Jumat

Berburu Kebahagiaan


Salah satu kebahagiaan adalah ketika melihat orang yang kita cintai bahagia. Tidak gampang untuk memperoleh kebahagiaan jenis ini. Apalagi bagi mereka yang bersifat egois. Semua kebahagiaannya diukur dari kebahagiaan diri sendiri. Orang yang demikian adalah tipikal 'pemburu kebahagiaan', yang justru tidak pernah menemukan kebahagiaan.

Berumah tangga adalah sebuah cara untuk memperoleh kebahagiaan, dengan cara membahagiakan pasangan kita. Bisakah itu terjadi? Bisa, ketika berumah tangga dengan berbekal cinta. Bukan sekadar berburu cinta. Lho, memang apa bedanya? 
Berbekal cinta, berarti kita mencintai pasangan kita. Ingin memberikan sesuatu kepada pasangan agar ia merasa bahagia. Sedangkan berburu cinta, berarti kita menginginkan untuk dicintai. Menginginkan sesuatu dari pasangan kita, sehingga kita merasa bahagia. 
Menurut Anda, manakah yang lebih baik? Mengejar cinta atau memberikan cinta? Memburu kebahagiaan ataukah memberikan kebahagiaan? Mengejar kepuasan ataukah justru memberikan kepuasan? Mana yang bakal membahagiakan, yang pertama ataukah yang ke dua? Ternyata, yang ke dua. Mengejar cinta hanya akan mendorong kita untuk berburu sesuatu yang semu belaka. Yang akan tidak pernah kita raih. Karena, keinginan adalah sesuatu yang tidak pernah ada habisnya. Apalagi keserakahan. 
Hari ini kita merasa memperoleh cinta dari pasangan, maka berikutnya kita mungkin akan merasa tidak puas karena ingin memperoleh cinta yang lebih dari pasangan. Ini hampir tak ada bedanya dengan ingin mengejar kesenangan dengan cara memiliki mobil atau rumah. Ketika kita masih miskin, kita mengira akan senang memiliki mobil berharga puluhan juta rupiah. Kita berusaha mengejarnya. Lantas memperolehnya. Dan kita memang senang. 
Tapi, tak berapa lama kemudian, kita menginginkan untuk memiliki mobil yang berharga ratusan juta rupiah. Mobil yang telah kita miliki itu tidak lagi menyenangkan, atau apalagi membahagiakan. Benak kita terus menerus terisi oleh bayangan betapa senangnya memiliki mobil berharga ratusan juta rupiah. Jika kemudian kita bisa memenuhi keinginan itu, kita pun merasa senang. Tetapi, ternyata itu tidak lama. Benak kita bakal segera terisi oleh bayangan-bayangan, betapa senangnya memiliki mobil yang berharga miliaran rupiah. Begitulah seterusnya. 
Kesenangan dan kebahagiaan itu bukan kita peroleh dengan cara mengejarnya, melainkan dengan cara merasakan dan mensyukuri apa yang sudah kita miliki. Kita tak perlu mengejar kebahagiaan, karena kita sudah menggenggamnya. Yang perlu kita lakukan sebenarnya adalah memberikan perhatian kepada apa yang sudah kita miliki. Bukan melihat dan mengejar sesuatu yang belum kita punyai. Semakin kita memberikan perhatian kepada apa yang telah kita miliki, maka semakin terasa nikmatnya memiliki. Jadi, kuncinya bukan mengejar, melainkan memberi. 
Demikian pula dalam berumah tangga. Jika kita ingin memperoleh kebahagiaan, caranya bukan dengan mengejar kebahagiaan itu. Melainkan dengan memberikan kebahagiaan kepada pasangan kita. Bukan mengejar cinta, melainkan memberikan cinta. Bukan mengejar kepuasan, melainkan memberikan kepuasan. Maka kita bakal memperoleh kebahagiaan itu dari dua arah. Yang pertama, kita akan memperolehnya dari pasangan dan karena merasa dibahagiakan, ia akan membalas memberikan kebahagiaan. 
Yang ke dua, kebahagiaan itu bakal muncul dari dalam diri kita sendiri. Ketika kita berhasil memberikan kepuasan kepada pasangan kita, maka kita bakal merasa puas. Ketika berhasil memberikan kesenangan kepada partner kita, maka kita pun merasa senang. Dan ketika kita berhasil memberikan kebahagiaan kepada istri atau suami kita, maka kita pun merasa bahagia. Ini, nikmatnya bukan main. Jumlah dan kualitasnya terserah kita. Ingin lebih bahagia, maka lebih bahagiakanlah pasangan. Ingin lebih senang, maka senangkanlah pasangan kita lebih banyak lagi. Dan, kita ingin lebih puas? Maka puaskanlah pasangan dengan kepuasan yang lebih banyak. Terserah kamu meminta kesenangan, kepuasan, atau pun kebahagiaan sebesar apa. Karena kuncinya ada di tangan kamu sendiri. Semakin banyak memberi semakin nikmat rasanya. Kamu yang terbiasa egois dan mengukur kebahagiaan dari kesenangan pribadi, akan perlu waktu untuk menyelami dan merenungkan kalimat-kalimat di atas. 
Contoh yang lebih konkret adalah perkawinan dengan cinta yang bertepuk sebelah tangan. Perkawinan semacam ini sungguh membuat menderita pihak yang tidak mencintai. Padahal ia dicintai. Segala kebutuhannya dipenuhi oleh pasangannya. Katakanlah ia pihak wanita. Segala kebutuhan sang wanita selalu dipenuhi oleh suaminya. Rumah ada. Mobil tersedia. Pakaian, perhiasan, dan segala kebutuhan semuanya tercukupi. Tetapi ia tidak pernah merasa bahagia. Kenapa? Karena tidak ada cinta di hatinya. 
Sebaliknya, sang suami merasa bahagia, karena ia mencintai istrinya. Ia merasa senang dan puas ketika bisa membelikan rumah. Ia juga merasa senang dan puas ketika bisa membelikan mobil. Dan ia senang serta puas ketika bisa memenuhi segala kebutuhan istri yang dicintainya itu. Semakin cinta ia, dan semakin banyak ia memberikan kepada istrinya, maka semakin bahagialah sang suami. Kalau ia benar-benar cinta kepada istrinya, maka ukuran kebahagiaannya berada pada kebahagiaan si istri. Jika istrinya bahagia, ia pun merasa bahagia. Jika istrinya menderita, maka ia pun merasa menderita. Akan berbeda halnya, jika si suami tidak mencintai istri. Ia sekadar menuntut istrinya agar mencintainya. Memberikan kesenangan, kepuasan dan kebahagiaan kepadanya. Ketika semua itu tidak sesuai dengan keinginannya, maka ia bakal selalu merasa tidak bahagia. Tidak terpuaskan. Sebaliknya, jika istri tersebut kemudian bisa mencintai suaminya –karena kebaikan yang diberikan terus menerus kepadanya– maka si istri itu justru bakal bisa memperoleh kebahagiaan karenanya.
Pelayanan yang tadinya dilakukan dengan terpaksa terhadap suaminya, kini berganti dengan rasa ikhlas dan cinta. Tiba-tiba saja dia merasakan kenikmatan dan kebahagiaan yang tiada terkira. Kalau dulu ia memasakkan suami dengan rasa enggan dan terpaksa, misalnya, kini ia melakukan dengan senang hati dan berbunga-bunga. Kalau dulu ia merasa tersiksa ketika melayani suami di tempat tidur, kini ia merasakan cinta yang membara. Ya, tiba-tiba saja semuanya jadi terasa berbeda. Penuh nikmat dan bahagia. 
Padahal seluruh aktivitas yang dia lakukan sama saja. Apakah yang membedakannya? Rasa cinta,semakin banyak ia memberi, semakin banyak pula rasa bahagia yang diperolehnya. Hal ini memberikan gambaran kepada kita bahwa yang bahagia itu sebenarnya bukanlah orang yang dicintai, melainkan orang yang mencintai. Orang yang sedang jatuh cinta.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar