Minggu

Syehk Lemah Abang

Bagi yang tahu tentang Riwayat dan ajaran syekh siti jenar mari berbagi.......jika tidak suka jgn mencela.....lebih baik diam......
Syekh Siti Jenar (juga dikenal dalam banyak nama lain, antara lain Sitibrit, Lemahbang, dan Lemah Abang) adalah seorang tokoh yang dianggap Sufi dan juga salah satu penyebar agama Islam di pulau Jawa yang sangat kontroversial di Jawa, Indonesia.
Tidak ada yang mengetahui secara pasti asal-usulnya, di masyarakat,
terdapat banyak varian cerita mengenai asal-usul Syekh Siti Jenar.
Sebagian umat Islam menganggapnya sesat karena ajarannya yang terkenal, yaitu Manunggaling Kawula Gusti.
Akan tetapi sebagian yang lain menganggap bahwa Syekh Siti Jenar adalah
intelektual yang sudah mendapatkan esensi Islam itu sendiri. Ajaran -
ajarannya tertuang dalam pupuh, yaitu karya sastra yang dibuatnya. Meskipun demikian, ajaran yang sangat mulia dari Syekh Siti Jenar adalah budi pekerti.
Syekh Siti Jenar mengembangkan ajaran cara hidup sufi yang bertentangan dengan cara hidup Walisongo. Pertentangan praktek sufi Syekh Siti Jenar dengan Walisongo terletak pada penekanan aspek formal ketentuan syariah yang dilakukan oleh Walisongo.

Konsep dan AjaranAjaran Syekh Siti Jenar yang paling kontroversial terkait dengan konsepnya tentang hidup dan mati, Tuhan
dan kebebasan, serta tempat berlakunya syariat tersebut. Syekh Siti
Jenar memandang bahwa kehidupan manusia di dunia ini disebut sebagai
kematian. Sebaliknya, yaitu apa yang disebut umum sebagai kematian
justru disebut sebagai awal dari kehidupan yang hakiki dan abadi.
Konsekuensinya, ia tidak dapat dikenai hukum yang bersifat
keduniawian (hukum negara dan lainnnya), tidak termasuk didalamnya
hukum syariat peribadatan sebagaimana ketentuan syariah. Dan menurut ulama pada masa itu yang memahami inti ajaran Siti Jenar bahwa manusia di dunia ini tidak harus memenuhi rukun Islam yang lima, yaitu: syahadat, shalat, puasa, zakat dan haji. Baginya, syariah itu baru berlaku sesudah manusia menjalani kehidupan paska kematian. Syekh Siti Jenar juga berpendapat bahwa Allah
itu ada dalam dirinya, yaitu di dalam budi. Pemahaman inilah yang
dipropagandakan oleh para ulama pada masa itu. Mirip dengan konsep Al-Hallaj (tokoh sufi Islam yang dihukum mati pada awal sejarah perkembangan Islam sekitar abad ke-9 Masehi) tentang Hulul yang berkaitan dengan kesamaan sifat manusia
dan Tuhan. Dimana Pemahaman ketauhidan harus dilewati melalui 4
tahapan ; 1. Syariat (dengan menjalankan hukum-hukum agama spt sholat,
zakat dll); 2. Tarekat, dengan melakukan amalan-amalan spt wirid,
dzikir dalam waktu dan hitungan tertentu; 3. Hakekat, dimana hakekat
dari manusia dan kesejatian hidup akan ditemukan; dan 4. Ma'rifat,
kecintaan kepada Allah dengan makna seluas-luasnya. Bukan berarti bahwa
setelah memasuki tahapan-tahapan tersebut maka tahapan dibawahnya
ditiadakan. Pemahaman inilah yang kurang bisa dimengerti oleh para
ulama pada masa itu tentang ilmu tasawuf yang disampaikan oleh Syech
Siti Jenar. Ilmu yang baru bisa dipahami setelah melewati ratusan tahun
pasca wafatnya sang Syech. Para ulama mengkhawatirkan adanya
kesalahpahaman dalam menerima ajaran yang disampaikan oleh Syech Siti
Jenar kepada masyarakat awam dimana pada masa itu ajaran Islam yang
harus disampaikan adalah pada tingkatan 'syariat'. Sedangkan ajaran
Siti Jenar sudah memasuki tahap 'hakekat' dan bahkan 'ma'rifat'kepada
Allah (kecintaan yang sangat kepada ALLAH). Oleh karenanya, ajaran yang
disampaikan oleh Siti Jenar hanya dapat dibendung dengan kata 'SESAT'.
Dalam pupuhnya, Syekh Siti Jenar merasa malu apabila harus berdebat
masalah agama. Alasannya sederhana, yaitu dalam agama apapun, setiap
pemeluk sebenarnya menyembah zat Yang Maha Kuasa.
Hanya saja masing - masing menyembah dengan menyebut nama yang berbeda
- beda dan menjalankan ajaran dengan cara yang belum tentu sama. Oleh
karena itu, masing - masing pemeluk tidak perlu saling berdebat untuk
mendapat pengakuan bahwa agamanya yang paling benar.
Syekh Siti Jenar juga mengajarkan agar seseorang dapat lebih
mengutamakan prinsip ikhlas dalam menjalankan ibadah. Orang yang
beribadah dengan mengharapkan surga atau pahala berarti belum bisa
disebut ikhlas.

Manunggaling Kawulo Lan GustiDalam ajarannya ini, pendukungnya berpendapat bahwa Syekh Siti Jenar tidak pernah menyebut dirinya sebagai Tuhan. Manunggaling Kawula Gusti
dianggap bukan berarti bercampurnya Tuhan dengan Makhluknya, melainkan
bahwa Sang Pencipta adalah tempat kembali semua makhluk. Dan dengan
kembali kepada Tuhannya, manusia telah menjadi sangat dekat dengan
Tuhannya.
Dan dalam ajarannya, 'Manunggaling Kawula Gusti' adalah bahwa di
dalam diri manusia terdapat ruh yang berasal dari ruh Tuhan sesuai
dengan ayat Al Qur'an yang menerangkan tentang penciptaan manusia ("Ketika
Tuhanmu berfirman kepada malaikat: "Sesungguhnya Aku akan menciptakan
manusia dari tanah. Maka apabila telah Kusempurnakan kejadiannya dan
Kutiupkan kepadanya roh Ku; maka hendaklah kamu tersungkur dengan
bersujud kepadanya (Shaad; 71-72)")>. Dengan demikian ruh manusia akan menyatu dengan ruh Tuhan dikala penyembahan terhadap Tuhan terjadi.
Perbedaan penafsiran ayat Al Qur'an dari para murid Syekh Siti
inilah yang menimbulkan polemik bahwa di dalam tubuh manusia bersemayam
ruh Tuhan, yaitu polemik paham 'Manunggaling Kawula Gusti'.

Hamemayu Hayuning BawonoPrinsip ini berarti memakmurkan bumi. Ini mirip dengan pesan utama Islam, yaitu rahmatan lil alamin. Seorang dianggap muslim, salah satunya apabila dia bisa memberikan manfaat bagi lingkungannya dan bukannya menciptakan kerusakan di bumi.

KontroversiKontroversi
yang lebih hebat terjadi di sekitar kematian Syekh Siti Jenar.
Ajarannya yang amat kontroversial itu telah membuat gelisah para
pejabat kerajaan Demak Bintoro.
Di sisi kekuasaan, Kerajaan Demak khawatir ajaran ini akan berujung
pada pemberontakan mengingat salah satu murid Syekh Siti Jenar, Ki Ageng Pengging atau Ki Kebokenanga adalah keturunan elite Majapahit (sama seperti Raden Patah) dan mengakibatkan konflik di antara keduanya.
Dari sisi agama Islam,
Walisongo yang menopang kekuasaan Demak Bintoro, khawatir ajaran ini
akan terus berkembang sehingga menyebarkan kesesatan di kalangan umat.
Kegelisahan ini membuat mereka merencanakan satu tindakan bagi Syekh
Siti Jenar yaitu harus segera menghadap Demak Bintoro. Pengiriman
utusan Syekh Dumbo dan Pangeran Bayat
ternyata tak cukup untuk dapat membuat Siti Jenar memenuhi panggilan
Sri Narendra Raja Demak Bintoro untuk menghadap ke Kerajaan Demak.
Hingga konon akhirnya para Walisongo sendiri yang akhirnya datang ke Desa Krendhasawa di mana perguruan Siti Jenar berada.[rujukan?]
Para Wali dan pihak kerajaan sepakat untuk menjatuhkan hukuman mati
bagi Syekh Siti Jenar dengan tuduhan telah membangkang kepada raja. Maka berangkatlah lima wali yang diusulkan oleh Syekh Maulana Maghribi ke Desa Krendhasawa. Kelima wali itu adalah Sunan Bonang, Sunan Kalijaga, Pangeran Modang, Sunan Kudus, dan Sunan Geseng.
Sesampainya di sana, terjadi perdebatan dan adu ilmu antara kelima
wali tersebut dengan Siti Jenar. Menurut Siti Jenar, kelima wali
tersebut tidak usah repot-repot ingin membunuh Siti Jenar. Karena
beliau dapat meminum tirtamarta (air kehidupan) sendiri. Ia dapat menjelang kehidupan yang hakiki jika memang ia dan budinya menghendaki.[rujukan?]
Tak lama, terbujurlah jenazah Siti Jenar di hadapan kelima wali.
Ketika hal ini diketahui oleh murid-muridnya, serentak keempat muridnya
yang benar-benar pandai yaitu Ki Bisono, Ki Donoboyo, Ki Chantulo dan Ki Pringgoboyo pun mengakhiri "kematian"-nya dengan cara yang misterius seperti yang dilakukan oleh gurunya di hadapan para wali.[rujukan?]
Kisah pada saat Pasca KematianTerdapat kisah yang menyebutkan bahwa ketika jenazah Siti Jenar disemayamkan di Masjid Demak, menjelang salat Isya, semerbak beribu bunga dan cahaya kilau kemilau memancar dari jenazah Siti Jenar.
Jenazah Siti Jenar sendiri dikuburkan di bawah Masjid Demak oleh para wali. Pendapat lain mengatakan, ia dimakamkan di Masjid Mantingan, Jepara, dengan nama lain.
Setelah tersiar kabar kematian Syekh Siti Jenar, banyak muridnya
yang mengikuti jejak gurunya untuk menuju kehidupan yang hakiki. Di
antaranya yang terceritakan adalah Kiai Lonthang dari Semarang Ki Kebokenanga dan Ki Ageng Tingkir.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar