Jumat

Mujahadah

Mujahadah bererti bersungguh hati melaksanakan ibadah dan teguh berkarya amal shaleh, sesuai dengan apa yang telah diperintahkan Allah SWT yang sekaligus menjadi amanat serta
tujuan diciptakannya manusia.  Dengan beribadah, manusia menjadikan dirinya ‘abdun (hamba) yang dituntut berbakti dan mengabdi kepada Ma’bud (Allah Maha Menjadikan) sebagai konsekuensi manusia sebagai hamba wajib berbakti (beribadah). 

Mujahadah adalah sarana menunjukkan ketaatan seorang hamba kepada Allah, sebagai wujud keimanan dan ketaqwaan kepada-Nya. Di antara perintah Allah SWT kepada manusia adalah untuk selalu berdedikasi dan berkarya secara optimal. Hal ini dijelaskan di dalam Al Qur’an Surat At Taubah ayat: 5,  “Dan katakanlah, bekerjalah kamu, maka Allah dan Rasul-Nya serta orang-orang mukmin akan melihat pekerjaanmu, dan kamu akan dikembalikan kepada (Allah) Yang Maha Mengetahui akan yang ghaib dan yang nyata, lalu diberitahukan-Nya kepada kamu apa-apa yang telah kamu kerjakan.” 
Orang-orang yang selalu bermujahadah merealisasikan keimanannya dengan beribadah dan beramal shaleh dijanjikan akan mendapatkan petunjuk jalan kebenaran untuk menuju (ridha) Allah SWT hidayah dan rusyda yang dijanjikan Allah diberikan kepada yang terus bermujahadah dengan istiqamah. 
Kecerdasan dan kearifan akan memandu dengan selalu ingat kepada Allah SWT, tidak terpukau oleh bujuk rayu hawa nafsu dan syetan yang terus menggoda.
Situasi batin dari orang-orang yang terus musyahadah (menyaksikan) keagungan Ilahi amat tenang. Sehingga tak ada kewajiban yang diperintah dilalaikan dan tidak ada larangan Allah yang dilanggar.  Jiwa yang memiliki rusyda terus hadir dengan khusyu’. Inilah sebenarnya yang disebut mujahidin ‘ala nafsini wa jawarihihi, yaitu orang yang selalu bersungguh dengan nuraninya dan gerakannya. 
Syeikh Abu Ali Ad Daqqaq mengatakan: “Barangsiapa menghias lahiriahnya dengan mujahadah, Allah akan memperindah rahasia batinnya melalui musyahadah.” 
Imam Al Qusyairi an Naisaburi  mengomentari tentang mujahadah sebagai berikut:  « Jiwa mempunyai dua sifat yang menghalanginya dalam mencari kebaikan; Pertama larut dalam mengikuti hawa nafsu, Kedua ingkar terhadap ketaatan. 
Manakala jiwa ditunggangi nafsu, wajib dikendalikan dengan kendali taqwa. Manakala jiwa bersikeras ingkar kepada kehendak Tuhan, wajib dilunakkan dengan menolak keinginan hawa nafsunya. 
Manakala jiwa bangkit memberontak, wajib ditaklukkan dengan musyahadah dan istigfar.  Sesungguhnya bertahan dalam lapar (puasa) dan bangun malam di perempat malam (tahajjud), adalah sesuatu yang mudah.  Sedangkan membina akhlak dan membersihkan jiwa dari sesuatu yang mengotorinya sangatlah sulit. »  Mujahadah adalah suatu keniscayaan yang mesti diperbuat oleh siapa saja yang ingin kebersihan jiwa serta kematangan iman dan taqwa.
Dan sesunggunya Kami telah menciptakan manusia dan mengetahui apa yang dibisikkan oleh hatinya dan Kami lebih dekat kepadanya dari pada urat lehernya, (yaitu) ketika dua orang malaikat mencatat amal perbuatannya, seorang duduk di sebelah kanan dan yang lain duduk di sebelah kiri. Tiada satu ucapanpun yang diucapkannya melainkan adal di dekatnya Malaikat pengawas yang selalu hadir”. (Q.S. Qaaf: 16-18). 
Abu Nadhrah telah meriwayatkan dari Abu Sa’id Al-Khudri RA, suatu hari, Rasulullah SAW ditanya tentang jihad yang paling utama,  Beliau bersabda, “Menyampaikan kalimat yang benar kepada raja yang zhalim.”  Mendengar sabda Rasulullah SAW, berlinanglah air mata Abu Said ra. Abu Ali Daqaq berkata,”Barangsiapa menghiasi lahirnya dengan mujahadah, Allah SWT akan mempercantik hatinya dengan musyahadah.”
Allah SWT telah berfirman,  “Dan orang-orang yang berjihad untuk (mencari keridhaan Allah) Kami, benar-benar akan Kami tunjukkan kepada mereka jalan-jalan Kami.” Barang siapa yang tidak mau bermujahadah di permulaannya, maka dia tidak akan pernah menemui sesuatu pada jalan itu. Dan orang-orang yang berjihad untuk (mencari keridhaan Allah) Kami, benar-benar akan Kami tunjukkan kepada mereka jalan-jalan Kami.  Dan sesungguhnya Allah benar-benar beserta orang-orang yang berbuat baik.” (Q.S. Al-Ankabut: 69).
Abu Utsman Al-Maghribi berkata,”Barangsiapa mengira telah melihat sesuatu atau ada sesuatu yang telah dibukakan baginya jalan ini, sedangkan dia tidak pernah bermujahadah. Sungguh, dia telah keliru.”
Abu Ali Ad-Daqad berkata, “Barangsiapa dipermulaan perjalanannya tidak mau berdiri, maka di akhir perjalanannya tidak akan dapat duduk.” Dia juga mengatakan, “Bergerak membawa berkah. karena itu, gerakan pada lahir membawa berkah bagi hati.”
Al-Hasan bin Alawiyah mengutip pernyataan Abu Yazid Al-Bisthami, “Duabelas tahun aku menundukkan nafsuku. Lima tahun aku berada pada cermin hatiku, dan satu tahun aku melihat apa yang ada di sana. Ternyata, aku melihat pada perutku ada tali pengikat yang tampak. Karena itu, aku berusaha memutuskannya selama dua belas tahun. Kemudian aku melihat ternyata pada batinku ada tali pengikat yang tampak.
Karena itu, aku berusaha bagaimana aku telah memotongnya. Maka dibukakan bagiku. Lalu, aku melihat makhluk. Ternyata, mereka semua telah mati. Aku mengucapkan takbir atas kematian mereka empat kali.” Diriwayatkan, Syekh Junaidi Al-Baghdadi berkata dengan menukilkan pernyataan Sirri As-Saqati, “Wahai sekalian anak muda. Bersungguh-sungguhlah sebelum kamu menjadi seperti saya, lalu kamu akan lemah dan tidak berdaya seperti aku.” Padahal pada saat itu, dia belum lemah dalam beribadah.
Hasan Al-Qazzaz berkata, “Jalan ini ditempuh di atas tiga perkara, yaitu tidak makan kecuali telah lapar, tidak tidur kecuali telah mengantuk, dan tidak berbicara kecuali seperlunya saja”.
Ibrahim bin Adham berkata, “Seseorang tidak akan mencapai derajat shalihin kecuali telah melalui enam tingkatan, yaitu menutup pintu kenikmatan dan membuka pintu kesusahan, menutup pintu kemuliaan dan membuka pintu kehinaan, menutup pintu kemudahan dan dan membuka pintu kesusahan, menutup pintu tidur dan membuka pintu terjaga, menutup pintu kekayaan dan membuka pintu fakir, menutup pintu angan-angan dan membuka pintu siap mati.”
Abu Umar bin Najid berkata, “Barangsiapa memulyakan nafsunya bererti telah menghinakan agamanya”.
Abu Ali Ar-Ruzbari berkata, “Apabila ada seorang sufi telah tidak makan lima hari mengatakan, ‘aku lapar’, maka bawalah dia ke pasar dan suruhlah dia bekerja.”
Dzun Nun Al-Mishri berkata, “Tidak ada seorang hamba yang lebih dimulyakan Allah SWT daripada orang yang telah ditunjukkan agar merendahkan dirinya. Tidak ada seorang hamba yang lebih dihinakan Allah SWT dari pada orang yang terhalang dari merendahkan dirinya.”
Ibrahim Al-Khawash berkata, “Tidak ada sesuatu yang menyusahkanku kecuali aku akan mengendarainya.” Dia juga mengatakan, “Muhammad bin Fadhal telah berkata kepadaku, ‘Kedamaian adalah bersih dari angan-angan dan nafsu’”.
Manshur bin Abdullah berkata, Aku mendengar Abu Ali Ar-Rauzibari berkata, “Kerusakan itu masuk dari tiga pintu, yaitu perangai yang sakit, kebiasaan mengikuti tradisi, dan pergaulan yang buruk.” Aku bertanya kepadanya, “Apa yang dimaksud dengan peragai yang sakit? Dia berkata, “Memakan yang haram.” Aku bertanya, “Apa yang dimaksud engan kebiasaan mengikuti tradisi?”
Dia berkata, “Melihat dan mendengarkan sesuatu yang haram dan berghibah.” Aku bertanya, “Apa yang dimaksud dengan pergaulan buruk?” Dia berkata, “Mengikuti setiap nafsu yang bergejolak”.
An-Nashrabazi berkata, “Nafsumu telah memenjarakanmu. Jika keluar darinya, kamu akan menemukan kedamaian abadi”.
Abul Hasan Al-Warraq berkata, “Beberapa ketetapan yang paling penting sebagai pelajaran dasar bagi kami di masjid Abu Ustman adalah pertama, mengutamakan apa yang akan dibukakan ke atas kami, agar kami tidak bermalam pada waktu yang telah diketahui. Kedua, bila ada orang yang datang kepada kami dengan sesuatu yang tidak menyenangkan agar kami tidak menyakitinya, tetapi harus memaafkannya dan merendahkan diri kepadanya. Ketiga, bila di hati kami ada perasaan menghinakan seseorang, kami harus berdiri melayaninya.
“Dan orang orang yang berjihad untuk (mencari) keridhaan Kami, benar benar akan Kami tunjukkan kepada merekajalan-jalan Kami. Dan sesungguhnya Allah benar benar beserta orang-orang yang berbuat baik.”
(Q.s. Al Ankabut: 69)
Diriwayatkan dari Abu Sa’id al Khudry, bahwa ketika Rasulullah saw. ditanya mengenai jihad terbaik, beliau menjawab, “Adalah perkataan yang adil yang disampaikan kepada seorang penguasa yang zallm.”
(H.r. Tirmidzi, Abu Dawud dan Ibnu Majah)
Maka air mata berlinang dari kedua mata Abu Sa’id ketika mendengar hal ini.
Syeikh Abu Ali ad Daqqaq r.a. berkata, “Barangsiapa menghiasi lahiriahnya dengan mujahadah, Allah akan memperindah rahasia batinnya melalui musyahadah. Siapa yang permulaannya tidak memiliki mujahadah dalam tharikah ini, ia tidak akan menemui cahaya yang memancar darinya.”
Abu Utsman al Maghriby mengatakan, “Adalah kesalahan besar bagi seseorang membayangkan bahwa dirinya akan mencapai sesuatu di Jalan Nya atau bahwa sesuatu di Jalan Nya akan tersingkap baginya, tanpa bermujahadah.”
Syeikh Abu Ali ad Daqqaq r.a. menegaskan, “Orang yang tidak berdiri dengan mantap di awal perjalanan spiritualnya tidak akan diizinkan beristirahat pada akhir perjalanannya.” Dikatakannya pula, “Gerak adalah suatu berkat.” Dan katanya kemudian, “Gerakan-gerakan dzahir akan melahirkan barakah barakah batin.”
Hadhrat Maulana Syaikh Sari as Saqathi berkata, “Wahai kaum muda, tekunlah kalian, sebelum kamu sekalian menginjak usia seperti diriku, sehingga kalian lemah dan lengah seperti diriku. ” Padahal pada saat itu tidak seorang pun di antara para pemuda yang mampu menyejajari langkah as Sari dalam bidang ibadat.
Saya mendengar al Hasan al Qazzaz berkata, “Jangan makan kecuali amat lapar, jangan tidur kecuali amat kantuk, jangan bicara kecuali dalam keadaan darurat.”
Ibrahim bin Adham mengatakan, “Seseorang baru akan mencapai deraiat kesalehan, sesudah melakukan enam hal:
Menutup pintu bersenang senang dan membuka pintu penderitaan;
Menutup pintu keangkuhan dan membuka pintu kerendahan hati;
Menutup pintu istirahat dan membuka pintu perjuangan;
Menutup pintu tidur dan membuka pintu jaga;
Menutup pintu kemewahan dan membuka pintu kemiskinan;
Menutup pintu harapan duniawi dan membuka pintu persiapan menghadapi kernatian.”
Abu Amr bin Nujayd berkata, “Barangsiapa menghargai hawa nafsunya berarti meremehkan agamanya dan pendengarannya.”
Abu Ali ar Rudzbary mengatakan,”Apabila seorang Sufi – sesudah lima hari kelaparan berkata, ‘Aku lapar,’ kirimlah ia ke pasar untuk mencari nafkah.
Prinsip mujahadah pada dasarnya adalah mencegah jiwa dari kebiasaan kebiasaannya dan memaksanya menentang hawa nafsunya separijang waktu. “Jiwa mempunyai dua sifat yang menghalanginya dalam mencapai kebaikan: keberlarutan dalam memuja hawa nafsu dan penolakan pada tindak kepatuhan.
Manakala jiwa menunggang nafsu, maka Anda harus mengendalikannya dengan kendali takawa.
Manakala jiwa bersikukuh menolak untuk selaras dengan kehendak Tuhan, maka Anda harus mengendalikannya agar menolak hawa nafsunya.
Manakala jiwa bangkit memberontak, maka Anda harus mengendalikan keadaan ini. Tiada satu hal pun yang berakibat lebih utama selain sesuatu yang muncul menggantikan kemarahan yang kekuatannya telah dihancurkan dan yang nyalanya telah dipadamkan oleh akhlak mulia.
Manakala jiwa menemukan kemanisan dalam anggur kecongkakan, niscaya ia akan merana bila tidak sanggup menunjukkan kemampuannya dan menghiasi perbuatan- perbuatannya kepada siapa pun yang melihatnya.
Orang harus memutuskannya dari kecenderungan seperti ini dan menyerahkannya pada hukuman kehinaan yang akan datang tatkala diingatkan akan harga dirinya yang rendah, asal usulnya yang hina dan amal amalnya yang menjijikkan.
Perjuangan kaum awam berupa pelaksanaan tindakan tindakan; tujuan kaum khawash adalah menyucikan keadaan spiritual mereka. Bertahan dalam lapar dan jaga, adalah sesuatu yang mudah. Sedangkan membina akhlak dan membersihkan semua hal negatif yang melekat padanya sangatlah sulit.
Satu dari sekian sifat jiwa yang merugikan dan paling sulit dilihat adalah ketergantungannya pada pujian manusia. Orang yang bermental seperti ini berarti menyangga beban langit dan bumi dengan satu alisnya. Satu pertanda yang mengisyaratkan mental seperti ini adalah bahwa apabila pujian orang tidak diberikan kepadanya, niscaya la menjadi pasif dan pengecut.
Dikabarkan bahwa Abu Muhammad al Murta’isy berkata, “Aku berangkat haji berkali kali seorang diri. Pada suatu ketika aku menyadari bahwa segenap upayaku terkotori oleh kegembiraanku dalam melakukannya. Hal ini kusadari saat ibu memintaku menarikkan seguci air untuknya. Jiwaku merasakan hal ini sebagai beban yang berat. Saat itulah aku mengetahui bahwa apa yang kusangka merupakan kepatuhan kepada Allah swt.
dalam hajiku selama ini tidak lain hanyalah kesenanganku semata, yang datang dari kelemahan dalam jiwa, karena apabila nafsuku sirna, niscaya tidak akan mendapati tugas kewajibanku sebagai sesuatu yang memberatkan dalam hukurn syariat.” Pada suatu ketika seorang wanita lanjut usia ditanya mengenai keadaan ruhaninya. la menjawab, “Semasa muda, aku berpikir bahwa keadaan keadaan ruhani itu berasal dari kekuatan dan semangat yang tak kujumpal saat ini, ketika sudah tua, semua itu sirna sudah.”
Dzun Nuun al Mishry berkata, “Penghormatan yang Allah berkenan memberikannya kepada seorang hamba, maka Allah menunjukkan kehinaan dirinya; penghinaan yang Allah berkenan menimpakannya kepada seorang hamba, maka Allah menyembunylkan kehinaan dirinya dari pengetahuan akan kehinaan itu sendiri.
Ibrahim al Khawwas menegaskan, “Aku tidak menghadapi seluruh ketakutanku, kecuali secara langsung menghadapinya dengan menunggangnya.” Muhammad bin Fadhl mengatakan, “Istirahat total adalah kebebasan dari keinginan hawa nafsu.” Saya mendengar Abu Ali ar Rudzbary berkata, “Bahaya yang menimpa manusia datang dari tiga hal: Kelemahan watak, keterpakuan pada kebiasaan, dan mempertahankan teman yang merusak.”
Saya bertanya kepadanya, “Apakah kelemahan watak itu?” la menjawab, “Mengonsumsi hal hal yang haram.” Lalu saya tanyakan, “Apakah keterpakuan pada kebiasaan itu?” la berkata, “Memandang dan mendengarkan segala sesuatu yang haram dan melibatkan diri dalam fitnah.” Saya bertanya, “Apakah mempertahankan teman yang merusak itu?” Dijawabnya, “Itu terjadi ketika Anda menuruti hasrat nafsu dalam diri, lalu diri Anda mengikutinya.”
An Nashr Abadzy mengatakan, “Penjara adalah jiwa Anda. Apabila Anda melepaskan diri darinya, niscaya akan sampai pada kedamaian.” la juga berkata, “
Aku mendengar Muhammad al Farra’ berkisah, bahwa Abul Husain al Warraq mengatakan, ‘Ketika kami mulai menempuh jalan Nya lewat tasawuf di Masjid Abu Utsman al Hiry, praktik terbaik yang kami lakukan adalah bahwa kami memprioritaskan kemudahan bagi orang lain; kami tidak pernah tidur dengan menyimpan sesuatu tanpa disedekahkan;
kami tidak pernah menuntut balas kepada seseorang yang menyinggung hati kami, bahkan kami selalu memaafkan tindakannya dan bersikap rendah hati kepadanya; dan jika kami memandang hina seseorang dalam hati kami, maka kami akan mewajibkan diri kami untuk melayaninya sampai perasaan memandang hina itu lenyap’.”
Abu ja’far berkata, “Nafsu, seluruhnya gelap gulita. Pelitanya adalah batinnya. Cahaya pelita ini adalah taufiq. Orang yang tidak disertai taufik dari Tuhannya, maka kegelapan akan menyelimutinya.” Ketika mengatakan, “Pelitanya adalah batinnya,” dimaksudkan adalah rahasia antara dirinya dan Allah swt, yakni tempat keikhlasannya. Dengannya si hamba tersebut mengetahui bahwa semua peristiwa adalah karya Tuhan; peristiwa peristiwa bukanlah ciptaan dirinya, tidak pula berasal darinya.
Bila mengetahui hal ini, la akan bebas dalam setiap keadaannya, dari kekuatan dan kekuasaannya sendirl dalam melestarikan manfaat waktunya. Orang yang tidak disertai taufik tidak akan memperoleh manfaat dari pengetahuan tentang jiwanya atau tentang Tuhannya. Itulah sebabnya mengapa para syeikh mengatakan, “Orang yang tidak mempunyai sirr akan terus bersikeras menuruti hawa nafsunya.”
Abu Utsman berkata, “Selama orang melihat setiap sesuatu baik dalam jiwanya, la tidak akan mampu melihat kelemahan-kelemahannya. Hanya orang yang berani mendakwa dirinya terusmenerus selalu berbuat salahlah yang akan sanggup melihat kesalahannya itu.”Abu Hafs mengatakan, “Tidak ada jalan yang lebih cepat ke arah kerusakan, kecuali jalan orang yang tidak mengetahui kekurangan diriya, karena kemaksiatan kepada Tuhan adalah jalan cepat menuju kekafiran.”
Abu Sulaiman berkata, “Aku tahu bahwa tidak sedikit pun kebaikan dapat ditemukan dalam suatu perbuatan yang kulakukan sendiri, aku berharap diberi pahala karenanya.” Syaikh Sari as Saqathi berkomentar, “Waspadalah terhadap orang yang suka bertetangga dengan orang kaya, pembaca pembaca Qur’an yang sering mengunjungi pasar, dan ulama ulama yang mendekati penguasa.”
Dzun Nuun al Mishry mengatakan, “Kerusakan merasuki diri manusia dikarenakan enam hal:Mereka memiliki niat yang lemah dalam melakukan amal untuk akhirat; Tubuh mereka diperbudak oleh nafsu; Mereka tidak henti hentinya mengharapkan perolehan duniawi, bahkan menjelang ajal;
Mereka lebih suka menyenangkan makhluk, mengalahkan ridha Sang Pencipta;
Mereka memperturutkan hawa nafsunya, dan tidak menaruh perhatian yang cukup kepada Sunnah Nabi Saww.; Mereka membela diri dengan menyebutkan beberapa kesalahan orang lain, dan mengubur prestasi pendahulunya. “
Mujahadah orang awam adalah memperbaiki amal, sementara mujahadah orang khawash adalah memperbaiki keadaan hati. Sungguh, mudah menahan lapar, haus, dan mengantuk tetapi amat sulit dan sukar mengubati akhlak yang buruk. Demikian ungkapan para sufi tentang mujahadah, semoga akan bermanfaat bagi kita semua dalam menempuh jalan menuju Allah SWT. Semoga kita semua akan diberi kekuatan oleh Allah untuk selalu dapat bermujahadah di jalan-Nya sehingga menjadi orang-orang yang Menang.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar