Kamis

Martabat Tujuh




Bahwa apa yang ditulis oleh Syeh Fadlullah (wafat tahun 1620 M) di India dalam buku Al Tuhfah al Mursalah ila Ruh al Nabi tentang martabat tujuh, mengandung dua muatan.

 
1.Yang pertama hendak membuktikan bahwa jagad manusia lahir dan batinnya dan jagad raya dengan segala isinya adalah merupakan bangunan Karya Ilahi yang “Munjer” (berpusat, red.) pada Keberadaan Diri-Nya. Yakni bagaikan samodra tanpa batas dengan segala yang ada di dalamnya. Dimana segala makhluk yang ada di dalam samodra ini hidupnya, bernafasnya, berdaya dan bertenaganya, bergeraknya, makan dan minumnya, juga matinya, tetap berada dalam samodra.
 
Samodra tanpa batas dan tepi adalah gambaran keberadaan DiriNya Zat Yang Mutlak WujudNya dan segala isi yang ada di dalamnya (termasuk segala macam jenis ikan) adalah gambaran jagad lahir batinnya manusia dan segala isi jagad raya serta jagad raya itu sendiri.
 
Karena itu ilmu tauhid diserupakan laut yang maha luas tiada batas. Oleh karena itu pula maka Zat Yang Maha Mutlak WujudNya dan Allah AsmaNya ini meski hanya Satu akan tetapi dimana-mana ada. Meliputi segala sesuatu. Dekat sekali. Sahdan hamba ini (manusia) tanpa denganNya, bernafaspun tidak (apalagi hingga berdaya dan bertenaga).
 
2.Yang kedua apabila tidak yakin mengenali keberadaan DiriNya Yang Al-Ghaib (hanya menduga-duga saja dari tempat yang jauh, harga diri nafsunya gengsi bertanya kepada ahlinya, dalam QS Saba’ 53, ditetapkan kufur olehNya). Lalu menjadi hamba yang fasik. Yaitu suatu perbuatan yang terkutuk karena ia hidup sama saja dengan telah berani memperalat Tuhan untuk kepentingan nafsunya.
 
 

MARTABAT TUJUH.
 
1.Martabat Ahadiyat.
Pada martabat ini Yang Ada dan Yang Wujud hanyalah DiriNya. Satu-satuNya Zat Yang Tan Kinira kinaya ngapa. Dialah Zat yang kemudian memberi nama pada DiriNya Allah. Qul Huwa Allahu Ahad. Katakanlah (hai Rasul) bahwa Dialah Satu-satuNya Zat Yang Al-Ghaib yang jelas dan nyata dapat diingat-ingat dan dihayati dalam rasa hati, Allah AsmaNya. (Kandungan makna dhomir Huwa).
 
2.Martabat Wahdat.
Ini adalah martabatnya hakikat Nur Muhammad. Nukad gaib. Benih gaibnya manusia yang “menyatu dengan DiriNya”. Sebab hakekat Nur Muhammad adalah Cahaya TerpujiNya Zat Yang Wajib WujudNya itu sendiri. Cahaya yang dengan ZatNya sama sekali tidak pernah pisah. Bagaikan sifat dan mausuf. Bagaikan kertas dan putihnya.
 
3.Martabat Wahidiyat.
Ini adalah martabat hakekatul insan. Allah telah menjadikan adanya rasa yang menjadi dasar manusia. Tetapi pada martabat ini rasa yang akan menjadi dasar manusia itu masih murni. Yaitu rasa yang hanya merasakan bahwa Yang Wujud dan Yang Ada hanya Diri Ilahi Yang jelas dan nyata. Sebab memang selain DiriNya, sama sekali belum ada.
Rasa yang murni ini karena didalamnya, isinya, tidak lain hanyalah Nur Muhammad. Seandainya diutarakan dengan ungkapan kata dengan bahasa lesan dunia adalah sebagaimana yang pernah disabdakan Nabi Muhammad Saw: “Raaitu Rabbi bi Rabbi” (Aku melihat Rabku, bersama dengan Rabku, red).
 
Pada martabat ini, kejelasannya sebagaimana firman Allah dalam QS Al A’raf 172 ketika Allah mengambil kesaksian atas diri manusia: “Bukankah Aku ini Tuhanmu?“ Semua jawabnya sama: “Betul (Engkau Tuhan kami), kami menjadi saksi”. Yaitu saksi yang benar-benar secara yakin dan jelas menyaksikan (=weruh=melihat) Ada dan Wujud Satu-satuNya Zat Tuhan (yang menyaksikan/melihat adalah mata hatinya, red). Dan perlu diketahui bahwa adanya Allah melakukan hal demikian tadi supaya di hari kiyamat nanti manuisia tidak berkata: “Sesungguhnya kami (bani Adam adalah) orang-orang yang lengah terhadap kesaksiannya itu”.
 
Sebab dalam menjalani kehidupan dunia sebagai tempat ujiannya, manusia dikehendaki oleh Allah supaya lulus dalam memenuhi amanatNya: “Wa’bud Rabbaka hatta ya’tiyakal-yaqin”. (QS Al Hijr 99).Yaitu supaya menyembah kepadaNya sehingga Rabb yang disembah itu dengan yakin hadir (dalam rasa hati, red) kepadanya. Sehingga ketika mati, benar-benar pulang kembali ke tempat asalnya. Bertemu lagi dengan DiriNya. Pulang kembali ke martabat Ahadiyat, yang pintu pulangnya ini (satu-satunya pintu) adalah mengenali martabat Wahidiyat (martabat hakekatul insan) yang secara yakin dan benar kenal dan tahu adanya Nur Muhammad yang ada di dalamnya.
 
4.Martabat Alam Arwah.
Pada martabat ini hakekatul insan telah berada di dalam alam arwah. Alam Daya dan kekuatan Tuhan (yang setelah dimasukkan ke dalam bakalan manusia yang asalnya dari mani, dari tanah liat, dari lumpur yang tidak berharga), ternyata diaku oleh watak akunya nafsu. 
Martabat alam arwah ini dibentuk Allah karena mauNya Tuhan, KemuliaanNya tidak akan dimiliki sendiri. Tetapi juga diratakan kepada manusia. Hanya kalau manusia, supaya menjadi mulya (disisiNya), harus dengan melewati ujian. Yaitu berupa kehidupan dunia dengan diwujudkannya berjiwa-raga. 
 
Martabat alam arwah ini diberadakan Tuhan supaya (mauNya Tuhan), arwah yang tidak lain adalah Daya dan Kekuatan DiriNya ini akan dapat dijadikan untuk mendorong semangat dan kesungguhan manusia dalam berjihadunnafsi hingga nafsunya (yang tidak lain adalah wujudnya jiwa raga) benar-benar kalah lalu rela patuh dan tunduk dijadikan kendaraannya hati nurani, roh dan rasa mendekat sehingga selamat sampai kepadaNya lagi. Namun ternyata, daya dan kekuatan milik Tuhan ini yang pasti diaku oleh nafsunya manusia. Sehingga yang mesti terjadi tidak lain adalah vonis Allah pada manusia sebagai hamba yang “Innaahu kaana zaluuman jahuula” (sesungguhnya manusia itu benar2 zalim lagi bodoh, red). Sahdan bila tidak ditarik oleh fadhal dan rahmatNya, pasti mengikut jalan syaitan, kecuali sedikit. (QS An Nisa’ 83).
 
5.Martabat Alam Mitsal.
Merupakan struktural yang lembut tentang hati dan akal budi. Namun akan menjadi penentu bagi kehidupan manusia.
Pada martabat alam mitsal ini Tuhan membuka tabir bahwa: “Maa kaana fii ‘alamil kabir kamitsli maa kaanaa fii ‘alam al shaghir”. Bahwa apapun yang ada pada jagad besar (jagad raya, red), semua itu ada pula dalam jagad kecil (lahir dan batinnya manusia, red). 
 
Di alam mitsal ini Allah SWT menetapkan bagi hamba yang dikehendaki mulia disisiNya (menjadi muttaqin) dengan cara menghidupkan berfungsinya hati nurani yang wataknya persis para Malaikatul-muqorrobin. Yaitu rela berlaku sujud (=makna patuh dan tunduk, taqwa) kepada wakilNya Allah di bumi. Yaitu wakil yang secara persis dan benar mengenali DiriNya Sang Muwakkal, ilmuNya, kehendakNya dan jalan lurus hingga sampai kepadaNya. Sebab Dia sama sekali tidak akan pernah "ngejawantah" (menampakkan Wujud DiriNya, red) di muka bumi. Hingga karena itu hamba yang dikehendaki menjadi muttaqin, imannya kepada AL-Ghaib (DiriNya Zat Yang Gaib) secara yakin dan benar dapat diingat-ingat dan dihayati dalam rasa hati dalam melakukan semua kewajibannya sebagai hamba dalam menyembah kepadaNya.
 
Di alam mitsal ini pula Tuhan menetapkan bahwa hamba yang disesatkan karena mengikut jejak makhluk yang berani menentangNya (ablasa) lalu oleh Allah dijadikan dijuluki iblis. Yaitu membantah terang-terangan supaya sujud wakilNya.
Watak iblis ini oleh Allah diwariskan kepada nafsu manusia (wujudnya jiwa raga) yang oleh Allah dicipta dari mani akan tetapi ternyata menjadi pembantah yang terang-terangan. (QS. An Nahl 4). Di dukung oleh berfungsinya hati sanubari (=kalbun jasmaniyyun zulmaniyun) yang menjadi markasnya nafsu lawwamah (=penyesalan, red). Itulah sebabnya Nabi Muhammad bersabda bahwa memerangi nafsunya sendiri adalah perang terbesar. Sedang dengan tanpa mengendarai nafsu, mendekat untuk selamat pulang kembali kepada Tuhan akan memakan waktu 3000 tahun. Padahal umur manusia tidak akan ada yang sekian lamanya. Kemudian apabila si nafsu dapat dikalahkan, rela dijadikan tunggangannya hatinurani, roh dan rasa mendekat kepadaNya, dengan bimbingan wakilNya di bumi, atas ijinNya, seumur masing-masing akan dapat sampai.
 
Alam mitsal ini adalah sebagaimana yang dialami Nabi Muhammad Saw yang oleh Allah dijalankan menemui DiriNya ketika Isra’ dan Mi’raj. Sebelum berangkat (dengan kendaraan Buraq), beliau oleh GuruNya (Malaikat Jibril) disucikan. Dibelah dadanya. Disucikan dengan air zam-zam (=lambang ilmu yang bening dan suci hingga seyakinnya mengenali DiriNya Zat Al-Ghaib Yang Maha Suci). Dan Buraq adalah simbul nafsu muthmainnah. Nafsu yang secara utuh telah dapat ditaklukkan hingga benar-benar dapat dikendalikan sesuai dengan tujuan yang mengendarainya. Pengendara yang senang hati dan disenangi Ilahi kembali kepadaNya, masuk menjadi hambaNya. Bukan hamba Nafsu. Bukan hamba dunia. Bukan hamba taghut. 
 
6.Martabat Alam Ajsam.
Adalah martabat ketika bakal manusia diproses Allah Swt dalam kandungannya sang ibu. Dimana setelah genap 120 hari berupa segumpal daging, Allah memasukkan kedalam bakal manusia ini rohNya kemudian ditetapkan sekali perihal nasibnya. Umurnya. Rezkinya. Nasib baik dan buruknya. Amal-amalnya.
 
Dalam sebuah haditsnya Nabi Muhammad Saw menjelaskan bahwa meskipun salah seorang diantara kamu telah mengamalkan amal perbuatan ahli surga sehingga antara surga dan kamu tidak ada satu hasta (saking dekatnya) namun tulisan telah menetapkan bahwa kamu menjadi ahli neraka, lalu mengamalkan amal perbuatan ahli neraka, maka masuklah kamu kedalamnya. Demikian juga sebaliknya, meskipun salah seorang di antara kamu telah mengamalkan amal perbuatan ahli neraka sehingga antara neraka dan kamu tidak ada satu hasta (saking dekatnya), namun tulisan telah menetapkan bahwa kamu menjadi ahli surga, lalu mengamalkan amal ahli surga, maka masuklah kamu ke dalamnya.
Penjelasan tersebut memberikan bukti bahwa manusia itu agar benar-benar menyadari sebagai hamba yang apes, hina, nista, tidak bisa apa-apa, tidak tahu apa-apa, bisu, tuli, bisanya hanya nambah salah dan dosa. 
Maksudnya, supaya manusia ini benar-benar mengenal dan pasrah kepada Yang Maha Segala-galanya. Sebab sebenarnyalah bahwa Yang Wujud dan Yang Ada, Yang Bisa, Yang Kuat, Yang Empunya lahir batin manusia dan jagad raya dengan segala isinya, Yang Obah Osik, adalah DiriNya Zat Al-Ghaib Yang Allah AsmaNya.
 
7.Martabat Insan Kamil.
Ini adalah manusia sebagai hamba Allah yang dibentuk olehNya telah secara pasti mencakup alam ahadiyat, alam wahdat, alam wahidiyat, alam arwah, alam mitsal dan alam ajsam. Karena dia memang sengaja dijadikan wakilNya untuk membimbing manusia supaya selamat pulang kembali kepadaNya. Mereka ini adalah para NabiNya, para RasulNya, para penerus tugas kerasulannya Nabi Muhammad Saw, yaitu para Wasithah yang silsilahnya tidak pernah terputus sama sekali hingga kini dan sampai kiyamat nanti.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar