Jumat

Tauhid Satu

Para sufi, para ahli hakikat, selalu sahaja ribuan langkah lebih maju dan lebih kedepan dari yang bukan sufi dan bukan ahli hakikat. Kata tauhid senantiasa diertikan dengan menyucikan Allah dan tidak menyekutukan-Nya. Para sufi,khususnya sufi aihdatul Wujud, mendapatkan pemahaman yang lebih tinggi dari itu.
RAHSIA MAKRIFAT  MENGENAL ALLAH SWT
AWALUDIN MA’RIFATULLAH Artinya : Awal agama mengenal Allah.

LAYASUL SHALAT ILLA BIN MA’RIFAT Artinya: Tidak sah shalat tanpa mengenalAllah.

MAN ARAFA NAFSAHU FAKAT ARAFA RABBAHU Artinya: Barang siapa mengenal dirinya dia mengenal Tuhannya.

ALASTU BIRAB BIKUM QOLU BALA SYAHIDNA Artinya: Bukankah aku ini Tuhanmu ? Betul engkau Tuhan kami,kami menjadi saksi.(QS.AL-ARAF 7:172)

AL INSANNU SIRRI WA ANNA SIRRUHU Artinya: Manusia itu RahasiaKu dan akulah Rahasianya.

WAFI AMFUSIKUM AFALA TUBSIRUUN Artinya: Di dalam dirimu mengapa kamu tidak melihat.

ANAHNU AKRABI MIN HABIL WARIZ Artinya: Aku lebih dekat dari urat nadi lehermu.

LAA TAK BUDU RABBANA LAM YARAH Artinya: Aku tidak akan menyembah Allah apabila aku tidak melihatnya terlebih dahulu.

HUBUNGAN MANUSIA DENGAN ALLAH Pada malam Ghaibul Ghaib iaitu dalam keadaan antah-berantah hanya Dzat semata. Belum ada awal dan belum ada akhir, belumada bulan dan belum ada matahari, belum ada bintang belum ada sesuatupun. Malahan belum ada Tuhan yang bernama Allah, maka dalam keadaan ini, Diri yang punya Dzat tersebut telah mentajalikan diri-Nya untuk memuji diri-Nya. Lantas tajalilah Nur Allah dan kemudian tajali pula Nur Muhammad (Insan Kamil), yang pada peringkat ini dinamakan Anta Ana, (Kamu, Aku) , (Aku,Kamu),Ana Anta. Maka yang punya Dzat bertanya kepada Nur Muhammad dan sekalian Roh untuk menentukan kedudukan dan taraf hamba. Lantas ditanyakan kepada Nur Muhammad, Aku ini Tuhanmu? Maka dijawablah Nur Muhammadyang mewakili seluruh Roh, Ya…Engkau Tuhanku. Persaksian ini dengan jelas diterangkan dalam Al-Qur’an surat Al-Araf 7:172:

ALASTU BIRAB BIKUM, QOOLU BALA SYAHIDNA. Artinya : Bukan aku ini Tuhanmu? Betul engkau Tuhan kami, Kami menjadi Saksi. Selepas pengakuan atau persumpahan Roh itu dilaksankan, maka bermulalah era baru di dalam perwujudan Allah SWT. Seperti firman Allah dalam Hadits Qudsi yang artinya:“Aku suka mengenal diriku, lalu aku jadikan mahkluk ini dan akuperkenalkan diriku. Apa yang dimaksud dengan mahkluk ini ialah : Nur Muhammad sebab seluruh kejadian alam maya ini dijadikan daripada Nur Muhammad tujuan yang punya Dzat mentajalikan Nur Muhammad adalah untuk memperkenalkan diri-nya sendiri dengan diri Rahasianya sendiri. Maka diri Rahasianya itu adalah ditanggung dan diakui amanahnya oleh suatu kejadian yang bernama : Insan yang bertubuh diri bathin (Roh) dan diri bathin itulah diri manusia, atau Rohani. Firman Allah dalam hadis Qudsi:

AL-INSAANU SIRRI WA-ANA SIRRUHU Artinya : Manusia itu RahasiaKu dan Akulah yang menjadi Rahasianya. Jadi yang dinamakan manusia itu ialah karena ia mengenal Rahsia. Dengan perkataan lain manusia itu mengandung Rahasia Allah. Karena manusia menanggung Rahasia Allah maka manusia harus berusaha mengenal dirinya, dan dengan mengenal dirinya manusia akan dapat mengenal Tuhannya, sehingga lebih mudah kembali menyerahkan dirinya kepada Yang Punya Diri pada waktu dipanggil oleh Allah SWT. Iaitu tatkala berpisah Roh dengan jasad. (Tambahan Hajrikhusyuk: kembali kepada Allah harus selalu dilakukan semasa hidup, masih berjasad, contohnya dengan solat, kerana solat adalahmikraj oang mukmin atau dengan ‘mati sebelum mati’). Firman Allah An-Nisa 4:58:

INNALLAHA YAK MARUKUM ANTU ABDUL AMANATI ILAAHLIHA. Artinya: Sesunggunya Allah memerintahkan kamu supaya memulangkan amanah kepada yang berhak menerimanya. (Allah). Hal tersebut di atas dipertegas lagi oleh Allah dalam Hadits Qudsi :

MAN ARAFA NAFSAHU,FAQAT ARAFA RABAHU. Artinya : Barang siapa mengenal dirinya maka ia akan mengenal Tuhannya. Dalam menawarkan tugas yang sangat berat ini, pernah ditawarkan Rahasia-nya itu kepada Langit, Bumi dan Gunung-gunung tetapi semuanyatidak sanggup menerimanya. Seperti firman Allah SWT Al Ahzab 33:72. INNA ‘ARAT NAL AMATA, ALAS SAMAWATI WAL ARDI WAL JIBAL FA ABAINA ANYAH MILNAHA WA AS FAKNA MINHA,WAHAMA LAHAL INSANNU. Artinya : Sesungguhnya kami telah menawarkan suatu amanatkepada langit, bumi dan gunung-gunung tetapi mereka enggan memikulnya dan merasa tidak akan sanggup, lantas hanya manusia yang sanggup menerimanya. Oleh karena amanat (Rahasia Allah) telah diterima, maka adalah menjadi tanggung jawab manusia untuk menunaikan janjinya. Dengan kata lain tugas manusia adalah menjaga hubungannya dengan yang punya Rahasia. Setelah amanat (Rahasia Allah) diterima oleh manusia (diri Batin/Roh) untuk tujan inilah maka Adam dilahirkan untuk bagi memperbanyak diri, diri penanggung Rahasia dan berkembang dari satu abad ke satu abad, diri satu generasi ke satu generasi yang lain sampai alam ini mengalami KIAMAT DAN RAHASIA ITU KEMBALI KEPADA ALLAH. INNA LILLAHI WA INNA ILAIHI RAAJIUN. Artinya : Kita berasal dari Allah, dan kembali kepada Allah.
Tauhidul Asma
Persoalan nama Allah  merupakan persoalan yang sering dibahas asal-usulnya. Sebagian lbahan bacaan menyebukan bahwa kata “Allah” merupakan destinasi terakhir dari El, Eli, Elah, Ilah, Allah.  Semua kata ini, konon, berasal dari bahasa Aram. El digunakan untuk merujuk pada Dzat Mulia, digunakan oleh Ezra. Sementara itu, Eli digunakan di zaman nabi Isa as. Misalnya dalam kitab tertulis Yesus berteriak “Eli Eli Lama Sabaktani” yang ertinya “Tuhan,Tuhan, mengapa Engkau tinggalkan daku.   Kemudian kata Elah dan Ilah yangdigunakan untuk arti yang sama sampai pada bahasa Arab (ilah artinya Tuhan) dan Allah dengan tujuan yang sama, Tuhan. Tentang hal ini, sangat terbuka untuk dikritik.Jika dilihat dengan baik, maka perjalanan sebutan Allah ini melaluiproses panjang namun pada satu konteks, yaitu konteks bahasa lokal yangmenderivasi atau turun-menurun; dari bahasa Aram, Ibrani, ke Arab. Pertanyaannya adalah, apakah benar Allah adalah nama Tuhan secara dzat ..?Hal penting yang harus dicermati adalah bahwa al-Qur’an turun dengan bahasa Arab yang mudah dipahami oleh masyarakat Arab sendiri. Misalnya nama Allah sendiri. Dalam al-Qur’an surat al-Qashash ayat 30 misalnya, Allah mendeklarasikan dirinya secara demikian. Allah Maha Mengetahui, hanya kata“Allah” saja yang paling relevan bagi bangsa Arab untuk merujuk pada diri-Nya.   Bagaimana jika al-Qur’an tidak turun dalam bahasa Arab, namun bahasa Inggris, tentu saja kita tidak akan menyebut nama-Nya  Allah namun God. Jika memang benar Allah adalah nama Tuhan, maka betapa kasar dan tidak sopannya kita karena menyebut nama-Nya tidak lebih dari seperti memanggil nama teman kita. Kepada ayah kita tidak memanggil nama, kepada guru kita tidak juga berlaku demikian, tetapi kepada Allah kita memanggilnama-Nya ?  Ini suatu hal yang tidak pernah difikirkan oleh yang bukan ahli hakikat. Sesungguhnya, ketika Allah mendeklarasikan ketuhananNya “innanyAnnallah” dimaksudkan “Sesungguhnya Akulah Tuhan” dan Tuhan adalah hakikatnya, dan bukan nama dzat-Nya yang sesungguhnya tidak berhuruf tidak  pula bersuara. Sehingga pada tahap nama, Allah hanyalah sebuah sebutan hakikat sebagai Tuhan dan bukan nama dzat-Nya.   Allah hanya mengajarkan bagaimana mensifati-Nya lewat asmaul husnah, namun mengenai hakikatdzat-Nya sendiri, Allah adalah Sirr (Rahasia). Oleh karena itu, al-Hallaj lebih suka menyebut “Ana al-Haqq” ketimbang “innany Annallah”. Nama dzat-Nyatidak tersentuh, dan hanya bisa ditauhidkan dengan ma’rifat, Hu (Dia).
Sebagaimana ketika para sufi telah mengalami fana’, kebingungan melanda. Mereka tidak lagi bisa membedakan mana Allah dan mana Allah dalam sebutan. Insan Wihdatul Wujud tidak menemukan Tuhan sebagai Allah saat fana’ namun menemukan Dia sebagai Dia.
Tauhidus  Shifat
Setelah mentauhid-kan asma Allah secara ma’rifat sebagai sirr, maka sesudah itu mentauhid-kan sifat-sifat ilahiyah. Beberapa sifat yang sangat relevan adalah bahwa Allah itu Wujud. Wujudnya Allah merupakan kenyataan maujud insan. Mentauhid-kan Wujud Allah adalah sekaligus mentauhid-kan yang maujud. Allah hadir dalam maujud insan, baik sebelum, sedang, dan sesudah maujud itu ada. Jika melihat makhluk,  maka itu adalah cerminan Qidam Khaliq.
Kemudian, Allah Qiyamuhu Ta’ala binafsihi, seperti huruf alif yang berdiri tegak tanpa penyanggah apapun. Allah pun ber-iradah dan insan pun demikian,hingga qudrat ilahiyah pun ada pada qudrat insaniyah seperti yang telahdi paparkan sebelumnya. Mentauhid-kan sifat Allah adalah mengumpulkan segala sifat kepada Yang Satu dan mengembalikan Yang Satu kepada yang segala.  Melihat sifat Allah pada insan dan semesta, merupakan wujud tauhidus shifat, dan juga sebaliknya, melihat sifat insan sebagai wujud sifat Allah. Akan tetapi hal ini hanya berlaku untuk para sufi yang sudah berzuhud menolak dunia dan akhirat. Bagi anda yang bukan atau baru akan menuju ke Wihdatul Wujud, hal ini sangat diharamkan bagi anda; oleh karenanya anda pun mengharamkan hal demikian.
Mengakui bahwa sifat insan merupakan wujud sifat Allah tanpa ma’rifat sebelumnya merupakan pengakuan buta, dan kafir. Bukan hanya kebanyakan para ahli fiqih mengkafirkan ajaran ini, tetapi para sufi pun akan mengharamkan pengakuan ini, jika diakui oleh orang yang belum mengalaminya, atau belum melalui jenjang-jenjang yang sudah ditentukan.
Tauhidul Af’al
Perbuatan merupakan wujud sifat, dan begitu pula sebaliknya. Kita melihat bumi berputar, matahari bergerak, angin bertiup, dan sebagainya,hingga jantung berdetak, merupakan af’al Allah pada alam dan pada insan. Mentauhid-kan perbuatan Allah maksudnya mengembalikan segala hakikat perbuatan pada qudrat dan iradat, baik itu hakikat ilahiyah maupun insaniyah. Qudrat Allah adalah bahwa Dia berkuasa melakukan apapun yang Dia inginkan, dan Iradah Allah adalah bahwa Dia berkehendak sesuai dengan keinginan-Nya sendiri. Tidak demikian pada perbuatan insan. Meskipun insan memilki qudrat (kuasa) untuk melakukan apa yang diinginkan, tetapi insan memiliki qudrat yang berada dibawah qudrat Allah. Begitu juga iradah (kehendak), walaupun insan berkehendak pada sesuatu, namun iradah Allah yang menentukan.
Tauhidul af’al adalah mengembalikan segala perbuatan insan yang dilakukan atas dasar qudrah dan iradah kepada qudrah dan iradah Allah.  Ertinya, kita tidak akan berkuasa tanpa izin Allah, dan tidak pula mencapai kehendak tanpa izin Allah. Akan tetapi hal ini tidak berarti bahwa semua perbuatan akan dihukumkan sebagai perbuatan Allah. Perlu dipisahkan antara perbuatan Allah dan perbuatan insan (Af’al Allah dan af’al insan). Af’al Allah meliputi af’al insan, sedangkan af’al insan berada di dalam dan di bawah af’al Allah. Sehingga dari segi perbuatan, meskipun insan yang mempertanggung jawab-kan perbuatan nya tanpa didzalimi oleh Allah, tetap saja semua bergerak pada koridor yang sudah ditentukan oleh Allah sendiri. Inilah mengapa sehingga para sufi yang perbuatannya sudah terikat zuhud selalu merasa dibimbing oleh Allah. Sebagaimana ditegaskan dalam sebuah dalil:  Apa bila Aku sudah mencintai hambaKu, maka Aku menjadi mata nya dan dengan-Ku dia melihat, Aku menjadi telinga-Nya dandengan-Ku dia mendengar; Aku menjadi lisannya dan dengan-Ku dia berkata-kata…” Dalil ini menegaskan bahwa bagi orang yang sudah mentauhid kan perbuatan (Af’al Allah dan insan) akan senantiasa terjaga, karena dia tidak akan melakukan perbuatan apapun terkecuali itu diizinkan oleh Allah, dan sesuai dengan ketentuan Allah sendiri. Inilah Wihdatul Wujud, dan bukan menganggap bahwa perbuatan manusia merupakan perbuatan Allah. Saya ingatkan, bahwa ini diharamkan bagi orang-orang yang belum sampai pada tingkatan yang seharusnya; bukan dikafirkan oleh orang yang belum sampai ilmunya.
Tauhiduzzat
Tingkat ini adalah tingkat paling tertinggi dari mentauhidkan Allah.Tauhid bukan semata-mata bertawakkal dan menolak tuhan selain Allah, tetapi juga menolak segala sesuatu selain Allah. Akan tetapi penolakan ini hanya bermaksud untuk mendapatkan pengenalan yang murni, tanpa ada distorsi saja.Tauhid bukan hanya mengumandangkan tahlil dan melaknat latta, uzza, dan manatta. Akan tetapi tauhid juga mensucikan Allah dari segala sesuatu selain Dia, termasuk diri sendiri. Jangan mengira diri sendiri tidak bisa menjadi berhala. Jika seseorang telah melakukan shalat selama puluhan tahun, hingga dahinya menghitam sebagai bekas sujud nya, dan dia merasa sudah menjadi ahli ibadah, maka perasaan dan dirinya itu akan menjadi “sesuatu” selain Allah yang boleh menghalangi dia dari pengenalan Allah yang sesungguhnya.
Allah adalah Dzat Yang Maha Tinggi, Mulia, Indah, dan seterusnya. Dia tidak serupa dengan apapun, dan tidak bisa digambarkan dengan apapun.Wahdatul Wujud tidak pernah menggambarkan Dzat Allah, apalagi menyamakan Allah dengan diri sendiri, ini fitnah. Wahdatul Wujud tidak pernah mengklaim bahwa diri adalah Allah, ini juga fitnah. Wahdatul Wujud tidak pernah menceritakan Dzat Allah, melainkan Wahdatul Wujud adalah sebuah kesadaran mistis bertemunya dengan Allah tanpa diri sendiri. Allah tidak akan pernah didapati dengan penglihatan, baik dengan matahati maupun dengan mata kepala. Namun Dzat Allah boleh disadari hakikat-Nya,tentu saja hal ini tidak akan diterima bagi orang-orang yang belum melewati taraf nya. Mentauhid kan Dzat Allah adalah menyadari bahwa Allah memiliki Dzat-Nya sendiri yang terlepas dari dzat-dzat lain. Di saat yang sama, mentauhid kan Dzat Allah adalah melupakan dzat-dzat lain, dan hanya Allah satu-satunya Dzat yang Maha Ada; yang lain hanya diadakan saja.Di dalam hadits qudsi Allah berfirman, “Disaat engkau hadir maka Akupun ghaib; dan disaat engkau gaib maka Aku pun hadir.” Dalam hadits qudsi lain “Sesungguhnya Akulah yang maha Nyata, namun kenyataanmu telah merenggut kenyataan-Ku.” Dua hadits qudsi ini menjadi jaminan bahwa kenyataan diri sendiri (maujud) merupakan penghalang yang menyebab kan kenyataan Allah (Ujud) menjadi gaib Jangan mengira diri sendiri tidak bisa menjadi berhala. Jika seseorang telah melakukan shalat selama puluhan tahun, hingga dahinya menghitam sebagai bekas sujudnya, dan dia merasa sudah menjadi ahli ibadah, maka perasaan dan dirinya itu akan menjadi “sesuatu” selain Allah yang boleh menghalangi dia dari pengenalan Allah yang sesungguhnya. Ketika Dzat Allah menampakkan diri, maka dzat diri sendiri menjadi luluh lantak, sirna seperti setetes air masuk ke samudra tak bertepi;  lebur seperti gunung-gunung hancur dan nabi Musa as pun pingsan (tidak menyadari bahwa dirinya maujud). Proses demikian disebut fana’.  Imam Ali menyebutkan bahwa dia pernah mengalami hal ini (dalam kitab Tanyalah Aku Sebelum Engkau Kehilangan Aku) bahkan Imam Ali (Sayidina Ali) mengalami fana di dalam fana, hingga hanya Allah yang disaksikan, diri sendiri sudah dilupakan. Fana’, menurut para sufi, juga terbagi menjadi fana fil af’al, fana fil asma, fana fis shifat, dan fana fiz dzat. Fana tingkat ini adalah fana tauhid tertinggi, dan hanya dengan cara ini insan dapat mengenal Allah secara kaffah. Seluruh penjelasan dari sebelumnya hingga di tahap ini merupakan serangkaian yang tidak dapat dikaji secara terpisah. Salah satu penyebab adanya salah tafsir terhadap Wahdatul Wujud adalah karena tafsiran terpisah. Semua ini juga tidak mungkin boleh didapati dengan cara berfikir, namun dengan cara melaksanakan nya. Oleh sebab itu, sangat rugi orang-orang yang mengkafirkan dan membunuh para auliya Wahdatul Wujud dengan berdasar pada pengetahuan dan kajian setengah jalan, sudah barang tentu alasannya karena apa yang mereka sampaikan adalah sebuah kesadaran spiritual yang luar biasa dahsyat.
 Akan tetapi, juga disadari bahwa semua ini adalah rahasia Allah yang harus ditutupi. Tetapi sampai bila ? Jika semakin lama semakin banyak para auliya dikafirkan dan dibunuh ?  Dan meskipun rahasia Allah, dalam sebuah hadits qudsi disebutkan bahwa “Innahu Sirri wa Anaa Sirruhu” yang ertinya “Sesungguhnya hamba-Ku adalah rahasia-Ku dan Aku adalah rahasianya. ”  Rahasia Allah ada dalam diri kita sendiri, dan apa yang kita alami akan selalu menjadi rahasia Allah. Sehingga rahasia ini sebenarnya adalah rahasia antara kita dan Dia, sangat personal dan oleh karena itu hanya boleh diungkap kebenarannya melalui pengalaman dan bukan bacaan semata.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar