Minggu

Menjauh & Mendekat

 
Makhluk hidup memiliki kecenderungan,
Menjauhi sesuatu yang tidak disenangi,
Mendekati sesuatu yang disenangi dan enak,
Itu adalah ciri khas nafsu,
Membuat makhluk mendekati maupun menjauhi,
Tidak ada yang salah dengan itu,
Justru itu adalah benar,
Paling tidak mekanismenya memang seperti itu,
Kalau tidak memenuhi mekanisme seperti itu berarti tidak benar,
Tidak memenuhi kaidah alamiah,
Yang dipermasalahkan dalam agama bukanlah,

 


Ada tiadanya nafsu,
Namun, bagaimana mengarahkan nafsu itu sendiri,
Baik kecenderungan makhluk untuk mendekat maupun menjauh,
Tumbuhan memiliki daya pembeda mendekati sumber kehidupan,
Ia akan mendekati sumber cahaya dan mendekati sumber makanan,
Itulah yang disebut sebagai daya tarik terhadap apa yang dibutuhkan atau syahwah,
Namun belum bisa menjauh dari apapun yang membahayakan,
Kecuali beberapa jenis tumbuhan,


Yang memiliki karakter hewani,
Hewan memiliki daya pembeda menjauhi bahaya,
Ia akan menjauhi sumber bahaya dan mendekati tempat dimana bahaya itu tiada,
Itulah yang disebut sebagai daya tolak atau gadhab,
Namun belum bisa membedakan dengan pembeda tertinggi,
Kecuali beberapa jenis hewan yang tingkat intelegensinya tinggi,
Yang sedikit memiliki karakter mirip-mirip manusia,
Manusia memiliki daya pembeda lebih tinggi,
Ia dapat membedakan mana sumber bahaya dan mana yang bukan,
Ia dapat membedakan mana sumber kenikmatan dan bukan,
Itulah yang disebut sebagai daya intelektual atau akal,
Namun sering sekali belum bisa membedakan mana yang haq dan bathil,
Karena tingkat fakultasnya masih di nabati,


Maupun hewani,
Termasuk diri saya sendiri ini,
Keinginan manusia untuk memenuhi hasrat seksuil,
Merupakan seuatu hal yang benar, itu tidak salah,
Namun, dimanakah ia menempatkan kecenderungan itu ingin berhubungan seksuil,
Ataukah dengan wanita pelacur,
Ataukah dengan wanita simpanan,


Ataukah dengan pegawainya,
Ataukah dengan pasangan syahnya,
Yang syah menurut hukum yurisprodensi maupun syah menurut ketentuan-Nya,
Keinginan manusia untuk menjauhi apa yang membahayakannya,
Meruapakn sesuatu hal yang benar, itu tidak salah,
Namun, dimanakah ia menempatkan kecenderungan itu untuk mempertahankan diri,
Apakah dengan memberontak terhadap tatanan yang telah ada,
Ataukah dengan memberontak terhadap tatanan negara,


Ataukah dengan memberontak terhadap aturan organiasi,
Ataukah dengan meletakkan diri dengan menjalankan tanggungjawab,
Tanggungjawab syah menurut hukum yurisprodensi maupun syah menurut ketentuan-Nya,
Tidak ada yang salah dengan penggunaan akal,
Pun menempatkan syahwah dan gadhab pada tempatnya,
Yang jadi permaalahan adalah, rukunnya atau kaidah-kaidahnya,
Bahkan dalam olah qolbu-pun harus menggunakan akal,

Karena akal adalah rukunnya,
Bagaimana bisa membedakan mana haq dan bathil apabila tidak dengan akal,
Itulah lobang keterjebakan ahli-ahli spiritual,
Mereka merasa tidak membutuhkan akal pembeda dalam berspiritual,
Jadi sering sekali Iblispun-pun dianggap malaikat,
Karena pada tingkatan yang lebih tinggi, Iblispun bisa berwujud manusia ganteng,
Dan malaikatpun bisa berbentuk garang,
Pembeda, tarik dan tolak,
Pemahaman ini diperlukan,
Seiring dengan prosesi pembersihan qolb,
Dalam tingkatan tertinggi spiritual,
Ma’rifah,
Hanya dapat diperoleh dengan kebersihan qolb,
Namun tanpa akal,
Syaithan dan Malaikatpun sama,


Yang membedakan adalah,
Malaikat mengakui eksistensi manusia,
Sedang Iblis tidak,
Mengenal diri (eksistensi manusia),
Adalah mengenal Allah (eksistensi Tuhan),
Kalau Iblis menghindarkan manusia dari mengenal diri,
Sama pula menghindarkan manusia dari mengenal Tuhan,
Jadi, mengenal diripun harus menggunakan akal,
Namun akalpun harus ada rukunnya,


Dan akal yang terbaik adalah al-Furqon,
Al-Qur’anul Kariim,
Yang dibaca dengan hikmah,
Hikmah adalah ngelmu,
Ngelmu adalah knowledge,
Knowledge hanya diperoleh melalui laku atau doing,
Dengan hikmah,
Dalam hidup inilah kita belajar hikmah,
Hikmah mengenai inti,
Dualitas daya tarik dan tolak,
Manifetasinya dalam wujud kehidupan,
Nafsu itu harus ada,
Namun katanya harus dikekang,
Sebagaimana legenda empat kuda,
Yang menarik kereta,
Empat kuda,

Ammarah, Lawamah, Sufiyah, Muthmainnah
Keempatnya penting sekali,
Untuk menarik kereta kencana Sang Raja,
Siapa bilang nafsu itu tidak boleh,
Justru diperbolehkan, dan diharuskan ada,
Selama kita masih menarik nafas,
Namun bagaimana mengaitkan tali pada keempat nafsu itu,
Konon, inilah simbol dari ikat kepala tradisional Arab,
Untuk mengikat fikiran yang menjadi sarana liarnya keempat nafsu,
Begitu pula inilah simbolisasi dari ikat kepala udeng dalam khazanah tradisional Jawa,
Blangkon sebagai simbolisasi di kraton,
Hampir semua budaya yang dilewati Islam,
Memiliki terminologi akan ikat kepala,
Karena akal berada di kepala,
Bisa mengendalikan atau dikendalikan,


Tergantung dimana memposisikan,
Dikendalikan perut ataukah mengendalikan perut,
Dikendalikan selangkangan ataukah mengendalikan selangkangan,
Nafsu, rentan ditumpangi Iblis,
Nafsu yang tidak terkendali, bisa ditumpangi Iblis,
Nafsu itu bukan Iblis, tapi Iblis bisa menguasai nafsu,
Nafsu inilah yang membawa para pengusaha Arab,
Ziarah ke Puncak di Jawa Barat,


Keliru tempat dalam memasukkan benang ke dalam lobang jarum,
Tidak bisa membedakan mana selangkangan istri dan bukan,
Namun bisa membedakan mana yang bahenol dan mana yang bukan,
Menempatkan akal tidak pada tempatnya,
Sehingga meletakkan daya tarik pada yang bukan tempatnya,
Dan terdorong pada ketertarikan yang bukan pada tempatnya,
Lalu, apakah definisi “pada tempatnya”,
Tergantung ente sendirilah membedakan,


Bukankah hidup ini adalah pembelajaran,
Disinilah kita belajar untuk membedakan,
Hidup ini bukanlah tempat untuk menafikkan kekayaan,
Pun untuk menafikkan kemiskinan,
Hidup ini bukanlah tempat untuk menafikkan pangkat keduniawian,
Pun untuk mengejarnya tanpa reserve,
Namun bagaimana meletakkan pada proporsinya,
Itulah Pekerjaan Rumah kita semua,
Saat inilah, aku mulai belajar kembali,
Menyadari bahwasanya aku kemaren-kemaren belum bisa mengendalikan nafsu,
Terutama yang berhubungan dengan perut.
Marilah bersama-sama mengendalikan nafsu,
Sebelum nafsu ditumpangi oleh Iblis,
Nafsu yang ditumpangi oleh Iblis,
Akan membawa pada nafsu pemberontak,
Karena kebencian pada sesuatu yang diberontak,


Dan pemberontakan yang paling besar adalah memberontak terhadap Allah,
Namun, kalau kita jeli, apakah mungkin kita benar-benar memberontak terhadap Allah,
Berfikirlah dab, berfikir,
Tidak mungkin,
Kalau bingung,
Cobalah gunakan berfikir pendulum,
Maupun filosofi melar mengkeret Ki Ageng Suryo Mataram,
Kalau sudah ketemu berarti,
Kamu sudah menguasai ilmu Titik,
Titik di bawah titik Ba’
Seberapapun engkau menjauh, engkau akan bertemu dengan titik,
Seberapapun engkau mendekat, engkau akan bertemu dengan titik,

Tidak ada komentar:

Posting Komentar