Rabu

Pen - Sucian

Acuan dalam pengamalan tarekat bertumpu kepada tradisi dan akhlak nubuwah (kenabian), dan mencakup secara esensial tentang jalan sufi dalam melewati maqom-maqom dan aturan tertentu. Setelah ia tersucikan jasmaniahnya, kemudian melangkah kepada aktivitas aktivitas, yang meliputi:

  • Pertama, tazkiyah an nafs atau pensucian jiwa, artinya mensucikan diri dari berbagai kecenderungan buruk, tercela, dan sifat hewani serta menghiasinya dengan sifat sifat terpuji dan malakuti.
  • Kedua, tashfiyah al qalb, pensucian kalbu. Ini berarti menghapus dari hati kecintaan akan kenikmatan duniawi yang sifatnya sementara dan kekhawatiran atas kesedihan, serta memantapkan dalam tempatnya kecintaan kepada Allah semata.
  • Ketiga, takhalliyah as Sirr atau pengosongan jiwa dari segenap pikiran yang bakal mengalihkan perhatian dari dzikir atau ingat kepada Allah.
  • Keempat, tajalliyah ar Ruh atau pencerahan ruh, berarti mengisi ruh dengan cahaya Allah dan gelora cintanya.
Unsur-unsur 
  • Qasrun = Merupakan unsur jasmaniah, berarti istana yang menunjukan betapa keunikan struktur tubuh manusia.
  • Sadrun = (Latifah al-nafs) sebagai unsur jiwa
  • Qalbun = (Latifah al-qalb) sebagai unsur rohaniah
  • Fuadun = (Latifah al-ruh) Unsur rohaniah
  • Syagafun = (Latifah al-sirr) unsur rohaniah
  • Lubbun = (Latifah al-khafi) unsur rohaniah
  • Sirrun = (Latifah al-akhfa) unsur rohaniah
Hal ini relevan dengan firman Allah SWT dalam hadist qudsi:
“Aku jadikan pada tubuh anak Adam (manusia) itu qasrun (istana), di situ ada sadrun (dada), di dalam dada itu ada qalbu (tempat bolak balik ingatan), di dalamnya ada lagi fu’ad (jujur ingatannya), di dalamnya pula ada syagaf (kerinduan), di dalamnya lagi ada lubbun (merasa terialu rindu), dan di dalam lubbun ada sirrun (mesra), sedangkan di dalam sirrun ada “Aku”.
 
 Firman Allah SWT dalam hadist qudsi:
“Aku jadikan pada tubuh anak Adam (manusia) itu qasrun (istana), di situ ada sadrun (dada), di dalam dada itu ada qalbu (tempat bolak balik ingatan), di dalamnya ada lagi fu’ad (jujur ingatannya), di dalamnya pula ada syagaf (kerinduan), di dalamnya lagi ada lubbun (merasa terlalu rindu), dan di dalam lubbun ada sirrun (mesra), sedangkan di dalam sirrun ada “Aku”.
 
Ahmad al-Shirhindi dalam Kharisudin memaknai hadist qudsi di atas melalui sistem interiorisasi dalam diri manusia.
Pada dasarnya lathifah-lathifah tersebut berasal dari alam amri (perintah) Allah : “Kun fayakun”, yang artinya, “jadi maka jadilah” (QS : 36: 82) merupakan al-ruh yang bersifat immaterial. Semua yang berasal dari alam al-khalqi (alam ciptaan) bersifat material.
 
Karena qudrat dan iradat Allah ketika Allah telah menjadikan badan jasmaniah manusia, selanjutnya Allah menitipkan kelima lathifah tersebut ke dalam badan jasmani manusia dengan keterikatan yang sangat kuat.
 
Lathifah-lathifah itulah yang mengendalikan kehidupan batiniah seseorang, maka tempatnya ada di dalam badan manusia. Lathifah ini pada tahapan selanjutnya merupakan istilah praktis yang berkonotasi tempat.
 
Umpamanya lathifah al-nafsi sebagai tempatnya al-nafsu al-amarah. Lathifah al-qalbi sebagai tempatnya nafsu al-lawamah. Lathifah al-Ruhi sebagai tempatnya al-nafsu al-mulhimmah, dan seterusnya. Dengan kata lain bertempatnya lathifah yang bersifat immaterial ke dalam badan jasmani manusia adalah sepenuhnya karena kuasa Allah.
 
Lathifah sebagai kendaraan media bagi ruh bereksistensi dalam diri manusia yang bersifat barzakhiyah (keadaan antara kehidupan jasmaniah dan rohaniah).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar