Jumat

Agama, Jalan untuk Kembali

Ketika agama dijadikan rebutan kebenaran maka agama akan menjadi masalah bagi manusia. Antar agama bisa menimbulkan perang. Antar aliran agamapun bisa menimbulkan pertikaian. Lah kan
malah lucu ketika berperang menyebut-nyebut nama Tuhan yang sama tapi malah saling membunuh seperti yang terjadi pada perang Irak-Iran dulu. Tidaklah mengherankan jika kemudian ada orang yang berpendapat bahwa dunia ini akan lebih baik jika tanpa agama karena agama dijaman sekarang ini selalu menyulut peperangan antar manusia.
Manusia hendaknya menyadari bahwa agama adalah jalan atau metode untuk kembali kepada-Nya. Dan yang namanya jalan tentu tidak hanya satu. “Banyak jalan menuju Roma”. Yang terpenting adalah tujuannya tercapai meski harus dengan jalan (keyakinan) yang berbeda. Perhatikan ayat berikut :
Katakanlah : “Tiap-tiap orang berbuat menurut ”syakilat”nya (keadaannya) masing-masing. Maka Tuhanmu lebih mengetahui siapa yang lebih benar jalannya. (Q.S Al Israa’ (17) : 84) 
Ayat tersebut menjelaskan bahwa manusia itu berbuat menurut keadaannya. Keadaan disini bermakna lingkungan, budaya, agama tempat masing-masing manusia tinggal. Ada yang lahir dan tinggal di Arab Saudi maka ia akan cenderung beragama Islam, Ada yang lahir di Vatikan maka ia cenderung akan beragama Katolik. Ada yang lahir dalam keluarga Hindu maka ia akan cenderung beragama Hindu, begitu seterusnya. Jadi, negara atau agama adalah keadaan yang tidak bisa dipilih oleh manusia ketika lahir.
Dalam Hadist disebutkan : “Seseorang dilahirkan menurut fitrahnya (kodratnya). Orang tuanyalah yang menjadikannya beragama Islam, Yahudi, Nasrani”.
Cobalah kita berpikir sejenak, andai kita lahir di suatu pulau yang penghuninya semua menganut Kristen, apa ya mungkin kita akan beragama Islam? Ya tentu kita akan memeluk agama di lingkungan tempat kita dilahirkan. Dan bisa dipastikan bahwa kita pun akan menganggap agama kita yang paling benar. Jadi wajar saja jika masing-masing umat beragama mengklaim paling benar. Yang tidak wajar ya menyerang orang yang berkeyakinan lain.
Nah pada ujung ayat diatas terdapat penjelasan bahwa “Maka Tuhanmu lebih mengetahui siapa yang lebih benar jalannya”. Jelas sudah bahwa Tuhan itu yang lebih tahu siapa saja yang berada di jalan yang benar. Lantas, kalau sudah memahami ayat ini buat apa kita mengkafir-kafirkan orang lain? Wong Tuhan yang lebih tahu koq ya manusia bisa-bisanya menuduh orang yang tidak sepaham dengannya dengan sebutan sesat/kafir. Ini kan artinya manusia telah mengambil alih otoritas Tuhan.

Kita harus menyadari bahwa agama itu sifatnya abstrak. Tidak akan mungkin kita mendapatkan pengertian Islam yang seragam dari berbagai ulama. Kenapa? karena masing-masing ulama memiliki latar belakang kehidupan, keahlian, pengalaman, budaya dan kecerdasan yang berbeda-beda. Jadi wajar saja jika kemudian timbul berbagai macam aliran, sekte atau mazhab. Dan para ulama pun harus memiliki kesadaran bahwa dirinya bukan Tuhan sehingga ajaran yang dibawanya bukanlah kebenaran yang absolut. Kebenaran absolut hanya miliki Allah. Dengan demikian tak perlu saling menyesatkan atau mengkafirkan antar masing-masing golongan atau yang berbeda keyakinan.

Nah di Indonesia sendiri, sekolompok ulama dari lembaga Islam yang terkenal justru mengambil alih otoritas Tuhan, merekalah yang menentukan suatu aliran keagamanaan sesat atau tidak. Jika sesat maka konsekuensinya adalah dipenjara dengan dakwaan penistaan atas agama. Konsekuensi lainnya adalah ia harus keluar dari Indonesia, atau disuruh membuat agama baru dengan nama yang berbeda, atau tetap bertahan di Indonesia dengan resiko akan menghadapi kekerasan dari umat Islam lain yang tidak setuju keberadaaan mereka. Sungguh aneh jika seseorang atau suatu kelompok harus dihakimi karena keyakinannya berbeda dengan keyakinan kebanyakan orang. Lah… yang seperti ini kan berarti manusia berkuasa atas manusia yang lain. Padahal Nabi Muhammad saja dilarang menguasai manusia.
Simak dalilnya berikut ini : Berikanlah pelajaran, karena sesungguhnya kamu (Muhammad) seorang pemberi pelajaran dan bukanlah orang yang berkuasa atas mereka. (Q.S Al Ghasyiyah (88):22)
Coba kita bayangkan jika suatu kelompok manusia menguasai manusia lain. Apakah ini namanya bukan tirani? Tirani ya berarti menzalimi orang lain. Apalagi menzalimi orang lain karena urusan perbedaan keyakinan padahal keyakinan itu sendiri sifatnya abstrak. Relatif. Tiap orang meyakini apa yang diyakini sesuai alasan dan penafsiran masing-masing.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar