Rabu

Daya Tahan di Tengah Tantangan


Ada banyak tantangan menghadang di depan mata. Ada bencana alam seperti gunung meletus, gempa bumi, banjir, tanah longsor, tsunami. Ada berbagai bentuk kerusakan yang disebabkan oleh kesalahan manusia seperti kerusakan alam, luasnya kemiskinan dan kerusakan hidup bersama karena fundamentalisme agama. Pada lingkup keluarga dan hidup pribadi, Anda bisa menambahkan sendiri berbagai tantangan yang Anda sendiri hadapi. Misalnya, tantangan untuk mencapai cita-cita, tantangan dalam perjuangan untuk bertahan hidup, tantangan dalam mewujudkan keutuhan keluarga, tantangan untuk merealisasikan nilai-nilai luhur kehidupan, dan seterusnya.
 
Untuk bisa berhasil dalam hidup di tengah berbagai tantangan dibutuhkan kualitas ketahanan batin. Agar kita bisa makan, kita harus bekerja. Untuk mencapai keberhasilan dalam hidup, kita perlu belajar untuk tidak takut gagal. Untuk bisa hidup sejahtera, kita perlu belajar agar tidak takut hidup miskin. Untuk bisa hidup efektif di tengah dunia, kita perlu belajar untuk tidak gampang terseret oleh gebryar dunia. Untuk bisa hidup bebas di tengah begitu banyak umat manusia yang tidak bebas, kita perlu tekun mengolah hidup agar kita senantiasa bebas dari saat ke saat. Terkadang kita menghadapi kritikan, caci-makian, penolakan, tekanan, menjadi sasaran kemarahan karena suatu sikap atau tindakan kita dan kita perlu belajar tidak mudah patah semangat. Untuk itu semua dibutuhkan daya-tahan, ketekunan, kesabaran, kegigihan.
Salah satu rintangan terbesar bagi munculnya daya-tahan ini adalah sikap malas. Batin yang malas itu seperti kolam atau rawa yang berlumpur. Kalau Anda jatuh ke tengah rawa yang berlumpur, maka Anda sulit sekali untuk bergerak. Melangkah maju sulit, melangkah mundur juga sulit. Kemalasan itu membuat batin sulit bergerak atau bertindak benar. Mari kita menyelami beberapa manifestasi kemalasan ini.
 
Pertama, kemalasan karena melekat pada kenikmatan atau kenyamanan. Ketika kita mengalami rasa nikmat atau nyaman, kalau tidak disadari, begitu mudah batin melekatinya. Kelekatan terhadap kenikmatan atau kenyamanan, termasuk keinginan untuk mengalami kembali kelekatan atau kenikmatan yang sudah lewat, menceburkan kita ke dalam kolam kemalasan.
 
Batin yang malas berkubang dalam kenikmatan. Ketika tantangan menghadang, batin yang malas mudah didera oleh rasa takut. Batin mudah takut kalau-kalau kenikmatan atau kenyamanan ini akan direnggut dari dirinya. Pengalaman kenikmatan itu telah mengekang dirinya dan membuat batin tidak terbuka terhadap tantangan baru.
 
Kedua, kemalasan karena batin terlalu cepat mengatakan, “Aku tidak mampu.” Ketika kesulitan atau tantangan menghadang, mengapa batin cepat-cepat menyerah? Masih bisa dipahami kalau orang menyerah pada tantangan setelah lama berjuang untuk mengatasinya dengan berbagai cara dan tidak berhasil. Tetapi ketika batin cepat-cepat menyerah sebelum cukup berjuang, maka batin seperti itu adalah batin yang malas.
 
Daya-tahan bukanlah hasil dari optimalisasi sembarang daya-upaya, tetapi merupakan buah dari daya-upaya yang benar. Daya-upaya yang benar merupakan energy batin yang menjaga agar kesadaran tetap bekerja secara terus-menerus. Oleh karena itu energy daya-upaya yang benar bukan berasal dari keinginan atau kehendak, melainkan dari kesadaran. Energi inilah yang membuat kita mampu bertahan di tengah berbagai kesulitan.
 
Ketiga, kemalasan karena batin terlalu sibuk dan tegang. Terlalu mamaksa diri untuk bertahan bukanlah daya-upaya yang benar. Ketika batin terfokus pada daya-upaya untuk bertahan, maka kesadaran tidak ada dan batin terserap pada objeknya. Energi daya-upaya seperti ini juga membuat batin tegang. Kesadaran dan pemahaman yang benar tidak akan muncul kalau tubuh dan batin terlalu sibuk dan tegang.
 
Keempat, kemalasan karena batin terlalu cepat lelah. Kelelahan muncul karena banyak energy daya-upaya yang tidak benar sudah dikeluarkan untuk melawan atau menolak atau memaksa diri untuk bertahan. Batin yang terlalu sibuk menguras banyak energy dan karenanya tubuh dan batin mudah lelah. Batin yang terlalu cepat lelah tidak memiliki stamina yang kuat untuk menghadapi setiap tantangan yang menghadang. Kalau batin dan tubuh kita lelah, tentu saja kita perlu istirahat. Akan tetapi perlu dicermati apakah batin dan tubuh yang lelah itu merupakan akibat dari kemalasan atau bukan?
Kelelahan bisa juga muncul karena kita kurang berminat untuk menghadapi setiap tantangan yang datang. Batin yang cepat lelah perlu belajar untuk mengembangkan minat yang benar untuk menghadapi setiap tantangan. Setiap tantangan, termasuk rasa malas atau rasa lelah itu sendiri, perlu untuk lebih disadari, diselami dan dipahami. Untuk itu minat untuk memahami setiap tantangan perlu dikembangkan.
 
Kalau manifestasi kemalasan itu kita sadari saat kemunculannya, maka ada kemungkinan daya-tahan itu muncul dan setiap tantangan yang datang tidak mudah menggoncang batin. Ketika batin terbebas dari kemalasan, setiap tantangan justru bisa membangkitkan minat untuk lebih memahami perkaranya.
 
Segala sesuatu yang menggoncang batin sesungguhnya bukanlah masalah atau problem. Ketika batin menganggap itu sebagai problem, maka di sana sudah ada penolakan. Alih-alih segala sesuatu itu perlu dilihat sebagai suatu pengalaman yang perlu untuk diterima, diselami, dipahami dan dilalui. Tidak ada pengalaman yang baik atau buruk. Setiap pengalaman datang secara alamiah agar kita menjadi lebih sadar dan dengan demikian lebih berdaya-tahan di tengah berbagai tantangan.
 
Pengalaman itu sendiri perlu dilihat dalam keseluruhannya tanpa melupakan bagian-bagiannya. Kalau kita hanya melihat bagian-bagiannya saja, misalnya bagian yang sulit saja atau bagian yang mudah saja, maka kita sudah terjebak dalam partikularitas dan kita tidak melihat keseluruhannya.
 
Belakangan ini banyak peristiwa bencana alam menimpa negri ini. Letusan Gunung Merapi adalah salah satunya. Banyak orang yang terkena dampak dari letusan Gunung Merapi menderita depresi. Ada sebagian yang sakit jiwa. Mereka menderita karena kehilangan anggota keluarganya, sakit, hancurnya tempat tinggal, matinya ternak dan rusaknya lahan pertanian. Tetapi sebagian orang yang lain tetap tegar. Mereka memandang bahwa Gunung Merapi bukanlah ancaman. Gunung Merapi merupakan bagian hidup dari para petani di desa dan mereka juga tidak memandang diri mereka sebagai korban. Meskipun rumah dan lahan pertanian rusak parah, mereka tetap kembali ke desa dari tempat pengungsian dan memulai kehidupan mereka dengan damai di tengah berbagai kesulitan dan tantangan. Orang-orang semacam itu tentu memiliki ketahanan yang lebih kokoh dibandingkan sebagian orang lain yang memandang apa yang mereka alamai sebagai masalah, bukan sebagai pengalaman yang musti diterima dan dipahami.
 
Daya-tahan tidak datang dari konsentrasi, bukan dari sembarang daya-upaya, bukan dari keinginan atau kehendak. Daya-tahan hanya mungkin muncul kalau ada daya-upaya yang benar untuk menjaga agar kesadaran bekerja secara terus-menerus.*

Tidak ada komentar:

Posting Komentar