatra,

4 Desember 1976″

“To the people of the world:We, the people of Acheh, Sumatra, exercising our right of self-determination, and protecting our historic right of eminent domain to our fatherland, do hereby declare ourselves free and independent from all political control of the foreign regime of Jakarta and the alien people of the island of Java.In the name of sovereign people of Acheh, Sumatra. Tengku Hasan Muhammad di Tiro. Chairman, National Liberation Front of Acheh Sumatra and Head of State Acheh, Sumatra, December 4, 1976

Akhir Konflik

Lihat pula: Operasi militer Indonesia di Aceh (2003-2004)

Pada 15 Agustus 2005, GAM dan pemerintah Indonesia akhirnya berhasil mencapai kesepakatan damai untuk mengakhiri konflik berkepanjangan tersebut.

Pada 26 Desember 2004, sebuah gempa bumi besar menyebabkan tsunami yang melanda sebagian besar pesisir barat Aceh, termasuk Banda Aceh, dan menyebabkan kematian ratusan ribu jiwa.

Di samping itu telah muncul aspirasi dari beberapa wilayah NAD, khususnya di bagian barat, selatan dan pedalaman untuk memisahkan diri dari NAD dan membentuk 2 provinsi baru yang disebut Aceh Leuser Antara yang terdiri dari Aceh Tengah, Bener Meriah, Gayo Lues, Aceh Tenggara dan Aceh Singkil, serta Aceh Barat Selatan atau ABAS yang terdiri dari Nagan Raya, Aceh Barat Daya, Aceh Selatan, Simeulue, Aceh Barat dan Aceh Jaya. 4 Desember 2005 diadakan Deklarasi bersama di Gelora Bung Karno, Jakarta yang dihadiri ratusan orang dan 11 bupati yang ingin dimekarkan wilayahnya, dan dilanjutkan dengan unjukrasa yang menuntut lepasnya 11 kabupaten tadi dari Aceh.

Pada 15 Agustus 2005, GAM dan pemerintah Indonesia akhirnya menandatangani persetujuan damai sehingga mengakhiri konflik antara kedua pihak yang telah berlangsung selama hampir 30 tahun.

Legenda Asal Usul Nama Aceh

Aceh merupakan sebuah nama dengan berbagai legenda. Berikut beberapa mitos tentang nama Aceh yang dirangkum dari berbagai catatan lama.

Menurut H. Muhammad Said (1972), sejak abad pertama Masehi, Aceh sudah menjadi jalur perdagangan internasional. Pelabuhan Aceh menjadi salah satu tempat singgah para pelintas. Malah ada di antara mereka yang kemudian menetap. Interaksi berbagai suku bangsa kemudian membuat wajah Aceh semakin majemuk.

Muhammad Said mengutip keterangan dari catatan Thomas Braddel yang menyebutkan, di zaman Yunani, orang-orang Eropa mendapat rempah-rempah Timur dari saudagar Iskandariah, Bandar Mesir terbesar di pantai Laut Tengah kala itu. Tetapi, rempah-rempah tersebut bukanlah asli Iskandariah, melainkan mereka peroleh dari orang Arab Saba.

Orang-orang Arab Saba mengangkut rempah-rempah tersebut dari Barygaza atau dari pantai Malabar India dan dari pelabuhan-pelabuhan lainnya. Sebelum diangkut ke negeri mereka, rempah-rempah tersebut dikumpulkan di Pelabuhan Aceh.

Namun, Raden Hoesein Djajadiningrat dalam bukunya Kesultanan Aceh (Terjemahan Teuku Hamid, 1982/1983) menyebutkan bahwa berita-berita tentang Aceh sebelum abad ke-16 Masehi dan mengenai asal-usul pembentukan Kerajaan Aceh sangat bersimpang-siur dan terpencar-pencar.

Sementara itu, HM. Zainuddin (1961) dalam bukunya Tarich Aceh dan Nusantara, menyebutkan bahwa bangsa Aceh termasuk dalam rumpun bangsa Melayu, yaitu; Mante (Bante), Lanun, Sakai Jakun, Semang (orang laut), Senui dan lain sebagainya, yang berasal dari negeri Perak dan Pahang di tanah Semenanjung Melayu.

Semua bangsa tersebut erat hubungannya dengan bangsa Phonesia dari Babylonia dan bangsa Dravida di lembah sungai Indus dan Gangga, India. Bangsa Mante di Aceh awalnya mendiami Aceh Besar, khususnya di Kampung Seumileuk, yang juga disebut Gampong Rumoh Dua Blah.

Letak kampung tersebut di atas Seulimum, antara Jantho dan Tangse. Seumileuk artinya dataran yang luas. Bangsa Mante inilah yang terus berkembang menjadi penduduk Aceh Lhee Sagoe (di Aceh Besar) yang kemudian ikut berpindah ke tempat-tempat lainnya.
Sesudah tahun 400 Masehi, orang mulai menyebut ”Aceh” dengan sebutan Rami atau Ramni. Orang-orang dari Tiongkok menyebutnya lan li, lanwu li, nam wu li, dan nan poli yang nama sebenarnya menurut bahasa Aceh adalah Lam Muri.

Sementara orang Melayu menyebutnya Lam Bri (Lamiri). Dalam catatan Gerini, nama Lambri adalah pengganti dari Rambri (Negeri Rama) yang terletak di Arakan (antara India Belakang dan Birma), yang merupakan perubahan dari sebutan Rama Bar atau Rama Bari.

Rouffaer, salah seorang penulis sejarah, menyatakan kata al Ramni atau al Rami diduga merupakan lafal yang salah dari kata-kata Ramana. Setelah kedatangan orang portugis mereka lebih suka menyebut orang Aceh dengan Acehm.

Sementara orang Arab menyebutnya Asji. Penulis-penulis Perancis menyebut nama Aceh dengan Acehm, Acin, Acheh ; orang-orang Inggris menyebutnya Atcheen, Acheen, Achin. Orang-orang Belanda menyebutnya Achem, Achim, Atchin, Atchein, Atjin, Atsjiem, Atsjeh, dan Atjeh. Orang Aceh sendiri, kala itu menyebutnya Atjeh.

Informasi tentang asal-muasal nama Aceh memang banyak ragamnya. Dalam versi lain, asal-usul nama Aceh lebih banyak diceritakan dalam mythe, cerita-cerita lama, mirip dongeng. Di antaranya, dikisahkan zaman dahulu, sebuah kapal Gujarat (India) berlayar ke Aceh dan tiba di Sungai Tjidaih (baca: ceudaih yang bermakna cantik, kini disebut Krueng Aceh).

Para anak buah kapal (ABK) itu pun kemudian naik ke darat menuju Kampung Pande. Namun, dalam perjalanan tiba-tiba mereka kehujanan dan berteduh di bawah sebuah pohon. Mereka memuji kerindangan pohon itu dengan sebutan, Aca, Aca, Aca, yang artinya indah, indah, indah. Menurut Hoesein Djajadiningrat, pohon itu bernama bak si aceh-aceh di Kampung Pande (dahulu), Meunasah Kandang. Dari kata Aca itulah lahir nama Aceh.

Dalam versi lain diceritakan tentang perjalanan Budha ke Indo China dan kepulauan Melayu. Ketika sang budiman itu sampai di perairan Aceh, ia melihat cahaya aneka warna di atas sebuah gunung. Ia pun berseru “Acchera Vaata Bho” (baca: Acaram Bata Bho, alangkah indahnya). Dari kata itulah lahir nama Aceh. Yang dimaksud dengan gunung cahaya tadi adalah ujung batu putih dekat Pasai.

Dalam cerita lain disebutkan, ada dua orang kakak beradik sedang mandi di sungai. Sang adik sedang hamil. Tiba-tiba hanyut sebuah rakit pohon pisang. Di atasnya tergeletak sesuatu yang bergerak-gerak. Kedua putri itu lalu berenang dan mengambilnya. Ternyata yang bergerak itu adalah seorang bayi. Sang kakak berkata pada adiknya “Berikan ia padaku karena kamu sudah mengandung dan aku belum.”

Permintaan itu pun dikabulkan oleh sang adik. Sang kakak lalu membawa pulang bayi itu ke rumahnya. Dan, ia pun berdiam diri di atas balai-balai yang di bawahnya terdapat perapian (madeueng) selama 44 hari, layaknya orang yang baru melahirkan. Ketika bayi itu diturunkan dari rumah, seisi kampung menjadi heran dan mengatakan: adoe nyang mume, a nyang ceh (Maksudnya si adik yang hamil, tapi si kakak yang melahirkan).

Mitos lainnya menceritakan bahwa pada zaman dahulu ada seorang anak raja yang sedang berlayar, dengan suatu sebab kapalnya karam. Ia terdampar ke tepi pantai, di bawah sebatang pohon yang oleh penduduk setempat dinamai pohon aceh. Nama pohon itulah yang kemudian ditabalkan menjadi nama Aceh.

Talson menceritakan, pada suatu masa seorang puteri Hindu hilang, lari dari negerinya, tetapi abangnya kemudian menemukannya kembali di Aceh. Ia mengatakan kepada penduduk di sana bahwa puteri itu aji, yang artinya ”adik”. Sejak itulah putri itu diangkat menjadi pemimpin mereka, dan nama aji dijadikan sebagai nama daerah, yang kemudian secara berangsur-angsur berubah menjadi Aceh.

Mitos lainnya yang hidup di kalangan rakyat Aceh, menyebutkan istilah Aceh berasal dari sebuah kejadian, yaitu istri raja yang sedang hamil, lalu melahirkan. Oleh penduduk saat itu disebut ka ceh yang artinya telah lahir. Dan, dari sinilah asal kata Aceh.

Kisah lainnya menceritakan tentang karakter bangsa Aceh yang tidak mudah pecah. Hal ini diterjemahkan dari rangkaian kata a yang artinya tidak, dan ceh yang artinya pecah. Jadi, kata aceh bermakna tidak pecah.

Di kalangan peneliti sejarah dan antropologi, asal-usul bangsa Aceh adalah dari suku Mantir (Manteu, bahasa Aceh) yang hidup di rimba raya Aceh. Suku ini mempunyai ciri-ciri dan postur tubuh yang agak kecil dibandingkan dengan orang Aceh sekarang. Diduga suku Manteu ini mempunyai kaitan dengan suku bangsa Mantera di Malaka, bagian dari bangsa Khmer dari Hindia Belakang.

 

Tidak ada komentar: