Senin

Roh


Struktur Insan dalam Al-Qur’an : Apa yang Tersentuh Oleh Psikologi Analitik, dan Status Kecerdasan Spiritual (SQ)
Oleh Zamzam A. Jamaluddin T dan Tri Boedi Hermawan, Yayasan Paramartha
Terbatasnya pengetahuan para teoritikus kepribadian Barat tentang struktur internal manusia telah melahirkan banyak mazhab kepribadian. Kerangka keilmiahan telah membatasi mereka dalam proses analisis dan sintesis konsepsi kepribadian manusia seutuhnya. Carl Gustav Jung melakukan terobosan dalam membangun psikologi analitiknya, ia melibatkan data-data mitologi dan simbol-simbol agama ke dalam kerangka analisis

ilmiahnya. Dalam alur ini, Kecerdasan Spiritual (SQ) dalam proses perumusannya tidak sekadar meninjau keparalelan antara produk saintifik Barat dengan fenomena mistik Timur, tapi tampak memaksakan melakukan interpretasi atas fenomena metafisik spiritual secara fisika dan sains neural, dan ini melahirkan sejumlah paradoks. Paper ini membahas tentang struktur internal manusia berdasarkan kerangka acuan Al-Qur’an, kemudian akan dilihat persoalan apa yang tersentuh oleh konsepsi individuasi Jung dan status SQ dalam peta ini.
1. Pendahuluan
Terumuskannya sejumlah teori kepribadian merupakan cermin dari upaya ilmiah manusia untuk memahami dirinya sendiri secara menyeluruh. Dewasa ini dikenal tiga teori utama yang satu dengan yang lainnya berbeda, yakni teori kepribadian Psikoanalisa (Freud), teori kepribadian Behaviorisme (Skinner), dan teori kepribadian Humanistik (Maslow)[1]. Istilah kepribadian (personality) memiliki banyak arti, ini disebabkan oleh adanya perbedaan dalam penyusunan teori, penelitian, dan pengukurannya. Di antara para psikolog belum ada kesepakatan tentang arti dan definisi “kepribadian”, sehingga banyaknya definisi kepribadian sebanyak ahli yang mencoba merumuskannya. Melihat asal katanya, personality itu sendiri berasal dari kata latin persona yang berarti topeng.
Setiap penggagas kepribadian mengajukan asumsi-asumsi dasar tertentu tentang manusia, yang kemudian hipotesis-hipotesis tersebut mempengaruhi konstruksi dan isi dari teori kepribadian yang disusunnya. Abraham Harold Maslow (1908-1970) memperlihatkan komitmen yang tinggi terhadap anggapan dasar tentang manusia sebagai makhluk bebas, sementara Sigmund Freud (1856-1939) dan Burrhus Frederic Skinner (1904-1990) sebagai penganut determinisme berlawanan dengan Maslow, mereka berasumsi bahwa manusia bukanlah makhluk yang bebas melainkan organisme yang tingkah lakunya dideterminasi oleh sejumlah determinan.
Freud menyatakan bahwa determinan manusia berasal dari dalam diri manusia itu sendiri (faktor internal), sementara Skinner menyatakan bahwa faktor-faktor penentu tersebut berasal dari stimulus-stimulus eksternal. Maslow berpendapat bahwa manusia itu makhluk rasional, sementara Freud berpegang pada anggapan dasar bahwa manusia merupakan makhluk yang cenderung irasional, dimana sebagian besar dari tingkah laku manusia didorong oleh kekuatan-kekuatan irasional yang tidak disadari; Skinner dalam hal ini tidak begitu terikat pada hipotesis rasional-irasional.
Tentang motivasi, rumusan Freud bertumpu pada konsep homeostatis, yaitu suatu konsep yang diilhami oleh gagasan kesetimbangan (equilibrium) fisis Leibniz, ia menerangkan bahwa tingkah laku manusia terutama dimotivasi oleh upaya pengurangan tegangan-tegangan internal (memuncaknya energi naluri/insting dari id) yang terjadi akibat ketidakseimbangan fisis. Dalam hal ini Skinner berpendapat bahwa tingkah laku manusia tidak digerakkan oleh agen-agen internal yang disebut naluri, melainkan ditentukan oleh kekuatan-kekuatan eksternal. Freud dengan psikoanalisanya percaya bahwa misteri manusia akan bisa diungkap seluruhnya melalui upaya-upaya ilmiah, karena pada dasarnya tubuh manusia mengikuti hukum-hukum fisika; Skinner dan segenap behavioris memiliki anggapan yang sama dengan Freud. Berlawanan dengan pandangan di atas, Maslow sepaham dengan William James (1842-1910), seorang filsuf dan tokoh psikologi terkemuka Amerika, bahwa manusia tidak akan bisa diungkap sepenuhnya hanya melalui upaya-upaya ilmiah.


Pelibatan aspek ketaksadaran (unconsciousness) dalam psikoanalisa telah menarik minat Carl Gustav Jung (1875-1961) untuk bergabung dengan Freud. Mengikuti alur Freud, konstruksi dasar psikologi Jung juga sangat dipengaruhi oleh perkembangan sains dan filsafat Abad ke-19, seperti teori Evolusi Darwin, temuan-temuan arkeologis, dan studi komparatif tentang masyarakat dari budaya-budaya yang berbeda. Tetapi kemudian terjadi pertentangan mendasar antara kedua tokoh besar tersebut. Jung menolak penekanan Freud yang meletakkan dorongan seksual manusia di atas kebutuhannya terhadap makanan, kehidupan spiritual, atau pengalaman-pengalaman religius tertentu. Dia juga tidak sependapat dengan pandangan mekanistik Freud tentang dunia; bagi Jung, karekter manusia tidak hanya dikondisikan oleh apa-apa yang telah terjadi di masa lampau, tapi juga dipengaruhi oleh visi-visi masa depan. Adapun Freud tidak setuju dengan konsepsi Jung tentang collective unconscious, teori ini bertumpu pada pandangan phylogenetic tentang pengalaman-pengalaman masa lampau dari ras manusia yang diwariskan secara individual melalui memory traces.


Teori kepribadian Freud dan Jung mencakup seluruh aspek sadar dan tak sadar dalam diri manusia, untuk membedakan teorinya dengan psikoanalisa Freud, maka Jung menamai teori kepribadiannya dengan istilah psikologi analitik. Individuasi (realisasi diri) merupakan inti ajaran Jung, berkaitan dengan pergeseran titik pusat kesadaran dari ego ke self, dimana gagasan ini dibangun Jung secara transpersonal berdasarkan studi atas simbol-simbol mitologis dan simbol-simbol religius agama Barat maupun Timur. Dengan data-data tersebut, Jung berupaya mencari hubungan antara isi ketaksadaran dalam diri manusia di Barat dengan mite-mite dan ritus-ritus manusia primitif.
Dalam teori Jung, ketika konstruk ego yang terbangun mulai menyadari eksisnya sesuatu selain dirinya yang bersifat irasional, terjadilah konflik batin. Meningkatnya “entropi” psikis di ruang sadar akan direspon oleh permukaan subconscious, dan terjadilah aliran energi psikis (libido), yang arahnya ditentukan oleh prinsip ekivalensi “termodinamika”. Respon dari ‘lautan’ ketaksadaran akan menampakkan diri di level sadar umumnya berbentuk simbol-simbol mandala, yang pada prinsipnya membawa pesan tentang arah dari tertib diri. Dalam praktek klinisnya, Jung melihat bahwa bagian tak-sadar bukan saja bersifat komplementasi (saling melengkapi), tetapi juga kompensasi (saling mengimbangi). Menurut Jung, proses individuasi ini disebabkan oleh potensi-potensi asli yang mengarah pada tujuan tertentu, menuju ke suatu keutuhan psikis yang lebih kokoh. Energi psikis yang terarah pada suatu tujuan tertentu yang bersifat “final” ini mirip dengan pandangan teleologi Aristoteles (384-322 SM), dimana ia menggunakan istilah entelecheia (en=dalam diri manusia; telos=tujuan; echein=memiliki) yang berarti: di dalam diri sendiri terdapat sesuatu yang harus dicapai[2].
Dalam proses individuasi Jung, yang dititikberatkan bukanlah ego melainkan self. Jika Jung menggunakan data-data kejiwaan dalam banyak agama, maka apa hakikat sebenarnya dari ego dan self ini dipandang dari konsepsi batiniah agama seutuhnya? Apa status menjadi pribadi seutuhnya atau menjadi diri sendiri tersebut dipandang dari kerangka agama itu sendiri?
2. Struktur Insan Dalam Pandangan Qur’aniyah
Peta kejiwaan dan mekanisme interaksi antar modus-modus jiwa, dalam kerangka psikologi yang dibangun secara ilmiah, tampak tidak jelas dan banyak menyisakan lubang-lubang di sana sini. Dalam literatur barat sendiri penggunaan istilah-istilah seperti soul, spirit, heart, mind, dan intellect sering campur aduk ketika mengidentifikasi persoalan-persoalan yang bersentuhan dengan konsepsi kejiwaan.
Istilah psycho sendiri yang dipakai dalam konstruk kata psikologi (psychology) berasal dari kata Yunani psyché (Ynch) yang artinya “nafas kehidupan”, dalam mitologi Yunani digambarkan sebagai kupu-kupu. Dalam hal ini, kupu-kupu merupakan perlambang jiwa yang bebas terbang setelah menempa diri dengan “puasa”, keluar dari bungkus kepompongnya. Dua sayap kupu-kupu yang membawa dirinya terbang meninggalkan “bumi” melambangkan dua akal, akal jiwa dan akal raga; dua akal tersebut eksis secara potensial di dalam tubuhnya saat ia sebagai “ulat”, persoalan yang sama dalam representasi yang berbeda bisa dikaji dalam “Alegori Gua” Plato (428-347 SM)[3].
Dalam konsepsi pramodern, manusia dibagi atas tiga entitas, corpus, animus, dan spiritus[3]. Animus berasal dari bahasa Yunani anemos yang bermakna sesuatu yang hidup (bernafas) yang ditiupkan ke dalam corpus (wadah atau bungkus). Maka corpus adalah body (raga/jasad); dan spiritus adalah spirit (ruh); dan animus identik dengan psyche yang bermakna soul (jiwa/nafs). Dewasa ini istilah jiwa yang dipakai dalam psikologi telah mengalami penyempitan makna. Jiwa dalam terminologi psikologi modern lebih ke aspek psikis, dimana aspek psikis ini lebih merupakan riak gelombang permukaan di atas lautan dalam yang disebut jiwa. Fungsi ruh terhadap jiwa dan fungsi ruh terhadap jasad bisa dilihat dalam referensi[4].
Dalam terminologi Qur’aniyah, struktur manusia dirancang sesuai dengan tujuan penciptaan itu sendiri, dimana jiwa (soul) yang dalam istilah Al-Quran disebut nafs menjadi target pendidikan Ilahi. Istilah nafs didalam Islam sering dikacaukan dengan apa yang dalam bahasa Indonesia disebut hawa nafsu, padahal istilah hawa dalam konteks Qur’ani memiliki wujud dan hakekat tersendiri. Aspek hawa dalam diri manusia berpasangan dengan apa yang disebut sebagai syahwat. Sedangkan apa yang dimaksud dengan an-nafs amara bissu’ dalam surat (Yusuf [12]: 53) adalah nafs (jiwa) yang belum dirahmati Allah SWT:
“Dan aku tidak membebaskan nafsku, sesungguhnya nafs itu cenderung mengarah kepada kejahatan, kecuali yang dirahmati oleh Rabb-ku.”


Hawa merupakan kecenderungan kepada yang lebih bersifat non-material, yang berkaitan dengan eksistensi dan harga diri, persoalan-persoalan yang wujudnya lebih abstrak. Hawa merupakan entitas, produk persentuhan antara nafs dan jasad. Sedangkan syahwat merupakan kecenderungan manusia pada aspek-aspek material (AliImran [3]: 14), dan ini bersumber pada jasad insan yang wujudnya memang disusun berdasarkan unsur-unsur material bumi (air, tanah, udara, api).
Nafs manusia diuji bolak-balik di antara dua kutub, kutub jasmaniah yang berpusat di jasad dan kutub ruhaniyah yang berpusat di Ruh al-Quds. Ar-Ruh ini beserta tiupan dayanya (nafakh ruh) merupakan wujud yang nisbatnya ke Martabat Ilahi dan mengikuti hukum-hukum alam Jabarut. Aspek ruh ini (jamak arwah) tetap suci dan tidak tersentuh oleh kelemahan-kelemahan material dan dosa, spektrum ruh merupakan sumber dari segala yang maujud di alam syahadah ini—maka tak ada istilah tazkiyyatur-ruhiyyah atau mi’raj ruhani.


Al-Ghazali dalam Kitab Ajaaibul Qulub[5] jelas membedakan istilah-istilah seperti qalb (rasa jiwa, bukan rasa jasadiah/psikis), nafs, ruh, dan ‘aql; dimana istilah-istilah ini dalam konsepsi psikologi modern tak terpetakan dengan tegas karena berada pada tataran jiwa yang bersifat malakut, atau secara psikologi analitik berada di ruang ketaksadaran.
Prinsipnya, apa yang disebut sebagai manusia sempurna (insan kamil) dalam terminologi Al-Qur’an, minimal manusia yang sudah memiliki struktur seperti tercantum dalam An-Nur [24]: 35, seorang Insan Ilahi. Manusia dikatakan sebagai khalifatullah (wakil Allah) di bumi jika ia telah mencapai state tersebut, ia membawa kuasa Allah dan bercitra Ar-Rahman.


“Allah cahaya petala langit dan bumi. Perumpamaan cahaya-Nya bagaikan sebuah misykat yang didalamnya terdapat pelita terang. Pelita tersebut di dalam kaca, kaca itu seolah kaukab yang berkilau dinyalakan oleh (minyak) dari pohon yang banyak berkahnya, pohon zaitun yang tumbuh tidak di sebelah timur dan tidak pula di sebelah barat, yang minyaknya saja hampir-hampir menerangi walau tanpa disentuh api. Cahaya di atas cahaya, Allah membimbing kepada cahaya-Nya siapa-siapa yang Dia kehendaki, dan Allah membuat perumpamaan bagi manusia, dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu”.
Ayat tersebut mengisyaratkan tentang manusia, dimana di dalam jasad (misykat)-nya terdapat nafs (jiwa) yang qalb (zujajah)-nya bercahaya seperti bintang karena telah dinyalakan dari dalam dengan api Ruh al-Quds (misbah). Adapun misykat sifatnya kusam dan tak tembus pandang, sebagai perlambang jasad yang berasal dari alam mulk (ardhiyah), merupakan manifestasi terendah dari kehadiran Al-Haq dalam alam syahadah.

Bola kaca zujajah yang jernih tembus pandang melambangkan qalb, merupakan aspek rasa dari si nafs yang berasal dari alam malakut. Si nafs melakukan serangkaian proses tazkiyyatun-nafs (pensucian jiwa) sehingga jernihlah qalbnya dan tampaklah titik-apinya menyala di inti jiwa. Jika insan dapat mencapai state seperti digambarkan An-Nur [24]: 35, maka insan tersebut dinamai syuhada (saksi Allah sejati) karena telah berperan sebagai cahaya yang menampakkan khazanah Ilahi sebagai Harta Terpendam (Kanzun Makhfiyan)[6]. Ayat di atas menyatakan struktur target yang harus manusia capai walau sulit.
Rasulullah SAW menyinggung tentang eksistensi jiwa (nafs) yang qalbnya telah diperkuat oleh api Ruh 


al-Quds, sebagai berikut:
“Qalb itu ada empat macam, pertama, qalb yang bersih, di dalamnya terdapat pelita yang bersinar cemerlang, itulah qalb al-mu’min; kedua, qalb yang hitam terbalik, itulah qalb orang kafir; ketiga, yang terbungkus dan terikat pada bungkusnya, itulah qalb orang yang munafik; dan keempat, qalb yang tercampur, di dalamnya terdapat iman dan nifaq.”
Ruh al-Quds yang dilambangkan oleh pelita yang menyala di dalam qalb, merupakan utusan-Nya di dalam diri, yang membawa ketetapan-ketetapan hidup (amr) si nafs di dunia ini. Pengutusan rasul yang batin ke dalam inti dari nafs ini lebih dari sekedar simbol bahwa pengabdiannya diterima (diridhai). Ruh al-Quds merupakan juru nasehat si nafs dari dalam qalb, dan nafs yang telah diperkuat dengan ruh ini, selain disebut sebagai an-nafs an-natiqah (jiwa yang berkata-kata disebabkan adanya juru nasehat dari dalam qalbnya), juga disebut sebagai an-nafs al-muthmainah. Disebut muthmainnah karena si nafs tersebut telah stabil dalam orbit dirinya (qudrah diri/swadharma), di sini ruh tadi disebut pula sebagai sakinah (syekinah dalam bahasa Ibrani) yang diturunkan ke qalb yang memperoleh kemenangan (al-fath) amr.


“Dialah yang telah menurunkan as-sakinah ke dalam qalb orang-orang al-mu’min, agar keimanan mereka bertambah di samping keimanan yang telah ada” (Al-Fath [48]: 4).
“Apabila Allah menghendaki kebaikan (khairan) atas seorang hamba, maka diadakannya pemberi pelajaran dari qalb-nya” (Rasulullah SAW).
“Barang siapa memiliki juru-nasehat dari dalam qalbnya, berarti Allah telah memberi seorang penjaga (hafidh) atasnya” (Rasulullah SAW).
“Seandainya syaithan-syaithan tidak mengelilingi qalb anak Adam, niscaya mereka dapat melihat ke malakut langit” (Rasulullah SAW).


Qalb menjadi hitam dan terbalik jika ia mempertuhankan hawa nafsu, mengingkari dan mendustakan kebenaran (al-haq). Hati yang seperti ini akan memandang bagus atas segala yang mereka kerjakan, karena tertutup ilusi dan waham syaithan. Adapun qalb si munafik terikat pada bungkus jasadiyah, merupakan qalb yang terlalu mencintai dunia (terikat kepada syahwat jasmaniah); pandangan batinnya tertipu oleh nilai-nilai estetik fisik dengan tanpa melihat hakikatnya, maka ia bisa ‘menjual’ agamanya demi kesenangan sesaat.


Seperti telah diulas tadi, bahwa si nafslah yang menjadi fokus pendidikan Ilahi. Alam dunia ini bagi nafs sebenarnya hanya sebuah jenjang ’sekolah dasar’, Rasulullah SAW berkata bahwa alam dunia ini hanyalah sebuah jembatan kecil yang menghubungkan dua alam besar, dan si nafs diuji dalam pengembaraannya di ‘oase’ ini; sementara ia harus menyelesaikan sejumlah jenjang ’sekolah lanjutan’ lagi. Di alam dunia, jasad atau raga insan berperan sebagai kendaraan bagi si nafs untuk menemukan al-haq di bumi jagat ini sebagai pelajaran pertamanya. Si nafs harus mengembara di muka bumi hingga terbuka kepadanya malakut langit, atau hakikat dari segala yang wujud (khalq) di alam syahadah, dan hakikat dari setiap khalq adalah al-haq.


“Akan Kami perlihatkan ayat-ayat Kami di ufuk (semesta) dan di dalam nafs masing-masing, hingga jelaslah bagi mereka itu bahwa itu adalah al-haq” (Al-Fushshilat [41]: 53).
“Tiap segala sesuatu pasti binasa, kecuali Wajah-Nya” (Al-Qashash [28]: 88).
Sebelum memahami bahwa Dia ada di mana-mana dan Dia lebih dekat dari urat leher, maka si nafs harus melihat kepada aspek wajah-Nya berupa Al-Haq; ia harus melihat bahwa hakikat dari segala sesuatu di alam semesta, berupa ayat-ayat Kauniyyah, adalah al-haq; juga hakikat dari apa yang ada di dalam nafs-nya tak lain adalah al-haq yang mengalir dari Martabat Ilahi. Sebelum si nafs dimasukkan ke dalam kurungan jasad (corpus) janin di dalam rahim ibu, maka si nafs dipanggil terlebih dulu ke hadapan Allah SWT, katakanlah ini adalah status nafs ketika di alam Nur atau alam Alastu.

“Dan ketika Rabb-mu hendak mengeluarkan keturunan bani Adam dari sulbi mereka, dan Allah telah mengambil kesaksian atas nafs-nafs mereka, ‘Bukankah Aku ini Rabb-mu?’ mereka menjawab ‘Benar! Kami menyaksikan’ Agar di hari kiamat kamu tidak berkata: ‘Sesungguhnya kami lengah (atas kesaksian) ini’” (Al-Araf [7]: 172).
Sebelum nafs diturunkan di alam dunia, maka dalam kesaksian ini qadha dan qadarnya ditetapkan terlebih dahulu: “amal-amal insan dikalungkan pada ‘leher’nya” (Q.S Al-Isra’ [17]:13). Ketetapan-ketetapan ini berupa misi hidup (swadharma) yang harus dimanifestasikan di muka bumi, ini merupakan amanah Allah yang telah digariskan sesuai dengan bakat langit si nafs (swabhawa), misi hidup setiap insan bersifat unik tidak ada yang sama satu dengan lainnya. Misi (dharma) si nafs harus ditemukan dan dijalankan di bumi ini, tidak ada perubahan dalam dharma si nafs, karena bakat langit (swabhawa) si nafs merupakan fitrah yang tidak berubah, dan sebagian besar manusia tidak mengetahui ketetapan dirinya karena qalb-nya terpendam dosa.
“Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada ad-Din. Fitrah Allah, yang Dia telah menciptakan manusia menurut fitrah ini, tidak ada perubahan pada ciptaan Allah. Inilah ad-Diin yang teguh, tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui” (Ar-Ruum [30]: 30).


Jika tanpa Rahmat Allah SWT, ketetapan-ketetapan Allah yang tertulis di dada si nafs tidak akan terbuka, dan ini merupakan rizqi batin manusia yang kuncinya ada di dalam nafs. Sementara untuk mencapai ini sulit karena harus menggeser pusat kesadaran dari ego ke nafs (self).
Dari alam Nuur, setelah 120 hari penyusunan janin bayi, maka nafs yang telah diamanahi qudratullah beserta ruh yang akan mengisi jasad si bayi diturunkan. Di sini si nafs berada dalam tiga kegelapan.
“Kemudian Dia menyempurnakan (janin), dan meniupkan kedalamnya ruh-Nya, dan Dia menjadikan bagimu, pendengaran, penglihatan, dan fu’ad, tapi sedikit di antara kamu yang bersyukur” (As-Sajdah [32]: 9).
“Dia menjadikan kamu dalam perut ibumu tahap demi tahap dalam tiga kegelapan” (Az-Zumar [39]: 6).
Bagi si nafs sewaktu masih di dalam rahim, kegelapan pertama adalah wadah jasadnya sendiri, lapis kegelapan kedua adalah jasad ibunya, dan kegelapan ketiga adalah penjara alam dunia yang bersifat material.
Maka ketika nafs dilahirkan via jasmani raganya ke alam dunia, nafs yang sudah terpenjara oleh tabiat-tabiat jasadnya kemudian harus bertumbukan pula dengan cakrawala dunia ‘bawah’. Maka nafs yang berasal dari cahaya Ilahi (bersifat metafisika) fu’ad-nya menjadi cenderung senang untuk di-rule dan diracuni oleh tabiat-tabiat dan implikasi-implikasi hukum fisis.


Merujuk ke Al-Ghazali[5], dimana beliau menggunakan terminologi qalb sebagai modus nafs, bahwa nafs memiliki dua jenis tentara, tentara lahir dan tentara batin. Tentara lahir adalah jasad, khususnya indera-indera yang secara langsung mencerap alam syahadah. Perangkat jasadiyah ini merupakan delapan pasang aspek ‘ternak’ yang harus digembalakan; ingat bahwa jasad merupakan ‘kuda’ tunggangan bagi nafs yang terlebih dulu harus ditundukkan dan digembalakan.
“Dia menciptakan dari nafs wahidah, kemudian mengadakan darinya pasangannya, dan menurunkan bagimu delapan ternak yang berpasang-pasangan.” (Az-Zumar [39]: 6).
Kedelapan aspek ‘ternak’ yang harus dikendalikan si nafs meliputi :
1. sepasang mata untuk penglihatan.
2. sepasang telinga untuk pendengaran.
3. sepasang lubang hidung untuk penciuman.
4. sepasang tangan untuk memegang.
5. sepasang kaki untuk berjalan.
6. indera pengecap pada lidah yang dipasangkan dengan perut untuk syahwat makan dan minum.
7. pasangan fungsi mulut dan laring untuk bersuara dan berkata-kata.
8. pasangan farji dan indera peraba untuk reproduksi.


Setiap ternak (an’aam) pada prinsipnya memiliki delapan aspek di atas sebagaimana dimiliki manusia, yang difungsikan oleh aspek ‘otak’ yang secara fisis dibuat berpasangan pula. Hewan ini memiliki daya (nafas Ruh) yang menghidupkan tubuhnya, tapi mereka tidak memiliki nafs yang harus mempertanggungjawabkan perbuatan dirinya. Karena nafs manusia membawa fu’ad (mind, aspek akal jiwa), maka bagi manusia sepasang otaknya (yang wujud fisiknya tak berbeda dengan ternak) selain menjadi pusat syaraf untuk mengkoordinasi tubuh, juga menjadi pusat pikiran yang ini justru sering menjadi faktor utama yang membawa ‘kejatuhan’ manusia. Faktor pikiran ini (yang merupakan aspek permukaan dari fu’ad) yang akan secara efektif mengkonstruk apa yang secara psikologis disebut ego.


Apa yang disebut ego ini merupakan ‘kepala’, bagi apa yang disebut oleh Al-Ghazali sebagai tentara batin. Apa yang disebut dalam Al-Qur’an sebagai hawa (hawa nafsu) adalah keluar dari tentara batin ini; karena sifatnya plural, bersifat non-material, melekat pada nafs (seperti minyak di atas permukaan air), dan mengeluarkan hawa (kecenderungan-kecenderungan yang tidak sejalan dengan orbit jiwa), maka diberi istilah nufusul-hawiyyah.
Jika si nafs lumpuh karena dosa-dosa yang dimasukkan jasad lewat pintu-pintu indera dan pikiran, maka kepribadian insan dipegang oleh ‘kepala’ dari tentara batin: ego. Ego ini jika dikendalikan nafs sebenarnya merupakan perangkat yang sangat penting bagi nafs untuk menjalankan kodrat dirinya. Jika nafs disembuhkan dengan Rahmat Allah Ta’ala, maka pusat kesadaran dan kepribadian secara bertahap akan bergeser dari ego ke nafs; konstruk ego yang salah-bentuk akan segera diruntuhkan nafs untuk dikonstruk ulang menjadi bentuk baru yang lebih sesuai dengan kepentingan dharma si nafs. Karena entitas nufusul-hawiyyah ini berasal dari kekuatan amr yang dibawa si nafs yang menemukan padanannya di hissiyah jasadiyyah secara unik, maka rekonstruksi ego dari setiap manusia akan berbeda satu sama lain.
Ego dibentuk dan ditumbuhkan melalui fikiran oleh dua kekuatan, pertama persepsi inderawi yang bersifat syahwati, dan kedua oleh hawa nafs. Interaksi timbal balik dua kekuatan ini melalui link ego menjadi cenderung memperkuat satu sama lain dan membangun kompleks-kompleks sayyi’ah jiwa. Manusia digelapkan qalb-nya dan dilumpuhkan nafs-nya oleh dua perkara yaitu cinta dunia dan mempertuhankan hawa.

“Berkata ia,’Ya Rabbi, mengapa Engkau kumpulkan aku dalam keadaan buta, padahal aku dulu (di dunia) adalah seorang yang melihat?’” (Thaha [20]: 125).
“Karena sesungguhnya bukanlah matanya yang buta tetapi qalb yang di dalam dada” (Al-Hajj [22]: 46).
“Yang demikian itu disebabkan oleh karena mereka mencintai kehidupan dunia di atas akhirat… Mereka itulah yang qalb, pendengaran, dan penglihatannya telah dikunci mati oleh Allah, dan mereka adalah orang-orang yang lalai” (An-Nahl [16]: 107-108).


“Terangkanlah kepadaku tentang orang yang menjadikan hawanya sebagai tuhannya, maka apakah kamu dapat menjadi pemelihara atasnya? Atau apakah kamu mengira bahwa kebanyakan mereka itu mendengar atau memahami? Mereka itu tidak lain bagaikan ternak bahkan lebih tersesat jalannya” (Al-Furqaan [25]: 43-44).
“Dan barang siapa buta di dunia ini, maka di akhirat akan buta pula dan lebih tersesat jalannya” (Al-Isra [17]: 72).
Bila nafs dirahmati Allah Ta’ala, maka secara bertahap indera-indera batinnya mulai bangun dan menguat, karena hijab-hijab dosa di qalb-nya mulai tanggal. Si nafs yang telah tumbuh kuat akan segera melakukan proses penggembalaan dan pendidikan atas tentara lahir dan tentara batinnya.
“Dan adapun mereka yang takut akan maqam Rabb-nya dan menahan nafsnya dari hawa” (An-Naazi’at [79]: 40).


Jika ego tidak dikonstruksi-baru oleh nafs, maka akan menjadi pabrik penghasil sayyiah, dimana ‘racun’ hati ini secara efektif dapat mematikan qalb. Kesadaran, secara psikologis, berpusat di ego, sementara qalb dan nafs berada di bawah level kesadaran atau di ketaksadaran (unconsciousness).
Jika hijab kompleks dan sayyiah lenyap, maka ego akan mengorbit ke nafs dan memperluas bidang kesadaran. Ketika ego di bawah kontrol nafs maka kekuatan syahwat dan hawa akan berada di bawah kendali amr si nafs, dan ketika pusat kesadaran berpindah ke nafs maka nafs menjadi pusat kepribadian yang bersifat utuh mencakup baik level sadar maupun level tak sadar. Dengan berkiblatnya ego ke nafs maka seluruh indera jasad berada di bawah kontrol nafs dan qalb, disini inderawi dan pikiran memperoleh kekuatan tambahan berupa aspek ruhani yang berpusat di qalb, manusia menjadi berfikir dan ber-‘aql dengan qalb-nya.


“Qalb bagaikan raja, jika shalih rajanya maka shalih pula tentara-tentaranya, dan jika jahat rajanya maka jahat pula tentara-tentaranya.” (Rasulullah SAW)
Jika cahaya qalb tidak menyentuh ego dan pikiran, maka pada hakikatnya manusia belum mengenal qalb-nya apalagi memfungsikannya. Karena qalb tak berfungsi, maka manusia tersebut dikatakan belum memiliki qalb (buta hati) kecuali hati jasmaniahnya saja, dan hanya memiliki satu akal yaitu pikirannya saja.
“Mereka memiliki qalb tetapi tidak digunakan untuk memahami, mereka memiliki mata tetapi tidak digunakannya untuk melihat, dan mereka mempunyai telinga tetapi tidak digunakannya untuk mendengar, mereka seperti ternak bahkan lebih tersesat” (Al-A’raf [7]: 179).


Dengan transformasi akal dari ego ke lubb, maka kesadaran seseorang ditransformasi terus-menerus hingga menyentuh Lathifah Ilahiyah, sehingga qalb-nya “melihat” al-haq dimana-mana (Al-Fushshilat [41]: 53). Dalam dunia tashawwuf, hirarki ‘uruj kesadaran batin mencakup tujuh proses
Dalam proses ini, tahapan insan untuk memenuhi struktur yang dituntut oleh An-Nuur [24]: 35 menjadi terlampaui. Ini adalah proses manusia untuk mengenal Rabb-nya, yang harus diawali dengan kesadaran atas keberadaan nafs dalam jasadnya sebagai jati diri yang sebenarnya.
“Barangsiapa mengenal nafsnya maka akan mengenal Rabb-nya.” (Rasulullah SAW)


Dengan bermujahadah pada proses tazkiyyatun-nafs maka instrumen mata dan telinga batin (nafs) akan mulai bangun secara bertahap. Seperti bangunnya akal jasadi pada bayi oleh tumbukan terus menerus citra alam dunia melalui indera mata dan telinganya, maka pengendalian mata dan telinga jasmani dari hal-hal yang diharamkan Allah Ta’ala akan mencergaskan kembali penglihatan dan pendengaran si nafs, dan dengan sehatnya dua indera batin tersebut akan mulai mengaktivasi akal jiwa (lubb). Manusia yang lubb-nya hidup dinamai sebagai Ulul-Albaab, dan hanya Ulul-Albaab yang bisa memahami kalimah Ilahiyah di alam semesta.
“Allah memberikan hikmah kepada siapa yang dikehendaki-Nya. Dan barangsiapa diberi hikmah, sungguh ia telah diberi kebaikan yang banyak. Dan tidak ada yang dapat mengambil pelajaran kecuali Ulul-Albaab” (Al Baqarah [2]: 269).


Proses ‘uruj tadi merupakan proses taubat, dimana makna taubat adalah perjalanan kembali menuju Allah, merupakan proses ditariknya si hamba mendekat kepada-Nya, dan ini akan melampaui semesta alam-alam, karena jarak antara si hamba dengan Dia adalah tak hingga. Dan tidak ada alam yang ia lampaui, kecuali lubb-nya akan menguasai urusan-urusan di alam tersebut. Siapa yang bertaubat (kembali kepada Allah) maka itu baru awal dari hidayah (pemberian petunjuk), dan siapa yang tidak mencari Allah (tidak bertaubat) maka mendzalimi dirinya sendiri.


“Dialah yang memperlihatkan kepadamu ayat-ayat-Nya dan menurunkan kepadamu rizki dari langit (jiwa). Dan tidak ada yang bisa mengambil pelajaran kecuali orang-orang yang bertaubat(kembali).” (Al-Mu’min [40]: 13)
“Dan sesungguhnya Aku menjadi Maha Pengampun bagi mereka yang bertaubat, beriman, dan beramal shalih, kemudian atasnya petunjuk” (Thaha [20]: 82).
“Siapa yang tidak bertaubat, maka mereka itulah orang-orang yang dzalim” (Al-Hujurat [49]: 11).
3. Apa Yang Tersentuh Oleh Psikologi Analitik
Seperti yang telah diulas tadi bahwa yang menarik dari psikologi analitik C.G. Jung terutama konsep individuasinya, suatu proses menjadi diri sendiri atau realisasi diri. Konsepsi ini dibangun Jung secara transpersonal dengan melibatkan khususnya simbol-simbol religius dari mitologi-mitologi kuno dan terutama agama-agama Timur.


Wajar Jung memperoleh inspirasi individuasi ini dari simbol-simbol agama karena tidak ada satu agama besar pun yang meluputkan aspek spiritual penemuan-diri. Aspek batin dari setiap agama dalam upaya mencari kebenaran sejati dan kedekatan dengan Sang Pencipta selalu melalui proses transformasi diri. Tidak ada satu kaum atau suatu peradaban pun, baik besar maupun kecil, kecuali diturunkan di situ rasul-rasul-Nya (Ibrahim [14]: 4), meski representasi ritualnya berbeda-beda tapi esensi dan tujuan sejati dari setiap agama yang diturunkan Dia selalu sama. Proses pengenalan kepada Tuhan selalu diawali dengan proses pengenalan-diri, bahkan tujuan pengetahuan itu sendiri adalah untuk mengenal-diri.


Beberapa agama (terutama Hindu dan Buddha) terkadang sangat menonjolkan proses transformasi kejiwaan ini, agama Kristen lebih menonjolkan oknum spiritualnya (Ruh al-Quds), dan agama Islam menonjol dalam implementasi dharma; singkatnya tidak ada satu agamapun (sepanjang berasal dari Sang Pencipta) kecuali membawa ajaran terpenting, yaitu amr penemuan-diri [7]. Agama-agama itu berhubungan satu dengan lainnya, dalam hal ini kitab-kitabnya, masing-masing memiliki peran yang berbeda dan saling berkompelemen satu sama lain dan membentuk suatu bangunan utuh; seperti diisyaratkan Nabi Muhammad SAW bahwa beliau merupakan batu-bata terakhir yang melengkapi dan menggenapi Ka’bah, sementara batu-bata yang lain dalam bangunan melambangkan Nabi-Nabi bagi umat-umat yang lain, agama telah tertutup dan Islam adalah agama terakhir sebagai penyempurna.


“Dan mereka yang beriman kepada (Kitab) yang telah diturunkan kepadamu dan kepada (kitab-kitab) yang telah diturunkan sebelummu, serta mereka yakin akan akhirat.” (Al-Baqarah[2]:4)
Bagi Jung, kepribadian (personality) itu harus mencakup keseluruhan aspek sadar (consciousness) dan tak sadar (unconsciousness) yang ada di dalam diri manusia, maka jelas ego bukanlah perwakilan dari kepribadian total yang ia sebut sebagai psyche. Dalam psikologinya, ego merupakan pusat bidang kesadaran sekaligus subjek bidang kesadaran. Sebagai subjek, maka ia berfungsi aktif dalam menghubungkan isi-isi psikis sehingga dapat disadari. Seluruh pengalaman kita menyangkut dunia luar maupun dalam harus melalui ego agar disadari. Ego tidaklah mencakup seluruh bidang kesadaran, ego hanyalah ‘titik referensi’ bagi ruang tersebut. Jadi, ego merupakan bagian dari kepribadian dan bukan seluruh kepribadian.
Menurut Jung, manusia dilahirkan dengan membawa ketotalan (wholeness), atau dengan membawa potensi untuk menjadi total, dan tujuan akhir dari hidup setiap manusia adalah untuk mencapai kondisi optimal dari ketotalan:


Personality is the supreme realization of the innate idiosyncrasy of a living being, it is an act of high courage flung in the face of live, the absolute affirmation of all that constitutes the individual, the most successful adaptation to the universal conditions of existence coupled with the greatest possible freedom for self-determination. [8]
Jung mendefinisikan bahwa di dalam ruang ketaksadaran itu sendiri terdapat dua jenis ketaksadaran, pertama ketaksadaran pribadi (personal unconscious), dan kedua adalah ketaksadaran kolektif (collective unconscious).

Pengalaman-pengalaman yang ditekan (suppressed) atau berusaha dilupakan akan mengendap di personal unconscious. Di dalam personal unconscious, segala apa yang diendapkan tadi saling berinteraksi membentuk ide-ide baru, grup dari beberapa ide bisa meng-cluster bersama membentuk apa yang oleh Jung disebut kompleks (complex). Secara umum kompleks ini bersifat unconscious walaupun elemen-elemennya dapat menjadi conscious sewaktu-waktu.


Adapun collective unconscious merupakan konsepsi yang kontroversial. Ini merupakan cetak biru yang diwariskan bukan saja secara fisik (genetik) tapi juga secara psikis.
The collective unconscious is composed of primordial images (thought-forms or memory traces from our ancestral past) not only our human past but also our pre-human, animal ancestry. [8]
Apa yang diwariskan bukan berupa memori-memori atau ide-ide spesifik, tapi lebih ke prediposisi atau potensial-potensial dari ide-ide tertentu. Collective unconscious mengandung hampir sejumlah tak terbatas citra-citra (images), atau bentuk-bentuk pemikiran. Isi dari collective unconscious ini disebut Jung sebagai arketipe-arketipe (archetypes). Jung mengidentifikasi dan mendeskripsikan banyak arketipe, misalkan: ide kelahiran, ide kematian, ide kepahlawanan, ide iblis, ide Tuhan, ide orang bijak, ide binatang, dan sebagainya. Di antara banyak arketipe, yang terpenting dalam membentuk kepribadian dan tingkah laku adalah persona, anima dan animus (syzygy), shadow, dan self.


Kondisi fisik seseorang yang tidak sesuai dengan harapan syahwatnya sering mempengaruhi watak dan tingkah lakunya, sehingga membentuk kompleks baru yang secara bawah sadar men-drive ego-nya semakin menjauhi self. Psikoanalisa Freud banyak menganalisis dampak psikis dari persoalan ini. Bentuk fisik diturunkan secara genetik dan problem psikis yang sama bisa terulang kembali, dan seterusnya. Tampak terjadi interaksi dan konflik antara struktur internal yang masih gelap dalam psikologi dengan faktor eksternal yang terukur, perwatakan dan tingkah laku manusia yang terlihat lebih mencerminkan sisa-sisa perang di interface psikis atau di ego. Secara psikologis, minimal ada tiga faktor yang berinteraksi yang produknya tampak di aspek psikis, pertama faktor yang terkait fisik, kedua kondisi atau warna lingkungan eksternal, dan ketiga faktor internal. Meski dampak psikisnya terukur, oknum dari aspek psikis ini tampak lebih terletak di personal unconsious dan di batas antara sadar dan tak sadar.
Sebagai catatan, menurut Jung terdapat dua aspek penting kepribadian yang bekerja di level sadar (consiousness), attitudes dan functions. Attitudes, atau orientasi, secara umum terbagi dua, yaitu ekstraversi (extaversion) dan introversi (introversion). Orang yang bertipe ekstravert lebih dipengaruhi oleh dunia objektif, dunia di luar dirinya. Orientasinya tertuju ke luar, ditentukan oleh lingkungannya, baik lingkungan sosial maupun non-sosial. Sebaliknya, orang introvert lebih dipengaruhi oleh dunia subjektif, yaitu dunia di dalam dirinya sendiri. Orientasinya ditentukan oleh faktor-faktor subjektif. Menurut Jung, antara ekstraversi dan introversi terdapat hubungan yang saling mengimbangi (kompensatoris). Tentang functions (”fungsi jiwa”), Jung membagi empat, yaitu: thinking, feeling, sensing, dan intuiting.

Jika aspek genetik fisik itu diwariskan, apakah aspek psikis juga diwariskan? Apakah aspek psikis seseorang beresonansi atau mempengaruhi struktur genetik sehingga terwariskan? Secara fenomenologis karakter dan perwatakan seseorang bisa diprediksi dari bentuk fisiknya. Dalam lingkup metafisika Timur, misalnya dalam konsepsi I Ching (Kitab Perubahan) Taoisme dan Hindu, kepribadian seseorang bukan hanya berinteraksi dengan bentuk fisiknya tetapi juga berhubungan dengan ruang dan waktu tempat ia dilahirkan. Sekali lagi, yang menjadi kuncinya adalah pengetahuan tentang struktur internal.


Gelapnya pengetahuan manusia tentang struktur internal dan lemahnya metode ilmiah untuk melakukan pemetaan aspek ini memunculkan berbagai madzhab psikologi kepribadian. Freud dan Jung menempatkan faktor internal ini sebagai ‘lautan’ ketaksadaran. Freud membuat hipotesis tentang id, dan ego lebih merupakan alat id untuk menyalurkan hasrat-hasrat internal yang tak jelas bentuk dan sumbernya, ego juga mengambil nilai-nilai eksternal untuk membangun superego agar kepribadian totalnya bisa ’survive’ tanpa konflik. Meski gelap bagi Freud, tetapi ia sangat melihat betapa besarnya pengaruh dari faktor internal ini.


Jung berani untuk melakukan pemetaan faktor internal ini dengan mengajukan gagasan kontroversial collective unconscious. Dengan data fenomenologis yang lebih ‘terbuka’, Jung membangun hipotesis ini dengan mencoba menyulam data-data produk saintifik dengan aspek-aspek metafisik. Maka seperti halnya Freud, tentang naluri-naluri (insting) hewani, arketipe shadow-nya Jung sangat mencerminkan masuknya gagasan evolusi Darwin dan informasi-informasi ilmiah dari sains zamannya, terutama fisika. Arketipe Jung sepintas mirip dengan pengetahuan recollection dari alam idea-nya Plato[3], atau ilmu tashawwur-nya Ibnu ‘Arabi (1165-1240) yang berkaitan dengan alam ‘khayal’ dari nafs. Tetapi konstruksi Jung tidak menyentuh aspek nafs (soul) dalam arti yang sebenarnya, selain meletakkan data-data fenomena spiritual dalam kerangka psikologi psikis.


Dalam paradigma tashawwuf, karena subjek pendidikan Ilahi adalah si nafs dan konstruk jasad insan hanyalah perpanjangan atau bayangan terbatas dari nafs ini, maka kepribadian si nafs tidak boleh terberangus oleh aspek jasadiah (tentara dzahir qalb), juga oleh aspek psikis yang bertautan dengan tentara batin qalb. Kepribadian nafs adalah kepribadian insan yang sebenarnya yang menjadi cermin bagi khazanah Ilahi, maka ia harus bisa lepas dari kurungan syahwat dan hawa.


Dalam terminologi Al-Qur’an, nafs bukanlah “kertas putih” yang diturunkan, tapi dalam dadanya telah membawa catatan amr yang mesti ia ejawantahkan, dan catatan ini berkaitan dengan persoalan alam idea-nya Plato atau alam khayal-nya Ibnu ‘Arabi. Yang pasti terdapat hubungan antara pengetahuan bawaan si nafs dengan alam tempat ia menjalankan dharma-nya. Fungsi alam syahadah adalah untuk memancing amr yang ‘tertulis’ dalam dada nafs itu keluar dan termanifestasi di tingkat amaliah jasad, dan yang ia manifestasikan pada dasarnya ‘perkara besar’ karena merupakan Harta Terpendam Ilahi. Ini adalah amanah Ilahi yang sesungguhnya, dan proses menjadi saksi Allah dalam arti yang haq. Dan apa yang disebut bakat atau kemampuan seseorang secara psikologis hanyalah gaung dari urusan spesifik yang si nafs bawa. Indra tubuh, ego dan aspek psikisnya, juga fikiran hanyalah alat bagi si nafs untuk menjalankan urusannya. Apa yang Jung lihat secara fenomenologis dan ia definisikan sebagai syzygy, atau aspek anima dan animus dalam pribadi manusia, juga berkaitan dengan konsepsi ummul-kitab dan kitabul-mubin dari persoalan nafs dengan ‘aql-nya.


Arketipe (archetype) yang terlibat langsung dalam proses individuasi atau realisasi diri adalah self, dimana arketipe ini dengan aksi jarak jauhnya (fungsi transenden) memotivasi ego untuk menjadi pribadi yang utuh, yang meliputi sisi sadar dan sisi tak sadar. Fungsi transenden adalah fungsi kunci dalam proses individuasi dan merupakan cara khas bagaimana arketipe self mulai mewujudkan diri. Fungsi transenden bekerja lewat lambang-lambang, dimana lambang merupakan unsur paling pokok dalam psikologi analitik, dan dengan cara seperti ini manusia mulai kontak dengan ketaksadarannya (unconsciousness)[2]. Maka fenomenologi tentang self adalah fenomenologi tentang lambang-lambang dari self. Menurut Jung, fungsi pokok dari lambang adalah bahwa lambang menggabungkan yang sadar dan tak sadar sebagai conjunxio oppositorum (perpaduan unsur-unsur yang berlawanan). Lambang adalah sarana untuk mencapai “tepi laut seberang” (pantai yang lain). Lambang menunjuk ke sesuatu yang belum dikenal yang untuk sementara tidak dapat diungkapkan kecuali lewat lambang. Yang dititikberatkan Jung adalah bahwa lambang itu mengandung arah waktu, menunjuk kepada proses-proses yang masih tersembunyi dan yang ingin menjadi tampak dan terwujud.


Lambang paling istimewa bagi self adalah apa yang dalam bahasa Sanskerta disebut mandala. Jung meneliti lambang-lambang ini selama hampir empat belas tahun, sebelum ia memberanikan diri menafsirkannya. Jung melakukan penelitian-penelitian ekstensif tentang mandala yang ia temukan di dalam semua kebudayaan, dalam agama-agama Barat dan Timur, juga pada pasien-pasiennya, khususnya lambang-lambang mandala ini muncul pada pasien-pasiennya yang berusia 40 tahun. Konstruk mandala merupakan susunan konsentris dari bangun-bangun geometris, bisa berupa bangun lingkaran-lingkaran konsentris, atau segiempat-segiempat konsentris, atau perpaduannya.


Banyak kebudayaan arkais menunjukkan struktur mandala dalam tarian-tariannya, upacara-upacara, bangunan-bangunan rumah, dan tempat-tempat religiusnya. Mandala yang paling indah dan paling sempurna terdapat pada kebudayaan Timur, khususnya dalam Buddhisme Tibet, juga pada candi-candi Hindu dan Buddha. Pada umumnya pada pusat mandala terdapat tokoh-tokoh agama tertentu, seperti Siwa, Buddha, dan Kristus. Jung berpendapat bahwa mandala mempunyai arti ‘metafisis’ dan merupakan simbol transformasi atau jendela menuju Keabadian. Karena mandala melambangkan self, maka self, kata Jung, merupakan Imago Dei (Citra Tuhan).


Dalam dunia tashawwuf, konstruk mandala telah lazim dikenal oleh para Shufi, bentuknya bisa berupa tujuh lingkaran konsentris, empat lingkaran konsentris atau empat bujur sangkar konsentris, atau bisa lebih rumit dari itu. Tujuh lingkaran melambangkan tujuh langit jiwa dengan titik pusatnya melambangkan Ruh al-Quds. Empat lingkaran konsentris melambangkan tingkatan jiwa jasmaniah, jiwa ruhaniah, jiwa rahmaniah, dan jiwa rabbaniah yang duduk di lantai keempat[12]. Makna Rabbaniyah identik dengan makna Brahmana pada agama Hindu yang telah mengalami pergeseran makna dari kasta (maqamat) kejiwaan menjadi kasta sosial. Dalam dunia suluk, hanya tingkat Rabbaniyah yang bisa bertemu Ruh al-Quds tanpa termusnahkan oleh kuat cahayanya [4].
Intinya, pusat mandala merupakan kutub alam semesta zamannya, seseorang yang telah diperkuat dengan Ruh al-Quds di tingkat Rabbani dan memegang jabatan Quthb. Dan seperti telah kita bahas bahwa manusia yang memenuhi struktur An-Nuur [24]: 35, artinya yang telah diperkuat dengan Ruh al-Quds, merupakan Citra Ar-Rahman.
Dari sini bisa ditarik kesimpulan bahwa self yang didefinisikan Jung tak lain adalah nafs (jiwa, soul), ini berarti tidak semua self menyandang pangkat Imago Dei, kecuali self yang sudah duduk di pusat mandala. Dan dengan terputusnya data agama, konsepsi Jung tentang self berhenti di Imago Dei.

Konsepsi transformasi kejiwaan dalam khazanah Islam sebagai agama penyempurna, bisa membantu membuka kembali arah dari persoalan ini dalam khazanah batin agama-agama pra-Islam. Bagi Jung, gagasan individuasi bisa membantu memberi arah pada terapi pasien-pasiennya, tapi simbol-simbol mandala yang dilihat dalam ruang kesadaran (consious) pasien sebagai isyarat dari nafs atau self di ruang bawah sadar (unconscious), menjanjikan suatu kesadaran dan kebahagiaan yang jauh lebih tinggi dari apa yang Jung dan si pasien sadari. Metode terapi Jung tidak memadai untuk memenuhi apa yang diseru dan dituntut oleh self, juga tidak memiliki perangkat ukur untuk melihat tahapan-tahapan pengorbitan ego menuju self (nafs). Tetapi Jung berpendapat benar bahwa kepribadian yang utuh terletak di self atau jiwa (nafs), dan bukan di ego. Dan pengenalan atas nafs adalah awal pengenalan kepada Tuhan.


4. Status Kecerdasan Spiritual SQ
Seperti halnya dalam kasus psikologi analitik, SQ merupakan salah satu produk yang mencerminkan samarnya pengetahuan manusia Barat tentang aspek internal manusia yang terfokus di self atau nafs, dan SQ sendiri tampak dipengaruhi kuat konstruksi-konstruksi C.G.Jung yang dibangun secara transpersonal. Seperti telah dibahas tadi bahwa urusan yang dibawa setiap nafs berbeda satu dengan lainnya, maka potensi-potensi yang Sang Pencipta berikan kepada tiap-tiap manusia yang meliputi seluruh aspek lahir dan batinnya tidak pernah ada yang sama. Ada kaitan erat memang antara bakat fisik manusia dengan amr jiwanya, karena memang si jasad tak lain merupakan perpanjangan jiwanya, maka urusan si jiwa akan memanjang ke jasad.


“Manusia itu dimudahkan atas suatu yang untuk itu ia dicipta.” (Rasulullah SAW)
“Carilah pekerjaan yang kamu tidak bekerja.” (Confucius)
Manusia dimudahkan dalam jalannya masing-masing dan tidak diberi beban melainkan apa yang mampu ia pikul, tapi ego manusia cenderung memilih jalan yang justru ia menjadi bekerja keras di situ, tidak berjalan dengan energi minimalnya. Bukankah alam semesta itu hadir/wujud dalam energi minimalnya? Dharma atau misi hidup setiap manusia itu bekerja dalam energi minimalnya, dimudahkan untuk apa ia dicipta. Gagasan Lao Tzu tentang jalan Tao adalah bicara tentang ini; dan alam semesta hidup mengalir mengikuti sungai Tao, ini adalah tasbih, dan setiap insan diwajibkan bertasbih. Hal yang sama demikian kentara dalam ajaran Zen (ordo Buddha) dan Baghavad Gita (Veda Hindu) misalnya, demikian pula apa yang diseru dalam setiap agama yang lain termasuk Islam.


Kalimah aslama konstruk dasar dari Al-Islam bermakna berserah-diri mengikuti kehendak-Nya; kalimah sabaha konstruk dasar dari tasbih bermakna mengalirkan diri atau menghanyutkan diri dalam sungai Kuasa-Nya. Jika manusia mengerjakan dharma-nya, maka segala sesuatu yang menyangkut urusannya akan dimudahkan di tangannya, dimana itu sulit bagi selain dirinya. Seperti sabda Rasulullah saw.:
“Bila urusan diserahkan bukan pada ahlinya, maka tunggulah kehancurannya”.
Swadharma setiap insan itu terkait dengan shirathal-mustaqiim-nya masing-masing. Rabb yang dicari berada di atas jalan itu (Hud [11]: 56), dan yang menjadi kuncinya ada dalam diri nafs-nya sendiri. Setiap manusia akan menemukan Tuhannya lewat pintu jiwanya masing-masing, karena di dalam nafs terdapat Kuasa-Nya, Qudrah-Nya; man ‘arafa nafsahu fa qad ‘arafa rabbahu. Jika manusia bertemu dharma-nya atau kodrat-dirinya, maka kehidupannya dimudahkan. Ini adalah aqabah, jalan mendaki lagi sukar, karena ia harus membebaskan diri dari perbudakan syahwat dan hawa nafsunya. Jika ego manusia tunduk kepada kehendak Allah maka terbuka pintu pengenalan ke nafs (self) nya, dan jika Ruh al-Quds telah Allah nyalakan di dalam qalb si nafs maka terang apinya akan menampakkan amr si nafs yang tertulis dalam dadanya.
Apa yang terdeteksi secara fisik berupa gelombang otak, cahaya aura, atau akumulasi energi di cakra-cakra tubuh, berasal dari cahaya jasadi dan psikis, belum sampai menyentuh ke cahaya jiwa (nafs). Fisik manusia dibangun dari material alam mulk, nafs berasal dari alam malakut, dan aspek psikis manusia berasal dari entitas barzakh antara kedua alam tadi. Cahaya dan energi psikis di atas merupakan permukaan dari esensi cahaya nafs. Karena itu kesehatan yang bersifat fisik dan psikis semata akan cukup tercermin di aura, cakra-cakra dan gelombang-gelombang otak tertentu. Penyakit fisik datang dari pikiran yang tidak jernih. Dalam ajaran Buddha, pikiran tidak akan jernih jika ada kekhawatiran, dan kekhawatiran itu datang dari hawa nafsu dan syahwat. Pikiran itu terkait mind (fu’ad), dan Plato mengatakan bahwa hal pertama yang harus dilakukan dalam terapi medis adalah memperbaiki mind-nya dan cara berpikirnya lebih dahulu.
Pikiran yang tak jernih bisa mematikan qalb, dan jika qalb mati berarti qalb kehilangan Cahaya Jabarut-nya dan ini berdampak lumpuhnya si nafs dalam diri manusia. Jika nafs dalam diri manusia lumpuh maka lumpuh pula kekuatan amr dalam dirinya, sehingga aksi fungsi transenden ke ruang kesadaran tidak terjadi. Orang yang sehat qalb-nya dari dosa-dosa dan penyakit hati akan sehat pula nafs-nya, dan jika si nafs sehat ia akan membimbing raga untuk menemukan obat bagi penyakit fisiknya, dan ini perlu waktu:
“Barang siapa sehat qalb-nya maka akan sehat jasmaninya” (Rasulullah SAW).
Arah dari setiap agama itu pada hakikatnya adalah demi transformasi aspek batin. Demikian pula dengan dharma insan yang bermakna mengerjakan urusan-urusan dunia yang cocok dengan jiwanya agar tak terjadi konflik batin, dan kebersihan batin yang jernih tanpa distorsi nafsu itu akan sangat berguna dalam melihat kebenaran Ilahiah dan sekaligus membuka jalan. Berdharma artinya menyelamatkan qalb: jika seseorang telah bekerja pada dharma-nya (pada orbitnya) maka di situ tidak ada pertentangan antara mana urusan dunia dan mana urusan akhirat; semua menjadi bermakna akhirat dan menyenangkan bathinnya. Orang yang menjalankan dharma-nya, kebahagiaannya tidak bisa dinilai dari luar dirinya, apalagi diukur oleh kacamata syahwat dan pikiran yang telah terbius oleh waham kelezatan duniawi. Orang bisa memandang bahwa ia tengah bekerja keras dan menderita, padahal bagi dirinya merupakan berkah dan kebahagiaan, bagi ia penderitaan hidup itu pada hakikatnya tidak ada.
Dengan mengerjakan misi hidupnya atau qudrah dirinya (dharma yoga) maka qalb orang itu terselamatkan dari penyakit fikiran, dan jika qalb selamat (qalbun salim) ia akan ‘melihat’ Tuhannya. Kata Al-Ghazali, satu-satunya perangkat dalam diri manusia untuk ber-ma’rifatullah adalah qalb-nya. Qalb adalah rasa si jiwa (nafs) dan bukan rasa psikis (emosi) yang dapat tersentuh oleh observasi psikologis, ia adalah makhluk ruhani. Lebih jauh Al-Ghazali berkata bahwa jika seseorang tidak mengenal qalb-nya maka tidak akan mengenal nafs-nya; jika nafs tidak dikenal maka dharma tak dikenal; jika dharma tak dijalankan maka terputus jalan untuk menuju Sang Pencipta; dan jika ia terputus jalan maka kesadarannya tidak akan melampaui alam-alam, sehingga kebijakan-kebijakan Ilahi dalam kehidupan semesta tak terpahami (oleh akal bawahnya). Maka dikatakan Allah SWT bahwa hanya Ulul-Albaab (orang yang memiliki akal jiwa/lubb) yang bisa memahami ayat-ayat-Nya, dan lubb itu tidak menyala jika cahaya qalb padam.
Inteligensia atau kecerdasan fisik kekuatannya hanya menyentuh sejauh alam fisik. Jika kita mencoba menggunakan kecerdasan fisik untuk menggeneralisasi atau menginduksi imajinasi ke alam malakut, maka hal ini seperti nasib elemen-elemen vektor yang jika dioperasikan bagaimanapun dengan hukum-hukum ruang vektor, tidak akan melompat keluar dari ruang vektornya. Akibatnya “pantai yang lain” selalu tak diketemukan. Kecerdasan ‘bawah’ hanyalah bayangan dari kecerdasan jiwa (kecerdasan ‘atas’) yang mestinya bisa dilahirkan dengan jalan mujahadah dalam tazkiyyatun-nafs.
Lantas apa sebenarnya kecerdasan itu? Apa makna dari IQ, EQ, dan sekarang SQ? Dan jika melihat struktur dasar manusia yang terdiri dari jasad, jiwa, dan Ruh al-Quds, apakah seseorang bisa langsung mengklasifikasi adanya kecerdasan jasadi, kecerdasan jiwa, dan kecerdasan Ruh al-Quds?
Menurut Ibnu ‘Arabi dan beberapa shufi yang lainnya, bahwa alam semesta itu “mengenal” Allah SWT, alam memahami status dirinya di depan Tuhan. Maka kita melihat bahwa apa pun yang mewujud di alam syahadah ini memandang kepada Sang Pewujud, ini sebuah “kesadaran” dan sebuah “kecerdasan”.
Sebenarnya yang membuat materi itu memiliki kecerdasan karena di dalam dirinya hadir Kuasa Tuhan, sentuhan ‘jari’-Nya terhadap ‘ain segala sesuatu itulah yang membuat segala sesuatu menjadi memiliki wujud, baik di alam mulk ini, terlebih wujud-wujud yang eksis di alam malakut. Maka semua yang Dia wujudkan akan memiliki kecerdasan karena di dalam dirinya ada al-haq, bukankah hakikat segala sesuatu itu al-haq? Secara fisis saja sebuah batu itu mati tampaknya, padahal jika diteropong secara sub atomik maka tampak penuh dinamika, penuh kehidupan, masing-masing partikel bergerak pada orbitnya, memiliki energi, mereka hidup dalam dharma-nya masing-masing, mereka melihat kepada Penciptanya dan mereka mengerjakan itu demi ridha-Nya. Secara fisika, hanya dalam suhu nol mutlak (nol derajat Kelvin = -273 C) maka semua aktivitas terhenti, tapi adakah dimensi di situ? Otak kita adalah materi yang secara intrinsik memiliki “kecerdasan”, tapi pada orang yang mati (hilang ruh dan nafs-nya) apakah otaknya memiliki kecerdasan insani? Seperti halnya pada binatang, yang membuat menjadi memiliki kecerdasan karena adanya ruh hewani, tapi apakah seekor ternak memiliki kecerdasan insani yang kita maksud?
Kecerdasan jasadiah sendiri pada dasarnya berasal dari cahaya nafs dalam tubuh jasad yang bertemu dengan aspek ruh yang menghidupkan jasad. Pertemuan nafs yang hidup dengan potensi kecerdasan lubb-nya dengan potensi kecerdasan lubb-nya dengan tubuh yang memiliki ruh, selain melahirkan “akal bawah” juga melahirkan sejumlah entitas yang lain dengan modus kecerdasan yang berbeda-beda.
Kecerdasan jiwa berkait erat dengan akal-jiwa (lubb) sebagai kecerdasan ‘atas’ atau akal ‘atas’. Apa yang terukur dengan IQ tidaklah berkaitan dengan akal ini melainkan kecerdasan ‘bawah’ belaka. Artinya jika jiwa atau nafs seseorang lumpuh karena dosa-dosa menutup qalb, maka ia masih memiliki akal ‘bawah’. Adapun jika jiwa ‘hidup’ dan akalnya (lubb) sudah tumbuh, maka dikatakan orang tersebut hidup dengan ‘dua akal’, sebagaimana psyche yang diberi lambang kupu-kupu bersayap dua, atau makna dua sayap pada gambaran malaikat. Ilustrasi tentang dua akal ini juga bisa dikenali dalam “Suara Sayap Jibril”, Suhrawardi Al-Maqtul [10].


Adapun makna kecerdasan Ruh al-Quds adalah di luar jangkauan makhluk karena nisbatnya ke Martabat Ilahi. Antara Ruh al-Quds dengan ruh yang menghidupkan jasad insan, perumpamaannya seperti perbandingan antara api dengan terangnya (nyala api), atau ruh yang menghidupkan jasad bagaikan hanya hembusan nafas Ruh al-Quds. Nabi Isa a.s. adalah seorang yang di dalam tubuhnya selain memiliki nafs juga memiliki Ruh al-Quds, maka ketika ia membuat bentuk burung dari tanah liat dengan tangannya, kemudian ia tiupkan melalui mulutnya nafas dari Ruh al-Quds, maka jadilah burung itu hidup dan terbang. Hakikat dari spiritus ini bersifat metafisik dan tak terukur, sementara dayanya tampil di dunia fenomena dalam bentuk-bentuk yang tak terbatas.


Status spirit (ruh) yang samar dalam struktur manusia membawa dampak penyempitan bahkan penyimpangan makna dari arti yang sesungguhnya. Ruh Al-Quds merupakan oknum rahasia (sirr) Ilahi dalam diri manusia, yang tinggal di inti jiwa (nafs, soul), al-insaanu sirriy wa Anaa sirruhu (Al-Hadits). Daya atau nafas dari Ruh Al-Quds yang berdampak menghidupkan jasad (body) manusia kerap menimbulkan kebingungan dalam mengidentifikasi yang mana jiwa dan yang mana ruh. Istilah nyawa dalam literal masyarakat tidak lain adalah nafas dari sukma (ruh), dan kata arwah (ruh-ruh) sering secara keliru dimaknai sebagai nafs (jiwa) yang akan diadili di alam Barzakh. Ruh Al-Quds adalah ruh al-arwaah, yang nafasnya merupakan al-kimiya (alkemis) yang menghidupkan jasad insan, suatu entitas yang pada prinsipnya sama dengan entitas yang menghidupkan tubuh seekor kambing atau burung tanah Isa Al-Masih a.s. Sementara istilah jiwa sering menyempit maknanya menjadi sekadar gejala-gejala psikis.
Konsep Ruh Al-Quds dalam Al-Quran identik dengan konsep ‘Holy Spirit (Holy Ghost)‘ dalam Bible, sebagai entitas yang hadir dari Alam Jabarut, dan ini sering dipertukarkan dengan entitas yang hadir dari alam malakut tertinggi yaitu Jibril a.s. sebagai Ruh Al-Amin (Asy-Syu’araa [26]: 193) yang membawa anugrah-anugrah tertinggi bagi manusia.

Makna api sebagai pelita dalam An-Nuur [24]: 35 sama dengan makna kehadiran lidah-lidah api di Hari Pentakosta dalam Perjanjian Baru (Kisah Para Rasul 2: 1-13) yang membaptis dua-belas sahabat Isa Al-Masih a.s. sebagai para utusan bagi kenabiannya, sesuai dengan yang beliau alaihis-salam janjikan (Yohanes 14: 15-17). Apa yang dinisbatkan kepada martabat insan adalah aspek nafs dan jasadnya, adapun sekali lagi, aspek Ar-Ruh bernisbat ke martabat Ilahi. Trilogi Tuhan, Ruh-Al-Quds, dan an-nafs, menggambarkan turunnya (tanazzul) urusan Ilahi atas manusia-manusia terpilih, dimana urusan (amr dharma) tersebut oleh Ruh Al-Quds dibawa dan diletakkan di inti jiwa, bukan di aspek psikis terlebih di pikiran jasadiyyah.


Penggunaan istilah spiritual pada konstruksi SQ (Spiritual Quotient) sebagai suatu ratio atau ukuran yang brain-based tampak menjadi paradoks, karena entitas spiritual yang bersifat immaterial dan tak terbatas diukur oleh kecerdasan yang bersifat material (neurological basis) dan terbatas.


Konsepsi self Jung berbeda dengan konsepsi self SQ. Jung meletakan self sebagai sub ordinat manusia yang harus direalisasi, merupakan arketipe terpenting di kedalaman unconsiousness yang harus disadari agar kepribadian total (psychê) sebagai “kepribadian target” menjadi terwujud. Adapun SQ meletakan self sebagai psychê yang hadir sejak awal dan terus-menerus melakukan penyempurnaan diri. SQ melihat adanya paradoks dalam konsep individuasi Jung:


Jung after thought the Self only become accessible to people after the mid-life crisis. At that point, in conjunction with his ‘transcedent function’, the self archetype synthesized opposites in the personality, such as thinking and feeling. The Self archetype and the transcendent function were the symbol and process of self-transformation. But Jung thought self-transformation most appropriate to later life, whereas associate it with spiritual intelligence and think it potentially active throughout life. In terms very similar to what I have been saying about SQ, Jung felt the Self archetype could not be dissociated from the psychologically integrating role played by the pursuit of meaning and purpose in life.


Konsep self dan proses individuasi dalam psikologi analitik Jung secara umum sejalan dengan proses realisasi-nafs (jiwa) dalam terminologi quraniyyah. Adalah wajar terjadi kesesuaian karena Jung melakukan studi 14 tahun atas simbol mandala berdasarkan literatur-literatur dimensi batin banyak agama, dimana faktanya Jung menemukan bahwa simbol-simbol mandala ini sering muncul pada pasien-pasien yang mengalami konflik batin (konflik jati-diri) pada usia 40-tahunan.


Al-Quran menyinggung ihwal pertumbuhan pribadi insan hingga baligh-nya dan ihwal usia 40-tahunan, dimana manusia sudah harus melakukan proses taubat (Al-Ahqaaf [46]: 15). Dengan proses taubat maka fitrah insani dalam arti yang haqiqi akan terbuka (Ar-Ruum [30]: 30-31), dimana fitrah ini terkait dengan persoalan swabhawa-swadharma dan qadha-qadar, dan ini terletak di nafs manusia yang harus direalisasi. Jika manusia melupakan Allah SWT, atau menomorduakan urusan Tuhannya, maka Dia akan membuat si manusia tersebut lupa akan nafsnya (Al-Hasyr [59]: 18-19), dan lumpuhlah si nafs itu dari berkata-kata (nathiqah) ihwal fitrah dirinya padahal kesaksian tentang perkara “misi hidup” ini telah diambil si nafs sebelum ia dimasukkan ke rahim ibu (Al-’Araaf [7]: 172).


Ibnu ‘Arabi rahimahullah menyinggung ihwal usia 40 tahun ini ketika beliau menafsirkan makna dari “sapi betina” yang tidak terlalu tua dan tidak terlalu muda, dan yang berwarna kuning tua (Al-Baqarah [2]: 68-71):
Kuning tua adalah warna insan (Bani Israil, pada waktu itu). Yang dimaksud dengan tidak terlalu tua artinya tidak melewati “umur kesiapan” (istidaad), karena si nafs telah terpadati oleh waham-waham, kebiasaan-kebiasaan, dan keyakinan-keyakinan lama yang melekat kuat, sebagaimana dikatakan bahwa seorang shufi di atas 40 tahun telah “dingin”. Juga tidak terlalu muda, artinya masih belum matang dan belum memiliki “kesiapan”, masih sulit untuk mendapatkan didikan yang ada dalam riyadhah karena tabiat keanakan masih melekat kuat dalam dirinya.[11]


Seperti telah dibahas, bahwa Jung tidak berani melakukan identifikasi psikologis lebih lanjut atas selfnya kecuali menyematkan pangkat paripurna terhadap self sebagai Imago Dei. Jung kehilangan elemen penghubung yang mengkaitkan antara self sebagai makhluk dengan Dei (Tuhan) sebagai pencipta self. Meskipun Jung menunjuk figur Kristus dan Buddha sebagai contoh dari Imago Dei, ia tidak menemukan konsepsi yang menghubungkan status holy Spirit dengan self dan Tuhan. Di titik ini proses-proses rekonstruksi tentang “hakikat manusia” menjadi terhenti ketika data-data agama yang digunakannya dalam proses analisis-sintesis, terbatas. Jika struktur insan sebagai Cahaya Ilahi, atau “struktur status” yang menampakkan rahasia Ilahi tidak dipahami, maka persoalan hubungan spirit-self dan psikis-self menjadi tidak jelas. Samarnya persoalan ini pada konstruksi SQ menimbulkan paradoks seperti kalimat “spiritual intelligence is the soul’s intelligence” sementara pengukuran-pengukuran dilakukan di tingkat psikis bukan di fundamennya.


Zohar dan Marshall menggunakan mandala teratai atau lotus sebagai model bagi self, di mana dalam filsafat Timur lotus merupakan lambang integrasi, simbol tertinggi dari ketotalan (wholeness). Mereka mengklaim bahwa esensi dari SQ yang mereka konstruk merupakan kecerdasan tertinggi (the ultimate intelligence) yang merepresentasikan suatu dinamika pencapaian ketotalan self. Konsepsi SQ membagi self kedalam tiga bagian (tiga lapis) mandala lotus :
(1) Lapis terluar dari self (outer petals) mereka identifikasi berdasarkan pemahaman barat modern, yaitu dalam persepektif ego sadar (conscious ego). Cara pandang ego yang bersifat rasional dikaitkan dengan tract-tract neural otak dan program-program yang bersifat serial. Pada prinsipnya, lapis terluar ini mereka identifikasi dengan attitudes dan functions psikologi analitik Jung, dan enam tipe kepribadian dari psikolog Amerika J.L.Holland.


(2) Lapis menengah lotus (lapis transisi) merupakan associative unconscious yang dihubungkan dengan konsepsi Jung tentang personal dan collective unconscious. Mereka menghubungkan aspek ini dengan geometri paralel dari jaringan neural otak, suatu proses pemahaman yang tidak berfikir secara rasional. Adapun faktor penghubung antara lapis terluar self (conscious ego) dengan associative middle (unconsciousness) adalah motivasi. Ego tidak bisa memperbaiki dan mentransformasi dirinya sendiri, ego merupakan sumber daya bagi lapis terdalam ketaksadaran. Bagi mereka, proses transformasi ego terjadi melalui energi psikis, dimana energi ini terkait dengan konsentrasi energi di cakra-cakra tubuh dalam konsepsi Yoga Kundalini Hindu. Energi psikis ini merespons motivasi-motivasi personal. Maka motif-motif menjadi elemen penting dalam membangkitkan kecerdasan spiritual SQ. Cakra-cakra energi ini juga menghubungkan lapisan unconscious dengan pusat (centre) terdalam dari self. Lapis menengah ini merupakan kolam motif-motif, energi-energi, citra-citra, asosiasi-asosiasi, dan arketipe-arketipe yang mempengaruhi pola pikir, kepribadian, dan tingkah laku, dari arah “dalam”. Bagi mereka , lingkup ego berkaitan dengan IQ dan bagaimana cara kita mengidentifikasi sesuatu. Adapun lingkup associative middle berkaitan dengan EQ dan bagaimana cara kita merasakan sesuatu.


(3) Bagian pusat dari lotus disebut ‘bud‘. Pusat dari self ini merupakan fokus utama dari konstruksi SQ, karena berkaitan dengan pengalaman-pengalaman tentang penyatuan realitas-realitas. Pengalaman-pengalaman tersebut, menurut Zohar dan Marshall, berkaitan dengan hadirnya osilasi simultan 40 Hz yang melintas di neural-neural otak, dimana osilasi pada frekuensi ini berfungsi menyatukan pikiran-pikiran, emosi-emosi, simbol-simbol, asosiasi-asosiasi, dan persepsi-persepsi, sehingga self dalam kondisi terintegrasi. Menurut mereka, berdasarkan seluruh tradisi-tradisi mistik Timur dan Barat, bahwa ada aspek self yang berada diluar lingkup bentuk-bentuk, ini disebut sebagai sumber (source), atau Tuhan. Segala apa yang manifest di self-SQ, baik itu berwujud fisik maupun psikis yang tak disadari, berasal dari suatu sumber yang berada di balik semua yang manifest. Sumber ini dalam kerangka sains abad duapuluh dikaitkan dengan Quantum Vacuum yang merupakan ground state dari energi alam semesta. Secara fisika kuantum, self merupakan ko-sumber dari segala yang manifes di realitas fisik.
Apa yang Zohar dan Marshall sebut sebagai kecerdasan spiritual (SQ) adalah suatu status kecerdasan manusia ketika ketiga aspek dari self tersebut (ego, unconsciousness, dan centre) mengalami integrasi dan menyatu secara psikis. Bagi mereka, pengetahuan tentang pusat self merupakan kunci untuk membangkitkan dan menggunakan SQ, sebaliknya ketidakmengenalan ihwal pusat ini merupakan sebab utama dari ketumpulan spiritual. Dan, proses individuasi Jung yang bernuansa spiritual merupakan tujuan dari SQ. Energi psikis terdalam dari pusat lotus berkaitan dengan Cakra Hindu ke-tujuh, cakra mahkota:
The Crown Chakra, located outside the body, above the head, it is often depicted in religious paintings of the Western tradition as halo. It is pure, luminous energy, sheer light, one light, beyond names and forms, beyond thought and experience, beyond even concepts of “being” and “non-being”. Represented by a thousand-petalled lotus shedding rays of lunar light, the crown chakra realizes the pure union of the human soul with whatever we call ‘God’.


Thought the energies of the crown chakra can create new symbols and forms, this chakra itself is beyond all existing symbol and form. We can experience this pure energy in spontaneous mystical experience of Unity, and it is very commonly reported in near death experiences. Dante describes such an experience in his Paradiso.( [9], p.158 )


Sebenarnya yang terobservasi secara fisik berupa cakra mahkota dan aura tubuh masih terkait sirkulasi chi (Qi) tubuh yang sangat dipengaruhi dan dikendalikan oleh jalan pikiran jasadiah. Aura masih dalam lingkup cahaya material jasad yang teramplifikasi, karena itu wajar jika konsentrasi energi cakra-cakra tubuh akan terintensifikasi oleh emosi-emosi. Jadi cakra mahkota belum menyentuh cahaya jiwa (nafs) yang sebenarnya, yang bersifat malakut. Dalam ajaran Budhisme Zen, bahwa pusat terdalam dari lotus merupakan suatu tempat diluar kemungkinan apapun yang bisa kita bayangkan (a place beyond all imagining).
Makna pusat spiritual dari mandala lotus Zen semakin dipersempit lagi ketika diukur berdasarkan basis neurologi. Dalam membangun model selfnya, Zohar & Marshall memaksakan suatu identifikasi sains atas atribut-atribut dan entitas metafisika atau malakut.


I believe this fuller model of self can be described only by combining the insights of modern Western psychology, those of the Eastern philosophies, and many from twentieth century science, ( [9], p.124)
Until the late twentieth century only this kind of language desribed the unitive energy found at the centre of the self and of the existence. But such accounts don’t speak to the modern mind. Today such questions demand ’scientific’ answers, brain phenomena that we can ‘weight and measure’, experiments that we can read about.


Neurologically, that the brain’s unitive experience emanates from synchronous 40 Hz neural ascillations that travel across the whole brain. They provide a ‘pond’ or ‘background’ on which more excited brain waves can ‘ripple’, to generate the rich panoply of our conscious and unconscious mental experience. These oscillations are the ‘centre’ of the self, the neurological source from which “I” emerge. They are the neurological ground of our unifying, contextualizing, transforming spiritual intelligence. It is through these oscillations that we place our experience within a framework of meaning and value, and determine a purpose for our lives. They are a unifying source of psychic energy running through all our disparate mental experience ([9], p. 159)


For the physics that best describes the centre of the cosmos we must turn to quantum field theory, the late twentieth century adaptation of quantum physics. Quantum field theory describes all existing things as being states or patterns of dynamic, oscillating energy. The grounds state of all being is a still ‘ocean’ or background state of unexcited energy called the quantum vacuum.


This vacuum is scientific version of the Buddha’s handkerchief, the One Thing which, when tied into many knots, appears as many manifestations. All things that exist are excitations of the quantum vacuum, and the vacuum therefore exists as the centre within all things. Vacuum energy both underlies and permeates the cosmos. Because we ourselves are a part of this cosmos, vacuum energy ultimately underlies and permeates the self. We are ‘waves’ on the ‘ocean’ of the vacuum; the vacuum is the ultimate centre and source of the self. When the self is trully centred, it is centred in the gorund of all being. On our lotus of the Self diagram, the quantum vacuum is the ‘mud’ out of which the stem of the lotus grows. ([9], p. 160).


5. Resume dan Kesimpulan
Terapi-terapi klinis dalam lingkup psikologi Barat lebih banyak bergerak di tingkat ego, umumnya mencoba untuk menata gejala-gejala psikis di tingkat fenomenal bukan di sumbernya. Sumber penyakit psikis merupakan medan kontinum yang dibangun oleh dua kutub, kutub atas berpusat di ego sadar dan kutub bawah berpusat di dasar ketaksadaran yang paling dalam. Dua kutub ini saling menginduksi sehingga cenderung saling menguatkan dan saling membesarkan satu sama lain. Beberapa alat psikologi modern mencoba merecall sumber-sumber penyakit psikis dari kedalaman ketaksadaran. Freud dan Jung menyadari dan “melihat” bahwa kekuatan “penghancur” terbesar justru berasal dari sumber-sumber tertentu di kedalaman ketaksadaran.


Samarnya pengetahuan tentang struktur manusia di peradaban Barat modern mengakibatkan para psikolog Barat hingga dewasa ini belum mampu merumuskan konsepsi terapi di tingkat bawah sadar. Apa yang menjadi sumber penyakit di kedalaman ketaksadaran merupakan konstruksi dari produk interaksi antara kontaminan-kontaminan yang ditenggelamkan ego ke lautan ketaksadaran dengan daya dari memori psikis tertentu yang dibawa jiwa (nafs). Jung mengaitkan memori psikis ini terutama dengan arketipe shadow, meskipun Freud tidak setuju dengan gagasan Jung tentang collective unconscious tapi ia setuju dengan ide racial memory.


Konsep fitrah dalam Al-Qur’an bukan berarti setiap bayi seperti kertas putih yang sama, mereka memang tidak mewarisi dosa tetapi daya-daya psikis orang tuanya secara potensial di bawa si bayi. Kondisi psikis kedua orang tuanya saat terjadi pembuahan hingga pertumbuhan janin di rahim si ibu diwariskan di lapis psikis si bayi. Struktur genetik (material) akan beresonansi dengan fluktuasi psikis dan pikiran (non material), elemen penghubung sisi material dengan non material dalam hal ini adalah entitas chi dan cahaya material. Sebagai catatan, cahaya material (terkait aura tubuh) merupakan elemen kelima (the fifth elemen) produk penyatuan keempat elemen dasar (tanah, api, air, udara) oleh nafas ruh. Dan apa yang disebut fitrah itu sendiri, seperti telah kita bahas, berkaitan dengan swabhawa si nafs.


Aspek olah jiwa (suluk) atau dimensi batin dari agama-agama sebenarnya untuk tujuan transformasi dari “arah dalam,” mengubah sayyi’ah-sayyi’ah menjadi hasanah-hasanah (Al-Furqaan [25]: 70-71). Apa yang disebut dengan kecerdasan, di tingkat apapun merupakan produk dari transformasi-transformasi diri, terutama transformasi jiwa. Dalam konsep Al-Qur’an, kecerdasan seseorang dalam suatu lingkup dharma berbanding lurus dengan tingkat kesucian jiwa yang diperoleh lewat jalan taubat (Al-Mu’min [40]: 13). Jika jiwa tumbuh maka akal jiwa (lubb) akan tumbuh juga, sehingga hiduplah akal luar dan akal dalamnya, sejalan dengan apa yang dikatakan Rasulullah SAW:
“Jika seorang manusia berbuat dosa maka akan hilanglah sebagian akalnya dan tak kembali lagi untuk selama-lamanya” (Al-Hadits)


Menurut Zohar dan Marshall, adalah tidak mungkin untuk dapat memahami secara dalam ihwal kecerdasan spiritual (SQ) tanpa meninjau isu-isu seperti: Where do we come from? What is our origin in time? How big is the story of which we are a part? What are we rooted in? How long do we last? Where are the ultimate boundaries of our human existence? What is the source of our intelligence? ([9], p. 115). Mereka membangun model self (versi SQ) yang diharapkan bisa paralel dengan isu-isu di atas. Kecerobohan terjadi ketika mereka mengidentifikasi entitas pusat (centre) dari self dengan quantum vacuum.


Keadaan vakum merupakan ‘lautan’ energi dasar yang berkaitan dengan manisfestasi dan kristalisasi wujud-wujud di alam syahadah (mulk) sebagai realitas-realitas eksternal, boleh dikatakan sebagai hakikat dari segala apa yang manifes secara fisik (alam semesta fisik). Sementara hakikat dari jiwa (nafs atau self dalam arti yang sebenarnya) merupakan “quantum vacuum” yang terletak di alam malakut, bukan di alam mulk. Simbol lotus dalam terminologi Zen merupakan sumber dari segala yang manifes, mencakup seluruh ‘langit’ dan ‘bumi’.


Dalam konsepsi agama, yang disebut dengan semesta alam mencakup jabarut, malakut, dan mulk. Bunga lotus melambangkan manifestasi malakut dan mulk sebagai aspek yang “tampak”, sementara aspek “tak tampak”nya berupa air yang mengalir di dalam tubuh lotus, melambangkan alam jabarut yang bernisbat ke Martabat Ilahi. Pusat dari lotus merupakan “aspek langit” atau aspek malakut yang memang berhadap-hadapan dan dipasangkan dengan “aspek bumi” atau aspek fisik. Dan yang disebut dengan Tao oleh Lao Tzu dalam Kitab Tao Tee Ching merupakan aliran Hukum Ilahi yang menganak sungai alam semesta dan sekaligus mengsinkronkan antara hukum-hukum yang bekerja di alam malakut dengan hukum-hukum yang bekerja di alam fisik. Dan tampaklah bahwa segala sesuatu yang manifes di alam fisik merupakan fraktal dari persoalan langit dan bumi, perempuan dan laki-laki, yin dan yang.


Jika isu-isu yang dikemukakan Zohar dan Marshall diatas sebagai syarat untuk membangkitkan kecerdasan spiritual (SQ), maka sains yang hanya menyentuh alam fisik secara terbatas tidak bisa berbuat banyak. Isu-isu yang diangkat tersebut hanya bisa dijawab sepenuhnya oleh dimensi batin agama, dan ini memerlukan kesucian batin berdasarkan rahmat Allah SWT, karena sisi batin agama atau aspek batin dari kitab-kitab agama termasuk Al-Qur’an tidak akan tersentuh kecuali dengan kebersihan jiwa.
“Itu adalah Al-Qur’an yang Mulia, di dalam Kitab yang terpelihara, tidak ada yang bisa menyentuhnya kecuali orang-orang yang dibersihkan (al-muthaharun)” (Al-Waqi’ah [56]: 77-79).


Arti dari dvijottama atau dwi-jati-utama dalam Bhagavad-Gita adalah jiwa yang telah dilahirkan dua kali, yang pertama dilahirkan secara jasmani dan yang kedua secara ruhani. Dalam kultur Hindu, hanya orang yang telah mengalami kelahiran dua kali yang diizinkan membaca kitab suci Weda, dan tujuan pendidikan dalam agama Hindu adalah upaya ke arah penghidupan batin. Nabi Isa Al-Masih a.s. dalam Injil Barnabas juga menyinggung ihwal dua kelahiran tersebut.


Dalam konsepsi Islam, si nafs dilahirkan atau dihadirkan ke alam fisik secara “virtual reality” melalui jasmaninya, dan kelak si nafs harus mengejawantahkan atau melahirkan isi ruhaninya. Isi ruhani yang harus diejawantahkan hingga ke tingkat jasmani ini merupakan dharma atau amal shalih si nafs (jiwa) yang sesuai dengan Kehendak-Nya. Aspek ruhani ini merupakan ketetapan jiwa yang diperkuat oleh Ruh Al-Quds sebagai utusan Allah SWT di dalam diri. Dan Ar-Ruh ini yang akan mengajari insan tersebut tentang kebenaran dan hakikat-hakikat dari Kitabullah[12].
“Tidak memuat-Ku langit-Ku dan bumi-Ku, yang memuat-Ku hanyalah qalb hamba-hamba-Ku yang mu’min” (Hadits Qudsi).


“Kerajaan Tuhan ada di dalam dirimu” (Al-Masih a.s.).
Daud a.s. dikatakan sebagai seorang yang berhati Tuhan, beberapa kutipan dari Mazmurnya sebagai berikut:
“Aku memuji Tuhan yang telah memberi nasihat kepadaku, bahkan di waktu malam hati nuraniku mengajari aku. Aku senantiasa memandang Tuhan, karena Ia berdiri di sebelah kananku” (Mazmur 16: 7-8).
“Karena Engkaulah yang telah membuat pelitaku menjadi menyala” (Mazmur 18: 29).
“Dia akan memunculkan kebenaranmu seperti terang dan hakmu seperti siang” (Mazmur 37: 6).
Pengetahuan tentang Ar-Ruh ini sedikit dipahami karena berkaitan dengan alam Amr di Martabat Ilahi, dan rahasia ihwal perkara ini di alam syahadah (fisik) tidak banyak dibuka.


Dan oknum spiritus ini, ketika struktur manusia tidak dipahami, sering menjadi sumber kekacauan utama dalam proses identifikasi manusia, baik itu dalam lingkup filsafat, psikologi, maupun dimensi luar dari agama. Seperti berenang ke dalam laut yang dalam untuk mencari sebab air laut pasang dan surut, sementara rembulan, sang fungsi transenden, tak tampak.
“Tiap-tiap sesuatu bekerja menurut caranya (orbitnya) masing-masing, maka Rabbmu mengetahui siapa-siapa yang terpimpin jalannya (huwa ahda sabiila). Dan mereka bertanya kepadamu ihwal Ar-Ruh, katakanlah bahwa Ar-Ruh itu dari amr Rabbku, dan tidak kamu diberi pengetahuan tentang ini kecuali sedikit” (Al-Israa [17]: 84-85).


Dari ayat di atas, jelas bahwa aspek Ar-Ruh atau Ruh Al-Quds (Holy Spirit) dihubungkan dengan orbit diri atau misi hidup tiap-tiap insan yang unik satu sama lain. Dan rahasia dari Ar-Ruh ini terletak di nafs, dan seperti Al-Ghazali katakan bahwa jika qalb tak dikenal maka nafs tak dikenal. Siapa yang seolah-olah melupakan Allah, maka Allah buat dia lupa akan nafsnya, sehingga tertutuplah jalan untuk mengenal Dia. Barang siapa tidak mengenal nafsnya maka ia tidak akan mengenal Tuhannya.[]
Referensi


[1] Koswara, E., (1991). Teori-teori Kepribadian. Eresco, Bandung.
[2] Jung, C.G., (1987). Menjadi Diri Sendiri, Pendekatan Psikologi Analitis. Terjemahan A. Cremers, Gramedia, Jakarta.
[3] Adlin, A., dan I. Suryolaksono, (2000). Reduksi Konsepsi Manusia: Tinjauan Umum Pada Era Pramodernisme, Modernisme, dan Postmodernisme. Journal of Psyché, 1, 15-50.
[4] Jamaluddin-T., Z.A., (1992). Catatan Kuliah Serambi Suluk. PICTS-YPP, Bandung.
[5] Al-Ghazali, (1985). Kitab Ajaibul Qulub, Ihya Ulumuddin, Terjemah Ismail Ya’qub, Faizan, Jakarta.
[6] Jamaluddin-T., Z.A., (1997). Misykat Cahaya-cahaya. PICTS-YPP, Bandung.
[7] Jamaluddin-T., Z.A., (1994). Mata Air Agama-agama. PICTS-YPP, Bandung.
[8] Hall, C.S., dan G. Lindzey, (1985). Theories of Personality. John Willey & Sons, New York.
[9] Zohar, D., dan I. Marshall, (2000). SQ, Spiritual Intelligence, The Ultimate Intelligence. Bloomsbury, London.
[10] Suhrawardi, S.Y., (1992). Hikayat-hikayat Mistis Suhrawardi Al-Maqtul. Terjemahan Mizan, Bandung.
[11] Tafsir Al-Qur’an Ibnu ‘Arabi.
[12] Sastra Jendra, PICTS-YPP, Bandung.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar