Kamis

Drupadi

Akhir perjalanan sang DRUPADI menghantar DARMA SUCI menuju nirwana...DAN SEMPURNALAH JAMUS KALIMASADA
 ku awali pusaran maha cinta ini di airmu yang bening tempat ku membasuh diri ..dimana kan kutumpahkan segala kerinduanku padamu
 Inilah sosok Drupadi yang lahir karena dendam, menanggung dendam dan membawa dendam dalam sepanjang hidupnya – wanita yang lahir dari api
Drupadi lahir dari api suci upacara putrakarma yang dilakukan oleh raja Drupada dari kerajaan Panchala karena dendamnya kepada Drouna sahabatnya yang telah mempermalukan dirinya. Rasa sakit hati dan dendam yang mendalam membuat Raja Drupada mengadakan upacara suci putrakarma memohon kepada dewata agar dikaruniai anak sempurna yang akan membalaskan sakit hatinya atas perlakuan Drauna yang telah menawan dirinya dan mempermalukan dirinya di depan murid-muridnya. Drouna yang telah menyuruh Arjuna dan Bima berhasil menawan Raja Drupada dan membawa Raja Drupada kepadanya dalam keadaan terikat. Rasa malu yang ditanggungnya membuat ia bersumpah untuk membalas perlakuan Drouna..

Permohonan Drupada terkabul dari dalam api korban suci keluar dua sosok pribadi yang dianugerahkan dewata kepadanya. Sesosok laki-laki tampan lengkap dengan pakaian perang yang gagah perkasa dan diberinya nama Drestadyumna dialah yang nantinya akan membalaskan dendam Drupada membunuh Drouna. Dan sesosok perempuan yang cantik jelita dengan warna kulit kehitam-hitaman dan rambut kebiru-biruan dialah Drupadi. Dialah Khrisna karena warna kulitnya kehitam-hitaman, dialah Panchali karena dia putri Panchala dan dialah Drupadi karena dia putri Raja Drupada.

Drupadi lahir membawa dendam untuk membalaskan sakit hati ayahandanya. Dia memilih jalannya dan menjalani takdirnya, sebagaimana yang tersirat dari pesan dalam batin dan doa ayahandanya untuk mencari sosok laki-laki sempurna yang akan mendukungnya dan sekaligus dalam genggaman kekuasaannya. Dan dalam kelembutannya Drupadi mempunyai kekuatan untuk itu. Karena dia anugerah dewata.
 
Drupada dan Drouna adalah sahabat karib yang tak terpisahkan, waktu masih sama-sama belajar pada seorang brahmana miskin putra Baradwaja. Persahabatan yang tulus dan sehati waktu masih sama-sama sependeritaan dalam belajar di pertapaan. Drouna adalah seorang yang miskin, sedangkan Drupada adalah putra seorang raja kerajaan Panchala, tetapi tidak ada perbedaan dan tidak ada jarak sebagai sesama murid di pertapaan itu. Yang ada adalah saling berbagi dan saling mendukung sebagai sahabat. Mereka tak terpisahkan. Bahkan sempat terlontar ucapan Drupada kepada Drouna, kelak bila ia menjadi raja maka ia akan memberikan sebagian kerajaannya kepada Drouna. Dan Drouna memegang janji itu. Waktu terus berlalu, sampai kemudian tiba saatnya mereka selesai belajar dan berpisah. Drupada kembali ke kerajaan Panchala, sementara Drouna yang miskin meneruskan belajar ilmu dengan mengembara dan menjalani hidup sebagai pertapa.
Dan akhirnya sepeninggal ayahandanya Drupada benar-benar menjadi raja, dan menikmati hidup sebagai raja yang mempunyai kekuasaan dan disibukkan dengan berbagai urusan kerajaan. Waktu terus berlalu sementara Drupada hidup sebagai raja, Drouna terus dalam pengembaraannya dan persahabatan mereka terputus sekian lama. Sampai suatu saat Drouna teringat ucapan sahabatnya sewaktu masih sama-sama belajar di pertapaan dulu, dengan harap-harap cemas berangkatlah ia ke kerajaan Panchala, kerinduannya pada sahabat membuat langkahnya makin mantap ke kerajaan Panchala, ditambah keadaan dirinya dan anak isterinya yang hidup miskin tidak ada pengharapan lagi. Kemana lagi jika bukan pada sahabat lamanya Drupada.
Manusia boleh berencana dan berjanji muluk-muluk, tetapi keadaan dan kenyataan hidup bisa mengubah segalanya. Dan semua janji yang nampaknya indah di awal bisa lain kenyataan di kemudian hari. Drouna yang berangkat dengan penuh harapan dan keyakinan, alangkah terkejutnya mendapat perlakuan Drupada sahabatnya dahulu. Belumlah sempat terlontar ucapan untuk menagih janji, Drouna sudah diusir dengan perlakuan kasar dan ucapan yang menyakitkan hati. Drupada tidak mengakui Drouna sebagai sahabatnya, tidak layak seorang raja Panchala berteman dengan seorang brahmana miskin seperti Drouna. Lain sekali dengan ucapan Drupada waktu masih sama-sama menderita sebagai murid di pertapaan. Kekuasan dan kelimpahan telah melupakan semuanya. Drouna diusir dan tidak diakui sebagai sahabat Drupada. Rasa kecewa dan sakit yang mendalam dialami Drouna, begitu mudahnya Drupada melupakan persahabatan mereka. Berakhirlah persahabatan mereka dengan meninggalkan luka yang mendalam dalam diri Drouna, rasa kecewa, sedih, malu dan sakit hati dia bawa keluar dari istana kerajaan Panchala dan melahirkan dendam dalam diri Drouna. Dia bersumpah tidak akan menginjakkan kaki di kerajaan Panchala lagi dan akan membalas perlakuan Drupada saatnya kelak.

Kepedihan dan sakit hati yang dialami Drouna dia bawa dalam pengembaraannya meninggalkan kerajaan Panchala. Dia ikuti jalan hidupnya yang tiada menentu entah membawanya kemana. Beruntunglah nasib baik membawa Drouna ke Kerajaan Hastina. Dan di Hastina Drouna diterima menjadi guru bagi putera-putera kerajaan, dia menjadi guru dari Kourawa dan Pandawa. Disinilah titik awal Drouna akan memulai hidup barunya. Rasa berhutang budi, dan rasa terima kasihnya kepada kerajaan Hastina, dia curahkan pengabdiannya pada kerajaan Hastina, dan dalam waktu yang tidak terlalu lama Drouna mendapat tempat terpercaya di kerajaan Hastina. Meskipun sebenarnya di dalam hatinya menunggu kesempatan untuk membalaskan sakit hatinya kepada Drupada yang telah mengkhianati persahabatan dan mempermalukan dirinya di hadapan rakyat Panchala.

Drouna melihat bakat di antara anak-anak Kourawa dan Pandhawa, tetapi nampaknya anak-anak Pandhawa lebih serius dalam belajar dibandingkan anak-anak Kourawa. Dan anak-anak Pandhawa mempunyai bakat dan kemampuan lebih selain budi pekerti yang jauh lebih baik dari anak-anak Kourawa. Drouna jatuh hati pada anak-anak ini, diberikannya seluruh ilmunya. Berbagai ilmu kanuragan, teknik berperang, menggunakan senjata dan lain sebagainya. Kini kesempatan untuk membalas dendam dapat ia wujudkan.
Setelah waktunya dirasa cukup, Drouna mengetes murid-muridnya. Disuruhnya murid-muridnya menyerang Kerajaan Panchala dan menawan raja Drupada dan membawanya ke hadapannya dengan catatan jangan dilukai cukup diikat saja. Pertama-tama disuruhnya Kourawa berangkat, tetapi Kourawa tidak berhasil mereka pulang dengan tangan hampa. Kemudian Pandhawa disuruhnya berangkat, dan Pandhawa berangkat dan berhasil menyerbu kerajaan Panchala. Arjuna dan Bima berhasil menangkap dan mengikat raja Drupada dan membawanya ke hadapan Drouna. Inilah kesempatan yang ditunggu Drouna bertahun-tahun.
Dan di hadapan murid-muridnya Drouna menagih janji raja Drupada sahabatnya dulu. Kini raja kerajaan Panchala dalam tawanannya, artinya kerajaan Panchala ada dalam genggaman Drouna, dan Drouna bisa bertindak apapun. Tetapi Drouna hanya mengingatkan dan memberi pelajaran kepada Drupada agar berlaku sebagai raja yang bijak. Dan selanjutnya raja Drupada dilepaskan lagi, dan disuruhnya Arjuna dan Bima mengantarkan Drupada kembali ke kerajaannya dan memperlakukan dia layaknya sebagai seorang raja. Drupada tidak mengiyakan atau menolak permintaan Drouna untuk membagi setengah dari kerajaannya. Tapi rasa malu yang diterimanya melahirkan dendam dalam hati Drupada. Adalah lebih baik mati dibunuh daripada diperlakukan demikian.
Drupada tidak segera kembali ke kerajaan tetapi mengembara mencari orang yang bisa membantu membalaskan dendamnya kepada Drouna kelak. Sedangkan dia melawan muridnya pun dia kalah. Ia iri pada Drouna yang mempunyai banyak murid yang taat kepadanya, sedangkan ia hanya memiliki seorang anak banci yang mempunyai sifat kewanita-wanitaan Sri Kandhi. Dia menginginkan seorang anak laki-laki yang sempurna gagah perkasa. Dalam pengembaraannya Drupada bertemu dengan brahmana Yodya dan Upayodya yang bersedia membantu Drupada mencapai cita-citanya. Setelah bertapa dua tahun, Drupada kembali ke kerajaan Panchala. Kemudian diadakanlah upacara putrakarma, memohon kepada dewata agar dikaruniai anak yang sempurna.
Permohonannya terkabul, dari dalam api suci keluar sosok laki-laki tampan gagah perkasa lengkap dengan membawa senjata, disusul kemudian sosok perempuan cantik jelita dengan warna kulit kehitam-hitaman. Drestadyumna adalah sosok yang dilahirkan untuk membalas dendam sakit hati ayahandanya untuk membunuh Drouna.
 
Sedangkan Drupadi sosok yang dilahirkan dari rumitnya jiwa dan takdir yang harus dijalani manusia. Dan dia memahami kegundahan hati ayahnya, karena memiliki anak yang menurut pandangan umum kurang dihargai seorang banci Sri Kandhi.
 
Sri Kandhi adalah putra sulung Drupada, dia setengah pria dan setengah wanita. Dia banci. Kekecewaan tak dapat disembunyikan dalam diri Drupada, dia menginginkan anak lelaki yang sempurna atau wanita yang sempurna. Tetapi apa yang dipikirkan manusia berbeda dengan apa yang dikehendaki dewata. Sri Kandi membawa takdirnya sendiri yang tidak dipahami manusia. Dialah kelak yang akan mempermalukan keangkuhan manusia. Dialah kelak yang akan sanggup membunuh seorang kesatria besar yang disegani di seluruh negeri, disaat semua kesatria tidak ada yang sanggup mengalahkannya. Dialah Sri Kandhi kelak yang akan sanggup membunuh Bisma. 

Dan kelak seluruh dunia akan tahu, bahwa seorang kesatria besar ternyata kalah hanya oleh seorang banci

Drupadi berdiri di tengah-tengah antara jiwa seperti Sri Kandhi dan jiwa seperti semua keinginan ayahnya yang tak terucap, tapi dapat dipahami dalam batinnya. Drupadi menghargai kakaknya Sri Kandhi dan memahami jiwanya, kegelisahannya, disisi lain dia juga memahami keinginan ayahanda mereka. Drupadi memahami kepedihan yang dialami oleh seorang yang terlahir tidak sempurna, dan kecewa dengan sikap manusia yang tidak mampu menghargai ketidaksempurnaan, tetapi dalam diri Drupadi juga menghargai kesempurnaan, dan menginginkan kesempurnaan. Kerumitan ini melahirkan sikap tersendiri yang sulit dimengerti orang lain tapi dapat dipahami dalam jiwa manusia yang terdalam. Dendam, yah. Sebuah pilihan yang harus diambil atau dibuang, dan dua-duanya mempunyai resiko dan tanggungjawab moral masing-masing. Sebuah dilema yang sulit pun harus tetap mengambil keputusan. Dan Drupadi mengambil keputusan untuk menjadi dirinya, terlepas dari apakah itu sejalan atau menuruti keinginan ayahandanya atau tidak, Drupadi tetap Drupadi dan kelak pada akhir hidupnya orang baru dapat mengerti Drupadi. Tetapi sepanjang hidup Drupadi, tidak ada yang memahami jiwanya. Dialah api suci. Dialah yang harus mengakhiri dendam diantara semua dendam, dia tahu jalannya, dan dia pilih jalannya.


Inilah pilihan hidup yang dijalani Drupadi mencari laki-laki sempurna. Dalam suatu kesematan Khrisna menjawab Drupadi atas pertanyaan yang menggelisahkan hatinya. Atas keinginannya untuk memenuhi kemauan ayahandanya mencari sosok laki-laki sempurna, atas pertanyaan dalam hatinya apakah kakaknya Drestadyumna belum cukup sempurna, dan atas semua pertanyaan yang tidak terungkapkan dalam kata-kata tetapi dimengerti sri Khrisna.

Tibalah waktunya bagi Drupadi untuk memiliki calon suami. Suami yang tentunya gagah perkasa dan kuat seperti keingingan ayahnya Drupada. Raja Drupada mengadakan sayembara memanah. Barangsiapa dapat memanah suatu sasaran dengan tepat lima kali berturut-turut dialah calon suami Drupadi.

Sayembara ini diikuti oleh seluruh kesatria dari berbagai negeri dan kerajaan. Tidak kalah ketinggalan putera-putera Korawa dari Hastina, dan para Pandhawa yang tengah menyamar sebagai brahmana karena pada waktu itu Pandhawa sedang dalam masa pembuangan. Para peserta sayembara mencoba mengangkat busur, memasang anak panah dan membidik sasaran. Sasaran ditempatkan dalam posisi yang terus berputar sehingga sulit bagi peserta untuk membidik dengan tepat. Hampir semua peserta gagal. Karna adalah seorang peserta yang berhasil memanah dengan tepat mengenai sasaran, tetapi Drupadi menolak karena Karna hanya putera seorang kusir bukan dari golongan kesatria. Karna, sakit hati tapi tak dapat berbuat apa-apa. Para peserta menggerutu dan menganggap sayembara itu hanya permainan karena sulit bagi peserta untuk membidik dengan tepat.
Akhirnya tampilah seorang brahmana muda yang atas persetujuan Drupada diizinkan mengikuti sayembara. Brahmana muda yang tidak lain adalah Arjuna, berhasil memanah dengan tepat mengenai sasaran lima kali berturut-turut bahkan sasaran sampai terjatuh.

Bersoraklah seluruh peserta dan raja Drupada atas keberhasilan brahmana muda itu, meskipun beberapa kesatria memprotes tindakan raja Drupada yang mengizinkan brahmana ikut sayembara. Keributan tak dapat dihindari, Arjuna dan Bima bertarung dengan kesatria yang melawannya sedangkan Yudistira, Nakula, dan Sadewa pulang menjaga ibunda mereka Kunti, Khrisna yang turut hadir dalam sayembara tersebut tahu siapa sebenarnya para brahmana yang telah mendapatkan Drupadi dan ia berkata kepada para peserta bahwa sudah selayaknya para brahmana tersebut mendapatkan Drupadi sebab mereka telah berhasil memenangkan sayembara dengan baik.

 
Panah Brahmasta Jemparing Sukma Sang Maha Cinta

Drestadyumna yang curiga dengan brahmana muda itu mengikuti dari belakang kemana perginya brahmana itu dan dibawa kemana adiknya. Dan setelah tahu bahwa brahmana muda itu adalah Arjuna maka legalah hatinya, karena Drupadi berada pada orang yang tepat dan dilaporkannya hal itu pada ayahandanya Drupada. Raja Drupada yang mendengar hal ini menjadi lega, karena jalan untuk membalaskan dendamnya sudah terbuka. Kini ia dapat menguasai Arjuna dan para Pandhawa untuk membalas sakit hatinya pada Drouna.
Setelah keributan usai, Arjuna dan Bima pulang ke rumahnya dengan membawa serta Drupadi. Sesampainya di rumah didapatinya ibu mereka sedang tidur berselimut sambil memikirkan keadaan kedua anaknya yang sedang bertarung di arena sayembara. Arjuna dan Bima datang menghadap dan mengatakan bahwa mereka sudah pulang serta membawa hasil meminta-minta. Kunti menyuruh agar mereka membagi rata apa yang mereka peroleh. Namun Kunti terkejut ketika tahu bahwa putera-puteranya tidak hanya membawa hasil meminta-minta saja, namun juga seorang wanita. Kunti tidak mau berdusta maka tak pelak lagi Drupadi pun menjadi istri dari kelima anaknya, dengan catatan masing-masing digilir satu tahun dan selama itu masing-masing tidak boleh saling memergoki saudaranya yang sedang berdua dengan Drupadi. Keputusan ini ditaati oleh putera-putera Kunti. Dan mereka tidak pernah membantah kata-kata ibundanya.
Drupadi tertegun. Sejenak tak dapat berkata-kata. Kegamangan, kerisauan dan sejuta rasa dan pikiran menerawang jauh entah kemana, dan dia tidak tahu harus berbuat apa. Rasa senang dan puasnya karena dia berhasil menyanding Arjuna, berubah menjadi tidak karuan ketika menghadapi kenyataan bahwa ia harus menjadi isteri dari kelima Pandhawa. Artinya dia harus membagi cinta, kasih sayang dan pengabdian kepada lima lelaki yang tentunya berbeda karakter dan pembawaannya, dengan cukup adil dan membahagiakan. Sanggupkah ia melakukan semua ini. Terbersit kengerian, ketakutan dan kegelisahan, disamping juga rasa puas dan bangga memiliki lima lelaki dalam hidupnya, yang mungkin jarang bisa didapat dan dilakukan oleh seorang perempuan. 
 
Terbersit pertanyaan dalam hatinya apakah ini terkabulnya permohonannya kepada dewata agung untuk memiliki suami yang sempurna, ataukah kutukan atas permintaannya. Tetapi sejuta tanya itu disimpannya dalam hati, kekagumannya kepada ibunda Kunti menguatkannya untuk menjalani semua ini dengan baik. Apalagi budi pekerti kelima putera Pandhu ini sangat menawan hati. Mereka sehati dan tidak pernah bermusuhan, selalu akur, segala perkara bisa diselesaikan dengan baik. Dan inilah yang menguatkannya untuk berani menjalani takdirnya memiliki lima suami. Inilah Drupadi dan inilah jalan hidupnya. Inilah Drupadi yang lahir dari api suci, lahir dari dendam untuk mengakhiri dendam baik yang sudah terjadi maupun yang belum terjadi. Dan memutus mata rantai dendam yang tak berkesudahan, dan mengembalikan roda dharma pada tempatnya, dengan menanggung jalan hidupnya. Disamping mengikuti dendam ayahnya Drupadi juga perempuan yang punya perasaan terhadap lelaki.

Dalam suatu kesempatan Khrisna menjawab pertanyaan Drupadi:
Permohonan Drupadi di kabulkan dewata agung tetapi karena
manusia memang tidak ada yang sempurna maka takdir Drupadi
harus menikah dengan 5 orang pria yang masing-masing mewakili kesempurnaan
 
(Yudisthira = kebijaksanaan, Bhima = Kekuatan, Arjuna – Keterampilan, Nakula =
Kecakapan Fisik, Sadewa = Kecerdasan ) dan takdir ini mengambil jalan melalui
ucapan Kunti yang mengatakan “bagilah dengan saudara-saudaramu”



akhir dari kehidupan para ksatria pandawa dan tujuan akhir yang dicari dalam kehidupannya:
  
pada hari yang telah ditetapkan, para Ksatria Pandawa bersama Drupadi meningalkan istana dengan perasaan pilu diiringi isak tangis keluarga dan rakyatnya. Tidak sepotong pun harta dunia yang dibawa, bahkan pakaian pun terbuat dari kulit. Ketika mereka keluar dari istana seekor anjing mengikuti dari belakang. Mereka berjalan ke arah timur masuk hutan keluar hutan, kemudian berbelok ke selatan dan akhirnya sampai di pegunungan Himawan (Himalaya) yang di situ terbentang alam terbuka gurun pasir yang terhampas luas sejauh mata memandang. Gurun itulah yang akan mereka tempuh. Setelah bersemadi beberapa saat, mulailah mereka memasuki istana alam di bawah teriknya sinar matahari menyengat sekujur badan
Ahir perjalanan sang DRUPADI
Tiba-tiba Drupadi mengaduh dan jatuh terkulai serta tak lama kemudian menemui ajal, Bima sedih melihatnya dan bertanya: “Kakangku, Drupadi telah mati, apakah ia membawa dosa?”

Yudhistira: “Adikku Bima, setiap kematian membawa dosa. Semasa hidupnya Drupadi bertindak pilih kasih. Ia lebih mencintai Arjuna daripada kita. Dosa itulah yang akan ia bawa,” jelasnya.
 
SYAHADAT SANG DRUPADI TAK PERNAH SAMPAI KEPADA YUDISTIRA...DAN HANYA SAMPAI KEPADA ARJUNA..MAKA DIMASA KEHIDUPAN YANG LALU IA TAK PERNAH MENCAPAI MOKSA...DAN DIKEHIDUPAN YANG SEKARANG AKANKAH PERISTIWA ITU KEMBALI TERULANG...SELAGI NAFAS MASIH BERSEMAYAM DIJANTUNGMU..


sadewa

Tidak lama kemudian Sadewa pun terjatuh dan ajal seketika. Bima bertanya: “Kakang lihat, Sadewa pun mati, apa pendapatmu?”
Yudhistira: “Adikku, Tuhan tidak menyukai orang yang sombong. Ketika masih hidup Sadewa suka menyombongkan diri, bahwa dialah yang paling pintar tak ada yang mengungguli. Padahal setiap manusia mempunyai keterbatasan. Itulah dosanya.”
Perjalanan diteruskan dan semakin jauh menyelusuri gurun pasir dan kelelahan pun semakin terasa. Tiba-tiba nakula pun terjatuh dan menghembuskan nafas yang terakhir. 

nakula
 
Bima kembali bertanya: “Kakang Yudhistira, Nakula pun menyusul, bagaimana pendapatmu?”
“Jika seseorang merasa dirinya lebih dari yang lain, maka orang itu takabur. Begitupun Nakula. 
Ia merasa dirinya yang paling tampan tiada duanya. Itu pertanda hatinya tak setampan lahirnya. Karena itu ia tak dapat mengikuti kita,” jelasnya.

Belum kering mulut Yudhistira berkata, giliran Arjuna jatuh terkulai mengalami nasib yang sama. Padahal kesaktiannya seperti Hyang Indra “Apakah dosanya Kang?”
Yudhistira: “Arjuna pun terkena penyakit takabur. Ketika anaknya mati, ia telah sesumbar sanggup mengalahkan musuh dalam satu hari sebelum matahari terbenam. Padahal kesanggupannya hanya terdorong oleh nafsu semata, sehingga janjinya tak dapat dibuktikan. Itulah dosanya.”
 
bima


 
Tak berapa lama tiba-tiba Bima mengerang: “Oh, kakang tolong aku, badanku gemetar aku tak mampu berjalan, tolong aku kang…: “Adikku Bima, engkau makan sangat gembul tanpa mengindahkan orang lain yang juga butuh makanan. 
Kata-katamu kasar tak perduli dengan siapa engkau berbicara. Selain itu engkau selalu menyombongkan kekuatanmu. Karena itu terimalah apa yang telah engkau lakukan,” dan sang Bima pun menemui ajalnya.


yudistira (punta dewa/sami aji)

Tinggallah Yudhistira seorang diri hanya ditemani anjingnya yang sangat setia. Hatinya sedih tak terperikan lalu ia berdoa: “Duh Maha Agung, terimalah adik-adik hamba menghadap -Mu. Meski mati membawa dosa, tetapi mereka pun banyak berbuat amal kebaikan semasa hidupnya. Karena itu ampunilah dosanya, berilah mereka tempat yang layak sesuai dengan amal perbuatannya.”

Kemudian ia berkata kepada anjingnya: “Anjingku yang setia, engkau telah menjadi saksi atas kepergian adik-adikku. Tak lama lagi mungkin giliranku. Tapi aku sangat sedih karena kau harus menyendiri. Padahal selama ini engkau begitu setia menyertaiku.” 
 
Baru saja Yudhistira hendak beranjak, tiba-tiba di angkasa terdengar suara mengguruh ternyata Hyang Indra datang dengan kereta kencana tiba di hadapan Yudhsitra seraya bersabda: “Ya Yudhistira, janganlah engkau bersedih atas kematian adik-adik dan istrimu. Mati telah menjadi bagian setiap manusia. Sekarang naiklah ke atas kereta, engkau akan kubawa ke swarga tanpa harus meninggalkan jasadmu sebagai penghargaan atas keutamaanmu.
 
Yudhistira : “Ya sang Pikulun, hamba sangat bersyukur mendapat anugerah yang tak terhingga besarnya. Hanya ada satu permintaan sebelum paduka membawa hamba.” “katakan apa yang kau minta?” tanya Indra. “Hamba mohon supaya anjing ini diperkenankan turut serta naik ke swarga,” pintanya.
Indra : “Yudhistira, ketahuilah bahwa engkau akan kubawa ke alam yang teramat suci tanpa noda sedikit pun. Seedang anjing adalah hewan yang sangat kotor. Karena itu jangalah engkau memikirkannya, walaupun ia setia padamu.”
Yudhistira : “Kalau demikian lebih baik hamba tinggal di sini bersamanya. Hamba tidak tega meninggalkan dia sendirian di tengah hamparan pasir yang luas sejauh mata memandang. Dia telah merasakan kelelahan yang amat sangat menempuh perjalanan yang amat jauh bersama hamba,” jawab Yudhistira bertahan.
Indra : “Kalau begitu engkau tidak menghargai kesetiaan saudara-saudaramu yang telah pergi lebih dahulu. Selama hidupnya mereka begitu setia kepadamu hingga akhir hayatnya. Lalu mana kesetiaanmu kepada mereka?” sergahnya.
Yudhistira : “Tidak dapat dikatakan hamba tak akan setia kepada mereka, karena mereka telah ajal lebih dahulu. Kecuali jika mereka masih hidup kemudian hamba meninggalkan mereka, barulah itu dikatakan bahwa hamba tidak setia kepada mereka. Dan kini seekor anjing walaupun hewan kotor, karena dia sangat setia kepada hamba dan adik-adik hamba, apakah hamba harus tega meninggalkannya sendirian di alam terbuka tanpa ada yang menemani. Bukankah anjing juga makhluk Tuhan? Oh, tidak sang Pikulun, lebih baik hamba tak ke swarga daripada harus meninggalkan dia,” kilahnya.
Tiba-tiba anjing itu menghilang dan Dewa Darma telah berada di hadapan yudhistira merangkul dan bersabda: “Anakku Yudhistira, telah dua kali aku menguji keutamaanmu. Pertama ketika saudara-saudaramu mati di tepi hutan karena minum air kolam. Ketika kau minta supaya Nakula yang dihidupkan bukan Arjuna saudara sekandungmu, karena engkau lebih mengutamakan keadilan daripada kasih sayang. Dan sekarang engkau lebih baik tak jadi ke swarga daripada harus meninggalkan seekor anjing yang setia kepadamu. Mengingat keutamaanmu, engkau diperkenankan naik ke swarga bersama jasadmu.”


 
syang hyang darma suci

Ringkas cerita Yudhistira telah naik ke alam akhirat. Setibanya di sana ia melihat-lihat apakah saudara-saudaranya berada di situ. Ternyata tak seorang pun ia lihat. Bahkan ia kaget ketika melihat Duryudana sedang duudk di singgasana disanjung dan dimuliakan. Ia berkata dalam hatinya: “Ah, ini tidak sesuai dengan karyanya di dunia. Walaupun ia raja tapi ia berwatak angkara. Justru dialah yang menyulut api perang Baratayudha. Tapi mengapa ia justru ditempatkan di swarga?” 
Batara Narada yang menyertai terusik rasa, tahu apa kata hati si anak Pandu itu lalu berkata: “Wahai Yudhistira, janganlah engkau heran. Matinya Duryudana di medan perang sebagai seorang perwira. Maka sudah sepantasnya Maha Kuasa mengganjar dengan kemulian.”
“Hamba tak berhak mencampuri urusan akhirat, silahkan bila Duryudana diberi ganjaran kemuliaan. Tetapi kalau tempat ini pantas untuk Duryudana, lalu di manakah tempat berkumpulnya saudara hamba?” tanya Yudhistira.
Narada lalu menitahkan seorang ahli swarga mengantar Yudhistira ke tempat saudaranya berkumpul. 
Ternyata jalannya penuh kerikil dan batu-batuan. Ribuan nyamuk berterbangan, di sepanjang jalan darah berceceran, daging terkeping-keping serta tulang-tulang berserakan ditambah bau amis sangat menyengat. 
Tak lama terlihat sebuah kancah dengan godongan minyak yang sangat panas sedang menggodog manusia-manusia yang sedang disiksa. Yudhistira tak sampai hati dan ingin berlalu. Tetapi tiba-tiba ada suara menghimbau: “Oh, jangan pergi dulu sang Prabu, karena air minyak yang sangat panas ini, begitu tuan datang mendadak menjadi sangat dingin bagai hawa di pegunungan.”
Ternyata yang berbicara bukan hanya seorang, tetapi beberapa orang yang sedang mendapat siksaan. Yudhistira kaget, karena ia mengenal satu-satunya suara itu. Lalu ia bertanya siapa tadi yang bertanya. Maka mereka menjawab: “Aku Karna, Aku Bima.” Lalu lainnya: “Saya Arjuna,” demikian seterusnya sampai nama Nakula Sadewa dan Drupadi. Setelah jelas bahwa mereka yang sedang mendapat siksaan itu adalah saudara-saudaranya, Yudhistira minta kepada pengiringnya agar meninggalkan tempat itu. Biarlah dia ingin menyertai mereka, agar godongan minyak itu tetap dingin.
Tetapi tak lama kemudian berdatanganlah para Dewa ke tempat siksaan dan.. seketika tempat yang semula berupa kancah godongan berubah menjadi suatu tempat yang amat indah tiada tara, sejuk nyaman dengan semilir angin yang menyejukkan ditambah tercium harum yang mewangi di sekitarnya. Hyang Indra kemudian bersabda:
“Yudhistira, jangan engkau masygul, sebab ini adalah suatu rahasia. Setiap manusia tak dipilih-pilih harus ke neraka. Hanya ada aturan tertentu, siapa yang ke swarga dahulu, selanjutnya harus ke nereka. 
Dan siapa yang ke neraka dahulu, akhirnya akan ke swarga. Artinya apabila di dunia hidupnya berbuat jahat, maka di akhiratnya akan diganjar swarga dahulu, kemudian dimasukkan ke nereka. Sedang tuan harus melihat, sebab tuan pernah berbohong menipu Dorna ketika perang tuan mengatakan bahwa Aswatama telah mati. Demikian pula saudara-saudara tuan masuk kenera karena ada dosanya. Tetapi sejak hari ini, hukumannya telah ditutup dan mereka akan masuk swarga. Nah, biarkan mereka lebih dahulu memasuki gerbang Nirwana.”
Setelah itu sukma Yudhistira medal dari raga badannya dan dengan diiringi para Dewa masuk ke swarga bertemu dengan saudara-saudara serta para kerabat dan sahabatnya mendapat sejatining kemuliaan.

Sanghyang sukma sejati....engkang anglenggahi telenging ati..menopo tego loro tego pati panjenengan sowan piyambak ing ngarsanipun....yo yo raganiro...jeneng siro wus mangerteni babakan iki kanthi lumantar guru sejatiningsun nora susah rogoniro bali menyang patang anasir..hayo nggayuh sampurnaning dumadi (jeneng siro bakal kawedar babakan kamuksan.ateges sampurno lan paripurno)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar