Rabu

Nafs dan Ruh

Dalam bahasa yang biasa, Nafs dan Ruh selalu tercampur-aduk. Kadang kita berkata 'si Fulan ruhnya naik, atau ruhnya menghendaki sesuatu, atau ruhnya disiksa, atau was-was, atau gelisah, atau tenang, atau resah, atau susah'. Semua i'tibar (ibarat) itu tidak benar.

Semua itu adalah hal-ihwal NAFS, dan bukan RUH. Sesuatu yang keluar dari badan mayit ketika sakaratul maut, dan mati itu sendiri adalah NAFS, dan bukan RUH. Para malaikat berkata kepada orang-orang yang berlumuran dosa ketika mereka sekarat, yang diabadikan dalam Al Qur-an S. Al An'am (6:93) ialah 'Keluarkanlah anfus kalian; ini hari kalian disiksa dengan kehinaan'.
Dan yang merasakan mati adalah NAFS, bukan RUH. " Tiap nafs merasakan kematian " (S. Ali Imran, 3:18).
NAFS merasakan kematian tetapi tidak mati. Dia merasakan kematian pada saat keluar dari badan. Nafs sudah ada sebelum kelahiran manusia, dan akan berada sepanjang hayat. Ia akan kembali eksis lagi sesudah mati. Tentang wujud NAFS sebelum lahir, Allah berfirman dalam S. Al A'raf, 7:172):

" Dan (ingatlah) ketika Tuhanmu mengeluarkan keturunan anak cucu Adam dari sulbi mereka, dan Allah mengambil kesaksian terhadap anfus mereka (seraya berfirman): 'Bukanlah Aku ini Tuhanmu?' Mereka menjawab: 'Benar (Engkau Tuhan kami), kami menjadi saksi ".
Pada peristiwa itu NAFS telah menyaksikan akan Rububiah Allah, sehingga seseorang kelak tidak akan diterima alasannya, bahwa ia menjadi kafir disebabkan ayahnya juga kafir. Itulah satu fenomena kehadiran NAFS sebelum diberi tubuh dan dilahirkan di dunia. Tak seorang pun bisa beralasan: 'Aku kufur karena ayahku juga kufur'.
Sebetulnya setiap NAFS telah menyaksikan sendiri dengan kesaksian yang jelas tentang Sifat Rububiah Allah Swt. Dengan demikian, setiap diri telah memiliki hakikat pengertian, bahwa konsep dasar Rububiah telah ada sebelum dia dilahirkan. Sekali lagi, bahwa RUH itu tidak was-was, tidak berkendak, tidak berhawa (dekaden), tidak resah, tidak sedih, tidak merasa tersiksa dan tidak tahu apa itu yang dinamakan kejatuhan atau kebangkitan. Itu semua kerja NAFS, bukan RUH.
Di dalam Al Qur-an, NAFS itulah yang tertuduh dengan tuduhan-tuduhan kebakhilan, was-was, ragu, fujur, amarah bis-suu'. Namun ia pun mampu menjadi bersih. Maka ada sifat lawwamah, muthmainnah, radliah dan mardliah. S. Al Fajr (89:27):
" Wahai NAFS yang tenang, kembalilah kepada Tuhanmu dengan ridla-meridlai: Maka masuklah ke dalam jama'ah hamba-hambaKu, dan masuklah ke dalam Jannah-Ku".
Sedang RUH dalam Al Qur-an selalu disebut dengan sebutan yang tinggi dan mulia, bersih dan terhormat. Dan tidak pernah ada hal-hal tentang RUH tersiksa, mengikuti hawa, atau mengikuti syahwat, atau dibersihkan, atau ternoda, dan sebagainya. Dan tidak pernah disebutkan, bahwa ada RUH keluar dari badan atau merasakan kematian, dan tidak pernah dinisbahkan kepada manusia, tetapi selalu dinisbahkan kepada Allah. Allah berpesan perihalMaryam (S. Maryam,19:17):
" Lalu Aku mengutus RUH-Ku kepadanya maka ia menjelma di hadapannya (dalam bentuk) manusia yang sempurna".
Dan Dia (Allah) berpesan perihal Adam (S. Al Hijr, 15:29): " Maka apabila Aku telah menyempurnakan kejadiannya, dan telah meniupkan ke dalamnya RUH-Ku, maka hendaklah kalian hormat kepadanya ".
Dia (Allah) mengatakan 'RUH-Ku', dan bukan RUH Adam.
RUH Rabbani selalu dinisbahkan kepada-Nya. S. Al Mujadalah (58:22). "…. dan Dia menguatkan mereka dengan RUH dari Dia" (yaitu dari Allah).
Dan dikatakan perihal Al Qur-an yang diturunkan kepada Nabi SAW (S. Asy Syura, 42:52): " Dan demikianlah Aku wahyukan kepada engkau RUH dari urusan-Ku".
Dan yang dimaksud dengan RUH itu ialah Al Qur-an sebagai kalam Ilahi….
S. Al Mukmin (40:15): …. Dia menurunkan RUH yang disifati dengan urusan-Nya kepada siapa yang Dia Kehendaki diantara hamba-hamba-Nya, untuk mengingatkan akan adanya hari pertemuan"….
S. An Nahl (16:2): " Dia menurunkan para malaikat dengan RUH dari urusan-Nya kepada siapa yang Dia Kehendaki di antara hamba-hamba-Nya ".
Dan RUH itu adalah kalimat dan urusan Ilahiah, dan selalu dinisbahkan kepada Allah. la selalu bergerak dari Allah kepada Allah, dan tidak akan berubah kepada sifat manusia, tidak mungkin dipengaruhi oleh syahwat, hawa, keraguan ataupun siksa. RUH disifati dengan sifat yang tinggi. Dan diceritakan oleh Al Qur-an tentang Jibril, bahwa itu adalah Ruhul Qudus (Ruh Suci) dan Ruhul amin (Ruh terpercaya). Dan juga diceritakan perihal 'Isa, bahwa dia adalah kalimat-Nya yang dituangkan kepada Maryam, dan RUH dari Dia itu adalah RUH dari Allah.
Adapun NAFS, ia selalu dinisbahkan kepada manusia.
S. An Nisa (4:79): " .. dan apa saja mushibah yang buruk yang menimpa engkau, itu dari NAFSI-mu sendiri".
S. Al Isra (17:15): " Barangsiapa berbuat yang sesuai dengan petunjuk, maka petunjuk itu untuk NAFS-nya sendiri ".
S. At Taubah (9:118): " Dan ANFUS mereka menyempitkan mereka sendiri ".
S. Yusuf (12:53): " Dan aku (Yusuf) tidak membebaskan NAFSI-ku".
S. Thoha (20:96): "…. dan demikianlah NAFSU-ku menipu aku sendiri ".
S. Al Hasyr (59:9): " Dan siapa yang dipelihara dari kekikiran NAFS-nya, mereka itulah yang beruntung ".
S. Al Baqarah (2:130): " Dan tidak ada yang benci kepada agama Ibrahim, melainkan orang yang memperbodoh NAFS-nya sendiri ".
Apabila NAFS dinisbahkan kepada Allah, itulah Dzat Allah.
S. Ali Imran (3:28): "…. dan Allah mengingatkan kamu akan NAFS-Nya ".
Itulah Allah yang tiada sesuatu menyamai Diri-Nya, dan tiada seorang pun mampu berhayal untuk membandingkan-Nya. Tidaklah benar, kalau kalimat NAFS itu kita ukur, bahwa NAFS kita sama dengan NAFS Allah. NAFS Ilahiah adalah Maha ghaib.
Nabi 'Isa berkata kepada Tuhannya pada hari kiamat:
S. Al Maidah (5:116): " . . Engkau mengetahui tentang NAFSI-ku, sedang aku tidak mengetahui tentang NAFSI Engkau ".
NAFS Ilahiah hanya sama di dalam sebutan dengan NAFS insaniah, tetapi sesungguhnya sesuatu yang amat sangat berbeda.
S. Asy Syura (42:11): "…. Tiada sesuatu pun yang serupa dengan Dia ".
S. Al Ilchlas (112:4): " Dan tidak ada seorang pun setara dengan Dia ".
Lalu timbul pertanyaan, bagian apakah yang telah kita peroleh dari RUH? Lalu apa yang kita sebut ketika kita berkata, bahwa pada diri kita ada RUH dan JASAD? Apa hubungan–NAFS kita dengan RUH dan JASAD kita?
Bagian kita dari RUH adalah tiupan Allah yang telah disebutkan dalam Al Qur-an pada kisah kejadian jenis Adam.
S. Shad (38:71-72): "…. Sungguh Aku menciptakan manusia dari tanah. Maka apabila telah Kusempurnakan kejadiannya, dan Kutiupkan RUH-Ku kepadanya, hendaklah kalian hormat kepadanya "
Setiap kita akan mengalami suatu ketentuan taswiah (kesempurnaan), dan bentuk tubuh serta tiupan di dalam bentuk jenis Adam, itulah yang selalu akan terulang di dalam rahim setiap insan. Lalu jadilah kita sempurna dan terbentuk, kemudian tiupan Rabbaniah akan masuk ketika kita sudah siap untuk menerimanya. Dan itu terjadi pada bulan ketiga dari kehidupan janin. Lalu perkembangannya berlangsung terus dari fase ke fase lain.
S. Al Mukminun (23: ): " Lalu nuthfah Aku jadikan 'alaqah, lalu 'alaqah Aku jadikan muth-ghah, dan muth-ghah Aku jadikan tulang-belulang, lalu tulang-belulang Aku bungkus dengan daging. Kemudian Aku jadikan dia makhluq yang (bersifat) lain. Dan Maha Sucilah Allah, Pencipta yang paling baik".
Dan ketika tiupan itu berlangsung, Allah berfirman terjadinya perpindahan raksasa, dari sekepal daging kepada suatu kesempurnaan makhluq, yang tidak ada yang akan mampu mewujudkan itu kecuali 'akhsanul khaliqiin' (sebaik-baik Pencipta), karena adanya tiupan Rabbaniah. Tentang tiupan ini di dalam janin setelah disempurnakan (nafsaniah jasmaniah/Nafsio-fisik. Pen), di ayat lain Allah berfirman:
S. As Sajdah (32:8-9): " Lalu Dia menjadikan keturunannya dari saripati air yang hina. Kemudian Dia menyempurnakan dan meniupkan kepadanya RUH-Nya, dan Dia menjadikan bagi kalian pendengaran, penglihatan dan fuad".
Dengan demikian kita menjadi mafhum, bahwa pendengaran, penglihatan dan fuad itu adalah buah dari tiupan Ruhiah. Dengan anugerah Allah inilah pertumbuhan manusia berproses dari fase ke fase lain, dan dari sempurna kepada yang lebih sempurna. Itulah makna Firman 'tsumma ansya’naahu khalqan aakhar, fatabaarakallaahu ahsanul khaaliqiin'.
Dengan demikian, bagian kita dari RUH adalah tiupan tadi. Setiap kita akan mengambil dari bagian itu, bergantung pada kadar kemanpuan kita masing-masing. Dengan anugerah Allah yang berupa tiupan RUH ini, setiap kita mampu berhayal (ber-imajinasi), dan memiliki kepribadian (self-respect) dan nilai-nilai manusiawi. Sedang jasad dan Ruh pada kita, jasad adalah tempat Nafs berada (ber-integrasi), sedang Ruh adalah 'Al Matsalul A'laa' (suatu mitsal yang tinggi yang tidak terbayangkan).
Jasad dan Nafs ibarat suatu sosio-drama yang selalu beracting, sedang RUH adalah pengisi nilai-nilai keutamaan. Hubungan Nafs kita dengan Ruh dan jasadnya ialah sebagaimana hubungan atom besi dengan lapangan magnit yang memiliki dua kutub. Nafs selalu dalam situasi polaritas, apakah Nafs cenderung kepada jasad lalu meluncur ke hawa, atau kepada Ruh yang akan membawanya melambung tinggi kepada keutamaan dan berakhlaq Rabbaniah. Begitulah kalau Nafs selalu mendekat kepada Ruh. Daya tarik kepada ketinggian nilai Ruh dan akhlaq Rabbaniah itulah yang terjadi pada Nafs, apabila ia menyesuaikan dirinya dengan Ruh, serta mewarnainya dengan lemah-lembut.
Nafs selalu berada dalam gerak dinamis antara dua kutub tadi. Sebentar ia tersentuh oleh situasi panas karena pengaruh jasad, dan pada saat lain pengaruh ini dikalahkan oleh Ruh, lalu tampil kebersihan dan kebaikannya, Jasad dan Ruh keduanya adalah lapangan ujian dan cobaan. Nafs dengan keduanya itulah teruji, yang keduanya saling menarik ke bawah dan ke atas, agar Nafs mengeluarkan rahasia-rahasianya dan kedudukannya (posisinya), menampakkan baik dan buruknya. Dari sini kita dapat menarik pemahaman, bahwa hakikat insan itu adalah 'Nafs-nya'; yang dilahirkan, yang dimatikan, yang dihidupkan kembali untuk dimintai tanggung-jawabnya.
Sedang jasad dan Ruh keduanya adalah sekedar lapangan, sebagaimana bumi dan langit di dalam kejadiannya adalah lapangan gerak bagi seseorang untuk menampakkan kapasitas dan abilitasnya (kemampuan dalam dan luarnya). Sebagaimana Allah memberi Nafs itu tubuh, demikian pula memberinya Ruh untuk hidup berkarya dan bisa mengungkapkan rahasia-rahasianya dan eksistensinya, serta kebaikan dan kejelekannya. Dengan demikian, orang yang mengatakan bisa 'menghadirkan arwah' adalah keliru. Arwah (jamak dari Ruh) tidak bisa hadir, dan tidak bisa dihadirkan, karena ia merupakan Nur yang dinisbahkan hanya kepada Allah semata. Allahlah yang meniupkan Nur itu kepada diri kita, supaya kita bisa sadar memiliki pandangan dan wawasan (bashirah). Nur itu dari Allah dan kepada Allah pula kembalinya, dan tidak mungkin didemonstrasikan atau di-substansikan. Yang bisa dihadirkan (didemonstrasikan) adalah ANFUS (jamak dari Nafs), bukan 'ARWAH'.
Seandainya benar ada sesuatu yang dihadirkan di majlis-majlis manusia, itu adalah Jin-Jin yang mengintai kehidupan Nafs itu. Sebab, setiap manusia di dalam hidupnya memiliki teman dari Jin. Oleh karena panjangnya persahabatan dengan Jin itu, maka Jin-Jin itu mampu menirukan suara dan tanda-tangan suatu Nafs (ingat: 'jaelangkung'. Pen.). Jin itulah yang mencampur-adukkan (menipu-daya) orang-orang yang di dalam kamar yang gelap untuk 'menghadirkan Ruh', sehingga bisa mengejutkan yang hadir, dan dianggap sesuatu yang luar biasa.
Sekali lagi, 'arwah' tidak mungkin dihadirkan, sedang Nafs hanya Allah saja yang mampu menghadirkan dan menggiringnya kelak. Nafs tidak mungkin berubah menjadi Ruh. Akan tetapi, Nafs di dalam situasi yang baik akan mampu meningkat sampai menyerupai tingkat Ruh, dan berakhlaq Rabbaniah. Seberapa banyak ia mampu mendekatkan diri kepada nilai-nilai nurani tadi (Ruh yang ditiupkan Allah kepada manusia), sejauh itu pula Nafs juga rnampu dan dimungkinkan untuk jatuh tersungkur (dekaden), sampai mendekati syaithan atau bahkan lama. Lalu ia menyerupai jenis iblis pada sifat nariahnya (sifat membakar). Nafs yang dibersihkan sampai ke tingkat menyerupai Ruh dalam kehalusannya, itulah yang didekatkan Allah kepada Arsy-Nya kelak di hari kiamat. Dan itulah yang diberitakan Allah dalam S. Al Qamar (54:55): " Di tempat yang disenangi di sisi Tuhan Yang Maha Kuasa ".
Karena dengan kebersihan dan ketinggian nilainya, ia akan menyerupai Nafs Rabbaniah, dan tidak ada tempat yang cocok kecuali di dekat Allah. Sedang Nafs yang gelap dan kelam, yang telah jatuh tersungkur karena tebalnya dosa sampai ke tingkat syaithani, tentang mereka ini Allah Berfirman dalam S. Al Muthaffifin (83:15): 'Mereka pada hari ini benar-benar terdinding dari (Rahmat) Tuhan mereka'
Mereka itu akan dikumpulkan dengan anfus nariah di lantai yang gelap gulita di api jahim. Sedang Ruh tidak menempati Jannah atau Jahim, tetapi ia merupakan Nur dari Nurullah yang dinisbahkan kepada-Nya Dia datang dari Allah dan tidak akan dihisab, diuji dimintai tanggungjawab dan tidak pula disiksa. la merupakan nilai-nilai yang amat tinggi.
S. An Nahl (16:60): " … dan bagi Allah Sifat yang Maha Tinggi dan Dialah Yang Maha Perkasa lagi Maha Bijak ".
S. Ar Rum (30:27): "… dan bagi-Nyalah Sifat Yang Maha Tinggi di angkasa dan bumi, dan Dialah Yang Maha Perkasa lagi Maha Bijak ".
Itulah permisalan alam Nur yang kepadanya disandarkan analogi kebesaran-Nya dan dari urusan-Nya.
S. Al Isra (17:85): " Mereka bertanya kepadamu tentang Ruh, jawablah: 'Ruh itu termasuk urusan Tuhanku, dan kalian tidak diberi ilmunya kecuali sedikit "
* Semoga manfaat

Tidak ada komentar:

Posting Komentar